Yang Terpikirkan
Haloha.... part 31 up nih guys...
Btw. Sebelumnya aku jujur jadi lucu pas baca komen di part sebelumnya yang pada nanyain arti makan ramen cewek cowok di Korea... Ehm, jadi guys... Elena sih nggak salah banget waktu ngomong itu 'bentuk penerimaan'... cuma yang jadi soal itu adalah penerimaan yang seperti apa... hahahha... 😂😂😂
jadi, itu biasanya sinyal yang diberikan oleh lawan jenis ya... kalau mereka bener-bener menerima, ini kalau bahasa halus Elena yaaa... hahahha... Bahasa halus orang umum sih maksudnya karena udah nerima ya mereka ngajak menghabiskan waktu bersama... Kalau diartikan vulgar sih lain cerita... 😂😂😂 kurang lebih, lampu hijau gitu lah...
==========================================================================
Bapak ingin menceritakannya?
Menceritakannya pun tak akan mengubah apa pun yang sudah terjadi kan? Jadi, untuk apa? Lebih baik meninggalkannya di masa lalu dan tak perlu mengingatnya sedikit pun. Lebih baik terus melanjutkan kehidupan seperti biasanya. Seolah tak ada yang telah terjadi.
Apa dia mendadak merasa memiliki hak untuk menanyakan hal seperti itu?
"Dad..."
"Dad..."
"Daddyyyyy?"
Abraham mengerjap. Ia menoleh pada Claressa yang ternyata sedari tadi telah memanggil dirinya. Lalu, ia beralih pada cangkir kopi yang mengambang beberapa sentimeter di depan mulutnya.
"Oh, apa?"
Claressa untuk beberapa detik hanya memandangi Abraham tanpa ekspresi. Ia telah menyelesaikan sarapannya dan bersiap untuk berangkat.
"Aku bilang tadi," kata Claressa, "aku pergi dulu."
"Oh...," lirih Abraham. "Iya."
Bola mata Claressa berputar-putar seraya beranjak dari sana. Di teras, Doni yang tengah mengelap mobil langsung beranjak.
Claressa mendapati Elena tengah duduk di kursi. Ia mendekati wanita itu.
"Len, ayoh pergi."
Elena menarik napas panjang.
Bapak ingin menceritakannya?
Memang menceritakannya tidak akan membuat perubahan untuk masa yang telah terjadi. Tapi, mungkin menceritakannya bisa membuat kita lebih lapang menerima semua hal buruk tersebut. Agar benar-benar melepas diri dari ikatan kenangan menyakitkan itu. Nyatanya, kalau hal itu benar-benar telah dilupakan, tidak seharusnya hal itu membuat perubahan pada diri kita. Lagipula, kita perlu benar-benar membebaskan diri untuk bisa kembali merasakan bahagia kan?
Ternyata, untuk hal sesederhana itu saja dia bisa menjadi begitu keras kepala. Sifat aslinya keluar kembali.
Claressa melangkahkan kakinya. Doni dengan segera membuka pintu untuk Claressa, tapi gadis kecil itu menoleh.
"Len?"
Elena masih duduk di kursi. Tatapannya entah mengarah ke mana.
"Len?" Claressa kembali memanggil Elena.
Elena masih tak merespon panggilan Claressa.
"Len!" panggil Claressa dengan nada agak tinggi.
"Astaga, Non!" Elena terkaget di tempatnya. Kepalanya toleh kanan toleh kiri. "Non?"
Claressa menarik napas dalam. "Aku di sini." Claressa melambai di sisi mobil.
"Ah!" Elena segera bangkit menghampiri Claressa, membantunya untuk duduk.
Ketika mobil telah berjalan, mendadak Claressa berkata.
"Mengapa orang hari ini seolah tidak ada yang mendengar suaraku?"
Doni melirik. "Apa, Non?"
Sudut bibir Claressa naik. "Nah, lihat. Elena mendadak budek kan ya?"
Doni menoleh pada Elena, lantas ia terkikik pelan.
Elena seolah tersentak. "Eh? A-Apa?"
Tawa Doni meledak.
"Heran aku, Don," gerutu Claressa. "Kenapa orang-orang mendadak budek?"
Elena menoleh ke belakang. "Maaf, Non."
Claressa mengerutkan dahinya melihat Elena yang mengerjap-ngerjap. Gadis itu cemberut melihat Elena yang baru merespon perkataan darinya.
"Aku dari tadi cerita nggak kamu denger ya?"
Elena kembali mengerjap. "No..na cerita apa ya? He-he."
"Yang bener aja, Len," kata Claressa tak percaya. "Aku udah ngomong banyak tapi nggak didengerin."
Elena menyunggingkan senyum rasa bersalahnya. "Apa sih, Non? Cerita lagi dong."
Claressa memicingkan matanya. Kedua tangannya lantas terangkat dan bersidekap. "Kalau nggak dengan kamu, pasti aku udah marah-marah kini."
"He-he. Apa, Non, apa?"
"Itu, Len," kata Claressa kemudian seraya menyandarkan punggungnya. "Sabtu besok kami ada acara jalan-jalan kelas."
"Ough. Anak SD ada acara jalan-jalan kelas ya?" tanya Elena bingung.
Doni yang kemudian menjawab. "Jangan samakan SD Nona dengan SD kita dulu. Maklum. Namanya aja sekolah tempat orang-orang kaya. Itu jadwal mereka sebelum ujian akhir semester."
"Aaah," lirih Elena mengangguk-angguk paham. "Jalan ke mana, Non? Berapa lama?"
"Cuma semalam sih, Len. Ke puncak."
"Nginap, Non?"
"Makanya itu," kata Claressa. "Kamu ikut kan ya?"
Elena mengangguk. "Aman, Non."
Wajah Claressa tampak sumringah. "Apa sebelum pergi kita belanja dulu, Len?"
"Mau belanja apa, Non?"
"Kita beli piyama kembar, Len. Teman-teman aku selalu pake piyama kembar dengan ibunya kalau lagi ada acara di puncak."
Elena kembali mengangguk. "Kapan mau belanja, Non?"
"Pulang sekolah nanti gimana?"
"Tapi, kita pulang ke rumah dulu ya baru pergi belanja?"
"Kenapa kita tidak langsung saja pergi dari sekolah, Len?"
Elena menggeleng. "Dari kecil saya selalu diajari untuk melepas seragam sekolah sebelum pergi main atau pergi ke mana pun, Non."
Claressa manyun.
"Memang apa masalahnya?"
Elena mendehem. Memang sih Elena tidak tahu pasti untuk kebiasaan satu itu yang orang tuanya tanamkan sejak dulu.
"Ah, biar baju seragamnya nggak kotor, Non," kata Elena sekenanya. Lantas tertawa.
"Berarti kalau aku nggak pake seragam, kamu juga nggak pake seragam, Len?"
Elena memikirkannya. "Apa saya nggak pake seragam aja nanti, Non?"
Claressa tersenyum lebar. "Biar sama kan?"
"Oke."
*
Ketika sore itu Doni mengendarai mobil untuk mengantar Elena dan Claressa belanja, Elena berkata pada pria itu.
"Don, nanti kamu ikut kami keliling ya."
Doni menoleh. "Eh? Biasanya juga saya nunggu di parkiran, Mbak."
"Ya kali saya bawa barang belanjaan banyak," kata Elena. "Kita butuh cowok untuk ngangkat belanjaan kita kan ya, Non?"
"Iya dong. Masa kamu tega sama Elena, Don?"
Doni manyun. "Cowok selalu saja dapat bagian yang tidak menyenangkan."
Elena dan Claressa tertawa.
Mereka langsung menyasar toko pakaian. Seperti yang diinginkan Claressa, gadis kecil itu hendak mengenakan piyama kembar untuk acara jalan-jalan itu. Jadi mereka langsung melihat pilihan yang tersedia untuk mereka.
"Kita pilih piyama lengan panjang aja ya, Non," pinta Elena ketika dilihatnya Claressa tampak melihat-lihat piyama gaun selutut. Membayangkannya membuat Elena merinding. "Saya bener-bener nggak mau kedinginan di Puncak ntar, Non."
"Kan bica pake jaket, Len."
"Tapi kan kaki saya nggak bisa pake jaket, Non."
Claressa menunjukkan piyama gaun bewarna merah muda. "Tapi, ini cantik banget, Len."
Elena menunjukkan piyama setelan lengan panjang bewarna ungu muda. "Tapi, ini juga cantik banget, Non."
Claressa menatap Elena. "Bagaimana kalau kita beli semuanya, Len?"
"Eh?"
"Di Puncak kita pakai yang lengan panjang, di rumah kita pakai yang gaun." Claressa tersenyum. "Adil kan?"
Ya memang adil sih, tapi untuk apa sampai pakai piyama kembar di rumah?
Tak ingin membuat majikannya sedih, Elena pun mengangguk.
"Aku juga mau beli celana baru, Len."
Elena menyetujuinya. Jadi, sepanjang sore itu Elena benar-benar menemani Claressa belanja. Sejujurnya, ini pun bukan hal baru untuk Elena. Ingat? Dia anak tertua dengan empat orang adik. Ia sudah terbiasa membelikan adik-adiknya pakaian. Terutama ketika uang beasiswanya dulu cair.
Doni di belakang mereka hanya geleng-geleng kepala. Ia bergumam rendah. "Sepertinya jauh lebih baik macet-macetan di jalan ketimbang muter-muter di mall nemeni cewek belanja."
Tiap saat, kantung belanjaan di kedua tangannya makin banyak. Doni pun jadi terheran-heran karenanya. Mereka awalnya mengatakan hanya ingin beli piyama kembar loh ya. Yang kalau dipikirkan lagi seharusnya hanya membuat satu kantung belanjaan di tangan Doni. Tapi, entah mengapa selama hampir tiga jam di sana, Doni justru membawa kantung belanjaan sebanyak tujuh buah. Ckckckck. Dari harapan hanya membawa satu kantung justru berubah menjadi tujuh kantung. Dan itu pun terlihat bahwa dalam waktu dekat akan bertambah lagi. Dua wanita belanja memang sangat menakutkan!
"Mana yang cantik, Len?"
Elena melihat dua pasang kaos kaki yang disodorkan Claressa. "Cantik yang gambar Teddy kayaknya, Non."
Claressa mengangguk. "Selera kita ternyata hampir mirip ya."
Elena membiarkan Claressa untuk memilih kaos kaki, syal, dan penutup telinga yang ia suka. Melihat betapa semangatnya Claressa, Elena menduga kalau mereka sebenarnya memang akan pindah ke Puncak, bukannya hanya menginap satu malam.
Bertambah lagi satu kantung belanjaan yang dibawa Doni. Elena nyengir melihat wajah nelangsa Doni.
Mereka kemudian memasuki toko lainnya. Kali ini Claressa ingin membeli sepatu. Elena melihat-lihat beberapa pilihan sepatu anak-anak di display. Sementara Claressa disuruhnya untuk duduk terlebih dahulu. Ia pikir Claressa tentu letih berjalan selama itu.
Elena meminta pelayan untuk mengambil satu sepatu kets bewarna merah muda. Melihatnya sebentar sebelum ia tertarik pula dengan pilihan yang bewarna biru. Tapi, Claressa memang sangat menyukai warna merah muda.
Elena membawa kedua pilihan itu menuju ke kursi tempat Claressa duduk tadi. Tapi, Elena terkejut mendapati Claressa tak ada di sana.
Ia sontak meletakkan kembali sepatu itu dan menghampiri Doni yang tampak juga sedang melihat-lihat sepatu.
"Don! Nona ke mana?"
Doni menoleh dan menunjuk. "Kan Nona duduk di---" Mata Doni melebar. "Nona ke mana, Mbak?"
Elena sekuat tenaga menahan keinginan dirinya untuk membanting kepala Doni ke lantai. "Kan aku yang duluan nanya. Nona ke mana?"
Mereka seketika panik. Bergegas ke luar dari toko dan saling berpencar untuk mencari majikannya.
Elena melihat kerumbunan orang. Jantungnya berdebar bagai ditabuh. Doni yang melewati kerumbunan itu mendadak terpaku untuk beberapa saat. Kemudian, pria itu berlari menghampiri Elena.
"Mbak..," lirih Doni. "Ini gawat."
Elena memaksakan kakinya untuk melangkah. Ketika ia telah mendekat, ia mendadak mendengar suara Claressa.
"Mommy..."
*
tbc...
hayooo loh... kira-kira apa yang bakal terjadi di part selanjutnya guys??? heheheh
btw. ini aku up sambil ngitung soal Matematika loh ya... mudah-mudahan ga ada rumus yang masuk di sini... hahahha
Pkl 20.02 WIB...
Bengkulu, 2020.04.14...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro