Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6: Fake Sherine?

Jangan menyesal hanya gara-gara aku tak ada di sekitar kalian lagi, karena suatu saat, satu per satu akan menghilang dari dunia ini. Namun, tetaplah bina rasa toleransi di antara kita.
-Sherine-

***

"Teman, bagaimana soal Sherine? Apakah dia baik-baik saja?" tanya Chi kepada Melly yang sedari tadi fokus menunggu Sherine sadar. Ceritanya, kedua gadis itu, baik gadis Katolik maupun yang beragama Hindu masih menantikan kabar baik tentang Sherine, tanpa mengetahui apakah korban tersebut Sherine yang asli atau bukan.

Ya, mereka hanya menunggu saja, tanpa mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Mungkin saja, itu bukan Sherine, tetapi kembarannya. Namun, keduanya tak peduli, melainkan hanya menantikan hasil pemeriksaan dokter dan suster yang sedari tadi ingin memeriksa Sherine--atau mungkin saja bukan.

Sementara Koko dan Gusti menunggu kabar baik tentang Sherine, paling tidak dari kedua teman gadis mereka. Sebenarnya, keduanya belum ada niat sama sekali untuk menelepon balik. Bahkan sedikitpun tak ada. Maka, Gusti pun bertanya kepada Koko, "Ko, kau mau hubungi Chi atau pun Melly, tidak? Sepertinya, pulsaku lagi habis nih, jadi tak bisa menelepon keduanya."

Bukan bertanya sih, melainkan meminta atau paling tidak, dengan cara memaksa.

Sedangkan Koko pun hanya menjawab, "Sama, Gus. Aku juga lagi bokek akan pulsa." Maka, suasana pun seketika menjadi hening, karena sudah tak memesan apa pun, keduanya malah sama-sama tak memiliki pulsa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.

"By the way, apa kabar Sherine, ya? Jangan-jangan dia belum pulang ke rumah lagi," ucap Koko, dengan nada bicara yang menunjukkan kekhawatirannya. Ya, bagaimana mungkin seorang lelaki menyembunyikan rasa khawatir ketika dirinya sudah menemukan gadis pujaan hatinya seperti Sherine?

Namun, Koko tepis segala rasa yang mulai bermunculan, sekaligus tak dapat ditoleransi. Pasalnya, seorang Muslim dilarang berpacaran, apalagi dengan seorang gadis non Muslim seperti Sherine. Haram hukumnya. Sedangkan Sherine pun sepertinya punya prinsip, mungkin saja sama seperti yang Islam tetapkan, dia tak ingin berhubungan lebih intim dengan seorang pun lelaki di hidupnya, sampai dihalalkan nanti.

"Ko, kau baik-baik saja?" tanya Gusti ketika mendapati bahwa Koko tengah melamun, memikirkan Sherine, gadis yang dimarahinya tadi pagi. Sontak, lelaki yang ditanya itupun langsung membuyarkan lamunannya, dan menggeleng, pertanda tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Syukurlah kalau begitu."

"Memangnya ada apa, Gus? Kok kamu terlihat begitu khawatir padaku?" tanya Koko kemudian, yang hanya dibalas dengan gelengan kepala oleh Gusti. Alhasil, suasana menjadi semakin hening.

Namun, setelah beberapa saat kemudian, Gusti pun kembali menanyakan sesuatu kepada Koko, karena dirinya juga baru teringat akan pertanyaan tersebut. "Kau kenapa, Ko? Terliat olehku bahwa kau saat ini sangat gelisah. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu." Lagi-lagi Gusti kepo pada Koko, berharap temanya itu menjawab pertanyaannya, namun sayangnya, yang ditanya takkan pernah menjawab pertanyaan sejenis itu.

"Terus, bagaimana dengan Chi dan Melly?" Gusti merasa sedih karena masih tak ditemukan solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Untung saja, Koko memiliki ide yang cukup cemerlang untuk menyelesaikan masalah tersebut. "Bagaimana kalau kita menelepon pakai telepon umum di kafe? Siapa tahu mereka membolehkan kita, meski sebentar dan menguras biaya, sih," usul Koko yang kemudian mendapat sambutan baik oleh Gusti.

Lantas, Gusti mengajak Koko untuk menghampiri meja kasir dan ingin meminjam telepon umum yang melekat di pinggir mejanya. "Ehm ... permisi, Bu. Saya--eh maksudku kami, mau berencana untuk meminjam telepon umum di sini. Bolehkah kami meminjamnya?" tanya Koko dengan ekspresi malu-malu yang ditunjukkannya.

Beruntung, para pelayan di kafe itu sangat baik. Mereka dengan sukarela meminjamkan telepon yang sedari tadi bertengger di pinggir meja. Apakah sifat baik yang dimiliki para pelayan tersebut hanya karena sekarang ini bulan Ramadhan, atau memang sifat asli mereka? Entahlah, Koko dan Gusti saja tak bisa menjawabnya, apalagi seluruh pengunjung kafe yang sama.

Akhirnya, setelah mengucapkan "terima kasih" kepada salah seorang pelayan kafe, Koko segera menelepon Melly memakai nomor yang sudah sejak lama tertera di dalam ponsel pintarnya. Setelah tersambung, akhirnya terdengar suara dari gadis di seberang sana. "Halo? Dengan siapa ya?"

Koko pun terkejut karena Melly tak cepat peka ketika menebak siapa yang meneleponnya. Namun, Koko berusaha untuk sabar, karena sekarang ini belum waktunya untuk meluapkan amarah. Alhasil, lelaki Muslim itu menjawab, "Aku Koko. Kenapa?"

"Oh, Koko. Kau tuh yang kenapa? Mengapa kau meneleponku di saat genting seperti ini? Bukankah aku sudah mengirim pesan kepada salah seorang dari kalian?"

"Aku tak pernah percaya akan pesan yang dikirim oleh kalian ke ponselku. Lebih baik jelaskan sejujur-jujurnya. Siapa tahu kau berbohong padaku," ujar Koko dengan dinginnya, seenaknya menuduh Melly berbohong kepada temannya sendiri.

Terdengar helaan napas berat dari Melly, tak percaya jika Koko tidak begitu mudah memercayai apa yang ditulis oleh gadis tersebut. Akhirnya, mau tak mau, gadis Katolik itu harus menceritakan semuanya dari awal kepada Koko. Oh ya, satu lagi. Koko sengaja meletakkan gagang telepon cukup jauh dari telinga kanannya, namun diarahkan di antara dirinya dan juga Gusti, sehingga keduanya sama-sama bisa mendengarkan penjelasan Melly dengan saksama.

After ready, the story is begin. Cerita dimulai.

"Jadi begini, Ko. Tadi, aku dan Chi sedang menyusuri jalan untuk mencari Sherine. Terus, ada suatu kejadian yang buruk. Kami kira itu adalah kecelakaan, sehingga mau tak mau kami harus melihat kejadian tersebut dengan saksama. Ternyata, si korban itu mirip sekali dengan Sherine."

"Apa?! Sherine? Yang benar saja, Mel. Jangan berbohong padaku," ucap Koko tak percaya dengan apa yang dikatakan barusan. Namun, Melly berusaha untuk meyakinkan Koko bahwa apa yang dikatakan sebelumnya adalah yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Sehingga, baik Koko maupun Gusti, keduanya terkejut bukan main.

Namun, mereka masih berada di sekitar kafe sehingga mereka harus menjaga sikap dan ucapan. Koko dan Gusti harus berusaha untuk tetap tenang, seraya satu di antara mereka bertanya kembali kepada Melly, "Sekarang Sherine di mana? Kami akan ikut dengan kalian."

"Di rumah sakit yang akan aku kirim lokasinya. Oke?"

"Baiklah. Kirim via WhatsApp. Aku tunggu," ucap Koko pada akhirnya, yang membuat lelaki itu memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

***

Setelah menerima lokasi yang telah dikirim oleh Melly via WhatsApp, Koko dan Gusti segera berangkat menuju rumah sakit untuk menjenguk Sherine yang mereka sendiri tak mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Setelah keduanya sampai di rumah sakit, Koko dan Gusti langsung berlari ke meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan Sherine ada di ruangan berapa.

Setelah sampai di ruangan yang dimaksud, Koko dan Gusti menemukan Chi dan Melly yang masih berpelukan satu sama lain, menumpahkan kesedihan dan perasaan lainnya. Melihat kedua gadis yang seperti itu, kedua lelaki tersebut merasa iba karenanya.

Koko dan Gusti langsung berlari menghampiri Chi dan Melly, kemudian ikut larut dalam pelukan tersebut, tak peduli akan resiko yang didapat. Dalam pelukan tersebut, Koko berkata, "Sudahlah Chi, Mel, jangan bersedih seperti itu. Allah tak akan membebani seseorang dengan ujian di luar kesanggupannya. Jangan sekali-kali mencoba keluar dari zona nyaman. Tetaplah bersabar dan berdoa yang terbaik. Niscaya Allah akan mengerti kita dan memberikan solusi buat masalah-masalah yang kita hadapi."

"Tumben kau bijak begitu, Ko?" Gusti masih saja bisa bercanda dalam suasana yang seperti itu. Sedangkan teman-temannya siap untuk menabuk Gusti sekarang juga, dikarenakan dirinya bercanda di waktu yang tak tepat.

Tetapi, untung saja Chi, Melly, dan Koko masih sayang kepada Gusti, sehingga mereka bertiga tak melakukan tindakan yang seperti itu. Chi dan Melly merasa baik-baik saja, setelah Koko bertanya tentang kondisi mereka saat ini. Sedangkan lelaki Muslim itu masih tak percaya akan apa yang dikatakan oleh kedua gadis tersebut.

Gusti hanya bisa terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dirinya hanya bisa mendoakan kebaikan untuk Sherine. Saking sedihnya, lelaki Budha itu pergi sejenak meninggalkan Koko dan dua gadis yang ada di hadapan lelaki Muslim. Tujuannya yaitu untuk menenangkan dirinya sendiri.

***

"Seandainya aku bisa mengubah takdir, pasti hidup Sherine dan semuanya tak akan menjadi seperti ini. Semuanya drama. Drama yang menyedihkan, yang tak tahu akan berakhir bahagia atau tidak. Tuhan bisa membolak-balikkan takdir, 'kan? Koko ... Chi ... Melly ... dan aku ingin berharap, semoga sesuatu terjadi padanya. Namun, jika kenyataannya Sherine yang ada bukanlah yang asli, kuharap semoga dirinya yang asli dapat segera ditemukan.

"Kami merindukan Sherine. Kami juga mengkhawatirkannya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Huhuhu ...."

Gusti menangis sendirian di pojokan rumah sakit, yang tentu saja jarang dilalui oleh para pengunjung rumahnya para pasien itu. Lelaki tersebut tak ingin menunjukkan kesedihannya kepada teman-temannya. Biar saja dirinya dan Tuhan yang tahu akan perasaan Gusti.

Hingga pada beberapa saat kemudian, seorang gadis muncul di hadapannya. "Hai, Gusti. Kau merindukanku? Kau mengkhawatirkanku?" tanya gadis itu. Lantas, Gusti langsung mendongakkan kepalanya ke arah sumber suara. Masih tak percaya akan apa yang dilihatnya, lelaki Budha tersebut bertanya, "Kaukah itu ... Sherine?"

Sherine menganggukkan kepalanya, seolah-olah berkata bahwa dia adalah dirinya yang asli. Lantas, Gusti langsung berniat ingin memeluk gadis yang ada di hadapannya, saking senangnya. Namun, kebahagiaan yang ada sirna seketika. Sherine tak bisa dipeluk.

Apakah Sherine sudah tiada, dan tinggallah bayang-bayang yang masih muncul? Itulah pertanyaan yang muncul di benak Gusti. "Sher, kau tak bisa dipeluk?"

"Aku tak bisa dipeluk? Itu tandanya, nanti kita tak bakal bisa bertemu kembali. Sepertinya ... aku sudah dapat memprediksi apa yang akan terjadi pada hubungan pertemanan kita, yang dilandasi oleh keberadaan lima agama di kelas."

"Tak bisa bertemu kembali? Kau benar-benar gila, Sher! Aku baru saja bisa bertemu denganmu di tempat ini. Huh?"

Sherine hanya menggelengkan kepala ketika mendengar perkataan dari Gusti barusan. "Sampaikan salamku kepada Koko, Chi, dan Melly ya. Mohon maaf karena aku belum bisa melakukan yang terbaik. I'm still loving you guys. Jangan menyesal hanya gara-gara aku tak ada di sekitar kalian lagi, karena suatu saat, satu per satu akan menghilang dari dunia ini. Namun, tetaplah bina rasa toleransi di antara kita. Oke?"

Gusti merasa terenyuh ketika mendengar sedikit pesan dari gadis Kristiani itu. Baru saja dirinya melangkahkan kaki di kota ini, Sherine harus mengalami nasib tragis di hidupnya. Maka, lelaki Budha tersebut merasa iba dan berpikir bahwa dirinyalah yang harusnya pergi, bukan Sherine.

"Sher ... aku minta ma--"

"Jangan minta maaf, Gus. Jangan pernah bersedih karenaku, karena semua yang pergi takkan kembali lagi. Selamat tinggal." Sherine melambaikan tangannya, dan pergi begitu saja dari hadapan Gusti. Seketika itulah, lelaki yang kini sendirian itu berteriak histeris, "TIDAK SHERINE! JANGAN TINGGALKAN AKU!"

Lalu, langsung saja air mata mengucur deras dari kelopaknya. Gusti baru saja menangisi kepergian Sherine, tanpa mengetahui kenyataan yang sebenarnya, bahwa Koko menemukan keberadaan dirinya. "Gus, kau kenapa?"

Lantas, Gusti langsung menoleh ke arah sumber suara dan memang benar bahwa kini, Koko ada di belakangnya. "Gus, kau baru saja menangisi kepergian Sherine? Padahal yang kita tahu, Sherine yang sebenarnya masih dirawat di ruang--"

"Kau gila, Ko? Dia ada bilang kalau dia akan pergi meninggalkan dunia! Semua itu gara-gara kau, Ko!" seru Gusti dengan nada bicara yang semakin meninggi, saking histerisnya.

"Gus, sadarlah. Yang kau temui itu tak asli. Aku masih yakin Sherine pasti bisa melewati semua ini!"

"Kau bodoh, gila, tak waras, dan sebagainya! Kau tak punya sedikitpun rasa empati pada Sherine, sang murid pindahan dari luar pulau. Kau tak mau tahu tentang kebahagiaan orang lain itu letaknya di mana. Kehadiran Sherine dapat diartikan sebagai lengkapnya keberagaman di kelas kita! Kau tak tahu itu, 'kan? Ya, karena kau warga Muslim abal-abal." Baru kali ini Gusti meremehkan Koko dengan embel-embel "Muslim"-nya.

"Kau bicara apa tadi, Gus? Dasar teman tak tahu berterima kasih!" Koko langsung mendorong Gusti ke dinding dan mencengkram kerah leher bajunya, hingga menyadari bahwa dua orang gadis datang ke arah mereka dan memerintahkan untuk berhenti.

"Berhenti!"

***

To be Continued.

Mind to Vote and Comment?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro