Bab 3: Konflik Kosher
Andai aku bisa mengubah segalanya, toleransi masih akan berjalan sebagaimana mestinya.
-Sherine-
*
***
“Koko, bagi jawaban dong!” Seruan Sherine itu membuyarkan lamunan Koko, teman sebangkunya. Sedari tadi, Koko memikirkan nasib gadis pindahan dari Jawa yang ada di kelasnya saat ini, sehingga lelaki tersebut benar-benar sedang dilanda kegalauan.
“Ehm, apa, Sher? Jawaban? Jawaban apa?” tanya Koko, masih terbata-bata, saking kagetnya karena dikejutkan oleh Sherine.
Sherine menggelengkan kepalanya, tak lagi mengerti akan sikap Koko yang mulai lemot. Ya, karena sikap “melamun” yang harusnya dihindari, itulah yang membuat lelaki itu harus mengingat-ingat apa yang terjadi. “Jawaban Matematika, Ko. Kau sudah menjawabnya ‘kan?” tanya Sherine itu lagi. Paling tidak, Koko-lah yang pertama kali diharapkan oleh gadis pindahan tersebut.
Untuk apa? Untuk memberikannya suatu jawaban atas permasalahan yang tak dapat dipecahkan. Seperti halnya masalah tak ada toleransi, solusinya harus dicari agar masalah-masalah perbedaan itu tak lagi dijadikan senjata untuk perpecahan bangsa.
Tetapi sayangnya, Koko malah berkata, “Duh, Sherine. Maaf ya. Aku tak menjawab semua soalnya, karena aku juga tak tahu banyak. Lagipula, diriku tak suka Matematika. Coba kau tanyakan pada Chi atau Gusti. Mereka biasanya lebih pintar Matematika, lho.” Sherine yang mendengarnya hanya menghembuskan napas berat, lalu beranjak dari tempat duduknya untuk pergi meninggalkn teman sebangkunya.
Mengikuti saran dari Koko, Sherine lantas menghampiri Chi yang kini tengah asik membaca Wattpad di bangkunya. “Chi, oh Chi!” seru Sherine, mencoba untuk mengusili Chi yang asik dengan ponsel pintarnya. Lantas, gadis yang dipanggil tadi langsung menutup jendela Wattpad dan beralih menghadap Sherine.
“Ada apa, Sher? Kayaknya kau benar-benar butuh bantuanku, deh,” ujar Chi seraya menerka-nerka apa yang akan Sherine lakukan, dan memang benar, Sherine membutuhkan bantuan dari teman barunya. “Iya, Chi. Aku tak pandai Matematika nih. Kalau kau bersedia mengajariku, or something like that ... ya ...,” pinta Sherine seraya mengucapkannya dengan penuh terbata-bata.
“Oh ... Matematika. Tidak apa-apa, Sher. Duduklah di sebelahku. Aku akan mengajarimu cara menyelesaikan soal-soalnya.” Chi mempersilakan Sherine untuk duduk di sebelahnya, karena dia benar-benar akan membantu teman barunya itu. Dengan ini, hubungan mereka menjadi semakin erat. Sherine tak hanya berteman atau sekedar sharing dengan Koko, melainkan juga Chi.
***
Sherine kembali ke tempat duduknya. Didapatinya bahwa Koko tengah asik bermain Mobile Legend, tanpa menghiraukan suara di sekitarnya, yaitu suara bangku Sherine yang dimundurkan ke belakang. Gadis itu menghela napas, duduk di samping seorang teman yang sibuk sendiri. Merasa bosan, Sherine memutuskan untuk tidur sejenak, dengan muka dibenamkan ke meja.
Hingga pada saat bel berbunyi, Sherine masih dalam posisi semula, tak pernah mendongakkan mukanya ke atas. Lantas, Koko yang tiba-tiba berhenti bermain game favoritnya karena guru sudah datang itupun langsung membangunkan gadis di sebelahnya. “Sher, oh Sher. Bangun dong! Guru sudah datang nih,” ucap Koko sambil menggoyang-goyangkan tubuh Sherine.
“Ih ... apa sih, Ko?” tanya Sherine dengan suara paraunya, masih dalam posisi yang sama.
“Bangun, Sherine! Ada guru lho!” seru Koko dengan nada bicara yang sedikit dinaikkan. Lantas, mendengar suara teman di sebelahnya, Sherine langsung terbangun begitu saja. Mukanya menjadi terlihat lebih kusam dari sebelumnya, saking bosannya. “Guru datang, Ko?”
Koko langsung menolehkan wajah Sherine ke arah guru yang datang. Seorang pria berusia sekitaran 40-an tahun, berkumis, berkacamata, dan juga botak. Tak lupa juga, beliau membawa sebuah penggaris kayu andalannya. Bisa dibilang bahwa beliau adalah satu di antara guru-guru killer yang ada di sekolah mereka.
“Itu siapa, Ko? Aku tak mengenali guru tersebut,” ujar Sherine lirih.
Dengan sabar, Koko pun menjawab, “Ya, karena beliau baru masuk kelas ini, sejak kau ada di kelasku. Beliau guru Sejarah, dikenal dengan banyak sekali tugas yang diberikannya. Sehingga ya ....”
“Apa?! Tugas?!” Sherine berteriak saking terkejutnya karena mendengar informasi yang baru saja disampaikan oleh Koko. Teriakan itu mengundang semua warga kelas untuk menoleh ke arah Sherine dan juga teman di sebelahnya.
“Hei, yang di belakang sana!” seru seorang pria sambil memukulkan salah satu sisi penggaris kayu ke meja. Tak lupa, tangan kiri pria itu menujuk ke arah Sherine dan Koko di belakang barisan. “Apa yang kalian bicarakan?!” Pertanyaan barusan ini membuat sepasang teman semeja diam tak berkutik, sedangkan yang lainnya masih memelototi Sherine dan Koko.
Melihat respon diam yang ditunjukkan oleh keduanya, pria itu berteriak dengan suara yang lebih lantang, “Jawab pertanyaan saya!”
“Ehm ... kami ... mengobrolkan Bapak.” Dengan polosnya, Koko berusaha menjawab secara jujur, tentang apa yang dibicarakannya dengan Sherine, seraya menyuruh gadis pindahan itu untuk diam sejenak. Sontak, jawaban tersebut mengundang gelak tawa dari seluruh warga kelas tersebut.
“Diam semua! Kamu dan kamu, maaf, Bapak tak tahu namamu, silakan keluar dari kelas saya! Jangan masuk kelas saya sampai bel pelajaran usai!” seru guru killer itu lagi. Lantas, Sherine dan Koko tak terima atas apa yang guru itu putuskan. “Tapi ... eh tapi, Pak ....”
“Kalau saya bilang keluar ya keluar! Jangan membantah omongan saya! Siapa suruh mengobrol pas pelajaran saya, huh?!” seru Pak Guru itu lagi sambil memukulkan penggaris kayu ke meja untuk kedua kalinya.
Awalnya, Sherine dan Koko tak menerima keputusan tersebut, namun pada akhirnya, keduanya memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan kelas sendiri. Mereka resmi dihukum oleh seorang guru Sejarah dengan menunggu bel usai. Itulah yang terjadi diakibatkan oleh Sherine.
***
"Lihatlah gara-gara kau, semuanya menjadi kacau!"
Bisa dibayangkan suasana ketika Koko benar-benar marah karena dikeluarkan dari kelas, dan semuanya berawal dari Sherine. Teriakan gadis itu mengundang warga kelas lainnya menoleh ke arah mereka, termasuk pula si guru killer yang terknal seantero sekolah.
Sebenarnya gadis tersebut ingin meminta maaf kepada Koko, namun sayang, mulutnya benar-benar terkunci, sehingga dia tak bisa melakukannya. Sedangkan Koko benar-benar frustrasi tak bisa ikut pelajaran Sejarah di dalam kelas, padahal dia tak menginginkan ini terjadi sama sekali.
Namun beberapa saat kemudian, Sherine pun berkata kepada Koko, "Maafkan aku ya, Ko. Aku tahu kamu pasti tak ingin menerima keputusan dari guru Sejarah--"
"Asal kau tau, aku sangat suka pelajaran Sejarah, sampai-sampai tak ingin melewatkannya. Kucoba untuk mencintai pelajaran Sejarah, meski gurunya benar-benar menyebalkan. Sumpah, Sher ...," ucap Koko lirih.
"Iya maaf, Koko. Harusnya aku tak berteriak merespon apa yang kau katakan tadi ...."
Setelah itu, tak ada lagi obrolan di antara seorang lelaki Muslim dengan gadis Kristiani. Yang ada, Koko malah meninggalkan Sherine sendirian. Mungkinkah dia sudah bosan menanggapi Sherine untuk sementara saja atau bahkan selamanya? Entahlah.
"Andai aku bisa mengubah segalanya, toleransi masih akan berjalan sebagaimana mestinya," ucap Sherine pada dirinya sendiri. Maka, gadis itu memutuskan untuk tak mengikuti jejak Koko, melainkan berbalik arah ke tempat yang berbeda.
***
"Sherine dan Koko ke mana?" tanya Chi begitu menghampiri Melly yang sedang asik membaca novel di bangkunya.
Tanpa mengalihkan pandangan sejenak dari sebuah novel yang dibaca, Melly malah menjawab, "Mana aku tahu. Mungkin di depan kelas kali?"
"Tapi aku sudah mengecek ke luar. Gak ada tanda-tanda mereka di situ, Mel ... serius aku tuh!" seru Chi dengan nada bicara yang semakin meninggi. Lantas, perkataan barusan membuat Melly sejenak menolehkan pandangan ke arah temannya itu.
"Sungguh? Apa kau mengatakan bahwa mereka tak ada di kelas?" tanya Melly, saking tak percaya terhadap apa yang dikatakan Chi barusan.
"Lebih tepatnya, di tempat yang seharusnya mereka tempati di saat pak Kenko menghukum keduanya," ucap Chi, membenarkan apa yang dikatakan Chi tadi. Lantas, temannya itu langsung menyimpan novel di dalam tas, lalu menarik tangan Chi untuk mencari keberadaan Sherine dan Koko.
***
"Sherine! Koko! Di mana kalian?!" teriak Chi dan Melly ketika berusaha menemukan keberadaan teman-teman yang dicari saat ini. Lantas, teriakan itu mengundang Gusti untuk menghampiri kedua gadis beragama Katolik dan juga Hindu.
"Apa yang terjadi, teman-teman?" tanya Gusti begitu ada di samping Chi.
Langsung saja Chi menjawab, "Asal kau tahu, kita kehilangan Sherine dan Koko, dua orang yang biasanya mengisi barisan paling belakang."
"Sherine dan Koko? Bagaimana bisa?"
"Sherine! Koko!" seru ketiga orang yang tersisa dalam sebuah grup yang baru saja dibuat sehari yang lalu.
"Kok kalian susah ditemui sih? Ke mana kalian, astaga ...," ucap Gusti itu kemudian. Mereka berusaha untuk mencari dua orang tersebut meski nantinya bel masuk menghalangi usaha mereka.
Hingga pada beberapa saat kemudian, Koko ada di depan mereka. "Koko!" teriak Chi, Melly, dan Gusti bersamaan, sehabis itu Gusti berlari memeluk Koko dengan eratnya. "Kamu ke mana saja, Ko? Aku kangen tahu!" seru lelaki Budha tersebut.
"Baguslah kalau kamu kangen sama aku," ucap Koko secara spontan sampai-sampai Gusti melepaskan pelukannya secara paksa. "Ih amit-amit, Ko! Kok kamu jadi kepedean gitu sih?!"
Lantas, ucapan barusan mengundang gelak tawa dari Chi maupun Melly. Setelah tertawa sesaat, kedua gadis itu berkata secara bersamaan, "Tinggal mencari Sherine lagi. Ayo kita cari dia!"
Seketika itulah, Koko langsung bertanya, "Memangnya kalian tak berjumpa dengan Sherine?" Mendengar pertanyaan tersebut, kedua gadis yang ada di tempat tersebut langsung menggelengkan kepala masing-masing. Chi pun berujar, "Belum, Ko. Dia tak ada di depan kelas, sama sepertimu."
"Oh kirain dia tetap tinggal di situ."
"Kau khawatir padanya, Ko? Ayo ikutan cari dia!" sahut Melly kemudian.
Lantas, ucapan Melly barusan membuat Koko memicingkan mata ke arah gadis Kristiani tersebut.
Apa yang terjadi sebenarnya pada Sherine dan Koko?
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro