Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ternyata Begini

Halohaaaa.... Part 15 siap meluncur guys...

btw. part ini lumayan panjang yaaa... lebih dari 2.500 kata loh... jadi, semoga puas... spesial buat yang ngomong part kemaren-kemaren pendek... hiks, padahal aku tu ada standar buat up loh... di atas 1.000 kata... hehehhe.... 😅😅😅

nah, karena aku lagi baik hati... kalau responnya bagus, mungkin aku bisa up 3 kali hari ini... heheheh... 😎😎😎

jadi, selamat menikmati... 🤗🤗🤗

===========================================================================

Elena dan Doni sama-sama memucat ketika mereka sampai di ruang kepala sekolah. Ada empat orang murid di sana, termasuk dengan Claressa. Tampilan mereka acak-acakan. Rambut mereka mencuat ke berbagai arah dan seragam mereka kacau. Seorang murid yang bernama Tasya tampak sesegukan dengan pipi yang tergores dan menampilkan jejak darah.

"Anak ini lagi!"

Mata Elena seketika membesar ketika seorang ibu mendorong kepala Claressa dengan jarinya. Membuat kepala Claressa terhenyak ke belakang.

Elena segera masuk. Dan semua orang di sana langsung beralih padanya.

"Pengasuh Claressa?" tanya seorang Bapak di sana.

Elena mengangguk. "Nama saya Elena."

"Saya Ridwan, kepala sekolah di sini," terangnya. "Ini Ibu Ratna, ibunya Tasya. Ibu Witri, ibunya Mona. Dan Ibu Rahayu, ibunya Santi. Ehm, guru yang kebetulan tengah mengajar di kelas tadi, Bu Ida."

Elena kembali mengangguk sopan dan duduk ke satu kursi yang sudah disediakan bersama dengan ibu-ibu tersebut. Sedangkan keempat siswi tersebut berdiri di satu sisi. Elena melirik pada Claressa yang menunduk. Wajahnya terlihat memerah.

Bu Ratna mendengus pada Elena. "Kamu pengasuh anak nakal ini? Huh! Urus dengan baik anak majikan kamu itu!"

Elena mengabaikan perkataan Bu Ratna dan beralih pada Bu Ida. "Maaf, Bu, sebelumnya. Tapi, ini bagaimana ya ceritanya?"

"Aduh! Benar-benar!"

"Braaakkk!"

Semua orang di sana terlonjak melihat bagaimana Bu Ratna memukul meja dengan keras.

"Kamu masih nanya gimana ceritanya?!" bentak Bu Ratna. "Kamu nggak ngeliat apa ini anak kami babak belur semua karena Claressa?!"

Elena menarik napas panjang dan tersenyum. "Maaf, Bu. Tapi, saya perlu tahu ceritanya dulu melalui guru yang bersangkutan.

"Mata kamu nggak ada?" tanya Ibu Rahayu dengan nada yang tak kalah tingginya dengan bentakan Bu Ratna. "Ini anak kami jadi hancur begini mukanya karena Claressa!"

Elena kembali menarik napas panjang dan tersenyum. "Kalau berdasarkan kekacauan, Claressa juga berantakan, Bu. Dan itu tidak bisa dijadikan patokan."

'Wah!" Bu Witri mendengus. "Memang dasar pengasuh nggak ada otak!"

"Maaf, Ibu-Ibu," ujar Pak Ridwan berusaha menengahi. "Kita harus sama-sama tenang untuk menyelesaikan masalah ini." Pak Ridwan beralih pada Bu Ida. "Bu, bisa diceritakan?"

Bu Ida mengangguk. "Jadi, begini. Tadi saya masih menulis di papan tulis ketika saya melihat bahwa Claressa mendorong Tasya hingga terjatuh ke belakang."

Claressa menundukkan kepalanya.

"Kemudian Mona dan Santi berusaha membela Tasya dan akhirnya mereka berempat berkelahi."

Elena menarik napas panjang. Doni yang berdiri di belakang kursinya tampak menggaruk kepalanya.

"Ah! Memang dari kemaren aku udah firasat," lirihnya. "Dari kemaren Nona memang mendorong Non Tasya."

Bu Ratna menatap tajam pada Elena. "Sudah dengar ceritanya kan?!"

Elena terdiam.

"Pak, ini bener-bener nggak bisa dibiarkan lebih lama," kata Bu Ratna. "Saya mau Claressa dikeluarkan dari sekolah! Dia sudah terlalu sering melukai anak saya!"

"Benar itu, Pak! Keluarkan saja!" seru Bu Rahayu.

"Anak nakal kayak dia nggak pantas sekolah di sini!" tambah Bu Witri.

Pak Ridwan dan Bu Ida saling pandang dengan resah.

"Lihat! Saking nakalnya anak ini, bahkan dia pun nggak mau minta maaf setelah buat anak kami luka-luka seperti ini!" ujar Bu Ratna dengan penuh kemarahan. "Bisa kamu lihat nggak?! Pipi Tasya sampai berdarah!" bentaknya lagi. "Sakit, Sayang?"

Tasya mengangguk. "Iya, Ma. Sakit."

"Mungkin kami bisa sedikit memaafkan kalau Claressa minta maaf dan janji nggak mau ngulangin lagi," tambah Bu Witri. "Tapi, kita semua tahu. Dari dulu dia nggak pernah mau minta maaf dan selalu mengulanginya lagi."

Bu Rahayu menyeringai. "Benar! Baru Senin kemaren mereka berantem dan sekarang? Ini baru hari Sabtu dan Claressa sudah kembali buat masalah?!"

"Dasar anak berandalan!"

"Anak nggak tahu aturan!"

"Bu," desis Elena tajam. "Saya harap omongan ibu-ibu bisa dijaga."

Ibu-ibu itu tampak merengut mendengar perkataan Elena.

Di saat mereka semua meraba situasi, Elena beralih pada Claressa.

"Nona..."

Claressa mengangkat sedikit wajahnya.

"Nona bisa minta maaf dengan mereka dan berjanji nggak bakal berantem lagi?" tanya Elena pelan.

Claressa menggigit bibirnya. Lalu mengepalkan tangan dan beralih pada ketiga orang temannya.

"Aku nggak bakal minta maaf ke kalian!"

Ketiga orang ibu itu kompak menarik napas panjang.

"Lihat kan?! Lihat!"

"Dasar anak nakal!"

Claressa meringis ketika Bu Ratna kembali mendorong kepalanya. Gadis kecil itu mengerjap-ngerjapkan matanya yang memanas dan berteriak.

"Aku nggak mau minta maaf! Aku nggak salah!"

Lalu, Claressa berlari keluar dari sana.

"Nona!"

Elena dengan segera beranjak dari kursinya dan berlari mengejar Claressa. Tak butuh waktu lama bagi Elena untuk bisa meraih tangan Claressa dan membuat majikannya itu menghentikan kakinya.

Claressa menutup matanya dengan tangan yang bebas. Air mata tampak mengalir dari kedua matanya dan membasahi pipinya.

"Aku nggak mau minta maaf, Len. Aku nggak salah. Mereka yang salah." Claressa tersedu di antara kata-kata yang ia ucapkan. "Aku nggak salah."

Seraya menarik napas panjang, Elena berjongkok di hadapan Claressa. Tangannya mengusap sepanjang tangan Claressa. Perlahan menarik tangannya yang menutupi matanya.

Elena mengusap air mata itu. "Nona nggak salah?"

"Bukan aku yang mulai!" seru Claressa. "Mereka yang mulai! Tapi, mereka nggak ada yang percaya!"

Untuk beberapa saat, Elena hanya diam membiarkan Claressa meneruskan isaknya. Hingga kemudian Elena merasa tangisan itu mulai mereda, Elena berkata dengan lembut.

"Ceritakan ke saya dengan jujur, Non."

Claressa mengerjap-ngerjapkan matanya demi mengusir sisa air mata di sana.

"Saya akan percaya."

*

"Pokoknya saya mau Bapak mengeluarkan Claressa dari sekolah!"

"Kami nggak bisa terus menerus memberikan toleransi pada anak nggak tahu diri kayak Claressa!"

"Ah! Bagaimana bisa ada anak cewek tapi preman kayak gitu?! Benar-benar anak yang nggak dapat didikan orang tua!"

"Itulah kalau anak nggak nggak punya ibu! Jadi nggak ada yang ngurus!"

"Maaf, Bu! Bisa mulutnya dijaga?"

Semua kepala menoleh ke ambang pintu dan mendapati Elena yang tengah menggenggam tangan Claressa. Mereka melangkah masuk. Elena tak berkedip menatap Bu Ratna, Bu Witri, dan Bu Rahayu bergantian.

Bu Ratna berdiri, bersidekap. "Kalau kamu bisa nyuruh majikan nggak tau tata krama-mu ini untuk menjaga tingkah lakunya, mungkin saya bisa sedikit menjaga ucapan saya."

Elena mengembuskan napas panjang. "Seharusnya sebagai orang tua, ibu bisa memberi contoh pada anak-anak bagaimana harus bersikap. Bagaimana bisa ibu menjadikan perilaku anak sepuluh tahun sebagai standar perilaku ibu?"

Mata Bu Ratna membulat.

"Lihat! Pantas aja anak ini semakin nakal!" seru Bu Witri seraya turut berdiri. "Ternyata diasuh oleh cewek nggak berpendidikan!"

"A-Apa?"

Bu Rahayu mendengus. "Sekali lihat juga tahu gimana rendahnya kualitas pengasuh Claressa. Ckckck. Sudah nggak punya ibu, malah diasuh sama cewek rendahan."

"Wah!" Genggaman tangan Elena pada Claressa melepas. Gadis itu entah sadar atau tidak, maju satu langkah dan balas bersidekap. "Cewek nggak berpendidikan? Kualitas rendah? Cewek rendahan?"

Semua mata menatap Elena yang wajahnya memerah.

"Ada kata-kata umpatan lainnya yang mau diucapkan?" tanya Elena menantang. Tapi, mereka bertiga diam hingga membuat Elena kembali berkata. "Ibu-Ibu sekalian, maaf sebelumnya. Tapi, kalau mau merendahkan orang, harap cari tahu dulu fakta orang tersebut."

Bu Ratna mendengus. "Pengasuh aja sok mau ngomong di depan saya? Hahaha. Kamu nggak tahu saya istri siapa?"

"Bu!" tegas Elena. "Ini urusan Claressa dan anak-anak ibu. Juga urusan saya dan ibu-ibu sekalian. Jangan bawa-bawa suami! Apa mau saya bawa juga Pak Abraham ke sini?!"

Doni memucat. Bagaimana ceritanya kalau Abraham sampai datang ke sana? Bisa tambah gawat.

Sedang otak Elena sedikit tersentil karena ucapannya sendiri. Aku bawa-bawa nama Pak Abraham karena dia bapak Claressa. Bukan berarti aku ngomong dia itu suami aku.

Elena memutar pandangannya. "Jadi, kita selesaikan cukup di antara kita!" sentak Elena.

Bu Ratna geleng-geleng kepala. "Hah? Kamu berani membentak saya?!"

"Ibu duluan yang bentak-bentak Claressa! Pake acara dorong-dorong kepala dia!"

"Kamu lihat kan majikan kamu itu nakal setengah mati! Dasar pengasuh nggak ada otak! Orang kampung! Cewek rendahan!"

"Wah! Wah!"

Pak Ridwan dan Bu Ida tampak salah tingkah.

"Bu, perlu ibu ketahui ya. Saya bukannya mau sombong, tapi ini sesuai fakta. Ibu yang merasa lebih hebat dari saya aja saya rasa nggak bakal lolos seleksi jadi pengasuh Claressa!" tukas Elena. "Tahu gimana Pak Abraham nyari pengasuh buat Elena?! Saya kasih tahu ya! Minimal pendidikan sarjana! IPK harus di atas tiga dan lulusan universitas ternama! Menguasai minimal tiga bahasa! Itu bahkan lebih susah dari tes CPNS!"

Baik Pak Ridwan maupun Bu Ida menatap tak berkedip pada Elena.

"Saya sarjana lulusan terbaik IPB dan master dari University Tokyo of Agriculture! Penerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia! Memiliki lima sertifikat bahasa asing!" kata Elena seraya mengepalkan tangannya. "Mau nyoba tes level otak dengan saya?!" bentaknya lagi. "Siapa yang mau di sini lomba cerdas cermat dengan saya?! Bu Ratna? Bu Witri? Bu Rahayu?" Elena memandang bergantian pada ketiga orang ibu-ibu tersebut. "Hayo! Saya ladeni. Kalian bertiga lawan saya seorang juga silakan!"

Pak Ridwan mendehem. "Mbak Elena..."

"Saya udah nyoba nahan sabar ngadepin ibu-ibu panjang lidah pendek otak kayak kalian ya. Dari tadi saya nyoba merendahkan suara saya, tapi memang dasarnya aja kalian yang punya telinga nggak dipakai!"

"Kamu berani---"

"Apa?!" potong Elena. "Mau nyoba tes level otak dengan cewek yang kalian bilang nggak berpendidikan ini?"

Bu Ratna mengatupkan mulutnya.

"Sampai berani menjelek-jelekkan Claressa. Siapa tadi yang ngomong mentang-mentang Claressa nggak punya ibu jadi ngebuat dia nakal?! Siapa?!"

Tak ada suara yang menjawab.

"Nona saya memang nggak ada ibu, tapi bukan berarti dia nggak tahu tata krama. Sejujurnya, itu justru lebih bagus buat Nona. Lebih baik nggak punya ibu daripada punya ibu model kayak ibu bertiga. Nggak menggunakan otak untuk berpikir, tapi lebih membiarkan lidah yang bertindak!"

Pak Ridwan menyentuh tangan Elena, berusaha meredakan emosi gadis itu. "Mbak, saya rasa---"

"Menyentuh tanpa izin bisa saya laporkan sebagai tindak pelecehan seksual, Pak!"

Glek.

Pak Ridwan menarik tangannya.

"Jadi," lanjut Elena. "Mau nyelesaikan masalah ini dengan baik-baik dan adil atau dengan jalan bar-bar? Saya siap meladeni semuanya!"

Bu Ida tersenyum. "Kita bisa mengambil jalan baik-baik, Bu. Bagaimana?"

"Jalan baik-baik gimana?" tanya Bu Witri. "Sudah jelas Claressa yang nakal. Harusnya dia minta maaf dan berjanji nggak bakal ngulang lagi."

Bu Rahayu mengangguk. "Di sini kan yang nakal Claressa. Kami nggak mungkin marah-marah begini kalau bukan Claressa yang cari masalah!"

"Wah! Wah! Wah!" Elena geleng-geleng kepala. "Sekali lagi ngomong Claressa nakal, awas ya!"

Glek.

Pak Ridwan mengusap peluh di dahinya dengan sehelai sapu tangan.

"Tapi, Mbak," kata Bu Ida dengan hati-hati. "Yang terjadi memang seperti itu. Claressa yang mulai mendorong Tasya."

Tangan masih bersidekap di depan dada ketika Elena beralih pada Bu Ida. "Lokasi kejadian di mana?"

"Eh?"

"Saya nanya, lokasi kejadian mereka dorong-dorongan di mana?" tanya Elena.

"Di kelas."

Bola mata Elena berputar dengan dramatis. "Ya saya tahu di kelas. Tapi, di kelas di mananya, Bu? Di dekat meja guru? Di dekat papan tulis? Di dekat pintu?"

Mata Bu Ida membulat. "Di dekat meja Claressa."

"Nah!" seru Elena pada ketiga orang ibu-ibu itu. "Jadi, karena saya tahu level otak kalian berada di mana, saya akan menjelaskan. Kalau Claressa yang memulai perkelahian itu, maka perkelahian itu akan terjadi di meja Tasya, bukan di meja Claressa. Itu menandakan kalau Tasya yang mendatangi Claressa, bukan Claressa yang nyari-nyari masalah dengan Tasya."

Bu Ratna melirik pada putrinya yang menunduk.

"Nona," kata Elena kemudian. "Kenapa Tasya datang ke meja Nona?"

Suara Claressa terdengar bergetar dari balik tubuh Elena. "Dia mengejek aku karena nggak ada orang tuaku yang akan datang ke pentas seni."

Mata Elena memanas. Tapi, ia menguatkan diri memandang ibu-ibu itu.

"Hah! Itu cuma karangan anak kecil!"

"Tasya juga narik jepit rambut aku!" seru Claressa. "Padahal itu dibelikan Elena!"

Bu Ratna kembali melirik pada Tasya. "Wah! Anak sekecil ini sudah pintar bohong!"

Kaki Elena maju lagi selangkah. Tanpa melepas tatapannya pada Bu Ratna, Elena mengangkat tangannya dan menunjuk ke sudut ruangan.

"Tiap ruangan ada CCTV kan, Pak?" tanya Elena.

Pak Ridwan mengangguk. "Iya, Mbak."

"Perlu kita lihat CCTV dan memutuskan siapa anak nakal di sini?"

Glek.

Elena beralih pada Pak Ridwan. "Saya mau lihat rekaman CCTV hari ini dan Senin kemarin! Kalau nggak mau, lebih baik saya panggil polisi ke sini."

Mata Pak Ridwan seketika membulat besar. Dengan cepat beliau memanggil satpam dan meminta rekaman CCTV.

Selama menunggu satpam sekolah menyiapkan rekaman CCTV yang diminta oleh Elena, semua orang duduk dengan resah di kursinya masing-masing. Elena diam saja melihat ketiga orang ibu itu berbisik-bisik. Tak sedetikpun tatapan Elena berpaling dari mereka.

Lantas, ketika rekaman CCTV terlihat, Elena hanya geleng-geleng kepala.

"Ckckckck. Hukum pewarisan sifat Mendel memang benar." Kepala Elena mengangguk-angguk berulang kali. "Begini memang jadinya kalau ibu-ibu yang nggak bisa memberikan pelajaran tata krama yang baik dikasih anak oleh Tuhan. Anaknya pun jadi begini."

Bu Ratna, Bu Witri, dan Bu Rahayu kompak mengatupkan mulutnya dengan erat.

Terlihat pada video bagaimana Tasya yang pertama kali mendatangi Claressa. Mereka terlihat adu mulut sebelum akhirnya Tasya menarik lepas jepit rambut Claressa. Mendapati itu, Claressa lantas mendorong Tasya. Mona dan Santi yang duduk tak jauh dari sana dengan cepat balik mendorong Claressa. Dan perkelahian itu pun terjadi.

"Jadi," kata Elena. "Saya mau kalian mengucapkan maaf pada Claressa!"

Mereka tercekat.

"Ayo! Minta maaf dan berjanji nggak bakal nganggu Claressa lagi!" bentak Elena. "Atau perlu bawa ke kantor polisi? Ini termasuk kasus perundungan!"

Pak Ridwan beralih pada Bu Ratna. "Bu, sebaiknya ibu memang harus minta maaf. Tasya...? Ayo minta maaf."

Akhirnya ketiga anak itu pun beranjak mendekati Claressa. Mengulurkan tangan dan meminta maaf. Claressa hanya mendehem pelan menanggapinya.

Lalu, mereka beranjak pada Elena.

Elena memandang Tasya. "Dasar!" katanya seraya mendorong kepala Tasya.

"Kamu berani dorong-dorong kepala Tasya?"

Tangan Elena berkacak pinggang. "Lah, Ibu aja berani dorong-dorong kepala Claressa! Mau saya dorong kepala Tasya atau Claressa yang dorong kepala Ibu?"

Bu Ratna menggertakkan rahangnya dengan teramat kuat.

Elena kemudian menunduk. Menyejajarkan wajahnya dengan ketiga anak itu. "Memang kita nggak bisa minta dilahirkan dari ibu yang seperti apa, tapi yang salah jangan sampai kalian tiru."

Elena kembali menegakkan tubuhnya.

"Mbak, saya harap masalah ini sudah selesai," kata Pak Ridwan.

"Tentu. Dan perlu bapak ibu perhatikan, jangan asal membabi buta membela. Cari bukti dan faktanya!" kata Elena. "Dan awas! Jangan lagi ada yang bilang Claressa anak nakal. Dia hanya membela diri. Karena ternyata di sekolah ini nggak semua orang menggunakan matanya dengan benar."

Glek.

"Tapi, Mbak. Berkelahi juga bukan solusi."

Mata Elena menajam pada Bu Ida. "Intropeksi diri, Bu. Kalau Ibu menyadari dari dulu bahwa Claressa dirundung oleh teman-temannya, Claressa nggak mungkin berkelahi. Tapi, nyatanya? Kalian membela suara terbanyak, bukannya membela pihak yang benar."

Bu Ida meringis.

"Dan sejujurnya, saya justru bangga Claressa berkelahi. Dia mempertahankan dirinya sendiri. Karena terbukti, orang tua di sini nggak bisa diandalkan. Memangnya kalian mau tanggungjawab kalau Claressa menerima aja perundungan dan akhirnya dia tewas kayak kasus-kasus perundungan yang ada di berita-berita?!"

Pak Ridwan lagi-lagi mengusap peluhnya. "Iya, Mbak, iya."

Elena menunduk dan berkata pada Claressa. "Non, kalau mereka masih nganggu, jangan takut buat membalas. Kalau ibu-ibunya datang, biar saya yang ngadapi."

Ketiga orang ibu-ibu itu melotot.

"Apa? Kalau anak kalian nggak nganggu, nggak bakal kena hajar Claressa," tantang Elena. "Ck. Mana main keroyokan lagi. Udah salah, keroyokan, eh kalah."

"Saya pastikan nggak bakal terjadi lagi hal seperti ini, Mbak," kata Bu Ida.

Untuk terakhir kalinya, sebelum Elena menarik tangan Claressa keluar dari sana, ia berkata dengan nada sengit dan mata yang tajam menyipit.

"Ingat! Macam-macam dengan Claressa, awas aja!"

Glek.

*

Dengan pelan, Elena merapikan rambut Claressa yang acak-acakan. Menggunakan tissue basah, ia juga mengusap wajah Claressa yang berantakan. Tak lama kemudian, penampilan Claressa membaik, walau jejak tangis belum sepenuhnya hilang dari mata dan hidung Claressa.

"Nona hebat!" puji Elena selagi mobil melaju.

Di depan, Doni hanya tersenyum miris seraya geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa ia memuji anak-anak yang baru saja selesai berkelahi?

"Jadi cewek memang harus gitu. Jangan nyari masalah, tapi kalau orang yang buat masalah, jangan nggak melawan," kata Elena. "Ya?"

Claressa mengangguk. "Dan terima kasih, Len..."

Elena tersenyum. "Sama-sama, Non."

Bibir Claressa melengkung membentuk senyum yang manis. Lalu ia berkata dengan polosnya. "Aku dulu selalu penasaran."

"Apa?"

"Rasanya kalau punya mommy dan dibelanya."

"Eh?"

"Selama ini nggak ada yang ngebela aku. Tapi, teman-teman aku selalu dibela ibu mereka," lirih Claressa pelan.

"Nona..."

Mata kelabu Claressa mengerjap. "Ternyata begini rasanya dibela."

Elena tak berdaya ketika melihat mata Claressa yang menatapnya.

"Rasanya bahagia..."

*

tbc...

jangan lupa tinggalkan kesan-kesan kalian untuk part ini... 😁😁😁

ah, btw... nulis part ini aku jadi ingat masa kecil dulu sih sebenarnya... hahahaha... 🤣🤣🤣

pkl 08.05 WIB...

Bengkulu, 2020.03.30...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro