Chapter 4
Kai berdiri tegak, memebelakangi meja kerjanya. Dia terlihat gagah dengan jas coklat. Rambut hazelnut mengkilapnya tersisir rapi, model classic pompadour yang sangat cocok untuk tipe pria yang serius. Bibir tipis penuh, membuatnya memiliki senyum yang menawan. Dia punya wajah yang maskulin, dengan rahang tajam dan bersudut. Hidungnya tinggi menjulang, di bungkus dengan kulit yang eksotis. Iris matanya coklat keemasan, melambangkan kehangatan. Dan dilingkari oleh bulu mata yang tebal dan melengkung. Dia juga punya alis sempurna sebagai pelengkap wajah idaman semua orang.
"Aku benci padamu," Gavriel mencul dari pintu dengan langkah yang lebar, lalu menghempaskan tubuh di sofa. "Ini Sabtu, kenapa selalu ada laporan dan pertemuan di hari aku bisa memperpanjang durasi tidur?" Dia mengeluh dengan keluhan yang sama seperti Hazel. Namun tidak pernah mengakui.
Kai mendekat, mengambil alih berkas-berkas di tangan Gavriel. "Kita meeting dengan orang penting, ketika dia bilang punya waktu hari ini, kenapa kita harus sombong dan menolaknya dengan alasan durasi tidurmu? Aku bahkan akan pergi walau dia meminta di jam dua pagi." Suaranya tenang dan tegas.
"Dasar gila uang," Gavriel mencibir. "Kau pasti senang karena sudah berhasil membuat perpanjangan kontrak dengan perusahaan pengalengan itu."
"Ini soal mempertahankan perusahaan agar tetap berjalan." Kai duduk di kursinya sambil memeriksa lembaran hasil perjanjian dengan CanbeCan.
Gavriel berbaring di sofa dengan menumpukan sepatunya pada tangan sofa. Dia memainkan handphone dengan sesekali menyernyitkan dahi, sesuatu sedang melanda pikirannya. "Aku punya sedikit bocoran berita. Kau mau tau?" Dia bangkit, meraih soda di atas meja lalu meneguknya sebagian. Melihat Kai tidak menggubris, ia berbaring lagi, lalu menimbang-nimbang kalimat selanjutnya.
"Aku tidak punya waktu mendengar lelucon," Kai menjawab dari kursinya. Menebak kebiasaan Gavriel yang sering mengemukakan omong kosong.
Gavriel bangun, mendekati meja Kai. "Kau ingat sepupuku yang tinggal di Spanyol? Kita pernah mengunjungi keluarganya pada musim panas ketika SMA dulu." Raut wajah Gavriel sangat serius.
"Valerie," jawab Kai.
Gavriel menumpu kedua telapak tangannya di meja, "Aku menguping pembicaraan mama dengan tante Kayren, ibunya Val. Dan tebak apa?" Dia berhenti untuk membaca reaksi Kai. Namun tak ada tanggapan. "Mereka sedang mempersiapkan perjodohanmu dengannya!" Gavriel berkata kecut. Lawan bicaranya masih dengan tatapan membaca dokumen, tidak menganggap serius Gavriel.
"Mama lebih senang mengurus semua hal tentangmu dari pada aku. Padahal aku juga single." Gavriel memamerkan wajah sedih yang berlebihan. "Tunggu, kau tidak percaya?!" Dia membentak, menatap Kai. "Ya tuhan, aku serius. Kau akan menyesal menggunakan wajah datar itu setelah mengetahui kebenaran."
Kai meletakkan dokumennya dan menatap Gavriel. "Mama merencanakan hal itu tanpa sepengetahuanku? Tidak mungkin." Ujarnya.
Gavriel kembali ke sofa, "Perjodohan itu akan menjadi kejutan. Mama dengan percaya diri mengajukan Valerie karena seperti yang kita tau, Val adalah primadona. Dia sempurna. Jika saja dia bukan sepupuku," Gavriel meneguk lagi soda nya hingga habis sambil mengingat wajah gadis bernama Valerie.
Kai diam sejenak, menyadari bahwa Gavriel sedang berkata jujur. Dengan tatapan tajam, dia beranjak pergi.
Gavriel nyaris tersedak coke yang ditelannya. "Hey hey, kau akan kemana?!" Kai menarik jas dari kursi dan berlalu. "Ya tuhan, mama akan membunuhku." Ia melanjutkan dengan mengutuk dirinya sendiri.
******
Cal tiba di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang. Ini kawasan elit, dan gedung tersebut juga tidak dihuni oleh sembarang orang.
Banyak wartawan di depan, jadi masuklah lewat pintu belakang di sebelah kiri pos penjaga. Cal ingat pesan dari manager Alec di telfon. Maka dia memarkirkan mobilnya agak jauh dari gedung itu, lalu berjalan kaki menuju pintu yang di maksudkan.
Mungkin seluruh pintu lift di kerubungi wartawan juga. Jadi, maaf. Kau harus melewati tangga. Cal menghela nafas. Apartemen Alec berada di lantai 12. Mustahil Cal menaiki tangga.
Dia memutar kepalanya mencari ide. Lalu memutuskan untuk masuk lewat pintu utama. Dan benar saja, banyak wartawan di setiap sudut seolah mereka menjadikan tempat itu sebagai lahan bebas piknik.
"Anda tinggal di gedung ini, Mrs?" Seorang laki-laki pendek menghampiri Cal. Dia memapah sebuah camera besar untuk meliput.
"Saya ingin mengunjungi teman di lantai 11." Bohong Cal. Kalimatnya terasa asam di lidah.
"Lantai 11 milik nyonya Wikayla dari Platkey Group. Keluarganya sedang berada di luar negeri sejak Minggu lalu." Jawab lelaki itu. Kartu ID yang menggantung di dadanya bergerak-gerak.
Cal menelan ludah, "Teman saya bukan nyonya Wikayla." Ujar Cal ragu. "Saya salah info, berarti dia berada di lantai 10." Lanjutnya.
"Jadi teman anda aktris Milena Miyanka?" Ujar lelaki itu penuh tanggap. "Sayang sekali, dia sudah hengkang dari dunia hiburan sejak kelahiran anak pertamanya. Dia tinggal di Belanda sekarang." Setelah menjelaskan, lelaki itu menangkap kilas curiga akibat tingkah kikuk Cal. "Apa anda menuju apartemen Galecel Niel?" Dia menyelidik. "Anda temannya?"
Cal sedikit kaget karena tembakan ucapan laki-laki itu, tapi ia berhasil menahan diri. Memanipulasi ekspresi. "Galecel tinggal disini?" keterkejutan Cal di buat-buat. Cal tak pernah berhasil menyelaraskan emosi dengan ekspresi, namun entah bagaimana, kali itu dia berhasil. Tangannya mengatup mulut agar lebih meyakinkan. "Temanku dokter Alkaff Eltric." Jawab Cal, mengambil jalan terakhir. Dia tau dokter yang pernah dicelakainya itu tinggal disini. Setelah pesta perpisahaan koass, Cal mendengar teman prakteknya menunjuk gedung ini sebagai rumah dokter Alkaff
Lelaki itu menepuk pundak Cal sekilas. "Kenapa tidak bicara dari tadi? Dokter tampan itu tinggal di lantai 7. Aku baru meliputnya kemarin untuk tayangan berita hari kesehatan nasional." Cal menghela nafas lega sekaligus khawatir. Tapi dia tidak punya pilihan selain masuk ke dalam lift dan menekan tombol 7, karena semua mata wartawan tertuju pada tombol itu.
Kurang dari satu menit, Cal sampai di depan sebuah pintu apartemen mewah yang dia yakin dokter Alkaff dan istrinya, tinggal disana. Dia mematung, mengingat kembali kejadian buruk yang melukai dokter Alkaff. Cal sepenuhnya menyalahkan diri sendiri hingga saat ini.
Lagi-lagi helaan nafas Cal terdengar berat, lalu melangkah kaki mencari tangga darurat. Namun sebelum itu, bunyi klik pintu terdengar, dan keluarlah sang pemiliki apartemen. Mata mereka bertemu, dokter Alkaff mengedipkan matanya berulang kali. "Calandra?" Ujarnya tak percaya. Nada kegembiraan jelas terpancar dari sorotan wajahnya. "Apa yang membawamu kesini?"
Cal tak tau harus menjawab apa. Dia hanya mematung memperhatikan dokter itu dengan mata yang membulat. "Aku ingin mengunjungi pasien, tapi terjebak disini." Suara Cal nyaris tak terdengar.
"Galecel butuh konsultasi?" Ujar dokter itu. Dia menghempaskan tas persegi di pergelangan tangannya. "Dia di lantai 12."
"Bagaimana anda tau?" Cal terkejut, lalu menyadari mungkin saja hanya Alec yang sedang bermasalah di gedung ini. "Tolong rahasiakan," raut wajahnya memelas. Membuat dokter itu tersenyum dan mengusap sekilas rambut Cal.
"Aku ingin banyak berbincang denganmu, tapi aku hampir terlambat mengisi sebuah acara. Sampai bertemu lain kali." Senyumnya masih tersisa di bibir itu.
"Eemm dokter," panggil Cal. "Jika wartawan di bawah bertanya, boleh katakan aku ini temanmu?" Cal berujar hat-hati. Ragu, pantas atau tidak dia meminta hal itu.
"Kita memang teman," jawab dokter Alkaff. "Atau jika memang kau ingin lebih." Senyumanya berubah menggoda, lalu pergi.
******
"Anak nakal itu! Bisa-bisa nya dia menguping pembicaraan orang tua. Tidak sopan!" Mrs. Laura Bezalle memekik marah untuk anak lelakinya, Gavriel. Kai merasa sedikit bersalah karna dia tau, setelah ini saudaranya itu akan di mutilasi oleh ibunya. Namun masa depan yang di rencanakan tanpa sepengetahuannya lebih penting dari Gavriel.
"Ma, aku belum siap." Kai berusaha mengeluarkan nada selembut mungkin agar tidak melukai perasaan Laura.
"Mama tau kau butuh seseorang di sampingmu, yang bisa kau curahkan semua isi hatimu padanya." Wanita paruh baya itu mendekat dan mengusap pipi Kai. Tatapannya bagai kehangatan yang memancar dari perapian.
"Aku punya kalian." Kai menyentuh tangan Laura yang mengusap wajahnya. Dia sangat menyayangi wanita itu. Bagi Kai, Laura adalah malaikat yang datang bersama keluarganya untuk membuat Kai bangkit setelah semua yang terjadi padanya. "Aku punya Gavriel, Hazel,"
"Kau menyimpan banyak hal yang tidak bisa kau ceritakan pada kami, nak. Kau anakku, aku tau ada sesuatu yang mengganjal hatimu." Rambut ikal Laura yang panjang berkumpul di sisi bahu kiri ketika dia memiringkan kepalanya untuk menatap Kai lekat-lekat.
Laura tidak pernah membedakan kasih sayang yang ia berikan untuk Gavriel, Hazel dan Kai. Baginya mereka adalah anugrah yang membuatnya merasa menjadi ibu yang paling bahagia. Meskipun tak jarang, wanita itu menghukum Hazel dan Gavriel. Sedangkan Kai, dia tidak pernah menyebabkan kesalahan yang berarti, maka Laura selalu terlihat memuji Kai.
Lelaki itu tidak tau bahwa akan ada seseorang yang menyadari kegundahan hatinya. Selama ini Kai selalu berusaha seceria mungkin agar tidak melukai hati keluarga Mr.Bezalle yang telah merawatnya. Maka ketika mendengar ucapan Laura, Kai takut ibunya itu merasa kecewa dan akan berpikir bahwa Kai tidak bisa mempercayainya.
"Maafkan aku," Kai berkata pelan, menyadari bahwa dia tidak pernah bisa menyembunyikan apapun pada Laura. Intuisi seorang ibu memang selalu lebih peka.
Laura tersenyum, "Semua orang punya sesuatu yang tidak bisa di utarakan pada sembarang orang." Dia menatap Kai dengan menengadahkan kepalanya karena Kai jauh lebih tinggi dari wanita itu. "Maka kau butuh seseorang di samping mu."
"Ini sangat mendadak, Ma."
"Jangan pikirkan apa pun, mama akan menyiapkan segalanya. Dan Valerie, kau sudah mengenalnya jauh-jauh hari. Kalian tidak akan merasa menikahi orang asing." Senyuman lembut Laura terus terpancar di wajah cantiknya. Dia membujuk Kai lembut, namun punya tatapan yang tidak bisa ditolak.
"Aku belum mengenalnya sebaik itu. Kami hanya bertemu beberapa kali. Dan itu tidak cukup untuk mengklaim kami cocok." Kai sungguh sangat ingin membatalkan semua ini sebelum semakin rumit. Namun dia tidak punya kekuatan yang mampu mengubah hati ibunya. Selama ini, dia selalu luluh dengan permintaan Laura. Namun dia tidak ingin luluh pada yang satu ini. Dia ingin menolak, tapi yang dia lakukan hanya memberi asalan-alasan lemah karena takut akan menyinggung Laura.
"Ooh, tenang, sayang. Setelah semuanya di tetapkan, Valerie akan mengunjungi kita disini untuk melangsungkan pertunangan terlebih dulu." Ujar Laura sumringah, menyadari bahwa dia punya banyak solusi untuk kegundahan Kai. "Valerie sedang mengambil S2 di bidang desainer. Butuh sekitar 8 bulan lagi sampai dia lulus. Kalian punya waktu 8 bulan untuk saling mengenal sebelum pernikahan."
Kai menghela nafas berat. Dia tau ibunya selalu penuh persiapan. Dan ini satu-satunya persiapan yang tidak diinginkannya. Jika Kai dengan egois menolak, dia akan mengecewakan wanita itu. Pikirannya memberontak tidak ingin meneruskan hal ini, namun hatinya ikut memberontak, bahwa ia akan menghancurkan hati semua orang yang terlibat. Kai tau mereka berniat baik. Semua ini karena mereka peduli padanya. Namun terkadang, kebaikan dapat berubah menjadi beban, alih-alih merasa bersyukur.
******
Cal terengah-engah setelah menempuh hampir lima belas menit menaiki tangga darurat. Dia tiba di depan pintu Apartemen tujuannya dengan menumpu kedua tangan di lutut. Dia kelelahan, merasa baru saja melakukan olahraga sebanyak total jogingnya dalam seminggu.
Cal meraih handphone di saku, mengecek pesan dari manager Alec tadi. Dia tidak akan membukan pintu, jadi ini sandinya, 7777777. Cal mengerutkan kening, tidak menyangka bahwa artis menggunakan password yang begitu sederhana. Cal menarik nafas dalam beberapa kali sebelum kemudian menekan tombol sandi.
Dari depan pintu yang terbuka, Cal dapat mencium bau asam dan tajam dari makanan basi, serta minuman-minuman yang menyengat. Di bawah kaki Cal, ada banyak sepatu mahal yang berserakan dan beberapa kaus kaki yang tidak memiliki pasangan. Kaki Cal terus melangkah masuk hingga mendapati ruang utama apartemen itu amat sangat berantakan. Sofa merah menyala di tengah-tengah ruang sudah bergeser dari posisinya, ada banyak helai pakaian yang bersangkutan ria di sandaran. Lantai granit abu gelap di bawah kakinya terasa licin dan berminyak. Kotak pizza, bungkusan junkfood, dan tisu bekas makanan bersebaran di sekitar. Ada banyak benda-benda lain berceceran, yang Cal tidak sanggup mengabsen semuanya. Cal berkacak pinggang. Dia benci sesuatu yang berantakan. Dia tidak akan fokus bekerja dalam suasana kotor.
Cal melipat lengan bajunya, lalu berkeliling mencari perlengkapan bersih-bersih. Setelah menemukan benda-benda yang diinginkannya, Cal diam sejenak, memaku di depan pintu kamar yang terbuka lebar. Ada Alec yang tengkurap di atas tempat tidur dalam keadaan topless. Suara erangan-erangan dalam tidurnya menandakan bahwa walaupun ia tidur, tapi pikirannya masih berkelana. Dengan keaadaan seperti itu, tidur seharian pun tidak akan memadamkan kelelahan.
Cal turut merasa terbebani dengan kondisi lelaki itu. Dia ingin membantu Mr. Nath. Dia ingin membantu Alec. Tapi dia sadar walau rumor gay terselesaikan, semua tidak akan berjalan seperti sebelumnya. Tiba-tiba saja sekilas jawaban non-psikologis terlintas di benaknya. Meskipun tidak yakin hal tersebut akan berhasil, namun Cal akan segera mengusulkannya pada Mr. Nath dan Davin.
*******
"Sudah kau dapatkan informasi yang aku minta?" Gavriel menyusup ke dalam kamar Hazel dengan kondisi yang berantakan. Baju kausnya kusut, matanya merah dan sipit. Dia baru saja tidur siang.
Hazel meletakkan kuas cat kuku dari tangannya. "Mari bahas pekerjaan di hari Senin." Dia menimbang-nimbang keahlian manicure-nya.
"Belum kau kerjakan ya?" Suara Gavriel sinis, kesal. "Aku sudah menyuruhmu dua bulan yang lalu."
Hazel bangkit, piama Nemo birunya melorot. "Kau pikir infirmasi tentang perdagangan manusia bisa kudapatkan dengan hanya mengetik di mesin pencari, duduk di kafe sambil minum lemonade?" Matanya menatap Gavriel sejenak, lalu beralih pada masker wajah.
"Lalu apa tindakan yang akan kau lakukan?" Lelaki itu duduk di tepi ranjang. "Kau butuh berapa lama lagi?"
Hazel memejamkan mata frustasi. "Aku sudah dapat infonya, tapi aku tidak akan memberitahumu, karena aku sedang sibuk menggunakan hari liburku yang berharga." Tangan Hazel melambai-lambai, mengusir. "Enyahlah kau sana!"
"Oh, benarkah? Lalu tunggu apa lagi? Cepat beritahu, aku akan segera melaporkannya pada Kai." Gavriel terlihat penuh semangat. Matanya yang sipit seketika membulat ingin tau.
"Baiklah," Hazel mengambil keputusan, merasa jengkel dengan keberadaan Gavriel di hadapannya. "Tapi mari tulis surat perjanjian bahwa kau tidak akan menggangguku lagi selama satu bulan ke depan." Dia tersenyum menggelegar, meraih selembar kertas dan bolpoin. "Tanda tangan disini." Tunjuk Hazel.
Gavriel menatap lembar kosong itu, "Kenapa tidak kau tuliskan dulu perjanjiannya?"
"Aku akan memikirkan poin-poin itu nanti. Kau tidak liat kutek-ku belum kering?" Tangan ramping Hazel melambai di hadapan Gavriel.
Rasa penasaran membuat laki-laki itu patuh. Dia menandatangangi perjanjian non-formal itu tanpa berpikir panjang. "Ingat, jangan cantumkan peraturan gila," peringatnya, menimbang bahwa Hazel adalah gadis yang 'over' dalam segala hal.
"Poin akan bertambah, tergantung bagaimana kau bersikap." Balas Hazel. Dia tersenyum puas seperti ratu kejahatan memenangi pertempuran. "Dan sebentar," dia bergerak meraih handphone, memperlihatkan sesuatu pada kakaknya. "Kapan insiden ini terjadi?" Di layar benda persegi panjang itu ada foto skandal Alec, yang tengah memapah temannya di parkiran sebuah hotel.
"Kenapa kau jadi tertarik dengan skandal artis?" Gavriel bersuara.
"Kenapa jawabanmu selalu berupa pertanyaan?!" Hazel mengeluh kesal. "Baiklah, satu poin perjanjian telah di tetapkan." Dia meniup-niup kuku jarinya dengan ganas, lalu segera menulis sesuatu di kertas.
"Ya ampun, childish." Ujar Gavriel. "Kabar itu muncul dua hari setelah Kai memilih Galecel sebagai model iklan, mungkin sekitar lima hari yang lalu."
"Benar dugaanku," Hazel merasa menyadari sesuatu. "Mereka memakai baju yang sama. Foto ini pasti di ambil malam itu." Dia meyakinkan dirinya sendiri.
"Apa maksudmu? Kau kenal mereka?" Tanya Gavriel.
Hazel menatap kakaknya, "Aku di antar pulang oleh Galecel, malam dimana aku mencari info yang kau minta."
"Bagaimana bisa? Kemana mobil mu?"
"Aku sengaja meninggalkan mobil dan naik taksi. Setidaknya mobilku memberitahu mama bahwa aku di rumah." Jawab Hazel. "Kau tau mama tidak akan mentoleransi jika aku pulang larut malam." Hazel bangkit, lalu duduk di meja rias, memandangi pantulan dirinya yang sedang memakai piama biru polos seperti seragam orang di rumah sakit jiwa. "Kurasa Galecel bukan homo. Yang di foto itu adalah temannya."
"Kau punya bukti?"
"Mungkin aku bisa menjadi saksi." Jawab Hazel. "Kau punya nomor Galecel?"
"Tidak," jawab Gavriel. "Tapi aku punya nomor managernya."
******
Suara vacoom cleaner terdengar nyaring di telinga Alec. Dia bersingut, memaksakan bola matanya berputar, menyesuaikan cahaya. Kakinya yang gontai melangkah keluar dari kamar, lalu mendapati seorang wanita yang sedang membereskan rumahnya. Aroma kari yang lezat tehirup tajam olehnya. Dia juga bisa melihat uap yang mengepul dari rice cooker.
Cal berada beberapa meter dari pijakan kaki Alec. Dia tidak menyadari kehadiran lelaki itu. Suara vacoom cleaner mengalihkan pendengarannya, dan Alec yakin bahwa mulut kecil wanita itu sedang fokus bersenandung. Alec terus memperhatikan, tubuh semampainya yang kira-kira sebahu Alec, rambut panjang coklatnya digulung ke atas, meninggalkan cuat-cuat helai anak rambut. Lipatan lengan bajunya bergelut rapi hingga ke siku, memperlihatkan tangan ramping yang di lapisi kulit putih mulus. Wajahnya sama seperti saat terakhir mereka bertemu; cantik, tanpa make up yang berlebihan. Mata hijaunya, jernih seperti butir hujan di padang rumput. Alec menyukai suara Cal yang halus dan penuh pertimbangan. Dia suka ketika perempuan itu terlihat gugup berbicara dengannya. Alec tertegun, menyadari bahwa Cal, entah bagaimana membuatnya merasa terhibur.
"Apa yang kau lakukan di rumahku?" Alec mendekat. Menghentakkan Cal, sehingga benda di tangannya berhenti bekerja. "Ayahku mengutusmu lagi? Kau tau itu percuma." Dia berusaha membuat suaranya terdengar ketus.
Cal tidak menjawab, dia hanya berlari kecil ke arah meja ruang TV, mengambil sebuah kaus berkerah. "Pakai bajumu dulu." Tangan Alec meraihnya, tanpa berkomentar, dia memakai benda itu. "Aku yakin perutmu pasti tidak nyaman setelah melahap semua makanan cepat saji itu. Maka aku membuatkanmu beberapa masakan rumahan." Tangan Cal mendorong punggung Alec agar bergerak dan duduk di ruang makan. Cal sibuk berjalan kesana kemari untuk mengambil perlengkapan makan, hingga menyajikan masakannya di hadapan Alec. "Mungkin rasanya tidak begitu pas, karna aku melewatkan beberapa bumbu." Ujarnya. "Kau tidak punya banyak bahan makanan."
Alec memandangi sajian di hadapannya. Semangkuk nasi, kari ayam, sayuran tumis, dan jamur goreng tepung. Tangannya bergerak, menyicipi satu persatu. Seketika Alec tidak percaya bahwa Cal melewatkan beberapa bumbu, karena rasanya sangat sempurna. Alec kelaparan, tapi dia tidak rakus makanan. Namun yang di hadapannya membuat laki-laki itu ingin segera melahap dengan cepat tak tersisa.
"Aku ingin kau tau bahwa aku telahmenemukan ide brilian untuk menuntaskan masalahmu. Kau tidak melenceng, jadiaku tidak harus mengobatimu. Namun sebagai teman dari ayahmu, aku inginmembantu." Ucapan Cal di dengar Alec tanpa mengalihkan pandangan darimakanannya. Mulut Alec mengembul, di penuhi nasi. "Ku pikir kau harus segeramengumumkan pernikahan."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro