Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Terlambat

selamat siang semuanya... aku mau update nih... 🤗🤗🤗

kalian tau kan ya artinya apa? kalau aku update siang begini, itu artinya ga ada adegan aneh-aneh... hehehhehe... 😂😂😂

jadi, selamat menikmati... 😘😘😘

===========================================================================

Ke mana kamu?

Kenapa belum ke kamar aku?

Elena termenung melihat pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Itu pesan Abraham. Seluruh makhluk hidup di dunia pasti tahu siapa yang bisa mengirim pesan seperti itu padanya. Hanya Abraham.

Yang tidak habis pikir Elena renungkan, setelah kejadian semalam, rasa-rasanya begitu canggung kalau mereka harus bertemu lagi layaknya tak terjadi apa-apa.

"Len?"

Elena mengerjap. Menunduk dan menatap Claressa yang menengadah menatapnya dengan bingung.

"Iya, Non?"

"Kenapa kamu diem aja?" tanya Claressa. "Kamu nggak buru-buru pergi?"

"Pergi?" Elena bingung. "Pergi ke mana?"

Mata Claressa berkedip-kedip dengan raut bingung. "Ke kamar Daddy."

"Uhukkk!"

"Kan kamu harus bantuin Daddy siap-siap ke kantor."

Wajah polos Claressa seketika membuat Elena meremang. "Nona tau?"

"Kan Daddy minta izin dulu ke aku, Len," kata Claressa. "Waktu di Puncak Daddy ngomong."

"Hah?"

Claressa beranjak duduk kembali di meja riasnya. "Buruan, nanti kami telat."

Elena menarik napas dalam-dalam. Bagaimana bisa ia mengatakan hal seperti itu ke anaknya sendiri?

Jadi, tentu saja Abraham kaget melihat raut wajah marah Elena. Sedari tadi menunggu Elena, ia memang sudah mempersiapkan diri. Situasi antara kami pasti akan terasa canggung, pikirnya.

Tapi, melihat Elena datang dengan emosi yang mengancam akan meledak? Ough! Tidak terpikir oleh Abraham.

"Apa maksud kamu pake acara bilang ke Claressa kalau aku bantuin kamu siap-siap ke kantor?"

Abraham mengerti sekarang. "Well, itu..." Abraham menarik napas dalam-dalam. "Kamu babysitter Claressa, jadi kalau aku mau minta bantuan kamu untuk bantu-bantu aku, itu artinya aku harus ngomong ke dia dulu kan?"

Elena meringis tak percaya.

"Terserah kamu," tukas Elena seraya mengempaskan satu tangannya ke udara. "Lagipula, terserah dengan apa yang kamu katakan ke Claressa, yang pasti..." Elena menguatkan dirinya. "Aku nggak mungkin lagi ngelakuin ini."

"Ngelakuin apa?"

"Ngurusin kamu seperti kemarin-kemarin setelah apa yang terjadi di antara kita."

Abraham melangkah. Memastikan pintu tertutup rapat dan itu membuat Elena melototkan mata.

"Setelah apa yang terjadi di antara kita?" tanya Abraham seraya melangkah pelan-pelan menuju Elena.

Gadis itu sontak saja mundur dengan kaki gemetar. Abraham layaknya hewan buas yang sedang mengintai mangsanya. Tatapan matanya lurus tanpa kedip. Napasnya pun terlihat begitu terkendali. Keseluruhan benar-benar membuat Elena ketakutan. Abraham seolah benar-benar menjelma menjadi Tirex yang siap menerkam.

"Bisa kamu rincikan dengan detail apa yang kamu maksud dengan apa yang terjadi di antara kita?"

Glek.

"Apa itu termasuk dengan kenyataan di mana kamu sering memerhatikan saya?"

O-oh.

"Apa itu termasuk dengan pertengkaran-pertengkaran yang justru membuat kita terikat?"

Ehm...

"Apa itu termasuk dengan ciuman-ciuman kita?"

Astaga!

"Pelukan-pelukan kita?"

Elena sudah tidak bisa mundur lagi. Tubuhnya mentok tertahan dinding yang dingin. Abraham berhenti selangkah di depan Elena.

"Jadi," lirihnya berat, "tolong beritahu aku, apa sebenarnya yang kamu maksud?"

Kedua tangan Elena mengepal dengan kuat di sisi tubuh. Ia tak bisa menghindar. Abraham tepat di depan wajahnya dan mengancam melalui tatapannya.

"Atau ini tentang yang terjadi semalam? Ketika kamu dengan tanpa perasaan merasa berhak kembali menghakimi aku?"

Elena sadar. Ia telah berkali-kali menghakimi pria itu dari awal pertemuan mereka. Untuk itu Elena merasa bersalah, tapi ia sudah meminta maaf bukan? Namun, kali ini masalahnya berbeda.

"Sudah aku bilang, perasaan itu nggak ada. Kamu cuma mencintai ilusi aku. Sesuatu yang nggak nyata."

Abraham mendekat, mengurung Elena dengan satu tangannya yang menekan dinding. Gadis itu sontak menahan napas ketika Abraham membawa tangannya yang bebas untuk membelai pipi Elena. Gadis itu seketika meremang. Sentuhan yang terkesan ragu-ragu itu menyentuh antara ingin dan tidak ayng membuat sensor Elena bangun.

"Apa ini nggak nyata?" tanya Abraham serak. "Hanya ilusi?"

Elena menutup matanya rapat-rapat. Entah tak ingin melihat Abraham atau justru tak ingin melihat kenyataan yang ada.

"Aku mohon..," lirih Elena parau. "Kalau pun ini memang nyata, aku mohon lebih baik kita hentikan."

Tangan Abraham yang semula bergerak membelai Elena pelan-pelan, berhenti.

"Buka mata kamu, Elena. Lihat aku dan katakan." Napas Abraham terdengar menderu dengan kasar. "Katakan satu saja alasan kenapa ini harus kita hentikan?"

Elena menguatkan hatinya. Menatap Abraham tentu sulit. Tapi, lebih sulit lagi kalau aku harus mengalami hal yang sama dua kali. Bahkan keledai paling bodoh pun nggak bakal mau jatuh ke lobang yang sama.

"Karena kamu hanya mencintai ilusi aku. Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku."

Kedua bola mata Abraham bergerak-gerak risau, berusaha mencari apa saja yang bisa ia temukan dari mata Elena. Tapi, gadis itu terlihat begitu tegas.

"Kamu benar," aku Abraham kemudian. "Aku memang nggak tahu apa-apa tentang kamu." Abraham menerima fakta itu. "Yang aku tahu adalah kamu wanita yang berbeda. Kamu berani dan kamu berpegang pada keyakinan kamu. Dan entah bagaimana, di mataku itu begitu menarik."

Bibir Elena bergerak, namun telunjuk Abraham menahannya.

"Aku memang nggak tahu apa-apa tentang kamu. Yang aku tahu adalah kamu wanita yang begitu menakjubkan. Entah itu ketika kamu marah atau ketika kamu tertawa, di mataku, itu semua adalah pesona."

Mata Abraham menelusuri tiap sisi dari diri Elena. Wajahnya, rambutnya, atau apa pun yang mampu retinanya tangkap dari wanita itu. Berusaha menerka, bagian mana yang bisa membuat ia tak suka.

"Di mataku, kamu sempurna, Elena." Abraham menyadari bahwa suaranya terdengar begitu parau dan ucapannya terkesan begitu kekanakan. Tapi, Abraham memiliki pembelaan. "Itu karena aku tidak lagi menatapmu dengan tatapan biasa. Itu karena aku menatapmu dengan cinta."

Pernyataan itu membuat Elena semakin tak berdaya. Namun, ia hanya bisa menggeleng pelan. Seolah ingin mengenyahkan kenyataan itu.

"Aku memang nggak tahu apa-apa tentang kamu," lirih Abraham. "Jadi, bisakah kamu menceritakan padaku tentang dirimu yang nggak aku tahu? Bukankah itu solusinya?"

Kelogisan di benak Elena membenarkan perkataan Abraham. Ia seharusnya memberitahu Abraham tentang semuanya. Tapi, Elena terlalu takut. Menceritakannya sama saja dengan membongkar kembali luka yang sudah ia jahit dengan rapi. Dan kemungkinan terburuknya adalah ia merasakan sakit yang sama untuk kedua kali.

*

"Len... Kamu kenapa?"

Tak mengherankan apabila malam itu Claressa menanyakan hal itu pada Elena. Kerisauan Elena yang tercetak jelas di wajah wanita itu sukses membuat Claressa bertanya-tanya, walaupun sebenarnya tidak hanya Claressa yang merasakan itu. Semua orang yang tinggal di rumah itu nyaris merasakan perubahan suasana hati Elena dengan jelas.

Elena, gadis yang penuh semangat hingga selalu berhasil membuat orang berdecak kagum ketika membela Claressa di depan Abraham, terlihat begitu murung. Seolah di tubuhnya tak ada lagi tenaga dan semua orang bingung karenanya. Mereka ingin bertanya pun segan tatkala merasa aura tak ingin diganggu yang seolah menguar dari tubuh wanita itu.

"Perasaan aku, akhir-akhir ini kamu kayaknya murung terus," lanjut Claressa. "Kamu lagi ada masalah?"

Elena tersenyum, menggeleng. "Cuma lagi nggak enak badan aja kayaknya, Non." Ia mengedarkan pandangannya ke buku-buku pelajarannya. "Udah belajarnya, Non?"

Claressa menguap dan menutup buku-bukunya. "Aku khawatir kalau aku belajar lebih lama lagi, kepala aku akan meledak."

Elena terkekeh. "Ditahan ya, Non. Tinggal dua hari lagi."

"Tentu. Sebenarnya cuma tinggal sehari lagi sih. Hari Sabtu itu ujian kesenian. Aku nggak perlu belajar."

Sejurus kemudian, Elena membantu Claressa untuk bersiap tidur. Berkali-kali Claressa menguap dan ketika sudah berada di balik selimut ia berkata.

"Sebenarnya, aku pengen cepat-cepat ujian ini selesai, Len."

Elena merapikan rambut Claressa. "Kenapa, Non?"

"Soalnya biar Opa dan Oma cepat datang." Ia menghela napas panjang. "Hari Sabtu lama banget sih."

"Sebentar lagi, Non."

Claressa menepuk-nepuk selimut di bagian perutnya. "Nanti kalau Opa dan Oma datang, rumah ini bakal rame, Len."

"Oh ya?"

"Orang-orang akan ngumpul di sini, terus waktu libur Natal dan Tahun Baru kita akan liburan bersama."

Elena manggut-manggut.

"Nanti kamu ikut juga ya?"

Elena diam.

"Nanti aku akan kenalkan kamu sama sepupu-sepupu aku, Len. Ada tante dan om juga. Semuanya baik-baik."

Dengan tersenyum, Elena menyimak perkataan Claressa.

"Oh iya, Oma Ilona ada anak. Orangnya cakep dan suka ngasih aku coklat, Len. Tapi, dia sudah kuliah. Dia mirip sekali dengan Oma Ilona. Terus, aku juga ada sepupu, namanya Jenny. Dia nakal sih, tapi dia lucu. Terus..."

Belaian-belaian lembut di dahi Claressa kemudian memutus ucapan gadis kecil itu. Pada akhirnya, ia jatuh terlelap tak lama kemudian.

Elena segera memadamkan lampu utama dan keluar dari sana. Sekilas ketika Elena akan beranjak turun ke lantai bawah untuk menuju ke kamarnya, ia berhenti sejenak. Sekadar untuk melihat ruang kerja Abraham dan mendapati cahaya lampu dari celah ventilasi. Cukup untuk menjadi bukti bahwa pria itu masih berada di sana.

Ia menghela napas panjang, tak berniat sedikit pun untuk menghampiri pria itu. Lalu, turun menuju ke kamarnya.

Di kamar, Elena membaringkan tubuhnya dengan gelisah.

Ia merasa keadaannya di sana sudah tidak menguntungkan lagi untuknya. Kemudian, ketika ia melihat kembali email yang masuk beberapa hari yang lalu, Elena bertekad untuk mengambil keputusan. Ia akan secepatnya pergi, sebelum semua terlambat. Mungkin ia bisa pergi minggu depan. Jadi, ia melakukan satu hal yang ia rasa yang paling tepat. Yaitu, menulis surat pengunduran diri.

Setahun ini aku sudah menulis tiga surat pengunduran diri, Tuhan, pikir Elena. Ia mengembuskan napas panjang. Anggap saja kenang-kenangan akhir tahun.

Dan kemudian, mari kita sambut cerita baru di tahun yang baru.

Elena pikir mungkin surat itu sebaiknya ia berikan saja pada Pak Zulman, mengingat bahwa dari masuk ia hanya berhubungan dengan Pak Zulman. Lagipula ia tak mau mengambil risiko dengan menyerahkan surat itu langsung pada Abraham.

Di hari selanjutnya, Claressa dan Abraham baru saja pergi ketika Elena menyadari bahwa Lola dan Intan terlihat bekerja sangat sibuk, bahkan dari pagi.

"Mungkin ada yang bisa aku bantu?"

Intan dan Lola saling pandang.

"Sebenarnya kami benar-benar merasa senang kalau kamu mau membantu mengelap kaca jendela, tapi jangan," kata Intan.

"Kenapa? Aku bisa kok ngelap jendela."

Lola melambai-lambaikan kemoceng di depan wajahnya. "Nanti kami kena omel dengan Pak Zulman. Tiap ART sudah diberi tugas dan kewajibannya masing-masing. Kami nggak mau membuat pria tua itu marah."

"Oh," lirih Elena pelan. "Tapi, kenapa sepertinya hari ini kalian terlihat lebih sibuk?" Elena mengedarkan pandangannya. Lalu,menemukan pekerja kebun yang sedang membersihkan taman. "Apa bakal ada acara?"

Intan berdecak. "Kan Tuan dan Nyonya besar mau datang. Jadi, ya kami beres-beres."

Elena manggut-manggut.

"Lagipula, kalau Tuan dan Nyonya datang, itu artinya semua keluarga akan datang berkumpul di sini."

"Wah!" seru Elena. "Semua?"

Intan dan Lola mengangguk kompak.

"Karena itulah kenapa rumah ini dibuat sebesar ini," kata Lola. "Biar bisa menampung semua keluarga."

"Walaupun nggak muat juga sih," tutur Intan tergelak. "Tapi, setidaknya akan banyak yang tinggal di sini."

"Ah, Nona pasti senang ngeliat sepupu-sepupu jauhnya pada datang," kata Lola.

Elena hanya manggut-manggut mendengar cerita Intan dan Lola. Benaknya jadi kembali berpikir mengenai surat pengunduran dirinya. Apa ini waktu yang tepat?

"Jadi, kamu ntar nggak usah heran, Len."

Perkataan Lola menarik lagi kesadaran Elena.

"Heran? Heran apa?"

"Heran kalau mulai hari ini rumah akan rame," kata Intan dengan penuh pengertian. "Terutama dengan anak kecil. Semoga kamu tahan ya."

Lalu, Elena pikir mungkin sebaiknya ia sedikit menunda dulu untuk mengundurkan diri. Toh, setidaknya ia masih memiliki waktu yang lumayan panjang hingga awal tahun nanti.

*

Tidak butuh waktu lama untuk Elena membuktikan perkataan Intan dan Lola tadi pagi. Ketika Elena pergi menjemput Claressa pulang dari sekolah, ia mendapati beberapa mobil terparkir di pelataran rumah.

Claressa berseru bahagia melihat keramaian itu. "Wah! Kira-kira siapa ya yang sudah datang?"

Elena melirik ke belakang dan tersenyum melihat Claressa yang terlihat senang. Ia pun turut tersenyum.

"Ehm, aku penasaran siapa yang sudah datang. Kenapa Daddy sampai pulang juga?"

Elena melihat mobil Abraham yang terparkir dan menyadari bahwa itu adalah hal yang janggal. Berada di rumah di hari Kamis bahkan ketika jam istirahat siang belum datang merupakan hal yang tak biasa.

Claressa turun, diikuti oleh Elena. Tangan gadis kecil itu seperti biasanya menggenggam satu tangan Elena.

Bersama, mereka melintasi ruang tamu dan mendengar suara riuh dari ruang keluarga. Claressa menyadari itu dan menarik tangannya untuk pergi ke sana. Elena tak memiliki pilihan lainnya. Toh cepat atau lambat ia memang harus bertemu dan menyapa anggota keluarga itu.

"Ah, pantas. Ada Kak Eira." Claressa melirih. "Dia kakak sepupuku yang paling keren. Hobinya keliling dunia."

Elena hanya mendehem pelan dan kemudian tak mengatakan apa-apa ketika mereka berdua semakin melangkah mendekati ruangan itu. Dari jauh, Elena bisa melihat beberapa orang di sana. Ternyata tidak terlalu ramai, tapi suara mereka jelas membuat orang salah mengira.

Ketika sampai di ambang ruangan, Elena dengan cepat melihat ada sepasang suami istri, seorang wanita muda dengan rambut ekor kuda, lalu ada dua orang anak kecil, selanjutnya, ada seorang pria muda yang masih menghadap jendela karena menerima telepon. Dan pandangannya terhenti pada Abraham yang duduk. Tadinya pria itu tengah berbicara dengan tersenyum kecil, namun tatkala retina mata mereka bertemu, ia mendadak diam.

Abraham beralih pada putrinya. "Kamu sudah pulang, Sayang?"

Claressa melepaskan tangannya dari Elena dan beranjak mendekati ayahnya. Tapi, ia tak melupakan Elena. Jadi ia berkata.

"Len, ini ada Bude Sari dan Pakde Irawan. Terus ini Kak Eira."

Elena tersenyum sopan. "Saya Elena."

"Adek kecil ini namanya--- Namanya siapa, Dad?"

Abraham tergelak. "Thomas dan Taya."

Elena tersenyum kecil ketika Claressa berkata.

"Thomas dan Taya." Lalu, ia memutar tubuhnya. Menunjuk dari tempatnya duduk di dekat Abraham. "Yang itu pasti Om Darrel. Itu anaknya Oma Ilona. Dia cakep banget. Yang malam tadi aku ceritain."

Elena tak bisa menahan senyum gelinya. Lalu, ia mendengar pria itu berkata.

"Kamu ngomongin apa aja tentang Om, Sa?"

Pria itu membalikkan badan, lalu senyumnya menghilang. Begitu pun dengan senyum Elena yang sontak menghilang.

"Om Darrel ini bentar lagi tamat kuliah. Iya kan, Om?"

Pria muda itu, yang tampak tampan dan rapi dengan jeans dan kaos oblong bewarna hitam seolah tak menghiraukan pertanyaan Claressa. Kakinya melangkah dengan pelan.

"Om?" tanya Claressa.

Abraham dan semua orang di sana heran melihat reaksi Darrel. Sedang Elena mendadak merasakan bulir-bulir keringat terbit di sepanjang wajahnya.

Lalu, Darrel tersenyum lebar. Ia mendekati Elena yang tersurut satu langkah ke belakang.

Dan tanpa diduga oleh semua orang di sana, Darrel dengan cepat menyambar tangan Elena. Bersalaman dengan wanita itu yang sudah memucat.

"Ibu Elena," katanya tersenyum dengan sopan. "Apa kabar?"

Dan Elena menyadari bahwa semua sudah terlambat baginya.

*

tbc...

jadi guys... tunggu part selanjutnya ya...😅😅😅

dan jangan lupa, vote dan komen terbaiknya... idiiiiih, mentang-mentang part kemaren isinya menyedihkan, yang koment juga pada lesu... hahahha... 🤣🤣🤣

pkl 11.12 WIB...

Bengkulu, 2020.04.27...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro