Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Awal

Rasanya sulit, kau tahu? Melihat seseorang yang sangat kau cintai berbicara, berpelukan dan
bermesraan dengan seseorang yang merupakan salah satu temanmu sendiri. Melihat mereka dari
jauh saat mereka selalu terlihat bersama-sama dengan tangan saling bertautan, saling melempar senyum ceria dan tampak begitu bahagia.

Saat itu kau sedang duduk disebuah bangku tersembunyi—atau berdiri layaknya stalkermemperhatikan pasangan itu dengan perasaan
yang begitu campur aduk, dengan senyum pahit yang selalu terlukis di bibirmu ketika melihat semua itu sekaligus merasakan berbagai
denyutan yang terasa perih dari salah satu bagian tubuhmu.

Ya ... semua ini tidak akan terjadi kalau saja kau menyadari perasaanmu yang sebenarnya dari
dulu, ketika laki-laki itu masih selalu menjahilimu, ketika dia selalu menjadi orang pertama yang peduli padamu dan ketika kau
tidak sibuk dengan orang lain yang dulu sangat kau sukai.

Tapi, semuanya sudah terlambat.

Terlambat.

Kau memang bodoh, Tra.

~°~

Untuk yang entah keberapa kalinya cewek itu menghela napas, memperhatikan kepulan uap yang muncul melewati kedua belah bibirnya yang sedikit terbuka
sembari memandang keluar jendela kafe yang sekarang sedang dia kunjungi.

Tanpa sadar salah satu tangannya bergerak secara perlahan mengaduk secangkir kopi yang sudah mulai dingin di hadapan, menikmati ritme gerakan tangan yang membuatnya merasa rileks dan mendengar berbagai percakapan yang berdengung di kafe itu seperti dengungan lebah.

Dia kembali menghela napas lalu mengalihkan pandanganku dari jendela kafe. Sebuah lonceng tanda tamu datang tampak berdenting kecil, menunjukkan seorang perempuan berambut coklat panjang dikuncir kuda memasuki kafe.

Sepertinya dia tahu siapa itu.

"Gal!" serunya memanggil cewek berambut coklat itu sambil melambaikan tangan untuk
menunjukkan tempatnya.

Galih tampak melihat sekelilingnya terlebih dahulu sebelum melihat kearah Citra, dia menampakkan sebuah senyum yang cukup lebar dan kemudian berjalan cepat menuju kursi sahabatnya, menghempaskan dirinya di kursi dengan desahan napas yang begitu keras keluar dari mulutnya.

"Lo lama banget, ada urusan apa tadi?" tanyanya membuka percakapan.

"Ibu gue nyuruh beres-beres toko dulu sebelum pergi, ya ... jadi gue turutin lah daripada ribet urusannya," jawabnya sembari mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Ngomong-ngomong ngapain lo manggil gue kesini?"

Citra tidak menjawab, kepalanya menunduk dan tangannya kembali bergerak untuk mengaduk pelan
kopi yang sudah dingin. Membiarkan Galih untuk menebaknya sendiri.

"Apa tentang si bodoh itu?" tanyanya membuat Sarah menghentikan kegiatannya.

Cewek itu mendongakkan kepala dan mengangguk enggan. "Ya."

Galih mendengus pelan. "Lo masih nggak bisa merelakannya, jidat?"

"Ugh, ya, semacam itu," akunya sedikit meringis.

Galih menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menatapnya lekat. "Lo dan gue kan udah bahas itu berulangkali, lupain aja dia. Dia udah punya Erin dan mereka—"

Citra berdecak pelan dan segera memberi Galih tatapan memelas. "Gue lagi gak mau bahas dia, jangan ucapin dia ataupun hubungannya sama si bodoh itu di depan gue, Gal."

Tangan Galih tiba-tiba saja sudah berada di depannya dan segera memberikan jitakkan yang cukup telak disana, membuat Citra mengaduh berulangkali dan menggosokkan tangannya disana untuk mengurangi rasa nyeri yang mulai berdenyut samar. "Apa-apaan sih, lo? sakit tahu!" ujarnya tidak terima.

Galih hanya tertawa-tawa melihat tampang sahabatnya yang lucu lalu menghentikan seorang pelayan untuk memesan sesuatu yang tidak bisa di dengar karena sengaja membisikkannya pada pelayan itu. Citra masih sibuk mengusap dahinya ketika beberapa menit kemudian seorang pelayan kembali ke meja mereka dengan sebuah kompres ditangannya.

"Nih, buat lo." Galih mengulurkan kompres itu kearahnya yang langsung diterima dan segera menempelkannya di dahi, merasakan sengatan dingin yang mengalihkannya dari rasa perih jitakan Galih.

"Udah, jangan nangis ya, Tra."

Dua hanya mencibir pelan sebagai tanggapan.

Seorang pelayan kembali datang ke meja mereka, kali ini dia membawa sebuah gelas tinggi-ramping yang berisikan sesuatu yang tampak seperti cappucino float, minuman dingin yang seharusnya tidak diminum saat musim dingin menghampiri.

"Lo gila," ucap Citra begitu saja ketika melihatnya menerima gelas itu dan mulai menyesapnya.

Galih mengangkat alisnya, tampak tidak mengerti dengan ucapannya. "Apanya yang gila?"

"Ini 'kan musim pancaroba, Gal-" ucapnya memulai, dia menganggu-anggukkan kepalanya. "-tapi lo malah minum minuman dingin meskipun lo udah tahu."

Galih mengangkat bahunya tidak acuh. "Gue gak pernah suka minuman hangat," tandasnya. "Lagipula, bukannya lo tadi pengen bahas si bodoh itu?"

Citra langsung terdiam mendengar perkataannya.

"Jadi gimana?" tanyanya lagi. "Apa lo gak punya cara untuk lupain dia?"

"Gue gak bisa," jawabnya cepat.

Galih kembali mendesah. "Apa lo gak minat untuk cari cowok lain?" tanyanya. "Angga, misalnya?"

"Dia udah punya kak Yudith," jawabku langsung.

"Luis?"

"Wenda."

"Timothy?"

"Dia lebih cinta bola daripada cewek."

"Dimas?"

Dia menggeleng.

"Ian?"

"Vero."

Galih terdiam selama beberapa saat, tampak mencari nama cowok lain yang mungkin saja bisa cocok dengan Citra—yang sepertinya mustahil—karena hampir semua cowok yang kami kenal sudah memiliki pasangannya masing-masing.

Sambil menunggunya selesai berpikir, cewek itu kembali sibuk mengaduk-aduk kopi dan mulai
menyenandungkan lagu dengan suara cukup pelan. Pikirannya akan mulai berkelana entah kemana jika seandainya saja Galih tidak tiba-tiba menepukkan tangannya tiba-tiba dan membuatnya seketika tersadar.

"Siapa?" tanya Citra akhirnya ketika melihat tatapan matanya.

Galih tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. "Ary!" serunya dengan bersemangat.

Citra segera menggeleng. "Gak."

Sahabatnya itu tampak terkejut dan wajahnya mengerut heran saat menatap Citra balik. "Kenapa? Bukannya lo dulu suka banget sama dia-memuja-kalau bisa dibilang, setahu gue."

"Sekarang gak," jawabnya. "Lagipula lo seharusnya tahu apa penyebabnya, Gal, lo sempat nyebutin dia tadi."

Galih kembali terdiam lalu menepuk dahinya dan menampilkan senyum minta maaf ke Citra. "Sori, Tra...."

Dia hanya mendengus pelan sebagai tanggapan. Kadang-kadang Galih bisa begitu mirip dengannya-si bodoh maksudku-padahal mereka tidak sedarah sama sekali, teman juga bukan.

"Lo masih sering ngestalk si bodoh itu, ya?" tanya Galih yang seketika membuatnya tergeragap kaget.

"Apaan sih?" tanya cewek itu sedikit tersendat. "Lo emang tahu dari-"

Dia segera menutup mulutnya sebelum ucapannya lengkap, merutuki sifatnya yang sangat mudah untuk kelepasan bicara ketika mulai panik atau kelewat bersemangat, sifat yang begitu tidak menguntungkan ketika sedang bersama dengan Galih yang mudah
menebak perasaan teman-temannya.

Galih segera tersenyum penuh kemenangan ketika melihat salah tingkah Citra. "Jadi bener. Lo ngelakuin itu setiap hari gak?"

Dia menggelengkan kepalanya cepat dan tegas. "Enggak."

"Bohong," ujar Galih terdengar menuduh yang tidak ditutup-tutupi. "Gue sering ngelihat sendiri kalau lo sering kelihatan di tempat yang sama dengan si bodoh dan Erin pas lagi pacaran."

Citra tidak menjawab apapun.

"Kalau begini terus gimana lo mau ngelupain dia, jidat?" tanya Galih lagi untuk entah yang keberapa kalinya hari ini. Dia terlihat mulai lelah dengan masalah patah hatinya yang tidak kunjung sembuh. "Apa lo pengen gue jodohin sama salah satu kenalan gue?"

"Buat apa?" tanyanya balik. "Emang mereka kenal gue?"

Galih mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Mungkin enggak. Tapi apa salahnya nyoba dulu? Siapa tahu ada yang cocok."

Citra hanya menggelengkan kepala, dia sama sekali tidak ingin dijodohkan dengan seseorang
yang tidak dikenal meskipun orang itu mengenal sahabatnya. Tapi ... dia segera menggelengkan kepalanya sebelum pemikiran itu memasuki
benaknya lebih lanjut. Itu tindakan bodoh dan sama sekali bukan ciri khasnya.

Terdengar sebuah nada dering yang cukup keras yang membuat.keheningan diantara mereka terpecah. Galih segera membuka tasnya dan meraih ponselnya, memberi tatapan sekilas pada layar ponselnya sebelum mengangkat panggilan itu. "Halo, Sa-"

Citra segera 'menutup' telinganya lalu meraih cangkir untuk menghabiskan cairan kopi
yang sudah dingin hingga tidak terasa enak lagi. Dia kembali mengalihkan tatapannya ke jendela untuk melihat pemandangan
diluar dan melihat butiran-butiran air hujan turun cukup deras di luar, hampir semua orang mengenakan payung dan jaket untuk menghalau udara lembap.

Pandangan matanya tiba-tiba terhenti pada sesosok laki-laki yang sepertinya sangat dia kenali sedang duduk dibangku sebuah restoran yang terletak diseberang kafe tempatnya berada. Jantungnya segera berdenyut lebih cepat ketika melihatnya, sosok berambut hitam jabrik yang khas-Alex-seseorang yang amat dia rindukan akhir-akhir ini, semenjak dirinya resmi ... lupakan.

Citra merasakan napasnya tertahan ditenggorokan, dia harus segera keluar.

Dengan cepat dia segera mengambil mantel yang tersampir di sebelah bangkunya lalu melangkah keluar kafe, mengabaikan panggilan Galih yang masih sibuk menelepon dengan Saka. Citra merasakan napasnya terengah, menyapukannya pada kafe itu lagi dan masih menemukannya disana, memainkan ponselnya dan tidak bersama dengan siapapun.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Dia mengalihkan pandangannya ke lampu pejalan kaki yang masih menyala merah, mengetukkan kaki dengan tidak sabar. Cepatlah, batinnya.

Ting! Lampu akhirnya berubah menjadi hijau.

Dia segera melangkahkan kakinya melewati jalan itu dan menghampiri restoran itu, senyum mulai terkembang dibibirnya ketika hampir sampai di restoran tempat Alex berada, mulai merasa bersemangat untuk menemuinya lagi dan berbicara banyak dengannya.

"Ah!" serunya terkejut merasakan sesuatu menabrak tubuhnya.

Citra mendongak dan menatap seraut wajah datar dengan mata sewarna hazel menatapnya balik. Dia mengerjap sekali-dua kali sebelum merasakan sesuatu yang hangat meresap ke lengan jaketnya dan tersadar bahwa sesuatu mungkin tumpah.

"Astaga, maaf, gue gak sengaja."

Citra menatap mantel cowok itu yang kini ternoda dengan cairan kopi lalu segera meraih kedalam kantong jaket untuk mencari sapu tangan, berusaha membersihkannya. Tangannya sudah mulai bergerak untuk membersihkannya ketika sebuah suara menginterupsi kegiatannya.

"Tidak usah," ujar suara itu terdengar lembut dan dingin secara bersamaan.

Dia segera mendongak dan menatap cowok itu yang masih memasang wajah datar tersebut. "Tapi-"

"Siapa nama lo?" tanyanya yang seketika membuat keningnya berkerut bingung.

"Apa?" apa aku salah dengar?

"Siapa nama lo?" tanyanya lagi.

Hah? "Citra....?"

"Mario," ucapnya meraih tanganku dan menjabatnya, cukup kuat. "Lo harus nraktir gue sebagai permintaan maaf."

Hah? Dia mengerutkan keningnya bingung. Apa-apaan orang asing ini?
"Maaf-" dia menatap sekilas kearah tempat Alex duduk tadi, dia masih di sana. "Gue masih ada urusan, Mario. Apa bisa lain hari aja gue gantiinnya?"

"Jadi lo gak mau bertanggung jawab?" tanya cowok itu terdengar semakin dingin.

Dia segera mengalihkan pandangannya kearah cowok itu, mengabaikan suaranya yang terdengar sedikit menyindirnya dan mengerutkan kening agak kesal kepadanya. Apa dia gak tahu kalau gue lagi buru-buru?

Citra menggelengkan kepalanya cepat lalu merogoh tasnya untuk meraih ponsel. "Boleh minta ponsel lo sebentar?"

Cowok itu menatapnya selama beberapa saat lalu tanpa berkata apa-apa menyerahkan ponselnya. Citra segera menerimanya dan mengetikkan nomor ponselnya disana dan men-dial, membuat nomornya segera tertera di ponsel cowok itu dan kemudian melakukan hal yang sama pada ponselnya.

"Itu nomor gue," ucapnya seraya mengembalikan ponselnya pada cowok itu. "Lo bisa hubungin gue lagi nanti."

Citra kembali menatap cowok itu untuk menunggunya memberi tanggapan entah apa, tapi dia tidak berucap apapun dan malah masih
menatap layar ponselnya yang masih menampilkan nomornya dengan pandangan yang sulit di artikan.

"Mario?"

Citra melambaikan tangannya di depan wajahnya selama beberapa saat untuk menyadarkan dari posisinya yang tetap tidak bergerak lalu mulai menjetikkan jari di wajahnya, menepuk-nepuk bahunya beberapa kali dan menggoyang-goyangkan salah satu lengannya. Tidak bereaksi.

"Baiklah," akhirnya suara cowok itu kembali terdengar ketika aku mulai menyerah menyadarkannya. "Lo boleh pergi."

"Makasih!" seru Citra bersemangat lalu meninggalkan cowok itu

Tunggu gue, Lex.

.

.

.

.

.

"Gimana?" tanya seorang cewek pada seorang cowok yang kini sedang membuka mantelnya dan menyampirkannya di sebelah bangku yang dia tempati.

"Apanya yang gimana?"

Cewek itu mendesah pelan mendengar tanggapan balik cowok itu. "Gimana pendapat lo tentang Citra?"

Cowok itu terdiam tidak menjawab selama beberapa saat, tampak memikirkan jawaban yang
cocok untuk menggambarkan cewek yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu. Berambut hitam dipotong pendek sebahu, bermata coklat gelap, berhidung dan bermulut mungil dengan dahi lebar tanpa poni.

"Biasa aja," jawab cowok itu dengan datar. "Dia berisik."

Cewek itu tersenyum. "Lo tertarik kan?"

Cowok itu mengerutkan keningnya bingung. "Gue gak tertarik. Lo gak dengar ucapan gue barusan?"

"Gue denger dengan jelas, kok," jawab cewek itu lugas. "Lo bilang dia berisik dan biasanya lo berkata begitu pada orang yang pada akhirnya jadi temen dekat lo. Jangan bohongin gue karena gue salah satu orang yang dekat sama lo setelah lo berucap begitu."

Cowok itu berdecak pelan lalu membuang pandangannya kearah jendela kafe-tidak menanggapi ucapan cewek beriris hitam itu lebih lanjut karena ucapannya memang benar. Dia memang sedikit tertarik pada sahabat temannya itu.

"Untuk apa lo nanyain pendapat gue tentang dia?" tanya cowok itu tiba-tiba.

"Gue mau meminta bantuan lo."

Cowok itu seketika menoleh dan menatap cewek itu ketika mendengar nada suaranya yang tiba-tiba terdengar serius. "Bantuan apa?"

"Gampang," jawab cewek itu dengan senyum kecil. "Gue mau lo jadi pacarnya Citra."

"Apa? Lo bercanda," ujar cowok itu mengerutkan keningnya lagi. "Gue aja baru ketemu dia tadi."

Cewek itu menggeleng. "Gue gak bercanda, Citra butuh seseorang untuk gantiin Alex dan—"

"Tunggu sebentar," dia memotong ucapan cewek itu. "Lo minta gue untuk deketin orang yang lagi patah hati?"

Cewek itu mendelik mendengar ucapan cowok itu. "Jangan ngehina Citra, kalau dia dengar tamat riwayat lo, Mar."

Cowok yang dipanggil Mario itu mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Mana gue tahu."

Mereka terdiam selama beberapa saat, menikmati suasana kafe yang tidak terlalu ramai meski dapat mendengar berbagai obrolan yang
berdengung disana dengan musik yang mengalun pelan memenuhi seluruh kafe tersebut.

"Jadi ... gimana?" tanya cewek itu lagi.

"Oke," dia menjawab dengan nada datar.

Cewek itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ketika beberapa saat kemudian cowok itu membalas ulurannya. "Deal," ujarnya. "Jangan lupa menepatinya, Mario."

Cowok itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meraih mantelnya dan mengenakannya kembali. "Gue duluan, Galih," ujarnya pada cewek itu lalu bangkit dari tempat duduknya.

Galih tersenyum menanggapi. "Ya, sampai jumpa, Mar. Lo gak akan nyesal kok."

"Terserah apa katamu, Gal."

~*~

Aku terhura ada yang mau baca kumpulan cerpen ini, wkwkwk.

Cerita ini (sama yang setelah ini) pernah kupublish di fanfiction.net- fandom naruto-jadi aku sama sekali gak memplagiat ya ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro