Bab 3 : Si Tuan Penyegel
Silent Night Institute, Penghujung Tahun 2018, Pulau Jeju.
Penghunjung 2018, rumah klasik bernuansa Eropa tersebut masih di selimuti oleh salju. Menjadikannya area bermain untuk Gomdori (Teddy Bear) yang justru tak menyentuh salju ketika musim dingin mengantarkannya pada tidur panjangnya.
Silent Night Institute, tersembunyi di bagian utara Gunung Hala. Sebuah tempat yang berada di lembah dan di apit oleh beberapa bukit. Memiliki area yang sangat luas dengan kehidupan yang tentram di dalamnya tanpa campur tangan dari dunia luar. Sebuah tempat yang juga di sebut sebagai pusat rehabilitasi kejiwaan, di mana telah membantu banyak orang sejak pertama kali di dirikannya tempat tersebut.
Awalnya Silent Night Institute merupakan tempat yang terbuka untuk umum dan tentunya semua orang bisa menjangkau tempat tersebut ketika masih berada di Seoul. Namun setelah pendiri Silent Night Institute tutup usia sekitar lima belas tahun yang lalu, tempat itu kemudian menjadi tempat rahasia yang tidak mengizinkan sembarangan orang untuk memasukinya. Dan segel yang di pasang di sekitar tempat itu, membuat tak banyak orang bisa menemukan keberadaan tempat tersebut.
Namun meski begitu, hingga detik ini masih banyak orang yang berdatangan untuk meminta bantuan para pengurus Silent Night Institute generasi kedua, dan tentunya tidak ada perubahan besar yang terjadi pada tempat tersebut.
Lim Changkyun, pemuda berusia 24 tahun yang merupakan salah satu penanggung jawab dari Silent Night Institute tampak melangkahkan kakinya menyusuri koridor yang cukup ramai pagi itu. Meski terbilang masih muda, namun tak sedikit orang yang menghormatinya karna peranan pentingnya di Organisasi tersebut.
Tidak sebanyak pada saat generasi pertama, generasi kedua hanya memiliki lima orang sebagai pengurus, dan dari kelima orang tersebut, hanya tiga orang yang masih aktif. Untuk selebihnya terdapat relawan yang tentunya sudah memasuki tahap seleksi terlebih dulu sebelum masuk ke sana.
Changkyun membuka salah satu pintu di lantai dua yang berada di Paviliun belakang, dan berhasil menarik perhatian seseorang yang saat itu tengah menikmati secangkir kopi panas di pagi hari.
"Eoh, kau di sini?" tegur Lee Jooheon, Ketua dari Silent Night Institute generasi kedua.
Tak berniat menjawab teguran dari Jooheon, Changkyun menutup pintu dan segera menghampiri seniornya tersebut. Pemuda itu berdiri di samping Jooheon dan segera menaruh tumpukan berkas di tangannya di atas meja kerja Jooheon.
"Berkasnya harus selesai di tanda tangani hari ini."
Mata sipit Jooheon melebar. "Semua ini?"
Changkyun mengangguk. "Itu karna Hyeongnim mengambil cuti. Ada sepuluh orang yang harus menerima sertifikat kelulusan hari ini."
"Kenapa banyak sekali? Harusnya kau menahan mereka sedikit lebih lama agar kita mendapatkan keuntungan lebih besar."
"Itu pemerasan namanya."
Jooheon tersenyum lebar, tanpa di beri tahu pun dia juga sudah memahami hal itu. Tujuannya mengatakan hal itu hanyalah sebagai candaan di pagi hari ketika melihat pemuda di hadapannya tersebut terlihat dalam keadaan hati yang tidak baik.
Menyisihkan cangkir kopinya, Jooheon mulai mengambil satu persatu berkas dan memberikan tanda tangan yang di perlukan tanpa harus memeriksanya terlebih dulu.
"Kau bertengkar dengan Yoohyeon?" pertanyaan itu keluar ketika ia tak mengalihkan sedikitpun perhatiannya dari berkas di hadapannya.
"Kenapa aku harus bertengkar dengannya?" acuh Changkyun yang kemudian membantu mengambilkan berkas untuk Jooheon, dan alih-alih berdiri, pemuda itu dengan santainya malah duduk di meja. Namun sepertinya Jooheon pun sudah terbiasa dengan hal itu.
"Terakhir kali kalian bertengkar, dan kau menghancurkan Paviliun belakang."
"Kapan aku melakukannya? Itu adalah perbuatan gadis itu, bukan aku."
Senyum Jooheon kembali melebar. "Begitukah? Gadis itu memang lucu."
"Apanya yang lucu? Dari sudut pandang manapun dia tetaplah mengerikan." Changkyun mencibir dan membuat kontak mata dengan Jooheon yang tersenyum simpul ke arahnya.
"Kenapa Hyeongnim melihatku seperti itu?"
Jooheon menggeleng. "Tidak ada, hanya ingin saja."
Changkyun lantas menepuk berkas yang sudah ia taruh di hadapan Jooheon guna mengalihkan perhatian seniornya tersebut. Jooheon pun kembali fokus pada berkas-berkas yang di sodorkan oleh Changkyun.
"Kau sudah makan?"
"Belum."
"Kenapa belum makan?"
"Aku belum lapar."
"Jadi jika kau belum lapar maka kau tidak akan makan?"
Changkyun mengangguk. "Hari ini, Hyeongnim tidak ingin mengantar mereka?"
"Tidak, aku sangat sibuk. Kau dan Yoohyeon saja yang mengantar mereka, tapi hati-hati dengan segelnya."
"Jika aku tidak sengaja merusaknya bagaimana?"
Pergerakan Jooheon terhenti, dia lantas mendongakkan wajahnya dan kembali membuat kontak mata dengan Changkyun yang entah sejak kapan menggerakkan kedua kakinya yang menggantung. Membuat pemuda itu tampak belum dewasa.
"Kau ingin merusak segelnya?"
Changkyun menggeleng. "Aku hanya bertanya."
"Tapi kau berniat merusaknya, bukan?" selidik Jooheon.
"Jika rusak, Hyeongnim kan bisa membuatnya lagi."
Jooheon menyandarkan punggungnya dengan tangan yang memainkan pena. Dia berujar, "aku tidak mempelajari ilmu penyegelan, dan jika sampai segel itu rusak, maka kita akan tamat."
Kedua kaki Changkyun berhenti bergerak. "Kenapa bisa begitu? Jika Hyeongnim tidak bisa, lalu siapa yang memasang segel ini?"
"Ayahmu."
Dahi Changkyun tiba-tiba mengernyit. "Ayah yang mana?"
Jooheon kemudian mendekat dan dengan cepat melipat kedua tangannya di atas meja. "Ada berapa banyak ayah yang kau miliki?"
"Hyeongnim pernah menjadi ayahku, dan orang itu juga pernah menjadi ayahku." Changkyun menunjuk sebuah lukisan besar yang menempel pada dinding dan berada di belakang Jooheon.
Jooheon sekilas melihat ke arah lukisan yang di tunjuk oleh Changkyun. Sebuah lukisan di mana menunjukkan sosok seorang pria yang tidak lain adalah ayahnya sendiri, Lee Hyunwoo. Salah satu dari ketujuh pendiri Silent Night Institute.
"Lalu, siapa lagi ayahmu?"
"Da Xian Hyeongnim dan juga Hoseok Hyeongnim."
"Ya ampun... Sebenarnya siapa yang di pilih oleh ibumu? Kenapa ayahmu banyak sekali?"
Jooheon lantas tersenyum lebar ketika mendapati kekesalan di wajah pemuda itu. "Aku hanya bercanda, kenapa kau serius sekali? Kau mengingatkanku pada ayahmu yang arogan itu."
"Ayah Daniel?"
"Tentu saja, hanya dia pria yang menikah dengan ibumu."
"Ayahku sudah tidak ada, jika segelnya hancur bagaimana?"
"Ada kau sebagai putranya."
"Aku tidak bisa melakukan hal seperti itu."
"Kenapa tidak bisa? Kau bahkan sudah menyegel Gomdori sejak kecil."
"Gomdori dan benda mati itu sesuatu yang berbeda!" tandas Changkyun yang membuat Jooheon tak bisa untuk tidak tertawa.
"Itu sebabnya kau harus belajar lebih giat lagi. Belajarlah dengan Yoohyeon, dia akan sangat membantu."
"Apanya yang membantu, penyihir itu hampir membunuhku ketika sedang marah."
"Besok-besok aku akan memarahinya, kau tenang saja." di akhiri oleh senyum lebarnya. Changkyun kembali menyodorkan satu berkas di hadapannya yang kemudian ia tanda tangani kembali.
Setelah beberapa menit berlalu, pekerjaan ringan itu pun selesai. Jooheon kembali mengarahkan pandangannya pada Changkyun yang saat itu berdiam diri dengan pandangan yang mengarah pada jendela, di mana dari sana terlihat salju yang mulai kembali berjatuhan.
"Bajumu terlalu tipis, udaranya akan semakin dingin setelah ini."
Changkyun menjatuhkan pandangannya pada Jooheon. "Ini adalah fashion."
Jooheon tertawa tak percaya, biasanya pemuda itu selalu bersikap manis padanya, tapi kenapa sekarang sedikit ketus.
"Di mana Gomdori sekarang?"
"Apa yang bisa dia lakukannya di musim dingin seperti ini? Jika tidak bermain salju, dia pasti tidur di kamarnya."
"Ya ampun... Waktu cepat sekali berlalu," Jooheon kembali menyandarkan punggungnya. "seperti baru kemarin dia menaiki bahuku, kenapa dia tumbuh dengan begitu cepat?"
Mata Changkyun memicing, memiliki keberatan akan ucapan Jooheon sebelumnya. "Hyeongnim?" gumamnya yang sarat akan selidik.
"Kenapa?"
"Umurku 24 tahun dan hampir 25."
"Lalu?"
"Gomdori hanya satu tahun lebih tua dariku."
"Iya, aku tahu... Lalu apa masalahnya?"
Changkyun menghela napas. "Hanya mengingatkan, jika Hyeongnim lupa." gumamnya dan kembali mengarahkan pandangannya pada rintik salju di luar sana.
Senyum Jooheon seketika melebar, mendapati sedikit nada kecemburuan dari nada bicara Changkyun sebelumnya. Dia pun beranjak dari duduknya dan turut duduk di meja tepat di samping Changkyun, membuat pemuda itu sekilas melihat ke arahnya. Dia kemudian merangkul bahu sempit tersebut dan sedikit menariknya mendekat.
"Kau ingin pergi ke suatu tempat?"
"Tidak."
"Jangan bohong, matamu mengatakan hal lain."
"Jika aku bilang aku ingin pergi ke Seoul, Hyeongnim juga tidak akan mengizinkannya."
"Jadi itu masalahnya?"
Changkyun tak menjawab, terlalu fokus pada butiran salju yang sempat menabrak kaca.
"Kau ingin bertemu dengan ibumu?"
"Tempatnya sudah tidak ada, bagaimana bisa bertemu?"
"Mudah saja, kau tinggal menghancurkan gedung tinggi itu. Dengan begitu tanah makam ibumu bisa kembali."
Changkyun menatap jengah ke arah Jooheon. "Jika Hyeongnim bisa, kenapa bukan Hyeongnim saja yang melakukannya?"
"Eih... Aku mana bisa melakukan hal-hal semacam itu. Mintalah Yooheon untuk melakukannya, anak itu pasti bisa melakukannya."
Suara Changkyun tiba-tiba meninggi, "jika aku mengajaknya ke Seoul, yang ada dia hanya akan mengejar pria-pria yang selalu muncul di televisi itu."
"Benar, benar. Kalau begitu jangan lakukan." Jooheon tertawa ringan sembari memukul pelan dada Changkyun beberapa kali sebelum keadaan tiba-tiba menjadi hening ketika tak ada satupun dari keduanya yang kembali berucap.
"Masih sangat tenang seperti sebelumnya." Jooheon lantas kembali bergumam.
"Jika ingin terjadi keributan, kenapa tidak kembali ke Seoul saja. Sekarang Seoul lebih modern."
"Justru itu yang semakin berbahaya. Ayahmu tidak akan membuat tempat ini jika Seoul masih aman untuk Gomdori."
Changkyun yang teringat akan sesuatu pun segera membuat kontak mata dengan Jooheon. "Tapi bukankah Da Xian Hyeongnim mengatakan akan membawa Gomdori Hyeong?"
"Aku masih harus merapatkannya dulu."
"Tapi jika seandainya Gomdori Hyeong pergi dari sini, apa kita juga akan pindah."
Jooheon menggeleng. "Bukan hanya untuk menyembunyikan keberadaan Gomdori... Tempat ini di buat untuk melindungi sesuatu dari sesuatu."
"Sesuatu dari sesuatu?"
Jooheon segera mengibaskan tanganya ke udara. "Sudah, kau tidak perlu memikirkan hal itu... Apa kau tidak memiliki sesuatu untuk di berikan padaku?" tanya Jooheon kemudian, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Namun Changkyun justru memberikan sebuah gelengan kepala.
"Jangan berbohong, aku tahu kau menerima sesuatu dari pelabuhan pagi tadi."
Changkyun lantas merogoh saku mantel hangatnya dan mengeluarkan sebuah kartu identitas yang kemudian ia serahkan pada Jooheon.
"Hyeongnim ini sebenarnya umur berapa?"
"Apa maksudmu?" Jooheon menjawab setelah melihat kartu identitasnya yang baru.
"Dulu aku melihat kartu identitas Hyeongnim, dan saat itu Hyeongnim berumur 55 tahun. Tapi kenapa sekarang di ganti menjadi 30 tahun?"
Langkah pertama yang di lakukan oleh Jooheon adalah tersenyum lebar tanpa menimbulkan kecurigaan bagi lawan bicaranya dan barulah ia berucap, "hanya kesalahan dalam pengetikan, jangan berpikir yang macam-macam. Aku bukanlah Goblin atau saudara-saudaranya."
Mata Changkyun memicing, menatap penuh selidik. "Tapi... Jika ku ingat-ingat, Hyeongnim sudah seperti ini sejak..."
Perkataan Changkyun terhenti ketika Jooheon tiba-tiba merangkulnya dan membekap mulutnya dengan senyum lebar yang lebih menuntut.
"Jangan bicara lagi, sudah ku katakan aku bukan manusia seperti itu. Ini hanyalah kesalahan dalam pengetikan, kau mengerti?"
Changkyun memukul-mukul punggung tangan Jooheon agar Jooheon melepaskannya, dan Jooheon pun melepaskannya. Namun saat itu pula Jooheon mengangkat tubuhnya menggunakan kedua tangan.
"Apa yang sedang Hyeongnim lakukan?"
"Membawamu menemui Gomdori."
"Aku bisa berjalan sendiri."
"Aku masih sanggup untuk menggendongmu, jangan berpikir bahwa aku ini lemah. Bayi Serigala." Jooheon lantas membawa Changkyun keluar dari ruangannya dengan suara protes yang sesekali keluar dari mulut Changkyun.
Selesai di tulis : 03.01.2020
Di publikasikan : 20.01.2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro