Farewell wanderlust, you've been ever so kind
"Jo! Di sini ada makanan kaleng! Masih bagus!"
Suara seorang wanita menggelegar di dalam sebuah toserba terbengkalai. Merambati dinding remuk yang seminggu lalu masih punya nyawa. Sekarang, sepertinya hampir semua bangunan tinggal sisa-sisa.
Sementara, di balik rak berantakan, pria yang tadi dipanggil 'Jo' menoleh. Rambut gondrongnya berdebu. Tidak membantu penampilan yang sudah kucal bahkan sebelum semua nasib buruk menimpa dunia.
'Jo' itu panggilan. Nama aslinya Joko. Mahasiswa yang baru lulus. Baru sekali, malah. Ijazahnya benar-benar masih hangat. Siap dipakai untuk tambahan curriculum vitae untuk kerja nanti.
Akan tetapi, belum juga dapat kantor, kiamat datang duluan.
Sang laki-laki kini sibuk mengais yang dia bisa untuk bertahan hidup. Yah, mungkin ini dapat dibilang sama saja dengan kerja. Sama-sama menyambung nyawa. Walau jelas lebih brutal daripada nongkrong dalam bilik dan mengetik dokumen.
Untung dia tidak sendirian.
"Jo!"
Panggilan terdengar lagi. Kali ini diikuti kepala melongok dari balik rak. Asih—rekan yang sudah bersamanya sejak neraka ini dimulai—menaruh tangan di pinggang. Dia berdecak.
"Budheg apa gimana sih ini anak? Dari tadi dipanggil nggak nyaut."
"Sorry, sorry." Jo menggaruk kepala. "Aku… tadi sibuk."
"Sibuk apa? Ngelamun?"
"...Ndak."
[Duta Berambut Putih tertawa melihat Inkarnasinya tidak pandai berbohong.]
Joko merengut. Dia berterima kasih karena Konstelasi ini mau mensponsorinya. Namun, lama kelamaan Joko curiga bahwa dia hanya menjadi bahan hiburan untuk diolok-olok.
[Duta Berambut Putih memutar bola matanya.]
[Anda telah menerima sponsor 100 koin.]
"Hei, hei, aku ndak marah! Ndak perlu ngasih koin segala woi!" Joko tertawa. Lalu, ia menggaruk kepala dengan malu. "Tapi makasih, hehehe."
[Duta Berambut Putih tersenyum puas.]
Selagi interaksi itu terjadi, Asih hanya menggelengkan kepala.
"Akrab bener kalian." Sang wanita berdecak lagi. "Perasaan cuma kamu, loh, Inkarnasi yang ngobrol bebas sama sponsornya kayak gitu."
Joko berdecih. Tidak mau susah-susah menunjuk balik temannya yang hipokrit itu. Tombak mengkilap yang Asih pegang sudah cukup menjadi bukti bahwa gadis tersebut juga akrab dengan Konstelasi yang memberinya sponsor.
"Udah belum? Masih ada lagi yang bisa dibawa?" tanya Asih. Dengan santai bersandar pada tombaknya seakan itu sekedar tongkat berjalan. "Kalau udah ayo pergi."
"Iya, iya…"
Joko bangkit. Memeluk jarahan yang dia bawa. Beberapa bungkus jajanan kering dan makanan kaleng. Tidak buruk.
Mereka berdua keluar dari toserba. Kembali menapaki aspal yang penuh retak. Sesekali mengintip mobil-mobil rongsok yang ditelantarkan. Jika beruntung, ada satu dua barang berguna. Seperti senter dan botol minum.
Entah kemana pemilik mereka kabur. Mungkin berakhir layaknya Joko dan Asih. Mengembara di dunia baru yang penuh marabahaya. Jika tidak—yah.
Beberapa orang mungkin lebih memilih mati daripada hidup dalam kekacauan macam ini.
Yah, lain dengan dua orang ini. Asih dan Joko masih mau hidup. Walau harus menggenggam benang kehidupan yang sangat tipis itu sampai tangan mereka berdarah.
***
"...Maka, sang pangeran menyuruh sang gadis untuk tidak pernah menenun lagi. Dan mereka hidup bahagia selamanya! Tamat!"
"Uwoh! Happy end!"
Sorak dan tepuk tangan Asih mengakhiri kisah yang dilantunkan Joko. Sebuah senyum tipis terpatri pada wajah sang pria. Reaksi temannya itu mengingatkan pada malam mendung saat dia masih kecil. Saat suara sang Ibu membawakan cerita yang mengantarnya ke dalam alam mimpi.
"Kamu jago banget ndongeng. Kalau kamu nggak milih masuk akuntansi, pantes sih jadi guru TK."
"Heh? Guru TK biasanya cewek loh."
"Ih! Stereotip!"
"Lah! Emang bener kok!"
"Kamu itu, dipuji kok malah mbantah. Guru TK itu pekerjaan mulia, Jo!"
"Aku ndak merasa dipuji!"
Asih tertawa lantang. Bahkan sampai pura-pura mengusap air imajiner di sudut matanya. Jika ini dunia yang dulu, dia pasti akan menjaga volume suara. Namun, jalan yang mereka lewati kini renggang. Tidak ada siapapun yang menghakimi.
"Tapi serius. Kamu belajar ndongeng kayak gitu dari mana?"
"Ibuk," jawab Joko singkat. Lalu kembali menambahkan. "Tiap kali malam Ibuk pasti cerita. Banyak dongeng yang Ibuk hafal. Dari cerita rakyat sampai mitologi. Cerita luar negeri juga."
"Elah, pantes kamu cepet banget tau sponsorku siapa…" Asih menggelengkan kepala. "Keren juga temenku ini."
[Duta Berambut Putih mengangguk setuju.]
[Anjing Penjaga Yang Membawa Tombak berpikir bahwa Inkarnasinya juga keren.]
Asih tergelak lagi. Mencangklong tombak di pundaknya agar lebih nyaman. Kepala perempuan itu tengadah. Dia tersenyum.
"Iya, iya. Aku juga keren."
Perjalanan terisi diam setelah itu. Hanya terdengar langkah kaki dan ketuk kerikil yang sekali-kali Joko tendang karena iseng.
Pasca kiamat ini, waktu seakan bisa dibagi dua. Setidaknya, begitu bagi Joko. Sekarang ia membagi hidup dalam 'waktu tenang' dan 'waktu kacau'. Waktu tenang adalah saat-saat seperti ini. Masa yang diisi keheningan langka pada riuh rendah kehancuran dunia. Kedamaian singkat yang ditemukan ketika mereka beristirahat di dalam bangunan yang kurang lebih aman. Atau berhasil menelusur jalan tanpa halangan. Waktu dimana Joko dan Asih bisa menarik napas sejenak sebelum petualangan panjang mereka berakhir terlalu memuakkan.
Di sisi lain, waktu kacau—
Seperti namanya, 'waktu kacau' adalah kebalikan semua itu. Itu adalah masa angkat senjata. Menghadapi apapun yang disuguhkan oleh neraka baru ini. Monster, skenario, bahkan orang lain yang mau mencelakakan mereka. Intinya, berbagai macam hal berbahaya.
Contoh lainnya, suara jerit yang terdengar tidak jauh.
Sedetik, dua inkarnasi itu saling lirik. Lalu langsung melesat ke arah suara tersebut. Tombak Asih sudah siaga sementara Joko menarik keluar parang dari sarung di pinggangnya.
Di ujung jalan, musuh mereka terlihat.
Makhluk yang familiar untuk Joko.
Berkepala singa.
Dan kambing.
Berekor ular.
"Chimera!" pekik laki-laki itu.
Akan tetapi, bukan hanya monster yang ada di sana.
Seorang anak jatuh terduduk. Tangan bergetar mengacungkan belati. Kakinya luka. Jelas tidak bisa lari.
Sang chimera menarik mundur kepala singanya. Siap menyerang.
Kisah sang Ibu langsung terngiang di kepala Joko.
Monster ini campuran antara kambing, singa, dan ular. Bukan cuma itu, lebih ngeri lagi, makhluk ini bisa—
Joko menyergap anak yang jatuh tadi. Memutar posisinya menjadi perisai. Melindungi sang anak dari bara merah yang melecut dari mulut chimera itu.
—Menyemburkan api.
Untung saja skill dari sponsornya bekerja.
Joko tidak merasakan panas sedikitpun.
Walau dia menyayangkan bajunya yang pasti hangus, setidaknya tubuhnya sama sekali tak terluka.
Di belakang, denting tombak Asih terdengar. Merunjam monster asli Yunani tersebut. Joko tak perlu menoleh untuk tahu bahwa sang sahabat pasti mengoyaknya dengan bengis.
Jadi, dia fokus pada anak laki-laki yang baru dia selamatkan.
"Kamu ndak apa-apa, Dek?"
Mulut anak itu terbuka, lalu tertutup lagi. Masih terguncang.
[Tabib Bertongkat Ular berterima kasih karena Anda sudah membantu Inkarnasinya.]
[Anda telah menerima sponsor 1000 koin.]
"Tabib Bertongkat Ular…?" gumam Joko. "Jangan-jangan—eh! Dek, Dek?!"
Tubuh sang anak lemas. Jatuh tergolek di tangan Joko. Pupil bergulir ke pelupuk atas matanya.
"Sih! Asih! Adeknya pingsan ini!!"
***
Tirta bangun disamping bunyi gemeretak kecil yang sayup. Lamat-lamat, terdengar juga bisik kecil dua suara saling sahut. Sengaja rendah, mungkin karena takut mengusiknya.
Pada akhirnya, sang anak bisa membuka mata.
Dan yang pertama kali Tirta lihat adalah pesan dari sponsornya.
[Tabib Bertongkat Ular senang karena anda sudah bangun.]
Tirta mau tak mau tertawa kecil.
"Iya, aku senang juga."
"Jo! Adeknya dah bangun!"
Suara itu sedikit membuat sang anak berjengit. Dia berusaha bangkit. Rasanya sulit. Seluruh tubuhnya kaku. Memang harga yang harus dibayar ketika dia memakai skill dari Konstelasi sponsornya. Paling tidak, sekarang semua cedera di tubuh Tirta sudah hilang.
"Dek? Adek ndak apa-apa?"
Suara familiar itu diikuti tangan memapah pundaknya. Membantu sang anak untuk duduk. Tirta menoleh. Untuk pertama kali, dia dapat melihat wajah dua penolongnya dengan jelas.
"T-terima kasih," ucapnya terbata. "Saya berhutang budi pada kalian…"
"Heh, nggak usah formal banget!" Yang perempuan berkata sembari terkekeh. Dia duduk di sampingnya. Menepuk pelan kepala anak itu.
"Aku Asih. Ini temenku, Joko."
Yang dikenalkan melambaikan tangan. Tirta berusaha mencerna semuanya. Melukis wajah kedua orang itu pada memori.
"Kak Asih dan Kak Joko?"
Keduanya—Asih dan Joko—tersenyum lebar. Sebelum Asih angkat bicara lagi.
"Kamu beneran nggak apa? Kamu pingsan dua jam-an, lho. Kita punya ramuan kalau kamu—"
"Tidak perlu, Kak!" Tirta menggeleng kuat-kuat. Mata anak itu diisi penuh oleh kilat determinasi.
"Malah, kalau Kakak ada yang luka, aku bisa bantu!"
"Eh, iya?"
"Iya! Sponsorku ada hubungannya dengan pengobatan. Dia alasan aku masih hidup sampai sekarang. Tanpa dia, aku pasti sendirian…"
[Tabib Bertongkat Ular terharu mendengar deklarasimu.]
[Anda telah menerima sponsor 500 koin.]
Tirta terkikik. Mungkin sang Konstelasi mengira dia butuh uang, namun pujian kali ini murni. Tirta tidak tahu apa dia bisa bertahan selama ini tanpa si sponsor.
"Makasih, Dek. Kami ndak apa-apa kok."
Kalimat dari Joko menyentak sang anak kembali fokus. Yang lebih tua tersenyum hangat. Lalu ikut menepuk kepala Tirta, seperti yang dilakukan Asih tadi.
"Tapi… kami punya tawaran buat kamu."
"Tawaran?"
Asih tersenyum. Dia berlutut dan memposisikan kepalanya agar sejajar dengan Tirta. Sehingga mereka dapat melihat mata ke mata. Telapak diletakkan pada bahu anak laki-laki itu.
"Sendirian di dunia sekarang bahaya. Jadi…"
Si wanita menggantungkan kalimatnya sebentar. Bertukar pandang dengan Joko. Mereka saling angguk. Asih kembali menatap Tirta.
"Kamu mau ikut kami?"
Tirta terhenyak. Mata membelalak melihat dua orang yang memasang wajah hangat padanya itu. Bibir bergetar ketika dia bicara.
"B-boleh? Aku boleh…?"
"Tentu boleh, lagian—omph!"
Belum sempat Asih selesai bicara, ucapannya terputus oleh Tirta yang meringsek maju. Memberi pelukan erat. Dia terisak.
"Terima kasih, terima kasih!"
Tangan lembut mengelus kepalanya lagi. Suara Joko terdengar membalas pelan.
"Sama-sama, Dek."
[Tabib Bertongkat Ular senang anda mendapatkan teman baru.]
[Anjing Penjaga Yang Membawa Tombak menyambut anda.]
[Duta Berambut Putih mengucapkan selamat bergabung.]
***
Hari saling membaur ketika kau tidak benar-benar menghitungnya. Saat itu mungkin Sabtu, atau sudah Minggu. Joko dan Asih tidak tahu. Yang pasti, mereka sudah cukup lama berjalan bersama Tirta.
Dan anak itu cocok seperti kepingan puzzle pada dinamik mereka.
Ada sedikit kepolosan dan antusiasme pada sang anak. Alhasil membuat hari mereka menjadi agak ceria. Namun, Tirta juga cermat dan tahu kapan harus bertindak. Dia menjadi support yang sangat baik ketika menyelesaikan berbagai skenario kecil di sepanjang jalan.
Pada awalnya, dia memang masih agak malu. Bicara dengan kaku seperti salah kata saja dapat membuatnya dilempar dari grup tersebut. Namun, Joko dan Asih bukan tipe orang yang membiarkan anak kecil berkeliaran sendirian di tengah kiamat. Akhirnya, Tirta perlahan menyadari hal itu dan mulai berubah. Pelan-pelan keluar dari cangkangnya.
"Mas Jo! Mbak Asih!"
Ah, itu juga yang berubah.
Tirta mulai memanggil mereka dengan 'mas' dan 'mbak'.
"Kenapa, dek?" balas Joko. Mereka baru mau beristirahat setelah seharian berjalan. Setelah memilih acak satu bangunan kosong di pinggir jalan, Joko menawarkan diri membuat api unggun, sementara Asih dan Tirta mengecek sekitar.
"Aku menemukan ini!"
Anak paling muda di kelompok mereka mengacungkan sebuah gitar. Masih bagus, walau agak berdebu. Mata Joko berkilat melihatnya.
"Kamu bisa main gitar?"
Tirta menggeleng. Dia lalu memberikan alat musik tersebut kepada Joko sebelum duduk di lantai. Memperhatikan tangan yang lebih tua dengan piawai memetik beberapa senar. Sebelum memutar penalaan di gagang untuk membenarkan tangga nadanya.
"Mas Jo bisa?"
"Bisa, dong!" Joko berucap bangga sembari mencoba beberapa kunci. Merasakan suaranya mulai pas.
"Bapak dulu yang ngajarin. Bapak bilang, cowok harus bisa main gitar. Masa mau ngerayu cewek pakai ketipung?"
"Halah, kayak ada aja yang mau dirayu sama kamu, Jo."
Candaan itu mengiringi Asih yang kembali dari luar. Cengiran menghiasi bibir. Dia menaruh tombak. Lalu duduk bersila di samping Tirta. Menumpukan pipi pada kepalan tangannya.
"Tapi boleh, sih, denger satu lagu."
"Oh, oh! Aku mau dengar juga!"
Joko tertawa. "Ada request?"
"Terserah kamu, Jo." Asih mengibaskan tangan. "Yang penting enak."
Sang pria berdehum. Memikirkan lagu apa yang masih dia ingat. Mungkin lagu klasik, atau lagu pop yang digandrungi anak muda sebelum dunia hancur.
Akhirnya, Joko memutuskan, dia memilih satu yang paling bermakna baginya.
Bapak mengajari soal musik.
Ibuk mengajari mendongeng.
Ada satu lagu yang meleburkan dua hal tersebut.
Dan bukan hanya itu, dia pikir akan ada lagi yang senang jika dia mendendangkan lagu satu ini. Membayangkannya saja sudah membuat Joko geli.
Gitar dipetik. Memainkan melodi-melodi awal. Mulut Joko mulai bergumam. Mendengungkan nada untuk pemanasan.
Dan bibirnya terbuka. Terlontarlah lirik pertama.
"Ceritane, wayang Ramayana…"
***
.
.
.
.
.
.
A.N. :
Sayembara! Sayembara!
Kalau ada yang bisa menebak siapa Konstelasi sponsor Joko, Asih, dan Tirta, fanfict ini bakal kulanjut /hj
Anyway, ini self-indulgent sih, aku baru aja catch up sama komik ORV dan tiba-tiba pengen bikin ini, so… i did.
Belum tau bakal lanjut atau enggak. But…
Thank u for reading! :D
P.S. :
Judul bagian ini diambil dari lirik lagu "Farewell Wanderlust" oleh The Amazing Devil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro