Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Setengah Mati + Sepenuh Hati = Gila

selamat malam semuanya...

cie cie cie... akibat jadi petapa sejati di dalam rumah, mungkin cerita ini bakal selesai dalam hitungan hari... ini baru 3 hari aja total di word aku udah 31 halaman dengan 6 part 👏🏻👏🏻👏🏻😂😂😂

kita liat secepat apa aku bisa menyelesaikan cerita ini... dan rencananya, kalau udah selesai ntar aku mau nyoba nerbitin aaaah... mohon doa ya 🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️🙇🏻‍♀️

===========================================================================

Elena benar-benar ingin membenturkan kepalanya di dinding saat itu juga.

Sekarang, ia sudah berada di dalam kamarnya lagi. Dan ia baru saja selesai mengepak kembali barang-barangnya. Ia sudah bertekad bahwa besok, sebelum langit terang, ia akan pergi dari rumah itu.

Persetan deh dengan gajinya.

Dan Elena berjanji pada dirinya bahwa apa pun yang terjadi, ia tidak akan kembali lagi ke rumah itu.

*

"Elena!"

"Elena!"

Claressa berteriak dengan sekuat tenaga hingga mungkin semut di puncak Monas bisa mendengar teriakannya. Tapi, yang datang kemudian di kamarnya bukan Elena, melainkan Pak Zulman.

"Loh? Elena ke mana?"

Pak Zulman tersenyum tipis. "Elena memutuskan untuk berhenti, Nona. Tadi pagi-pagi sekali dia sudah pergi."

Claressa tersenyum lebar. "Ternyata kemampuan dia cuma segitu."

Pak Zulman tidak merespon perkataan Claressa.

"Apa dia pergi gara-gara pusing nyari semangka kuning?" tanya Claressa. Ehm, ternyata semangka kuning memang senjata yang ampuh. Diliriknya sekilas segelas jus yang masih berada di atas nakas. Sama sekali tidak ia sentuh.

"Bukan karena semangka kuning, Nona."

Claressa melirik. Beranjak ke meja belajarnya. Memeriksa tugas yang semalam ia berikan pada Elena. Setidaknya pengasuh itu harus menyelesaikan tugas aku sebelum pergi, pikirnya.

"Terus apa gara-gara terpleset di kamar mandi?" tanyanya yang langsung dijawab gelengan sekali oleh Pak Zulman. "Karena mengerjakan tugas?" tanyanya seraya membuka buku tulisnya. Memeriksa satu persatu hingga gerakan tangannya terhenti.

"Bukan juga karena itu, Non."

Mata Claressa tidak berpaling dari buku tugasnya, tapi ia kembali bertanya dengan suara yang lebih rendah. "Jadi, karena apa?"

Pak Zulman meneguk ludahnya sedikit. "Karena Elena ribut dengan Tuan."

Seketika Claressa menoleh pada Pak Zulman. "Ribut?"

"Mungkin lebih tepatnya Elena dengan berani membentak-bentak Tuan dan mengatakan bahwa Tuan tidak memiliki pikiran yang terbuka."

Mata Claressa membulat seketika. Mulutnya menganga lebar. "Dia membentak Daddy?"

Dengan berat hati Pak Zulman mengangguk. Dalam hati ia meringis. Bagaimana pun juga, karena insiden itu akhirnya ia juga kena semprot oleh majikannya. Dianggap tidak bisa mencari orang yang tepat. Kasar dan tidak berpendidikan. Tapi, kurang berpendidikan apa coba kalau lulusan universitas ternama?

"Tapi, tenang, Nona," kata Pak Zulman kemudian. "Hari ini saya yakin bisa mendapatkan pengasuh lain untuk Nona. Nona tidak perlu khawatir."

Claressa tertegun. Matanya kembali beralih pada buku tugasnya. Lalu, ia berkata. "Tidak, Pak."

"Apa, Non?"

"Aku nggak mau pengasuh lain," kata Claressa.

"Jadi?"

Claressa menoleh dan menatap Pak Zulman tanpa kedip. "Apa pun yang terjadi, bawa Elena kembali ke sini."

Kali ini Pak Zulman yang melotot. "Tapi, Tuan sudah mengusirnya, Non."

"Aku nggak peduli. Kalau ada pengasuh yang lain, aku bakal lempar dia dengan piring, gelas, atau panci." Claressa berkata dengan tegas. "Pokoknya, bawa Elena kembali ke sini. Titik."

Pak Zulman meneguk ludahnya. Merasa terjebak antara permintaan yang berseberangan antara Abraham dan Claressa.

"Saya bisa cari pengasuh yang lebih pintar dari Elena, Non," bujuk Pak Zulman. "Lagipula, dia tidak terlalu hebat kok."

Claressa tersenyum. "Dia hebat. Buktinya berani ngebentak Daddy."

Glek.

"Sudah sana pergi. Aku mau siap-siap. Panggilkan itu Mbak Lola biar bantu-bantu aku."

Pak Zulman mengangguk. Lalu meninggalkan Claressa yang mendadak beranjak ke nakas beserta buku tugasnya.

Ia meraih jus yang sudah tidak lagi segar dan menyesapnya seraya kembali membaca satu tulisan di bagian bawah lembar tugasnya.

Ganbatte!

*

Rinda tertawa besar.

Elena justru semakin uring-uringan.

"Memang ya pepatah itu ada benernya. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Wajar aja anaknya itu kelakuannya buruk gitu. Omongan kasar, judes, dan argh! Ternyata ya bapaknya gitu sih."

Rinda menepuk-nepuk pundak Elena. "Sabar, Len, sabar. Seenggaknya kamu udah tahu dari awal gimana sifat mereka kan?"

"Cuma ya nggak abis pikir aja kali. Lagian, itu rumah mereka gede banget ya salam. Itu Gedung Serba Guna IPB bisa muat kalau dipindahin ke sana. Tapi, ternyata rumah gede nggak menjamin pikiran dan logikanya gede juga," rutuk Elena. "Ya kali masa dia kira psikolog dan psikiater itu pasiennya orang gila semua. Kan rada-rada otaknya. Lagian ya, aku tuh ngasih solusi. Konsul ke psikolog biar tau cara pengasuhan untuk anak yang tempramental tinggi itu kayak gimana. Karena kan tiap anak kepribadiannya beda-beda." Elena geleng-geleng kepala. "Ini mujur banget Bapak sama Ibu aku punya anak kayak aku. Kalau aku sebangsa Claressa, yakin nggak bakal sampe dapat anak lima orang!"

"Huahaha!" Rinda kembali tertawa sampai matanya basah berair-air. "Aku tuh ya sebenarnya paling suka kalau kamu lagi mode ngomel-ngomel kayak gini. Berasa naik MRT tauk nggak sih? Hahaha."

Mata Elena mendelik.

"Cerewetnya keluar semua ya salam. Hahaha."

"Bagus deh kalau kamu dapat menemukan sisi lucu dari ini," kata Elena muram.

"Waktu kamu marah-marah ke siapa namanya? Abraham? Ah, iya. Abraham. Apa kamu juga ngomong panjang lebar juga?"

Elena meringis. Menggaruk tekuknya. "Yah, gimana lagi. Tiap orang punya kebiasaan masing-masing. Kalau unek-unek nggak aku keluarin, ntar kejiwaan aku yang terganggu. Daripada kejiwaan aku yang terganggu ya mending orang yang bersangkutan aja deh yang jiwanya terganggu."

"Hahahaha. Nggak heran kalau dia langsung menyetujui permintaan berenti kamu."

Elena tersenyum miris. "Padahal ya, Rin. Sebelum dia ngebentak aku, pas awal-awal aku ngeliat dia..." Kepala gadis itu geleng-geleng. "Terutama waktu dia senyum dengan satu ujung bibir aja yang diangkat." Entah sadar entah tidak, tapi Elena mempraktekkannya. Hanya saja senyum yang ia hasilkan justru menakutkan. "Itu seperti aku kayak yang liat Dewa Cinta turun dari langit."

"Chupid nggak pake baju dong."

"Sembarangan!" tukas Elena. "Wajahnya we a we. WAW. Jadi ngebuat aku pengen berdoa ke Tuhan biar dapat suami yang kurang lebih kayak dia. Tapi..." Raut wajah Elena segera berubah. "Setelah satu bentakan disusul dengan bentakan lainnya, oh Tuhan! Untung itu muka nggak aku tonjok, Rin. Seumur-umur Bapak aja nggak pernah bentak aku kayak gitu."

"Terkadang cowok cakep sih memang gitu," kata Rinda. "Sama kayak cowok-cowok bilang kenapa cewek cantik biasanya sombong. Nah, cowok cakep biasanya juga judes."

Bibir Elena mencibir. "Tapi, aku nggak sombong kok."

"Yang bilang kamu cantik siapa? Hahaha."

"Sial deh." Tapi, otak Elena kembali berputar. "Tapi, kayaknya bisa jadi sih. Apa menurut kamu sifat cakep itu terikat dengan kepribadian yang buruk? Maksud aku apa mungkin itu memang sifat di DNA seseorang yang kalau dia cantik ya dia sombong, tapi kalau dia nggak cantik ya dia nggak sombong? Gitu juga dengan cowok cakep dan sifat judesnya?"

Rinda geleng-geleng kepala. "Maudy Ayunda cantik dan nggak sombong by the way. Gita Gutawa. Tasya Karmila."

"Ah iya..."

"Masalahnya, ingat apa rumus karakter makhluk hidup di mata kuliah Genetika dulu?"

Elena mengangguk. "Kamu bener. Karakter itu perpaduan antara gen dan lingkungan. Dan entahlah ya, untuk sifat keluarga Rhodes sepertinya gen dan lingkungannya sama aja. Jadi hasilnya 100% karakter menyebalkan."

"Hahaha."

Elena menghela napas panjang. "Udahlah, aku nggak mau lagi mikir keluarga itu. Mending kita berangkat. Aku mesti cepat-cepat ketemu Bos yang baik hati. Meminta kembali pekerjaan aku."

Rinda bangkit. Memutar-mutar kunci motor di jari telunjuknya. Sekilas melirik pada jam dinding yang baru saja lewat dari jam delapan untuk beberapa menit.

"Ayo!"

*

"Halo, Bos!"

Pria paruh baya itu baru saja masuk ke dalam restoran, diikuti oleh seorang wanita. Dan ia langsung menyapa Elena.

"Halo, Elena. Nggak nyangka sepagi ini udah sampe aja. Mau ketemu saya?"

Elena mengangguk. Berdoa semoga Pak Burhan masih sebaik biasanya.

"Oke, oke," kata Pak Burhan. "Kita ke ruangan saya saja ya." Ia beralih ke belakang. "Meta, kamu juga ikut saya ya. Sekalian aja kalian berdua. Biar bisa langsung ngobrol-ngobrol."

Elena mengerjap-ngerjap. Memandang berkali-kali pada Pak Burhan dan cewek yang dipanggil bosnya itu dengan nama Meta.

"Ngo-Ngobrol apa, Pak?" tanya Elena bingung.

"Tadi sih rencananya saya mau minta tolong Rinda, tapi karena kamu udah datang. Kamu aja yang ngasih pengarahan singkat ke Meta."

Meta tersenyum.

"Pengarahan singkat apa, Pak?"

Pak Burhan menatap kedua mata Elena dengan santai. "Tentang apa aja yang harus koki siapkan di belakang. Letak bahan-bahan, bumbu segala macam, dan yang lainnya."

Mata Elena kembali mengerjap-ngerjap.

"Ini Meta mulai hari ini bekerja menggantikan kamu," kata Pak Burhan tersenyum. "Waktu kamu WA kalau mau berenti, saya ingat ada tetangga saya beda RT cuma selang beberapa gang sih sebenarnya. Itu ibu jualan lontong sayur enak banget---"

Apa hubungannya, Bos?

"Mana kalau beli gorengan sering dikasih gratis lagi. Ugh! Pokoknya baik banget deh. Nah, Meta ini anaknya. Kebetulan udah tamat kuliah, tapi belum dapat kerjaan. Daripada nganggur kan mending saya ajak bantu-bantu dulu di sini."

Roh seakan melambai-lambai meninggalkan tubuh Elena. Terbang tinggi ke langit sana.

Selesai sudah.

Ia kembali menjadi pengangguran.

*

Kalau tadi Elena uring-uringan, maka sekarang ia mencak-mencak.

Tepat di sebidang taman yang tersedia di sebelah restoran fast food tempat ia bekerja dulu. Tolong di-bold, please. Di sebelah restoran fast food tempat ia bekerja dulu.

"Aku tahu. Bos kita memang baik hati," kata Rinda muram. "Tapi, ya kali ia nyari pengganti secepat itu."

Elena meraih Rinda. "Terus idup aku gimana, Rin? Aku mau makan apa kalau nggak kerja?"

"Tenang, Len, tenang. Bukannya kamu dikasih pesangon juga dari Bos dan Abraham itu?"

Elena mengangguk. "Tapi, ya kali, Rin. Bulan depan gimana kalau aku nggak ada pemasukan?"

"Aduh. Aku juga bingung," kata Rinda. "Kamu mau ngerayu Bos buat masuk lagi juga nggak bakal bisa. Lah posisi kamu udah diisi."

Elena angguk-angguk muram.

"Ehm..." Rinda bergumam takut-takut. "Kalau posisi pengasuh di keluarga Rhodes? Udah diisi belum?"

"What?!" pekik Elena. "Don't say, Rin, doooon't. Nyawa aku cuma satu, nggak kayak kucing yang ada sembilan nyawa. Dan kalau pun aku punya sembilan nyawa, aku yakin bakal mengalami kematian sebanyak sembilan kali juga."

"Tapi, kan gajinya gede."

"Walau gaji gede, keluar-keluar dari sana aku gila gimana?"

"Cobaan hidup selama ini membuktikan mental kamu kuat."

Elena mendelik. Lalu, geleng-geleng kepala sekuat tenaga berkali-kali. "Ngurus anaknya aja setengah mati, belum lagi bapaknya ngejengkelin sepenuh hati. Perpaduan sempurna untuk membuat aku gila dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mana lagi ya, kalaupun aku datang dan mau kerja di sana pasti nggak bakal diterima lagi."

"Gara-gara kamu ngebentak dia?"

"Itu satu."

"Yang kedua?"

"Aku nggak sengaja nyindir tentang istrinya. Nyalah-nyalahin pola asuh dia dan istrinya yang membentuk karakter Claressa jadi seperti itu. Dan yang terjadi adalah ternyata istrinya udah ninggalin dia sejak lama."

Tangan Rinda menepuk pungguk Elena berkali-kali tanpa ekspresi. "Good job... Good job... Itu baru Elena yang membabi buta."

"Aaaargh!" Elena menutup wajahnya dan berusaha tidak memekik sekuat tenaga saat itu. "Aku nggak sadar nyentil ego duda yang ditinggal pergi mantan istri. Gimana nggak parah itu?"

"Memang parah. Seperti biasa, kamu memang ahlinya membuat sesuatu jadi bertambah parah."

"Aku beruntung nggak dia telan hidup-hidup, Rin. Dan setelah itu semua, orang waras mana yang mau nerima aku balik lagi kerja?"

Rinda menggeleng. "Nggak bakal ada."

"Tuh kan!" Elena semakin meringis. Uring-uringan. Dan benar-benar buntu memikirkan kehidupannya di ibu kota tanpa ada pemasukan. Astaga. "Naga-naganya bakal jual tissue di simpang lampu merah deh."

Rinda prihatin melihat Elena, tapi tak bisa berbuat apa-apa. "Aku doakan semoga kamu bisa dapat kerjaan lagi, Len. Tenang aja."

Elena benar-benar bingung. Tapi, dalam hati mengamini doa Rinda. Lalu, selang beberapa detik kemudian, ia merasakan ponselnya berdering.

Tanpa melihat siapa yang menelepon, Elena menjawab. "Halo?"

"Elena, saya harap anda bisa kembali ke kediaman Rhodes dan mengasuh Nona Claressa."

Elena melihat nama Pak Zulman di layar ponselnya.

"A-Apa, Pak?"

"Gaji anda akan dinaikkan 50% kalau anda bersedia datang kembali ke kediaman Rhodes saat ini juga."

Elena terbelalak. "Daebak!"

*

tbc...

berasa ga alurnya yang cepet guys? hahaha... 😂😂😂

ini style aku banget 😎😎😎

btw. semoga kalian enjoy ya menikmati cerita ini...

pkl 19.20 WIB...

Bengkulu, 2020.03.18...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro