Bab 1: Siswi Baru
Lebih baik aku membuat seorang pendatang merasa betah di lingkungannya sendiri, dibanding mengusirnya dengan cuekan.
-Koko-
Koko tak menyangka jika hidupnya berubah. Pasalnya, di kelasnya sudah kedatangan seorang gadis beragama Kristen, yang merupakan anak pindahan dari luar kota. Yang lebih mengejutkan lagi, gadis itu duduk di samping Koko, sehingga lelaki tersebut langsung mengajak si anak baru untuk saling mengobrol satu sama lain.
Sejak dulu Koko tak heran ketika kedatangan seorang murid baru, terlebih jika agamanya berbeda dari dirinya. Hal itu dikarenakan kondisi warga kelasnya yang memang terdiri dari banyak agama. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha tercampur menjadi satu. Itulah yang terjadi, spesial untuk satu kelas saja.
“Anak-anak, kita kedatangan seorang murid baru. Silakan perkenalkan dirimu, Nak.” Pernyataan guru barusan membuat seluruh murid mengunci mulut masing-masing, terlebih lagi Koko. Ya, lelaki itulah yang selama ini menantikan kehadiran teman sebangku yang bisa diajak sharing bersama. Dia tak percaya ketika seorang gadis baru masuk ke lingkungan kelas yang spesial karena multi-agama.
Gadis itupun akhirnya memperkenalkan diri, setelah dipersilakan oleh guru yang mengajar saat ini. “Ehm, selamat pagi, semua.” Sapaan itu langsung dibalas dengan penuh kehangatan oleh semua murid yang melihatnya. “Perkenalkan, namaku Sherine, saya pindahan dari sekolah swasta Taruna Remaja di Pulau Jawa. Salam kenal ya, semua,” ucap Sherine dengan nada ramahnya.
“Hai, Sherine, salam kenal!” seru semua murid yang duduk manis di tempat masing-masing.
Setelah selesai memperkenalkan dirinya, guru itupun mempersilakan Sherine untuk duduk di tempat yang kosong, dan kebetulan bangku yang tersisa itu hanya ada di sebelah Koko, jadi mau tak mau gadis itu duduk di sebelah lelaki muslim tersebut.
Sherine pun lalu duduk di tempatnya. Dia langsung saja disambut oleh Koko yang sedari tadi mengamati seorang gadis pindahan dari luar pulau. “Hai, boleh kenalan, tidak?” pinta Koko pada Sherine, yang langsung saja dibalas oleh Sherine dengan ucapan berikut, “Boleh kok. Namaku Sherine, pindahan dari Taruna Remaja, kalau kamu?”
“Koko.” Seketika itulah, Sherine dan Koko saling berjabat tangan satu sama lain. Mereka berdua juga saling melempar senyum. Mungkin inilah indahnya pertemanan beda agama, tanpa memikirkan apa yang terjadi selanjutnya, entahlah itu perasaan atau pun yang lainnya.
“Baiklah, Koko. Hari ini kita belajar apa?” tanya Sherine dengan tampang kebingungan yang ia pasang. Maklum saja, dia baru saja memasuki lingkungan sekolah, jadi gadis itu tak tahu apa-apa mengenai jadwal pelajaran kelas barunya. Namun, Koko tetap sabar dalam menghadapi gadis itu. Menurutnya dalam hati, “Lebih baik aku membuat seorang pendatang merasa betah di lingkungannya sendiri, dibanding mengusirnya dengan cuekan.”
Itulah prinsip toleransi, menurut pandangan Koko.
“Hari ini kita belajar Sejarah dan Matematika selama empat jam ke depan, Sher,” ujar Koko kemudian, yang langsung dianggukkan oleh Sherine. Ya, dia benar-benar nyaman karena Koko melayaninya dengan ikhlas.
***
“Eh, Ko, Sher, kalian mau ke kantin, gak?”
Ceritanya, Gusti, seorang lelaki yang beragama Budha, mengajak Koko dan Sherine untuk ke kantin bersama.
“Iya, Gus. Aku ikut. Bagaimana denganmu, Sherine?” kata Koko sambil menoleh ke arah Sherine, meminta kepastian akan keikutsertaannya ke kantin bersama dua orang lelaki barunya. Catat, teman bukan pacar atau semacamnya. Koko berharap agar Sherine ikut bersama mereka, namun kenyataan yang didapat justru sebaliknya.
Gadis itu hanya mengglengkan kepalanya seraya berkata, “Kayaknya enak nih ke kantin. Tapi sayang sekali, aku tuh lagi tak makan apa pun, jadi ....”
“Yah sayang sekali, Sher,” ujar Koko dan Gusti secara bersamaan. Raut muka mereka pun berubah karena penolakan Sherine atas ajakan mereka.
Namun, pada akhirnya, mereka pun menerima keputusan dari Sherine. “Kalau begitu, kami duluan ya. Nanti kami belikan kamu sesuatu. Anggap saja traktiran pertama semenjak kau melangkahkan kaki di sekolah ini,” ujar Koko dengan penuh perhatian pada teman barunya, lalu beranjak pergi bersama Gusti, meninggalkan gadis pindahan itu sendirian.
***
“Eh, Ko, aku mau tanya dong. Kau sudah mengenal betul siapa itu Sherine?” Pertanyaan Gusti barusan membuat Koko mengernyitkan dahinya sejenak. Dia tak tahu harus menjawab apa, karena baru kali ini Sherine dan Koko terlihat cukup dekat, padahal baru saja berkenalan.
Masih dalam perjalanan menuju kantin sekolah yang ada di ujung koridor dekat parkiran motor, Koko menjawab, “Iya ... sedikit. Aku baru saja mengenalnya.”
“Tapi kalian begitu dekat, lho. Aku heran padamu,” ucap Gusti secara spontan. Sebenarnya perkataan itu tak perlu diucapkan, tetapi apa daya, setiap orang bisa juga khilaf. Kembali lagi ke prinsip yang diutarakan oleh hati kecil Koko waktu itu, toleransi lebih utama, dengan membuat orang lain merasa nyaman di lingkungan barunya.
Setelah terdiam beberapa saat, Koko pun menjawab, “Gak dekat, kok. Aku hanya berusaha untuk membuatnya nyaman di kelas kita.” Tetapi perkataan itu tentu saja tak mudah dipercaya begitu saja oleh Gusti. Selalu saja ada dugaan bahwa seorang lelaki muslim melakukan pendekatan pada seorang gadis Kristiani.
“Oh begitukah? Ya sudahlah kalau gitu. Kita lanjutkan perjalanan ke kantin saja.” Gusti pun akhirnya menyelesaikan topik pembicaraan yang hanya berlangsung sesaat. Sedangkan Koko hanya tersenyum simpul ketika mendengar ucapan barusan.
Setelah beberapa saat, akhirnya Gusti dan Koko sampai di kantin. Seperti biasa, Koko menjaga tempat duduk mereka, sedangkan Gusti pergi membeli makanan yang dapat dimakan berdua. Alhasil, kedua lelaki itu harus patungan bersama-sama demi sesuatu yang dapat dibagi berdua.
Namun alangkah terkejutnya Koko ketika mendapati seorang gadis menghampirinya yang sedang menjaga tempat duduk Gusti. Untung saja mereka berdua sama-sama berada dalam kelas yang sama. “Hai, Ko. Kok sendirian saja?”
“Ah, ini, Chi. Aku tak sendirian kok sebenarnya. Lagi menjaga tempat duduknya Gusti. Biasa, kami mau makan berdua gitu,” ungkap Koko secara jujur, yang langsung saja direspon dengan anggukan dari Chi.
For your information, Chi adalah seorang gadis berketurunan Bali, yang beragama Hindu. Gadis itu sebenarnya pindahan dari Bali, provinsi yang kaya akan keturunan Hindu, namun sayangnya, Chi lebih dulu pindah daripada Sherine. Sehingga hubungan Chi dan Koko lumayan dekat.
Kembali ke kisah Chi dan Koko. Gadis itupun bertanya lagi kepada Koko, “Kamu tak apa-apa, Ko? Bagaimana rasanya ketika kamu punya teman sebangku?” Memang, semua orang dalam kelas itu tahu bahwa Koko tak memiliki teman sebangku, namun lelaki tersebut tetap disukai oleh mereka.
“Aku merasa bahagia saja, sih. Soalnya ada teman dekat yang bisa diajak sharing gitu, Chi.”
“Sekalipun dia itu gadis pindahan, kamu tetap mau berteman dengannya?” tanya Chi itu lagi.
“Yes, of course, Chi. Why not? She is a good girl. I like her behaviour very much,” balas Koko tak mau kalah. Dengan kemampuan Inggris yang dimiliki Koko, sebenarnya Chi dapat memahami maksud ucapan temannya, namun gadis itu tetap membalas dengan menggunakan bahasa Indonesia. “Hanya sikap yang kamu sukai dari dia?”
“Entahlah apa yang akan terjadi berikutnya,” ucap Koko secara spontan, langsung saja meluncur dari mulutnya. Chi yang mendengarnya hanya bisa diam dan mengalihkan pandangan ke arah lain, hingga datanglah suatu pesanan yang dibawakan oleh Gusti. “Pesanan datang!” seru teman Koko dan Chi tersebut.
Gusti meletakkan pesanan itu ke atas meja, ditambah dengan seporsi makanan khusus untuk Chi. Maklum, gadis itu tak menyukai makanan yang akan dimakan secara bersama-sama oleh kedua teman lelakinya. “Eh, kok kau tahu kalau Chi ada di sini?” tanya Koko heran.
“Duh, Koko. Kan tadi aku mau mengajak mereka, hanya saja Chi yang menyambutnya dengan kata ‘setuju’, tetapi dia agak telat ke sini, makanya—“
“Iya, aku setuju dengan perkataan Gusti barusan,” potong Chi seraya menyetujui penjelasan dari Gusti, si lelaki beragama Budha itu. Jujur, Koko merasa agak canggung, karena teman-temannya di sini rata-rata pada berkulit putih, lebih cerah daripada kulit dirinya. Ya, mungkin saja rata-rata keturunan Bali maupun Budha memiliki warna kulit yang cukup cerah.
Sedangkan Koko hanyalah seorang lelaki Muslim sederhana, yang memiliki warna kulit kuning langsat, sebuah warna kulit yang sering kali dimiliki orang Indonesia. Maka dari itu, lelaki tersebut sebenarnya tak mempermasalahkan itu, hanya saja dirinya sedikit canggung. Akhirnya, Koko terdiam begitu saja, tanpa berkata apa pun pada Chi maupun Gusti.
“Hei, Ko. Kok melamun?” Tepukan tangan yang mendarat di bahu kanan Koko itu sukses membuat lelaki Muslim tersebut tersadar dari lamunan yang tak berguna. Lantas, dia hanya menggelengkan kepalanya sejenak, tak ingin merespon apa pun lagi.
“Dia lagi fokus makan kali, Gus. Makanya tak ikutan nimbrung padahal lagi bersama kita,” ucap Chi iseng pada seorang lelaki Budha di hadapannya. Ya, gadis itu duduk sendirian, di hadapan kedua teman lelakinya.
Mendengar perkataan Chi, Koko dan Gusti langsung tertawa geli. Ketiganya terlarut dalam suasana yang cukup santai. Chi berhasil mencairkan suasana tegang yang dulunya meliputi ketiganya. Ya, gadis China itu yang melakukannya.
***
“Sher, kenalan yuk! Kukira keyakinan kita akan sama seutuhnya,” ucap seorang gadis yang kini duduk di sebelah Sherine. Gadis pindahan itu hanya bisa menganggukkan kepalanya, lalu berkata, “Ya, namaku Sherine, seorang gadis pindahan dari Taruna Remaja di Jawa. Kamu?”
“Oh begitu. Namaku Melly, aku beragama non Muslim kok di sini. Apa agamamu? Kali saja kita sama keyakinan, ‘kan?” balas seorang gadis yang ternyata memiliki nama Melly. Lantas, dengan kemurahan hati, Sherine menjawab, “Aku beragama Kristen. Kalau kamu apa?”
“Katolik. Wah, kita sama. Aku tak menyangka!” seru Melly senang, sedangkan Sherine hanya mengernyitkan dahinya, tak tahu harus menjawab apa selain perkataan berikut, “Bukankah Katolik dan Kristen itu berbeda?”
“Sejujurnya sih ya begitulah, Sher. Tapi keduanya memiliki tempat ibadah yang sama. Kita sama-sama beribadah di gereja, tahu! Jadi, kalau kamu sekiranya mau mencari gereja yang bagus, hubungi aku ya, Sher. Kita pergi bersama!” seru Melly itu lagi, dengan keikhlasan dan kemurahan hatinya. Ya, Melly siap pergi berama Sherine jika gadis pindahan itu membutuhkan bantuannya.
Sherine menjawab, “Oke, Mel. Terima kasih atas tawaranmu ya.” Setelah itu tak ada balasan apa pun lagi. Yang ada, Melly langsung bergegas meninggalkan Sherine karena dirinya juga ada urusan dengan pihak ekskul agama Katolik. “Sher, aku kan sekretaris organisasi Katolik. Jadi aku pergi dulu ya. Sampai nanti!”
Melly mengayunkan tangan kanannya, begitu pula Sherine. Setelah itu, tubuh teman barunya itu menghilang dari pandangan Sherine. Alhasil, gadis pindahan tersebut kini disibukkan dengan kegiatan mendengarkan lagu kesukaannya.
Namun, lagi-lagi aktivitas Sherine terganggu ketika mendapati ada seseorang yang seenaknya menggebrak meja gadis itu. Orang itu melakukannya sambil berseru, “Woi, anak baru!” Lantas, Sherine terkejut dan segera beranjak dari tempat duduknya. Tak terima dengan perlakuan barusan, Sherine menyipitkan kedua matanya, lalu dia berkata, “Apa masalahmu padaku?”
“Kenapa kamu ada di sini?”
***
To be Continued.
Mind to Vote and Comment?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro