Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Siapa Yang Salah?

halooo, guys! siap untuk part 25? 😁😁😁

jadi, part ini pertama kalinya full Elena dan Abraham... ugh! mereka ngapain ya? hahahah... jadi penasaran kan? ya udah, selamat menikmati... 🤗🤗🤗

==========================================================================

Elena dan Abraham mempercepat langkahnya menjadi setengah berlari ketika menembus hujan yang mendadak mengguyur sore menjelang malam itu. Mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi dengan harapan hujan akan mereda. Buktinya, mereka sudah menunggu lebih dari sejam dan hasilnya ternyata hujan yang turun seperti diberi formalin. Awet cuy.

Elena yang sudah tau dengan atmosfer di tempatnya dulu bekerja itu dengan bijaksana memutuskan untuk keluar. Bukannya apa. Hujan terkadang menjadi berkah. Orang-orang yang kehujanan ada yang memilih berteduh di tempat-tempat seperti restoran, alih-alih di pinggir jalan menahan kedinginan.

Dan ketika ia dengan masih merasa jengkel terhadap Abraham justru meninggalkan pria itu sendirian di meja, Abraham mengambil inisiatif untuk mengikutinya dan mengajaknya pulang.

"Susah kamu mau pulang hujan-hujan begini. Mana ada ojek online yang nekat mau nembus hujan gini."

Elena membenarkan perkataan Abraham yang satu itu dan akhirnya dengan berat hati mengikuti langkah kaki Abraham menuju ke mobil yang terparkir di area parkir dengan konsep terbuka itu.

Hampir bersamaan, Elena dan Abraham masuk ke dalam mobil. Ketika Abraham sudah berada di balik kemudi, ia melongok ke belakang.

"Kamu pikir saya supir kamu?" tanya Abraham mendapati Elena yang duduk di belakang. "Enak aja duduk di belakang sedangkan saya nyupir."

Elena mengerjap.

"Pindah ke depan!" tukas Abraham.

Dengan cemberut, Elena keluar dan pindah ke depan. Seraya mengelap tubuhnya yang basah seadanya dengan telapak tangannya, ia kembali mendengar Abraham bersuara.

"Di belakang ada handuk kecil nggak?"

Elena melongok ke belakang. Dan mendapati di bagian belakang mobil ada beberapa hanger pakaian. Salah satunya tergantung handuk kecil.

"Coba ambil dulu."

Ekor mata Elena menajam. Kenapa nggak tadi nyuruh aku ngambilnya sebelum pindah ke depan, Bambaaaang?

Elena keluar lagi. Basah-basahan lagi. Lalu, menyerahkan handuk itu pada Abraham. Di luar dugaan Elena, Abraham justru berkata.

"Lap dulu badan kamu. Apalagi kepala kamu itu."

Elena tertegun untuk beberapa saat. Lalu, mengelap tubuhnya sendiri. Ketika dirasanya tubuhnya sudah kering, ia menyodorkan handuk itu pada Abraham.

Pria itu menerimanya dan mengelap asal rambutnya yang basah. Dalam diam, Elena mengamati gerakan itu. Rambut Abraham yang biasanya rapi, tampak lembab berantakan. Dan itu terlihat menarik di mata Elena.

Seolah menyadari dirinya sedang diperhatikan, Abraham menoleh. Elena terkejut dan melarikan tatapannya ke arah yang lain.

"Rinda itu teman kamu?" tanya Abraham dengan nada santai seraya meneruskan mengelap rambutnya.

Elena mengangguk mendengar pertanyaan itu. Jelas bisa menangkap maksud Abraham yang ingin mengusir suasana canggung di antara mereka. "Teman saya dari kecil. Dan kebetulan ini juga tempat saya kerja dulu sebelum ngasuh Nona."

Dahi Abraham berkerut sedikit. Ia melarikan handuk itu ke tekuknya. "Udah lama kamu kerja di sana?"

Kali ini Elena menggeleng. "Baru sekitar dua bulan lebih dikit, Pak."

Abraham sedikit memutar tubuhnya ke samping. Dengan santai, ia melempar handuk itu ke belakang. "Sebelum itu kamu kerja di mana?"

Kepala Elena sontak terangkat. Pandangannya beradu pada Abraham. Di tempatnya, Abraham tak bergerak menunggu jawaban Elena.

"Ehm..." Elena berdehem. "Pengajar, Pak."

"Guru les? Guru private?" tanya Abraham lagi. "Di bimbel mana?"

Elena meringis. "Bapak lagi mewawancarai saya?" tanyanya. "Saya kan udah kerja di tempat Bapak. Ngapain saya diwawancarai lagi?"

Abraham menarik napas panjang. Lalu geleng-geleng kepala.

"Sebenarnya, daripada Bapak nanya-nanya saya," lanjut Elena, "lebih tepat kalau saya yang harus nanya-nanya ke Bapak."

"Apa?"

Dahi Elena berkerut dengan tatapan menyelidik. "Memangnya niat Bapak apa ngomong ke Nona Dania kalau kita tidur bareng? Saya di bawah dan Bapak di atas?"

"Ah, benar-benar," rutuk Abraham. "Bisa kita hentikan soal kamu di bawah dan saya di atas?"

"Tapi, itu kan kenyataannya."

"Nah kan! Kamu juga mengakui kalau itu kenyataan. Terus masalahnya di mana?"

Eng... Ing...

Elena mengerjap. Sepertinya ada kekeliruan pengambilan makna di sini.

Elena menggeleng-gelengkan kepalanya. "Itu... maksud saya..." Elena menggaruk kepalanya. "Maksud saya... kenapa Bapak ngomong seperti itu?"

Satu tangan Abraham naik ke kemudi. Tapi, jelas belum berniat mengemudikan mobil itu dalam waktu dekat. "Kenyataannya memang begitu kan? Kamu tertidur di bawah, di lantai. Sedangkan saya tidur di atas, di sofa. Terus salahnya saya di mana ketika menjelaskan bahwa kamu tidur di bawah dan saya di atas?"

Mata Elena mengerjap-ngerjap.

"Justru saya itu menerangkan bahwa kita tidur di posisi yang berbeda."

Otak Elena mencerna perkataan Abraham, lalu manggut-manggut. "Sebenarnya iya juga sih."

"Nah kan!" tukas Abraham. "Saya hanya mencoba menyelesaikan masalah yang kamu buat."

"Ew!" Elena mencebik. "Masalah apa yang saya buat?"

"Kalau kamu nggak ketiduran, orang-orang nggak bakal salah paham!"

"Wah! Bapak ini benar-benar menyebalkan ya?" tanya Elena tak percaya. "Saya jujur aja nyesal ngerawat Bapak malam tadi!"

Abraham mendengus. Lalu geleng-geleng kepala. "Yah, harusnya saya tahu. Pasti sifat ini yang membuat Claressa ngebet minta kamu balik lagi ke rumah."

Ough. Elena mengerti sekarang. "Pantas Bapak nekat nyusul saya sampai-samapi buat alibi nggak ada ojek online yang bakal ngantar ujan-ujan begini." Elena angguk-angguk kepala. "Biar yakin saya bakal pulang."

Abraham tak menampik hal yang satu itu.

"Omong-omong... Sifat apa, Pak?" tanya Elena polos kemudian.

"Sifat pemberani kamu itu!" tukas Abraham yang seketika membuat Elena menunduk. "Apa kamu nggak ngerasa kalau kamu itu terkadang sudah kelewat batas? Kamu bahkan nggak mikir dua kali untuk ngomong gitu ke saya?"

Elena memanyunkan mulutnya. "Dari kecil saya selalu dididik untuk berani kalau benar, Pak."

"Oh ya?" tanya Abraham dengan nada sarkas. "Menurut kamu yang kamu lakukan benar?"

"Memangnya apa yang salahnya, Pak?" balas Elena. "Saya yang ngebet minta biar Bapak ke sekolah Nona? Atau yang ngomong soal fakta bahwa Nona kena rundung di sekolah? Atau tadi waktu saya balik nampar Nona Dania? Atau saat saya ngerawat Bapak?"

Kali ini Abraham tidak mampu menjawab pertanyaan Elena.

"Pak," kata Elena. "Sepertinya Bapak ini ada masalah dengan kontrol emosi Bapak deh."

"A-Apa?"

"Bapak sadar kan kalau Bapak itu menyebalkan?" tanya Elena. "Dari malam pertama kita---"

Elena dan Abraham sama-sama mengerjapkan mata. Lalu, kompak terbatuk.

"--- wah!" Elena mengipasi wajahnya yang mendadak memanas. "Dari pertama kali kita ketemu, Pak. Emosi Bapak itu udah meledak-ledak. Saya pikir itu hanya ke saya, tapi... Apa Bapak bisa lebih perhatian pada Nona?

"Mengapa pembicaraan ini melenceng ke sana?"

"Sekalian saja karena kita sudah terlanjur bicara empat mata di sini," tegas Elena. "Sayangi Nona, Pak."

Beberapa detik, pria itu tak bersuara. Lalu, Abraham menoleh. "Kenapa?"

"Eh? Apa, Pak?"

"Kenapa kamu perhatian dengan Claressa?" tanya Abraham. "Apa kamu nggak merasa perhatian kamu ke Claressa itu melebihi keharusan pengasuh pada anak asuhnya?"

Elena terdiam melihat bagaimana mata Abraham yang menatapnya dalam seraya bertanya.

"Kenapa kamu begitu perhatian pada Claressa?"

"Er---- itu..." Elena menggaruk tekuknya dengan canggung. Di luar hujan turun masih dengan lebat-lebatnya. Dan itu membuat Elena bersyukur. Setidaknya badannya bergetar karena kedinginan kan? Bukan karena faktor lainnya.

Elena menggigit bibirnya. "Saya kasian lihat Nona, Pak. Memangnya ada anak yang mau nggak dipedulikan sama bapaknya sendiri? Kalau Bapak lebih perhatian ke Nona, saya pasti nggak sampai begini."

Mata Abraham berkedip dengan gerakan pelan. "Oke. Kalau untuk yang malam tadi?" lanjutnya. "Kamu ngerawat saya? Bukannya aneh kalau kamu yang pengasuh anak saya justru merawat saya yang lagi sakit? Kamu bisa manggil Pak Zulman."

Beberapa detik, Abraham hanya diam menunggu Elena menjawab pertanyaannya. Bibir Abraham menyeringai kecil.

"Ehm..." Elena melanjutkan perkataannya. "Soal yang malam tadi, saya tuh udah mau manggil Pak Zulman. Sumpah! Tapi, saya kasian. Masa udah tua harus bangun malam-malam buat ngurus cowok keras kepala kayak Bapak."

Kedua mata Abraham melotot seketika, tapi detik selanjutnya meredup kembali. "Begitu?"

Elena mengangguk.

"Kamu itu pengasuh anak saya. Babysitter Claressa," kata Abraham tanpa kedip pada Elena. "Bukannya pengasuh saya."

"A-Apa? Tu-Tu-Tunggu, Pak." Mendadak Elena merasa kegerahan. Ia mengipas-ngipasi wajahnya berulang kali. "Wah! Bapak nganggap saya cewek apaan? Bapak nganggap saya semacam daddysitter Bapak gitu"

"Memangnya apa yang harus saya pikirkan ketika babysitter anak saya justru merawat saya malam tadi? Apa kamu mau jadi daddysitter saya juga?"

"Wah!" Elena meneguk ludahnya. "Nyesel banget saya ngerawat Bapak malam tadi. Bener-bener nyesel. Mana nggak pake makasih, eh malah ngira saya yang aneh-aneh."

Abraham menyeringai. "Kamu memang mau berusaha menggoda saya?"

Mata Elena membulat dengan ukuran maksimal. "Bapak ini bener-bener ya. Memang nggak tahu makasih," kata Elena seraya menunjuk hidung Abraham. "Kemaren waktu saya bantuin jadi penerjemah juga nggak bilang makasih. Udah dirawat juga nggak bilang makasih. Wah!"

Abraham menangkap jari telunjuk Elena dengan kesal. "Kamu bahkan berani menunjuk hidung saya?"

Elena pun tak kalah kesalnya. "Bapak aja yang nggak tahu berapa kali saya ngumpatin Bapak dalam berbagai bahasa. Dan Bapak juga nggak tahu kan apa yang saya lakuin waktu saya nutup mata Bapak?"

Wajah Abraham benar-benar terlihat berubah. Ia menatap Elena dengan ancaman emosi yang akan meledak.

"Saya mencibir."

Mata Abraham membulat ketika Elena mencibirkan bibirnya pada Abraham.

"Mulut kamu itu..." Abraham benar-benar menggeram.

"Apa? Bapak mau mecat saya karena mulut saya ini?" tantang Elena. "Memangnya ada yang bakal bisa mengasuh Nona seperti saya? Baru sepuluh hari saya ngasuh Nona, semua masalah Nona selesai. Tak ada keributan. Tak ada pertengkaran." Mata Elena menyipit menantang Abraham. "Coba aja Bapak mecat saya kalau mau ngeliat Nona ngamuk-ngamuk lagi. Ini saya pergi bentar aja udah disusulin."

Abraham menarik napas dengan hidung dan mulutnya sekaligus. Mendadak ia seperti orang kekurangan oksigen.

Elena kembali mencibir.

Dan itu semakin menyulut emosi Abraham.

Ketika detik selanjutnya, di saat Elena masih mencibirkan mulutnya pada Abraham, pada saat itulah tangan Abraham yang masih menangkap jari telunjuk Elena bergerak. Menyentak tubuh gadis itu mendekat padanya.

Yah...

Mungkin kali ini yang salah adalah hujan, emosi, dan adrenalin yang meletup-letup. Abraham membutuhkan tindakan untuk melenyapkan cibiran itu dengan cepat.

Dramatis.

Tapi, ia menggunakan cara yang benar-benar manis.

*

tbc...

unch... yah begitulah yang terjadi, Pemirsa... silakan tunggu kelanjutannya... mudah-mudahan aja malam ntar yaaa.... 😘😘😘

eits, jangan lupa tinggalkan vote dan komennya...

oh iya, buat yang baru bergabung membaca cerita ini, bukannya apa ya... tapi, aku sarankan baca dari awal. setiap partnya asli bikin ketawa dan ketagihan... kalian loh yang rugi kalau ga baca dari awal... hahahha.... gayanya... 🤣🤣🤣

pkl 08.42 WIB...

Bengkulu, 2020.04.06...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro