Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 3


Seorang lelaki berjalan dengan langkah yang tergesa-gesa hingga mencapai sebuah pintu apartemen. Dia menekan tombol sandi dan segera masuk. Matanya yang tajam mengitari seluruh ruangan apartemen mewah itu sampai menemukan Alec yang sedang tertidur di atas sofa. TV menyala, menampilkan film kartun Spongebob Squarepants yang sedang menangkap ubur-ubur. Handphonenya berdering di atas meja, memaparkan nama Savath disana. Botol-botol alkohol dan kaleng bir berserakan di sekitar karpet abu tebal di bawahnya. Alec terlihat kacau dengan celana jin coklat pendek, dan kemeja kuning telur kusut yang kancingnya di pasangkan pada lubang yang salah. Rambut perunggunya mulai memudar, memperlihatkan warna coklat tua di sekitar kulit kepala.

Lelaki itu berdecak, lalu melemparkan surat kabar ke atas dada Alec. Dia membuka mata perlahan, tak terkejut sama sekali. "Hal gila apa yang kau lakukan bersama banci itu, Alec?!" lelaki itu membentak, mendesak. Dia berjalan mondar-mandir sambil mengusap wajahnya yang jangkung. "Aku baru meninggalkanmu seminggu untuk berlibur, kau sudah menyebabkan bencana!"

"Jangan sebut temanku banci." Alec berujar dingin. Dia bangkit, melemparkan surat kabar ke atas meja, sudah menebak isinya.

"Lalu apa aku harus menyebutnya lelaki yang sedang bosan menjadi lelaki?" Dia mencibir. Dadanya naik turun menahan amarah.

"Dengar Davin, malam itu Savath mabuk, dia tidak cukup sadar untuk memberitahuku sandi apartemennya. Menurutmu apa yang harus kulakukan selain membawanya ke hotel?" Alec mencoba menjelaskan dalam nada yang lelah. Wajahnya pucat, bibirnya kering dan bercak darah.

"Apa otakmu tidak berjalan dengan baik? Kau pikir memapahnya mesra menuju hotel adalah satu-satunya pilihan?" Mata lelaki itu gelisah. "Kau bukan petani, kau bintang! Seluruh mata tertuju padamu. Dan sebagian dari mereka memang mencari-cari kesalahan untuk merobohkanmu. Seharusnya kau tau."

"Aku hanya membantu teman. Apa itu salah?" Alec tidak fokus, kalimat laki-laki itu tidak semua masuk ke telinganya. Dia mengucek mata, membuat kedua indra itu berair.

"Tidak ada salahnya bagi orang lain. Namun salah besar bagimu!" Davin, manager Alec berseru murka, wajahnya memerah. Tangannya yang bergerak-gerak seolah menyemburkan minyak ke dalam api. "Kau tidak pernah berkencan atau sekedar berinteraksi dengan perempuan. Rumor homo sudah menyebar tipis dan kejadian kemarin membuat rumor itu tak bisa dibantah lagi."

"Rumor akan segera berlalu." Alec berujar serak, tenggelam dalam nafasnya yang tidak teratur.

"Kau tidak tau berapa masalah yang menimpaku jika kau berbuat satu saja kesalahan. Semua jadwalmu di batalkan. Seluruh penanggung jawab iklan menelfonku ratusan kali. Puluhan wartawan menghubungiku untuk mengklarifikasi hal ini. Dan kau tau? Yang paling buruk adalah, peluncuran film mu akan di tunda karena sutradara yakin ratingnya akan meluncur turun karena kau pemeran utama." Davin membanting meja, "Kau begitu egois. Kau pikir masalahmu adalah masalahmu. Tapi lihatlah! Masalahmu, merugikan banyak orang."

Alec menghimpit kepalanya dengan telapak tangan. "Tolong, jangan mendesakku." Dia merasa sangat pusing dan mabuk. "Cukup ayah, jangan kau lagi."

Davin tertegun, menyadari bahwa ia telah berteriak terlalu keras pada Alec. Kemarahannya menutupi Alec yang terlihat sangat sekarat. Davin mendesah berat, lalu duduk di sebelah Alec. Tangannya di pundak lelaki itu. "Ku dengar seorang Psikiater mengunjungimu." Nada suara Davin melembut. "Itu pasti sangat menyinggungmu. Kau tidak gila, kau tidak menyimpang. Aku tahu itu."

Menit-menit selanjutnya, tak ada suara di tengah-tengah mereka. Davin membersihkan ruangan yang berantakan itu dengan memasukkan kaleng dan botol ke dalam plastik, sedang Alec berbaring lurus di sofa, matanya yang merah membuka lebar, menatap lampu ruangan yang berukuran bola voli. Kepalanya penuh dengan kata aku mengacaukan segalanya, semuanya. Karena itu otak Alec seakan macet dan berhenti beraktifitas. Dia memejam, merasakan pedih di balik kelopak itu. Dia ingin tidur, namun bayang-bayang malam puncak masalah yang ia timbulkan terus saja datang seolah terpahat atas kelopak matanya.

Getaran handphone di atas meja tidak sedikit pun membuyarkan lamunan Alec. Namun membuat Davin terganggu. "Tidak bisakah kau lakukan sesuatu pada benda itu?" Sampah kaleng bir terakhir berhasil dipungutnya. "Seperti buang, patahkan, keluarkan baterainya, atau apalah sehingga ia berhenti bergetar?" Di bukanya lebar-lebar plastik kresek di tangannya agar Alec bersedia memasukkan benda persegi itu ke dalamnya.

"Aku tidak ingin Savath mengkhawatirkanku." Jawab Alec. Lengan kanannya tertumpu di dahi.

"Dia akan semakin khawatir kalau kau tidak mengangkat telfonnya." Davin melemparkan plastik itu ke belakang pintu masuk. "Media pasti mengejar-ngejarnya. Dan tak ada yang bisa kulakukan untukmu, apa lagi untuk temanmu itu." Nada kekalahan terdengar dari Davin.

"Davin," panggil Alec.

Secercah gejolak harapan muncul di wajah Davin sehingga membuatnya melompat kegirangan. "Apa? Ada apa? Kau punya ide?" Lelaki itu berlutut di sisi sofa.

"Dimana aku bisa mendapatkan itu?"

"Itu, apa?" Davin bingung.

"Drugs." Alec berujar hati-hati seolah lidahnya bisa patah jika salah berucap. "Aku tau aku tidak pantas. Tapi aku ingin merasa tenang sebentar saja."

Dengan gerakan terseok, Davin bangkit, matanya menatap Alec penuh kesedihan dan putus asa. "Ayahmu melakukan hal yang benar. Kau memang butuh pskiater." Davin mengambil kunci mobil lalu pergi dengan langkah yang gontai.

******

Hari itu cerah, langit di atas biru sempurna. Beberapa gumpalan awan kecil terlihat bergerak mengikuti mata angin. Hazel duduk di sisi air mancur di taman rumahnya. Air mancur itu berkilauan di terpa sinar matahari dan mengubahnya menjadi sewarna perunggu. Tiba-tiba Hazel ingat Alec, rambut perunggunya yang di cat sempurna, juga iris mata amber yang begitu indah. Alec terasa tidak asing baginya, namun gadis itu sudah menyerah berpikir dimana mereka pernah bertemu. Seingat Hazel, belum ada lelaki tampan seperti Galecel kecuali kakaknya, Kailash. Hazel sudah memberi hak paten bahwa Kai adalah lelaki yang paling sempurna di lihat dari sudut mana pun.

Ketika seorang pelayan menghampirinya, Hazel sedang memangku Kira, kucing jenis Ashera yang sudah menjadi peliharaan gadis itu sejak lima tahun lalu. Kucing berkulit polkadot coklat itu adalah hadiah ulang tahun dari Kai.

"Majalah Minggu ini sudah keluar, Non." Ujar sang pelayan yang sudah separuh baya. Dia menyodorkan lembaran cetak itu dengan sopan ke arah Hazel.

Hazel memandang kurang tertarik, "Letakkan saja di kam.." Tiba-tiba dia terlihat kaget, ada gambar seorang laki-laki di cover majalah itu, wajah yang dilihat Hazel di pemakaman. "Terima kasih, bi." Majalah itu berhasil di alihkan ke tangannya. Dia memandang sejenak, memastikan. Lalu meletakkan Kira di bawah. "Gavriel...!!" Teriak Hazel keras, dia mulai melangkah lebar-lebar memasuki ruang makan.

Seorang lelaki muda duduk di salah satu kursi makan dengan tangan yang sibuk; satu memegang sandwich, satunya mengetik cepat di keyboard laptop. "Gav, kau kenal dia?" Dengan gaya yang berlebihan, Hazel mengetuk majalah itu berulang kali sehingga kukunya membuat tanda-tanda melengkung di cover yang mengkilap itu.

Gavriel melirik sejenak, "Kau tidak mengenalnya?" Alis laki-laki itu terangkat lalu kembali menatap layar laptop.

"Kenapa kau terdengar idiot?" Mulut Hazel sudah sejak lama remnya blong. "Jika tau, apa aku akan membuang-buang waktu berbicara denganmu yang membuatku alergi?"

"Dia Galecel Niel. Anak tuan Nathaniel pemilik N Mart." Jawab Gavriel. "Kita sudah bekerja sama dengannya bertahun-tahun."

"Apa? Galecel?" Hazel hampir memekik. "Ya ampun, aku pernah duduk di kursi yang berseberangan dengannya di kelas 2." Hazel menepuk jidadnya. "Aku bahkan pernah berkata dia akan sangat tampan jika kurus. Ya, saat itu dia benar-benar dijuluki si tampan yang chubby. Pantas saja mata coklat terangnya itu tampak tidak asing." Hazel merapatkan majalah itu ke dadanya sambil menerawang ke masa lalu. "Tapi bagaimana kau kenal dengannya, Gav?"

"Dia artis papan atas. Kai memilihnya sebagai bintang iklan produk musim panas bersama seorang Aktris. Peluncuran yougurt dan puding kita kan sebentar lagi." Gavriel benar-benar memiliki kemampuan fokus dalam dua hal sekaligus. Dia bahkan terus mengetik walau mulutnya sedang sibuk menjawab pertanyaan Hazel. "Tapi sepertinya di tunda, atau Kai akan memilih pengganti Galecel karena skandal yang dia timbulkan beberapa hari yang lalu." Gavriel menambahkan. Gigitan terakhir sandwich berhasil lolos ke mulutnya. "Ngomong-ngomong apa rumah ini hutan? Tidak ada tv? Tidak ada sinyal? Kau baru pulang dari luar angkasa?" Gavriel tertawa lepas menyadari adiknya tidak penah menonton tv atau sekedar menonton berita.

"Aku sudah muak melihatmu sepanjang hari di kantor, lalu melihatmu lagi sepanjang weekend di rumah. Bayangkan betapa melaratnya aku! Di tambah jika ada masalah kantor belum selesai, kau mengomeliku sepanjang hari libur. Aku menghasilkan banyak uang, tapi tidak pernah punya kesempatan untuk menggunakannya. Bahkan sekedar beli pembalut, aku harus belanja di olshop." Hazel menarik nafas dalam, paru-parunya seolah di penuhi kobaran api. "Dengan alasan itu, apa sekiranya aku masih punya waktu menonton tv? Kau bahkan mengedor pintu kamar mandiku hanya untuk menyuruhku mengetik notulen rapat!"

"Kau PMS? Sudah beli pembalut online?" Ujar Gavriel santai. Seketika majalah terbang mendarat tepat di kepalanya dan merusak tatanan rambut yang sudah dilapisi pomade. Detik kemudian, pelaku segera melarikan diri.

Gavriel seolah tersetrum tegangan tinggi, sakit bekas tamparan majalah tidak sebanding dengan sakit ketika salah satu anggota tubuh paling dibaggakannya seketika porak-poranda. "Kai akan mengomeliku jika terlambat memberi laporan," Gavriel mengeluh pada diri sendiri, menyesal membangunkan singa betina tidur. Saat ini dia membutuhkan beberapa jam lagi untuk menata mahkota kepalanya.

******

Tempat tidur Kiana penuh dengan helai-helai pakaian yang sebagiannya masih menyangkut di hanger. Tumpukan itu hampir seperti bukit teletubis. Ada sebuah middress dan dua celana jins terkangkang di lantai granit kamar. Sesekali gadis itu hampir tersandung dengan barang-barangnya sendiri. Tangan kecil itu menimbang-nimbang beberapa pasangan baju dan rok, lalu berkacak pinggang dengan tatapan 'aku tidak punya baju yang pantas'

Dia keluar untuk menemui Cal. "Kak, boleh aku pinjam syal knit-mu yang biru?" Ujarnya setelah menemukan Cal di dapur.

"Ambil saja di lemari." Jawab Cal. Tangannya menunjuk dengan kepingan kulit Alpukat. Dia sedang membuat avocado toast. "Apa benar pelatihan? Bukan kencan?" Ujar Cal. Dia bertanya serius, bukan menggoda.

Kiana kembali dari kamar Cal sambil berlari kecil. Kepakan sendal beludu merah mudanya terdengar nyaring. "Setelah melihat brosur, narasumbernya sangat tampan. Aku akan berfoto dengannya setelah seminar selesai." Ungkap Kiana antusias. Dia memeluk syal biru itu dengan erat. "Tidak boleh ada penyesalan, aku harus tampil semaksimal mungkin."

"Oh, baiklah. Semoga lancar." Komentar Cal, seolah mengerti semangat menggebu remaja. Lalu kembali pada pada masakan yang kedua, lasagna. Tiba-tiba handphone yang diletakkannya di atas meja makan berdering. Cal menyapu tangannya sekilas pada cilemek, lalu meraih benda itu.

"Halo, Calandra?" Suara Mr. Nath terdengar lelah di telfon. Cal langsung tau ada yang sedang mengganjal hatinya.

"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Cal. Dia meletakkkan pinggan kaserol yang sedang digosoknya akibat lasagna yang gosong, untuk mendengar dengan penuh perhatian.

"Anakku, dia..." Mr. Nath kalang kabut. Suaranya tak pernah segelisah ini. "Dia benar-benar sudah kehilangan akal. Managernya menyuruhku memanggil psikiater lagi karna Alec ingin mengkonsumsi narkoba."

"Baiklah, anda harus tenang." Ujar Cal. Dia menghimpit ponselnya dengan bahu agar tetap menempel di telinga. Kedua tangannya bergegas melepas cilemek dan berlari kecil menuju kamar.

"Aku belum mengerti kenapa Alec begitu membenciku. Ratusan kali kukatakan jangan pernah terjun ke dunia hiburan karena itu bukan sifatnya. Alec tidak suka di liput, dia tidak suka jadi sorotan mata banyak orang, dia tidak pernah ingin menjadi artis. Pendiam dan tertutup adalah sifat aslinya. Namun dia melakukan semua yang aku larang, dia melakukan semua hal yang merusak dirinya." Mr. Nath menarik nafas lemah. Dia membisu untuk sesaat sebelum berkata, "Maaf menarikmu ke dalam masalahku, nak. Aku tidak punya seseorang yang bisa ku percaya."

"Anda dapat mengatakan segalanya padaku." Jawab Cal. Suaranya yang tenang terdengar meyakinkan. "Aku akan pergi menemui Alec," lalu memutuskan sambungan.

Cal tau persis Mr. Nath tidak punya banyak kerabat, bahkan teman yang benar-benar layak disebut teman. Jenis teman yang dimilikinya hanya sekedar teman bisnis, yang tak jarang berniat licik. Berada dalam dunia bisnis memaksanya untuk waspada, dan tidak mempercayai orang lain mentah-mentah.

"Mr. Nath lagi?" Tanya Kiana, dia mematung di pintu dengan tampilan yang berlebihan. Dia memakai circle dress biru selutut dan celana kaus ketat loreng-loreng. Di bawah syal biru yang dikenakannya, ada sebuah kalung manik biru yang memiliki liontin kupu-kupu. Jelas terlihat Kiana membeli aksesoris satu set. "Di hari libur lagi? Bayaran lima kali lipat?" Sambung gadis itu.

"Tidak, bahkan aku tidak menerima uangnya terakhir kali. Aku tidak berhasil menangani pasien." Jawab Cal. "Dan Kiana, seharusnya kau memilih dua di antara aksesoris itu. cincin dengan kalung, gelang dengan anting. Tidak benar jika memakainya secara bersamaan. Kau kelihatan norak." Kiana memandang cincin bertahta kupu-kupu biru di jari manisnya, lalu menyentuh anting kelopak bunga biru.

Gadis itu tersenyum konyol, "Aku terlalu bersemangat." Ungkapnya. "Menurutmu kak, apa yang lebih cocok?"

"Karena kau memakai syal, lebih baik eliminasikan kalung itu. pakai gelang dan antingnya saja." Jawab Cal.

Tangan kiana bergerak untuk melepaskan kalung, lalu cincin. Dia genggamnya kedua benda itu, "Baiklah, terima kasih. Seperti biasa, kritikan kakak selalu benar." Ujar Kiana girang. "Aku berangkat, ya"

"Sudah menelfon taksi?"

"Aku akan menghubungi sekarang."

"Sepertinya aku bisa mengantarmu," ujar Cal, "Aku harus ke suatu tempat. Mungkin aku juga bisa menjemputmu nanti." Cal meraih sweeter peach dan sebuah tas mungil. Lalu beranjak ke luar dari kamar.

Kiana membuntutinya sambil mengucir rambut. Tanpa cermin dan sisir, ikatannya terlihat kurang rapi. Beberapa juntai rambut nakal masih terurai.

"Bukankah rumah Mr. Nath searah dengan sekolahku?" Mereka sampai di garasi. "Tempat pelatihan berbalik arah. Seharusnya aku naik taksi saja." Kiana bertengger di depan pintu mobil, ragu untuk masuk.

Cal memasang sabuk pengaman, "Aku tidak pergi kerumah Mr. Nath." Jawab Cal. Tiba-tiba ponselnya berdering. Sebelum menjawab, Cal mengisyaratkan Kiana agar segera masuk.

"Ya, saya Calandra." Cal memulai percakapan. "Baik, sekitar berapa meter? Ya, saya akan tiba dalam satu jam. Apa ada orang lain dirumah? Ooh, tak apa, baiklah." Lalu Cal menutup telfon.

"Siapa?" Tanya Kiana penasaran. Dia melepaskan tas mungil dari bahunya lalu diletakkan di dashboard.

"Manager-nya pasienku. Dia memberitahukan alamat." Jawab Cal. "Sedikit lebih jauh, tapi tidak perlu berputar balik dari gedung pelatihan."

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro