Bab 1 : Dia Sudah Lahir
Musim dingin Daegu, 1999.
"Dia Monster!"
Satu umpatan di malam yang beku, bocah laki-laki berusia enam tahun duduk meringkuk di sebelah lemari kecil yang berada di dalam ruang kamar sempitnya. Sedangkan suara bentakan yang saling bersahutan tidak kunjung berhenti membuat tubuhnya gemetar ketakutan dengan airmata yang bertahan di sudut matanya dan juga bibir yang gemetar menyembunyikan tangis.
Pintu ruangan terbuka dari luar dengan sangat pelan dan justru membuat tubuhnya semakin meringkuk, menempelkan keningnya pada lemari dan menggunakan kedua lengannya untuk menutupi wajahnya.
Bocah laki-laki berusia sembilan tahun terlihat memberanikan diri untuk memasuki ruangan tersebut. Mengabaikan larangan agar ia tidak memasuki ruangan itu. Perlahan dia menutup pintu, masih dengan tubuh yang menghadap ke arah bocah yang lebih muda darinya yang saat itu terlihat bahunya yang berguncang.
Si bocah sembilan tahun itu melangkah dengan ragu ke arah bocah yang semakin meringkuk, dan semakin bocah itu mendekat, semakin terdengar pula isakan kecil yang keluar dari bocah enam tahun tersebut.
Si bocah yang lebih dewasa lantas duduk berjongkok di samping bocah yang lebih mudah.
"Jangan menangis." si bocah yang lebih tua bergumam.
"Hyeong pergi saja, jangan mendekatiku." si bocah yang lebih muda membalas dengan suara lirih yang terputus-putus.
"Ini kamarku, kenapa kau mengusirku?"
"Jika Hyeong mendekat... Hyeong pasti celaka."
"Jika aku celaka, itu bukan karnamu. Melainkan karna aku yang ceroboh."
Si bocah yang lebih muda menggeleng kuat dan lantas menurunkan tangannya, membuat kontak mata dengan yang lebih tua dan membuat yang lebih tua melihat wajahnya yang mencoba untuk tidak menangis lagi.
"Jika polisi sampai tahu bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?"
"Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa putra kita telah membunuh anak itu, tenangkan dirimu!"
Suara gaduh yang terdengar lebih jelas, si bocah yang lebih dewasa dengan cepat mendekat dan menutupi telinga yang lebih muda. Membuat si bocah yang lebih muda menggenggam tangannya sendiri kuat-kuat di depan dada.
"Jangan dengarkan apapun, jangan dengarkan... Hyeong ada di sini untukmu, jangan dengarkan apapun lagi."
"Aku, sudah membunuhnya. Aku membunuhnya, aku membunuhnya." racau si bocah yang lebih muda.
Yang lebih dewasa menggeleng pelan. "Jangan ingat apapun, jangan dengarkan apapun... Jangan menangis lagi!"
"Hyeong menjauhlah... Aku bisa melukaimu."
"Kau tidak akan melakukannya, Hyeong percaya padamu. Kau percayakan padaku?"
Si bocah yang lebih muda pun mengangguk dan yang lebih tua pun menarik tangannya kembali, lalu membuka telapak tangannya tepat di hadapan yang lebih muda.
"Sekarang, berikan tanganmu pada Hyeong."
Yang lebih muda menggeleng. "Hyeong bisa terluka."
"Kau bilang kau percaya padaku... Sekarang, berikan tanganmu pada Hyeong!"
Kembali menggeleng, yang lebih muda justru semakin kuat mengenggam tangannya sendiri.
"Tutup matamu, dan ulurkan tanganmu. Semua akan baik-baik saja."
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dan seketika menampakkan keterkejutan dari pria dewasa yang berdiri di ambang pintu.
"Yoongi!" murka si ayah yang segera menghampiri keduanya dan langsung menarik lengan yang lebih tua hingga bocah itu berdiri dengan paksa, di saat bocah yang lebih muda kembali meringkuk ketakutan.
Si ayah lantas menyeret yang lebih tua keluar dari kamar dan memarahinya setelah menutup pintu dari luar.
"Sudah berapa kali ayah mengatakan untuk tidak memasuki kamar itu!"
"Abeoji... Dia adikku, kenapa aku tidak boleh menemuinya?" yang lebih tua memberontak.
"Dia adalah Monster, dia bisa membunuhmu."
"Abeoji!!!" bocah itu berbicara dengan nada membentak, "dia adikku! Dia bukan Monster!"
Si ibu lantas menghampiri keduanya dan segera memegang kedua lengan si bocah yang lebih tua. "Yoongi... Dengarkan ibu! Kau tidak boleh mendekati adikmu. Besok, mereka akan datang kemari dan mengambilnya."
"Apa maksud Eomoni? Siapa yang akan mengambilnya? Dia tidak akan kemana-mana! Dia adikku!"
"Bawa dia ke kamar! Aku akan segera meminta bantuan sebelum berita ini menyebar." titah sang ayah. Sang ibu pun manarik tangan bocah yang lebih tua untuk membawanya pergi.
"Dia akan tetap di sini! Tidak ada yang boleh membawanya pergi! Abeoji..." yang lebih tua memberontak, namun hasil yang di dapatkan oleh bocah sembilan tahun itu adalah sebuah kurungan hingga pagi kembali menyapa.
Suara bising dari luar kamarnya berhasil mengembalikan kesadarannya yang semalam tertidur di dekat pintu. Bocah sembilan tahun itupun merapat ke pintu untuk bisa mendengar suara bising di luar kamarnya.
"Kami akan membawanya, tapi itu berarti kalian harus rela kehilangan satu putra kalian."
Suara asing seorang pria yang seketika membuat si bocah terbelalak, dia lantas menggedor pintu. Memiliki firasat yang buruk tentang adiknya.
"Abeoji... Buka pintunya! Jangan bawa pergi adikku! Eomoni... Dia tidak boleh pergi, buka pintunya!!!"
Sebuah usaha yang sia-sia, tidak ada satu orang pun yang mau peduli padanya. Dengan raut wajah yang menunjukkan kepanikan, dia kembali menempelkan daun telinganya pada pintu. Kembali mencoba mendengarkan suara dari luar.
"Dengan ini, kalian menyerahkan putra kalian pada Silent Night. Dan mulai hari ini, anak ini bukanlah putra kalian lagi."
"Abeoji!!!" bocah itu mengamuk, kembali menggedor pintu dengan sekuat tenaga tanpa peduli bahwa tangan kecilnya akan terluka. Hingga semua berakhir di saat pintu yang terbuka dan mengantarkannya pada sebuah kenyataan bahwa dia menjadi anak tunggal di dalam keluarganya.
"Abeoji, Eomoni... Aku membenci kalian!"
Selesai di tulis : 01.01.2020
Di publikasikan : 02.01.2020
Akan di perbaharui setiap tanggal 20, di setiap bulannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro