Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

Perempuan itu berkacak pinggang, memandang rendah pada Daisy yang terduduk di lantai. Matanya menyiratkan penghinaan. Pengawalnya menghalau para pengunjung lain untuk tidak mendekat. Pengawal yang awalnya berjumlah dua orang, kini emnajdi empat. Mengurung Daisy layaknya tahanan. Dengan perempuan berpakaiann hitam menjulang di atasnya.

"Kamu ingin tahu siapa aku? Akuu, adalah istri dari dokter yang kamu rayu!"

Daisy mengusap pipi, mencoba bangkit dengan gemetar. Ia tidak percaya, di tempat seramai ini akan menjadi sasaran pemukulan orang tidak dikenal.

"Dokter? Kapan aku merayunya? Kami bahkan tidak ada hubungan apa-apa." Ia mencoba membantah dan mengerti kalau bantahannya ternyata sia-sia.

Istri si dokter menyipit, tangannya terangkat hendak memukul dan Daisy reflek mundur. Ia bisa saja memukul balik, tapi ada banyak laki-laki di belakang perempuan itu dan tidak yakin akan menang melawan mereka. Yang bisa dilakukannya sekarang adalah bertahan.

"Kamu masih tanya kapan kamu merayunya? Kamu jelas datang ke tempat pakteknya hampir setiap Minggu!"

"Itu karena pemeriksaan mamaku dan bu-bukan setiap Minggu!"

"Oh, kalau gitu ini apa?" Perempuan itu merogoh tas dan mengambil segenggam foto dan melemparkannya ke arah Daisy. "Katakan, itu apaaa? Kalian mengobrol mesra di tempat ini? Suamiku adalah laki-laki baik dan terhormat, tapi bertemu dengan perempuan murahan seperti kamu. Sampai-sampai dia rela datang ke tempat seperti ini?"

Daisy menatap foto-foto yang tersebar di lantai. Foto dirinya dan si dokter yang sedang mengobrol. Ia tidak mengerti bagian mana dari foto itu yang salah. Malam itu mereka hanya mengobrol biasa, tanpa bersentuhan apalagi bermesraan. Ia tidak melakukan sesuatu seperti yang dituduhkan perempuan itu.

"Malam itu, kami hanya mengobrol. Dokter mengatakan kalau dia ...."

Daisy meneguk ludah, kata-kata tersangkut di tenggorokannya. Ia ingin sekali berteriak pada perempuan di depannya tentang semua hal yang dikatakan si dokter tapi menyadari kalau tindakannya itu tidak benar. Tidak seharusnya merusak rumah tangga orang lain, meskipun si suami ternyata laki-laki brengsek.

"Dia kenapa? Kamu mau bilang apa? Suamiku menyukaimu, itu yang kamu katakan?"

"Tidak, kami sama sekali tidak membahas masalah cinta. Dokter hanya bercerita dan aku mendengarkan. Percakapan kami bahkan tidak lebih dari sepuluh menit."

"Tidak lebih dari sepuluh menit tapi nyatanya mampu merusak rumah tangga orang kami." Perempuan itu kembali menunjuk Daisy. "Kamu tahu apa yang terjadi hari ini? Suamiku pergi dari rumah, meninggalkaku dan anak-anak. Aku memohon dan dia mengabaikanku. Ternyata, hanya demi perempuan murahan dan rendahan sepertimu!"

Sebuah hinaan yang tidak masuk akal. Daisy tidak mengerti kenapa urusan rumah tangga orang lain, dirinya ikut menanggung. Ia tidak pernah meminta si dokter untuk mengunjunginya di restoran. Sama sekali tidak ada niat untuk menarik perhatian laki-laki itu.

"Nyonya, pekerjaanku mungkin hanya pelayan. Tapi, aku sama sekali tidak ada minat dengan suamimu."

Plak!

Satu tamparan kembali bersarang di pipi Daisy. Ia mengusap dan merasakan kulitnya memanas.

"Jalang! Sepertinya kamu tidak pernah diajari bagaimana bersikap tahu diri!" Perempuan itu mengusap tangannya dengan angkuh. "Sebelum aku datang, aku sudah mengecek latar belakangmu. Gadis miskin dengan mama yang gila. Datang sebagai pendatang tanpa masa lalu yang jelas. Siapa yang tahu apa yang sudah dilakukan mamamu sampai gila begitu. Jangan-jangan mamamu stress karena mempunyai anak tidak berguna sepertimu!"

"Jangan bawa-bawa mamaku, dia tidak bersalah."

"Mamamu jelas bersalah karena tidak bisa mendidikmu. Harusnya dia mengajarimu bagaimana menjadi perempuan yang berbudi dan bukan malah menjadi jalang perusak rumah tangga orang. Jangan-jangan mamamu sendiri juga jalang!"

Daisy menggeleng, tubuhnya gemetar. Ia bisa menahan semua umpatan untuknya tapi tidak tentang sang mama.

"Aku akan terus mencari tahu tentang masa lalumu. Jangan sampai aku menemukan hal yang seharusnya tidak kutemukan."

Ancaman perempuan itu jauh lebih menakutkan dari apapun. Daisy tidak masalah kalau dirinya dipukul, ditampar, meskipun tidak bersalah. Yang terpenting ia tetap ada di kota ini dan bisa tinggal di sini. Kalau sampai perempuan itu menemukan masa lalunya, tentang sang papa yang pembunuh, dan dirinya yang dianggap perempuan sampah, maka masa depannya di sini akan gelap. Daisy memejam, berusaha keras menahan emosi. Ia tidak boleh lemah, harus kuat dan melawan tapi bayangan sang mama muncul dan mengenyahkan tekadnya. Akhirnya, ia hanya terdiam, menerima semua caci dan maki.

"Pelacur murahan! Kalau memang kamu menginginkan uang, aku bisa memberimu lebih banyak, dari yang diberikan suamiku. Ayo, bilang! Mau berapa kamu?"

Terdengar suara-suara di belakang mereka, pemilik restoran mencoba melerai perdebatan dan mengatakan pada para laki-laki yang menjaga, kalau mereka menakuti pengunjung restoran.

"Apapun masalah kalian, tolong selesaikan secara baik-baik, Nyonya!"

Istri si dokter menatap laki-laki itu dan mendengkus. "Aku akan membayar semua kerugian yang timbul. Aku bahkan sanggup membeli restoran ini kalau kamu mau. Sekarang, minggir! Ini bukan urusanmu."

"Tapi—"

Tidak diberi kesempatan untuk bicara, pemilik restoran didorong mundur hingga mengenai meja kasir. Fan bergegas menghampiri dengan cemas.

"Pak, Anda nggak apa-apa?"

"Aku nggak apa-apa, Fan. Tapi, Daisy, dia ...."

Mata Fan menangkap sosok laki-laki yang baru muncul, meninggalkan pemilik restoran dan menyongsong Beltrand. "Aku membutuhkan bantuanmu, ma-maksudku kami."

Beltrand menatap kerumuman dengan heran. "Ada apa, Fan. Kenapa orang-orang berkerumun di tengah?"

"Di sana ada istri si dokter. Dia membawa pengawal dan menganiaya, Daisy."

Mata Beltrand membulat. "Apaaa?"

Tanpa menunggu Fan menyelesaikan percakapan, Beltrand menerjang. Ia berkelit saat satu pengawal berusaha menahan langkahnya.

"Hei, jangan sentuh aku!" teriaknya.

"Jangan ikut campur kalau tidak ingin mati," ancam salah satu pengawal.

Beltrand mendengkus, melepas kacamata dan meletakkan di dalam jaketnya. "Sayangnya, kalian berhadapan dengan orang yang salah!"

Satu pukulan mendarat di perut si pengawal dan membuat laki-laki terhuyung. Pengawal lain datang, dan Beltrand membereskan mereka. Menendang, memukul, seorang diri ia membuat mereka semua terkapar. Ia berdiri dengan napas berat, menatap orang-orang yang bergelimpangan di atas lantai. Ini bukan apa-apa baginya. Menghadapi si kembar Jenggal dan Janitra, jauh lebih berat dari pada melawan sekompi pasukan. Apalagi hanya para pengawal bayaran dengan kemampuan bela diri yang pas-pasan. Mereka hanya bermodalkan tubuh besar untuk mencari uang.

Beltrand menendang tubuh salah seorang dari mereka dan menghampiri si perempuan yang ternganga, menatap para pengawalnya yang ambruk. Tidak jauh dari perempuan itu, Daisy pun ikut ternganga bingung. Tidak menyangka kalau Beltrand yang terlihat rapuh, ternyata begitu kuat.

"Nyonya, saranku sebelum kamu meninggalkan tempat ini. Tolong bayar semua kerugian yang ada." Beltrand menunjuk sekelilingnya. "Termasuk membayar kompensasi karena sudah membuat kerusuhan di tempat ini."

Perempuan itu meneguk ludah. "Si-siapa kamu? Kenapa ikut campur urusan kami?"

Beltrand mendengkus. "Percayalah, aku pun sebenarnya tidak ingin ikut campur urusan kalian. Tapi perempuan itu!" Ia menunjuk Daisy yang terdiam. "Adalah kekasihku. Kami saling mencintai, tapi suamimu yang pengecut itu jatuh cinta dengan kekasihku. Saranku, sebelum kamu terlanjur mengumbar emosi, lebih baik mencari tahu lebih dulu kebenarannya."

"Kamu bohong!" Perempuan itu mendesis.

Beltrand mengangkat bahu. "Terserah, tapi aku akan membuktikan kata-kataku tentang siapa yang bersalah dalam hal ini. Sebaiknya kamu pulang, Nyonya. Tunggu kabar dariku tentang tindak tanduk suamimu. Jangan lupa, bayar kerugian di sini."

Perempuan itu mengepalkan tangan, ingin menentang ide dari Beltrand tapi tidak berdaya melakukannya karena melihat pengawalnya sudah tidak berdaya. Ia hanya bisa mendesiskan amarah pada laki-laki yang terbaring di tanah. Menganggap mereka tidak berguna. Menghela napas panjang, ia mengangkat wajah.

"Baiklah, aku akan pergi sekarang. Ingat untuk memenuhi janjimu, kalau tidak—"

"Kamu tidak dalam posisi untuk mengancam. Aku bisa menghancurkan lebih banyak orang yang kamu bayar. Sekali lagi aku tekankan, kalau sampai bukti menunjukkan kekasihku tidak bersalah. Kamu wajib meminta maaf, di sini, di antara pengunjung!"

Permintaan Beltrand bukan hanya membuat perempuan itu terbelalak tapi juga Daisy.

"Permintaan gilaa! Aku tidak akan melakukannya!"

Beltrand mendekat dan tersenyum mengancam. "Kalau begitu, kita bertemu di pengadilan. Ingat, kamu mungkin kaya raya dan punya banyak uang. Tapi aku punya bukti penganiayaan dan juga bukti tentang suamimu. Terserah kamu ingin memilih yang mana, pengadilan atau meminta maaf secara langsung!"

Bisa jadi, kata-kata Beltrand hanya ancaman belaka, tapi terdengar sangat meyakinkan bagi perempuan itu. Ia melirik Daisy yang terdiam sambil memegang pipi. Lalu kepada Beltrand yang telah memakai kembali kacamatanya. Ia tahu, laki-laki itu serius dengan perkataannya dan semestinya ia tidak takut karena tahu suaminya tidak bersalah.

"Bagaimana kalau ternyata bukti menunjukkan, jalang itu yang bersalah?"

Beltrand menatap Daisy lekat-lekat. "Aku akan menanggung semua hukuman yang akan kamu berikan untuknya, apa pun itu!"

Hening sesaat, Daisy menggeleng lemah ke arah Beltrand.

Istri si dokter tersenyum tipis. "Baiklah, deal kalau begitu."

Perempuan itu bergegas pergi, menendang salah seorang pengawalnya yang terkapar dan meneriakkan perintah untuk mengikutinya. Fan menghadang di pintu, dengan gagah meminta kompensasi kerugian. Perempuan itu merogoh tas dan mengeluarkan sejumlah uang.

"Harusnya, ini lebih dari pada cukup!"

Setelah perempuan itu menghilang diikuti para pengawalnya, para pengunjung yang semula ketakutan kini bernapas lega. Perlahan, musik mulai dinyalakan dan percakapan kembali terdengar. Pengunjung baru mulai berdatangan dan Daisy menyingkir ke teras samping diikuti oleh Beltrand. Ia mengompress wajahnya yang memar dengan kain yang dicelup air hangat.

Beltrand menawarkan rokok dan Daisy menolak. Saat ini, ia sedang tidak ingin merokok. Perasaan kiaca balau dan yang diinginkannya hanyalah pergi dari tempat ini dan tidak akan kembali. Untuk apa kembali kalau pada akhirnya hanya membuatnya malu.

"Kenapa kamu tidak melawan?" tanya Beltrand setelah jeda kesunyian. "Daisy yang aku kenal, bukan perempuan lemah."

"Daisy yang kamu kenal sudah mati!"

"Tidak! Dia ada di sampingku sekarang dan sedang meratapi nasib."

Daisy mendengkus. "Tahu apa kamu tentang meratapi nasib?"

"Aku? Tentu tahu banyak, saat keluarga miskinku dilempar ke jalanan karena kami tidak punya uang untuk membayar sewa tempat. Berhari-hari di jalanan, dalam keadaan kelaparan."

Daisy tertegun mendengar cerita Beltrand. "Bagaimana kamu mengakhiri nasib buruk itu?"

"Berkat bantuan seorang laki-lak muda. Dia menempatkanku dan keluargaku di tempat yang layak." Beltrand teringat akan Dante yang sudah menolongnya dan detik itu juga berjanji akan setia pada laki-laki itu seumur hidup.

"Kamu punya penolong, sedangkan aku?" Daisy mengusap pipinya yang kini terasa hangat. "Siapa yang akan menolong anak seorang pembunuh? Siapa yang bisa percaya dari anak yang punya orang tua penjahat? Kalau perempuan tadi cukup pintar untuk mengecek nama keluargaku, maka semua informasi akan keluar. Aku yang dianggap jalang, punya mama gila, dan ayah peselingkuh serta membunuh orang. Siapa yang akan menolongku?"

"Aku," jawab Beltrand lugas. Melirik Daisy yang terlihat tidak percaya dengan kata-katanya. "Papamu pembunuh, tapi kamu tidak. Mamamu mungkin gila, tapi kamu seorang anak yang baik. Kamu bisa saja meninggalkan mamamu seorang diri, mencari jalan hidupmu sendiri, setahuku itulah yang dilakukan perempuan jalang sebenarnya. Tapi, lihat dirimu, Daisy. Kamu menanggung rasa bersalah untuk semua perbuatan yang dilakukan orang tuamu, terutama papamu."

Daisy memejam, tanpa sadar air mata mengalir. Membayangkan sosok sang papa yang begitu mencintainya. Benito adalah laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarga dan sangat menyayanginya. Tidak peduli apa pun yang dilakukan Daisy, sang papa akan membela. Termasuk saat ia merusak pertunangan Blossom. Sang papa yang tidak pernah marah, dan selalu memanjakannya dan itu membuatnya besar kepala. Saat kasus Benito terungkap, yang paling hancur adalah dirinya. Kehilangan sosok sang papa yang selama ini terlihat sempurna di matanya.

"Karma itu nyata, Beltrand."

"Apa?"

"Aku sepertinya sedang menerima karma untuk menebus dosa-dosaku di masa lalu. Pada Blossom, Dante, Edith, dan masih banyak lain. Aku tidak akan membeli diri kalau ada orang mencaci, karena aku sadar pantas menerimanya."

"Gadis Bodoh!" Daisy membuka mata dan Beltrand menangkup wajahnya. "Kamu merasa bersalah, itu hal yang bagus tapi bukan begini caranya. Kamu bisa meminta maaf pada orang-orang yang sudah kamu sakiti. Tapi tidak boleh membiarkan dirimu disakiti oleh orang-orang yang tidak ada hubungannya denganmu."

Daisy menggeleng. "Entahlah, Beltrand. Aku bingung."

"Daisy, merasa bersalah itu bagus. Tandanya kamu masih punya hati. Tapi, menjaga pikiranmu untuk tetap waras itu jauh lebih bagus. Karena hidup ini keras. Jangan kalah oleh orang lain yang tidak mempunyai pengaruh dalam hidupmu! Camkan itu!"

Melihat Daisy hanya menunduk, Beltrand menghela napas panjang. Rupanya, tidak mudah bicara dengan orang yang menanggung rasa bersalah. Apa pun yang dikatakannya, hanya berupa omong kosong belaka. Daisy harus membuktikan semuanya sendiri, seiring waktu berjalan.
.

.
Terima kasih bagi yang sudah mengikuti cerita Daisy. Versi lengkap bisa kalian dapatkan di Karyakarsa, dan palybook. Untuk selanjutnua alan ada cerita baru, Suddenly Married.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro