Uluran Masa Depan
Selamat pagi menjelang siang semuanya...
ududududu... aku mau up part 45 nih... walaupun aku sempat ragu, ini aman ga ya diup pagi gini... hehehhe... ada satu scene sih, tapi aku rasa masih agak aman... hahahhaa... dibandingkan dengan scene aku yang sudah-sudah... 😂😂😂 (dasar otak echi)
tapi, walaupun begitu aku harap part ini ga buat puasa kalian batal. 😅😅😅
oh iya, sebelumnya... aku mau ngucapin makasih buat simpati kalian ya.. terima kasih banyak... 🤗🤗🤗
=========================================================================
"Elena..."
Elena tersentak. Satu suara berat, dalam, dan pelan memanggil namanya.
Sejenak membuat ia tersadar bahwa ia telah jatuh tertidur berurai air mata sedari siang tadi. Ketika ia melarikan tatapannya ke jendela, ia terkejut. Langit telah menggelap. Selama itukah aku tertidur?
Mungkin memang terlalu lama hingga kepala Elena berdenyut karenanya.
"Elena..."
Suara itu bukan halusinasi yang Elena duga sebelumnya. Suara itu terdengar begitu nyata. Suara itu... Abraham!
Mata Elena melotot. Sontak ia bangkit dari lantai dan menempel pada pintu dengan jantung berdebar.
Elena menahan napas.
"Aku tahu kamu di dalam sana mendengar suara aku. Iya kan?"
Elena diam. Sedang jantungnya tak bisa diam.
"Kamu baik-baik saja, Len?"
Elena menguatkan hati untuk tidak membuka pintu dan menghambur dalam pelukan pria itu. Entah mengapa, tapi yang terpikir di benaknya hanyalah menangis padanya.
"Aku harap kamu baik-baik saja. Sebenarnya, aku sangat ingin bicara dengan kamu sekarang. Tapi, aku tahu situasinya sedang nggak mendukung. Keluarga aku mulai berdatangan dan rumah semakin ramai."
Elena mendengar dengan saksama tiap perkataan Abraham.
"Aku masih nggak tahu apa sebenarnya yang terjadi, tapi untuk menjaga keadaan, aku meminta Darrel untuk pulang ke rumahnya dan nggak perlu ikut berkumpul di sini."
Elena menggigit bibir bawahnya. Darrel pasti sudah cerita ke dia.
"Jadi, aku harap itu bisa membuat perasaan kamu lebih baik. Aku... baru benar-benar menyadari kalau aku memang nggak tahu apa-apa tentang kamu..."
Elena tidak ingin, tapi suara Abraham membuat air matanya menetes.
"... tapi, Elena. Aku juga baru benar-benar menyadari sesuatu. Ngeliat kamu seperti ini benar-benar membuat aku sakit."
Air mata kembali menetes ketika Elena memejamkan matanya.
"Aku sungguh-sungguh cinta kamu, Len."
Ucapan itu terjeda untuk beberapa saat.
"Aku harap kamu mau memberi kesempatan untuk aku."
*
Claressa menatap Elena dengan khawatir. Tangan kecil itu meraih tangan Elena, tampak matanya yang berkaca-kaca.
"Kamu sakit, Len? Kenapa kamu nggak keluar kamar semalaman?"
Rasa bersalah langsung menghujam Elena. Sekuat tenaga ia memulas senyum di wajahnya. Menunduk dan mengusap kepala Claressa.
"Kepala saya mendadak pusing kemarin, Non. Maaf ya nggak bisa bantu Nona belajar malam tadi."
Claressa mengembuskan napas lega. "Cuma pusing kan ya? Aduh, aku pikir kamu sakit berat, Len."
Elena tersenyum sendu.
"Aku malam tadi belajar sendiri, tapi tenang aja. Aku kan pintar, jadi ujian tadi bisa aku kerjakan dengan mudah."
"Nona memang pintar."
Claressa beringsut untuk duduk lebih dekat pada Elena. Lalu ia merebahkan kepalanya di pangkuan Elena.
"Soalnya kan tiap malam kamu udah ngajarin aku, Len. Jadi, aku masih ingat semua pelajarannya," kata Claressa.
Elena mengusap dahi Claressa. "Mau tidur siang?"
"Iya, sebentar aja. Nanti sepupu-sepupu aku yang lain pasti datang, jadi bakal tambah rame. Aku nggak bisa tidur siang kalau mereka ngajak main ntar."
Dan siang itu, Elena menemani Claressa untuk tidur siang.
Yang dikatakan oleh Claressa memang benar adanya. Sore itu ada lagi keluarga mereka yang datang, terutama anak-anak. Praktis pekerjaan Elena bertambah. Mengasuh semua anak kecil di sana. Tapi, karena Elena sudah terbiasa menghadapi Claressa versi nakal, maka tak susah bagi Elena menaklukkan anak-anak lainnya.
Suasana di rumah besar itu semakin ramai ketika keesokan harinya, sesuai jadwal, orang tua Abraham akan datang. Ketika Elena bingung mengapa acara itu terlihat begitu besar, akhirnya Elena menemukan jawabannya di dapur.
"Tuan dan Nyonya besar itu sama-sama anak pertama dari dua keluarga. Yang mana, sebenarnya anak pertama akan selalu menjadi prioritas di beberapa keluarga."
"Benar sekali," kata Lola menyetujui perkataan Bu Siti. "Jadi, wajar saja kalau mereka mengadakan acara, maka itu akan menjadi acara yang besar."
Elena manggut-manggut.
Intan menyikut perut Elena. "Nanti siang Tuan dan Nyonya Besar akan sampai dengan Tuan Jack. Persiapkan diri kamu buat ketemu dengan mereka ya."
Elena meneguk ludahnya.
Jadi, akhirnya Elena benar-benar bertemu dengan mereka. Siang itu, Pak Restu menjemput mereka di bandara. Lalu, ketika mereka tiba, semua keluarga menyambutnya. Terutama Abraham dan Claressa yang berdiri paling depan.
Dari pertemuan singkat di dapur tadi, Elena mengetahui bahwa orang tua Abraham bernama Michael Rhodes dan Ayuhdia Wulandari. Ia melihat dengan jantung berdebar, entah karena apa. Tapi, kedua orang tua itu tampak tersenyum padanya saat Claressa menariknya mendekat.
"Babysitter aku yang baru, Oma. Namanya Elena."
Elena tersenyum ramah. Mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Tak banyak interaksi antara mereka mengingat bahwa Elena hanya seorang babysitter. Ketika kedua orang tua tersebut berlalu masuk ke dalam, bergabung dengan anggota keluarga yang lain, saat itulah suara Claressa pecah.
"Uncle Jack!"
Elena menoleh. Majikan kecilnya itu tampak berlari dan menghambur pada seorang pria.
Pria itu jelas terlihat begitu mirip dengan Abraham, dengan beberapa perbedaan sebenarnya. Setidaknya Elena bisa melihat itu di warna rambut dan warna bola matanya. Bila Abraham memiliki rambut hitam dan mata kelabu, sebaliknya. Jack memiliki rambut pirang dan mata hitam.
Abraham mengikuti Claressa. Menepuk punggung pria itu yang seketika langsung menggendong Claressa.
"Jack, apa kabar?"
Elena mengamati sekilas. Dalam sekali pandang saja Elena bisa membenarkan perkataan Intan dan Lola waktu itu. Dari wajahnya, terlihat bahwa Jack adalah tipe pria yang ramah dan mudah bergaul dengan semua orang.
"Ehm... Aku beruntung masih hidup, Mas."
Tangan Claressa membingkai wajah pamannya itu. "Sudah lama nggak ketemu Uncle."
"Nggak kiss, Sa?" tanya Jack tertawa seraya menyodorkan satu pipinya.
Abraham tersenyum melihat Claressa yang seketika langsung memberi satu ciuman di pipi Jack.
"Ah, iya. Uncle mau ketemu sama Elena?" tanya Claressa kemudian.
Jack melirik Abraham, lalu pada Claressa kembali. "Siapa Elena?"
Claressa sedikit memutar tubuhnya, menunjuk Elena. "Itu Elena. Dia babysitter aku. Tapi, orangnya cantik dan pintar."
Jack tertawa, sedang Elena tersipu.
Claressa beralih pada Abraham. "Iya kan, Dad? Daddy juga bilang kalau Elena cantik."
Mata Abraham dan Elena seketika membulat. Dengan cepat Elena bergerak, maju dan menyapa.
"Selamat datang. Saya Elena."
Jack tersenyum. "Jack."
"Kamu pasti capek," kata Abraham kemudian. Menyadari aura tak nyaman Elena. "Kita masuk dulu ke dalam. Kamu harus istirahat, sebelum anak-anak mulai menggerumuni kamu."
Jack tertawa. Seraya membawa Claressa dalam gendongannya, kakinya melangkah masuk. Meninggalkan Elena sendiri di pelataran rumah.
Saat ia berencana masuk, satu pesan yang diterima ponselnya membuat ia bingung.
Orang-orang akan sibuk dengan Mom dan Dad.
Anak-anak biasanya akan mengajak Jack main.
Kita ada waktu.
Aku ingin kita bicara sekarang.
*
Kelogisan di benak Elena membenarkan tindakannya sekarang. Ia tak bisa terus menerus menghindari Abraham. Dan apa pun yang terjadi, menghadapi pria itu akan lebih mudah daripada memancing ia untuk marah. Bukan berarti Elena takut dengan kemarahan Abraham. Gadis itu sudah cukup membuktikan bahwa ia benar-benar tercipta tanpa rasa takut terhadap Abraham. Tapi, tetap saja. Itu tanpa ada kehadiran hampir seluruh anggota keluarganya. Elena tidak ingin menjadi tontonan satu keluarga besar. Maka, setelah makan siang, menjelang istirahat sore, ia diam-diam pergi menemui Abraham di ruang kerjanya.
Elena duduk dengan gelisah. Di hadapannya Abraham terlihat lebih tenang.
"Apa kita nggak apa-apa bertemu seperti ini?"
Abraham meyakinkannya. "Tenang saja. Mom dan Dad pasti akan sibuk ngobrol dengan paman dan bibiku. Terlalu banyak yang akan mereka obrolkan. Dan anak-anak, kamu juga ngeliat gimana tadi mereka menarik Jack untuk bermain di halaman. Termasuk dengan Claressa."
Pelan-pelan, Elena menarik napas.
"Dan kalau pun kamu takut," sambung Abraham, "pintu sudah aku kunci."
Bukannya Elena merasa lebih aman, ia justru merasa tambah gugup karena menyadari Abraham mengurung diri mereka berdua di ruangan itu. Kalau ada sesuatu yang di luar kendali, apa ia harus melompat dari jendela?
Glek.
Elena melirik jendela-jendela besar yang terbuka. Angin sepoi-sepoi masuk melaluinya dan membuat udara terasa lebih sejuk.
"Jadi..."
Suara Abraham kembali membuat Elena terfokus pada pria itu.
"Kamu mau menceritakannya?"
Elena menarik napas. "Aku pikir Darrel pasti udah cerita semua dengan kamu."
Abraham diam.
"Tentu saja dia sudah cerita dengan kamu," kata Elena muram. "Jadi, apalagi yang mau kamu tau?"
"Aku ingin tau yang sebenarnya langsung dari kamu," tegas Abraham. "Bukankah ini nggak adil? Kamu tau semua tentang aku, sedangkan aku buta tentang kamu."
"Lantas, setelah kamu tahu, apa selanjutnya?" tanya Elena. "Apa akan ngubah masa lalu? Nggak kan? Jadi untuk apa?"
Abraham menatap Elena. Entah disadari oleh gadis itu atau tidak, tapi kedua bola mata bening yang selalu menatap dengan sorot berapi-api itu tampak meredum. Seakan ada awan mendung yang menaungi di sana. Dan Abraham tidak suka itu. Ia butuh Elena yang biasanya.
"Kamu ingin menceritakannya?"
Elena tertegun seketika. Itu pertanyaan yang biasa. Sangat biasa, tapi Abraham melontarkannya dengan penuh kelembutan dan rasa simpatik yang membuat isi perut Elena berasa bagai bergejolak.
Abraham tidak menatapnya dengan tatapan merendahkan. Pria itu menatapnya dengan kekaguman yang Elena bingung karena apa. Ada juga sorot pengharapan yang ia ragu untuk apa. Tapi, selebihnya adalah tatapan yang meyakinkan Elena bahwa pria itu tidak akan menghakiminya.
Ya Tuhan.
Pria itu tidak menginginkan penjelasannya. Pria itu menginginkan keterbukaan darinya.
Kepercayaannya.
Abraham seolah menawarkan perjanjian di mana ia bisa yakin bahwa ia akan selalu mendapati seseorang yang mengulurkan tangan padanya.
Jadi, ini sepenuhnya adalah keputusan Elena. Menerima uluran itu atau tidak.
Lalu, tangis Elena pecah.
Abraham segera bangkit. Mendekatinya. Lalu merengkuh tubuh mungil itu ke pelukannya. Meremas tangannya dan memberi tangannya untuk menjadi pegangan gadis itu.
Beberapa saat, Abraham membiarkan Elena untuk menumpahkan tangisnya. Ini bukan tangis karena merasa hidupnya tak berguna. Bukan tangis karena merasa sudah lelah dengan kehidupan. Tapi, ini tangisan bertahun-tahun di mana ia menyimpan segala sesuatu kesedihan dan kemalangannya seorang diri, tanpa bisa mengeluarkannya karena ada perasaan-perasaan yang harus ia jaga.
Ia tak bisa menceritakan semua yang ia alami pada orang tuanya. Melihat tubuh tua mereka mengetahui kesedihan yang ia alami, tidak pernah menjadi pilihan Elena. Jadi, ia pendam sendiri.
Ia tak bisa menceritakan semua yang ia alami dengan sahabatnya. Melihat gadis muda itu susah dengan kehidupannya, membuat Elena tak ingin benar-benar menangis pada Rinda. Jadi, ia tahan sendiri.
Tapi, semua ada batasnya. Dan kali ini adalah batasan untuk Elena. Abraham menawarkan itu padanya, jadi ia akan menyambutnya.
"Aku..."
Tangan Abraham berulang kali mengusap punggung Elena. Dan ia membiarkan tangannya diremas semakin kuat oleh Elena tatkala gadis itu akhirnya membuka diri padanya. Tentang apa yang ia alami, tentang apa yang ia pendam seorang diri, tentang luka yang masih menganga hingga kini.
"Aku harus bertahan selama itu dengan orang-orang yang selalu memandang aku sebagai wanita yang bermodalkan wajah. Aku harus tersenyum di hadapan orang-orang yang padahal di belakang aku justru menggosipkan aku. Apa pun yang aku lakukan akan selalu salah. Apa pun yang aku dapatkan akan selalu dipandang sebelah mata."
Kali ini, Abraham benar-benar tahu apa yang dirasakan oleh gadis itu. Tak akan ada orang yang bertahan dengan hal yang seperti itu. Satu tahun terlalu lama untuk orang bisa bertahan dalam lingkungan beracun seperti itu.
"Jadi," kata Elena dengan sesegukan, "kamu tahu kan alasan kenapa aku nggak bisa membalas perasaan kamu?"
Abraham tertegun. Ia tahu itu. Akhirnya ia tahu.
"Aku akan dipermalukan. Aku akan dicap sebagai wanita penggoda yang memanfaatkan wajahku untuk memikat kamu."
"Sssst, Elena... dengarkan aku."
Elena menarik diri. Ia menggeleng berulang kali. "Nggak, kamu yang harus mendengarkan aku."
Abraham tertegun melihat wajah Elena yang basah berurai air mata. Tangannya dengan bergetar bergerak membingkai wajah Elena. Gadis itu menatapnya dengan sorot keputusasaan.
"Kamu nggak akan mengalaminya, tapi aku. Aku yang akan tetap berkubang dalam hinaan-hinaan orang."
"Kamu nggak perlu mendengarkan mereka," kata Abraham. "Ya, Tuhan. Aku benar-benar cinta kamu, Len." Dan kini Abraham merasakan kedua matanya memanas. "Aku cinta kamu sampai-sampai merasa tubuh aku nggak mampu berdiri tanpa kamu di dekat aku."
Elena meringis. Air matanya kembali jatuh.
"Aku nggak mau melepaskan kamu. Bahkan membayangkannya pun aku nggak mau. Persetan dengan omongan orang!" Kedua jempol Abraham bergerak mengusap dengan pelan. Mengenyahkan air mata yang membanjiri wajah gadis yang ia cintai. "Aku ingin kamu tetap di sini. Percaya padaku dan kita akan bersama."
Tapi, ia tahu bahwa menerima Abraham akan berisiko. Risiko yang teramat besar. Digosipkan tentang hal yang tidak ia lakukan saja sudah benar-benar membuat ia menderita, apalagi ini.
"Aku nggak bisa." Lagi-lagi, Elena menggelengkan kepalanya. "Aku nggak mungkin tahan hidup satu rumah dengan kamu dan membalas perasaan kamu. Dengan kemungkinan bahwa tiap saat aku bisa saja menjadi bahan celaan orang-orang," lirih Elena dengan nelangsa. "Jangan buat aku seperti itu. Aku mohon."
Abraham menahan wajah Elena di depan wajahnya. Terpisah oleh jarak yang tak seberapa. Lalu berkata.
"Aku bukan pria bodoh dan pengecut yang akan membiarkan itu terjadi sama kamu," kata Abraham dengan penuh tekad.
Matanya menatap lekat-lekat pada Elena. Pada gadis yang benar-benar dicintainya. Pada gadis di mana ia membayangkan masa depan ia dan Claressa berada. Kebahagiaan mereka. Kebahagiaan Abraham.
Abraham menarik wajah Elena. Mendaratkan satu kecupan yang teramat lembut hingga Elena merasa dunianya terasa begitu sempurna.
Di atas bibir Elena, dengan napasnya yang menderu, Abraham berkata.
"Menikahlah denganku."
*
tbc...
guys...., gimana perasaannya? 😁😁😁
hayo... apakah akan ada pernikahan? hahahaha... 😅😅😅
btw. ini berarti kita tinggal menyisakan beberapa part lagi sebelum ending ya... 🤗🤗🤗
see yaa nanti malam, mudah-mudahan saja... heheheh... 😂😂😂
pkl 10.40 WIB...
Bengkulu, 2020.04.28...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro