Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sesederhana Itu

Selamat pagi semuanya 😁😁😁
Sebelumnya mohon maaf karena beberapa hari ga update... Ada banyak yang terjadi, salah tiganya: laptop ga bisa konek internet, mau update lewat hp tapi ketikan jadinya kacau, dan jari manis aku keseleo [lagi]... yang terakhir ini yang buat keki... soalnya udah terbiasa ngetik 8 jari, jadi ga bisa diistirahatkan... 😅😅😅

Jadi, gantinya aku bakal kejar setoran... 😂😂😂

Btw. Makasiiih untuk ucapannya... Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat... 🤗🤗🤗

==================================================================

Elena menghela napas panjang. Memandang pantulan wajahnya di cermin dan untuk beberapa saat ia hanya terpekur di sana seperti orang bodoh. Orang bodoh yang kemudian merutuki ketololannya sendiri.

Kalau satu kali adalah kecelakaan, maka dua kali adalah kesengajaan.

Sesederhana itu.

Elena melintasi dapur seperti biasanya, berniat mengambil bekal yang biasa Bu Siti siapkan untuknya saat ia mendengar wanita-wanita itu cekikikan.

"Persis seperti itu."

Bu Siti dan Lola tertawa mendengar perkataan Intan.

Elena masuk, meraih kotak bekalnya dan penasaran dengan pembicaraan pagi mereka. Ia melongokkan kepala. "Apa?"

Intan menyeret lengan Elena untuk lebih dekat pada lingkaran yang mereka bentuk. "Kamu pernah ngeliat Tuan siul-siul sambil make dasi?"

"Eh?"

Sebenarnya pertanyaan itu benar-benar tidak menjadi perkataan yang Elena pikirkan.

"Tuh kan," kata Intan. "Sepertinya kita bakal dapat Nyonya baru dalam waktu dekat."

"Oh ya?" tanya Elena. Ia menarik napas dalam-dalam. Berusaha mengabaikan perasaan apa pun yang hadir dengan ketidakenakan di sudut hatinya.

Mereka kompak mengangguk.

"Kayaknya," lirih Lola, "Tuan lagi jatuh cinta."

"Masa?"

"Kamu nggak merhatiin kalau udah dari kapan gitu, tapi Tuan terlihat lebih..." Intan mengerutkan dahinya. Tampak berusaha menemukan kata yang pas. "Lebih santai atau lebih gimana ya ngomongnya." Ia tertawa.

"Dan tadi," tambah Bu Siti. "Intan nggak sengaja lewat depan pintu kamar Tuan yang kebuka dikit. Tuan lagi masang dasi sambil siul-siul."

Elena tidak mendapat inti dari perkataan itu. "Hubungannya masang dasi sambil siul-siul dengan nyonya baru apa ya?"

Mereka bertiga melihat Elena dengan tatapan tak percaya.

Lola merengkuh pundak Elena. "Jelas pengalaman cinta kamu nggak bisa dibanggakan, Len."

Mata Elena mengerjap-ngerjap. Tak menampik perkataan Lola yang satu itu. Kegiatan akademisnya menuntut konsentrasi tingkat tinggi. Apalagi dengan keadaan perekonomian keluarga yang tidak mendukung, gadis itu nyaris tidak memiliki waktu luang ketika harus membagi waktu antara kuliah, belajar bahasa, dan kerja sambilan memberikan les private. Ia seringkali mengeluh mengapa sehari hanya memiliki 24 jam. Nyaris tidak benar-benar cukup untuknya berisitirahat. Sesekali, ia memang pernah berpacaran. Tapi, Elena menganggap itu hanya sekadar selingan. Bukan hal penting untuk ia berikan prioritas. Mengenyahkan pikiran bahwa ia menganggap hubungan pria dan wanita adalah hal sampingan, ia hanya merasa ia belum menemukan seseorang yang perlu ia prioritaskan.

Sesederhana itu.

"Jadi...?" tanya Elena.

Intan mengibas rambut selehernya. "Sebagai ahli dalam percintaan---"

Elena meringis karenanya.

"--- itu bisa dikatakan kebiasaan pria kalau sedang berbunga-bunga. Yah, kalau wanita itu sering bersenandung gitu."

Ough. Elena manggut-manggut.

"Tapi, apa menduga Tuan jatuh cinta gara-gara masang dasi sambil bersiul nggak kelewatan ya?" tanya Elena. "Bisa aja Tuan lagi seneng gara-gara kontrak bisnisnya dengan orang Jepang itu sukses."

Mata Intan memicing. "Kamu belum tahu ya?"

"Apa?"

"Kasih tahu, Tan," dorong Lola.

Bu Siti terkikik pelan. "Ini lebih menghebohkan."

"Apa?"

Intan menarik tangan Elena. "Kemaren, waktu aku ngambil baju kotor Tuan buat dicuci..."

Elena memasang telinga dengan saksama.

"Aku ngeliat ada noda lipstik di pundak kemeja Tuan."

Mendadak Elena mendengar suara petir menggelegar di telinganya.

"A-Apa?" tanya Elena gagap. Seketika ia merasa tak bisa bernapas lagi.

Mendapati reaksi Elena, mereka kompak terkekeh.

"Tuh kan nggak percaya. Hehehe."

"Kayaknya hubungan mereka sudah serius."

"Makanya kami bilang, dalam waktu dekat kita pasti dapat nyonya baru."

Glek.

Salah mengartikan syok di wajah Elena sebagai ekspresi tak percaya terhadap berita yang baru mereka sampaikan pada gadis itu, mereka justru tertawa-tawa kecil.

Elena membeku.

Mampus aku!

*

Entah bagaimana mengatakannya, tapi Elena sama sekali tidak menyukai situasi ini. Berada di lingkungan yang diam-diam tengah membicarakan dirinya tanpa tahu bahwa mereka sedang membicarakan dirinya, membuat Elena galau. Sebagian dirinya merasa tidak enak hati. Ehm, bukan berarti ia ingin mendeklarasikan hal itu ke semua orang. Halo, lipstik itu punya aku loh. Nggak sengaja aja nempel waktu Tuan meluk aku setelah ciuman ketiga kami hari itu.

Sama sekali bukan seperti itu. Tapi, entahlah.

Sedang di sisi lain, Elena benar-benar yakin bahwa terkadang ia lebih dungu dari pada keledai paling dungu sekali pun. Hanya orang paling dungu yang akan jatuh ke lobang yang sama dua kali. Benar-benar tidak bisa belajar dari pengalaman.

"Sudah, Len, berenti cukup sampai di sini. Kita belajar dari masa lalu. Oke?" Elena menenangkan dirinya kembali.

Pandangannya melintasi jendela kamar yang hordengnya belum ia tutup. Kebiasaannya dari dulu. Selalu membiarkan hordeng tetap terbuka hingga ia beranjak tidur. Ia selalu suka melihat pemandangan malam yang damai. Terutama ketika ia sedang menggarap skripsi dan tesisnya dulu. Pemandangan itu selalu berhasil membuat pikirannya terasa lebih santai dan luas. Seolah tanpa batas.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Elena membuka aplikasi Gmail di ponselnya. Kembali menyegarkan halaman tersebut, tapi tak ada yang berubah.

Elena mendadak ingat sesuatu. Mungkin karena ponselnya tergolong sudah lama digunakan, terkadang email memang terlambat masuk. Bahkan pernah seminggu kemudian ia baru menyadari ada email masuk.

"Mungkin baiknya aku ngecek di laptop," pikir Elena. Sejurus kemudian, ia justru menepuk dahinya. "Ah, ketinggalan di kamar Nona."

Berkat kebiasaan menonton setelah belajar, Elena memang pada akhirnya menyimpan laptopnya di kamar Claressa. Itu lebih menguntungkan dibandingkan harus bolak-balik membawa laptop ke sana berulang kali.

Elena memutuskan untuk mengambil laptop itu.

Jadi, ia beranjak ke kamar Claressa, namun justru tertegun sejenak ketika kakinya yang baru menapak di lantasi atas mendapati kamar Claressa yang sedikit terbuka.

Apa tadi aku lupa menutup pintu kamar Claressa?

Masa?

Merutuki keteledoran dirinya, Elena melangkah pelan mendekati kamar Claressa. Dan ia mendapati pemandangan yang membuat ia tercekat di depan pintu.

"Anak Daddy yang cantik..."

Elena terdiam di balik pintu. Matanya memandang tanpa kedip ke dalam kamar Claressa.

Di sana, terlihat Abraham tengah duduk di tepi kasur. Ia dengan pelan, nyaris tak benar-benar menyentuh dahi Claressa ketika membelai anak itu.

Abraham tersenyum.

"Walau Daddy selalu mengatakannya, tapi entah kamu mau melakukannya atau tidak," lirihnya pelan. "Maafkan Daddy, Sayang."

Abraham menundukkan kepalanya. Menyapu dahi Claressa dengan kecupan ringan yang nyaris tak menyisakan jejak di sana. Satu sentuhan yang ia harapkan mampu memberikan mimpi indah bagi putrinya.

Dan itu sudah menjadi sinyal bagi Elena. Gadis itu menahan napas. Pelan-pelan menarik diri dari sana. Membiarkan Abraham menikmati waktunya.

Ada sesuatu yang hangat dan meremas perasaan Elena dalam waktu yang bersamaan. Mungkin kali ini ia kembali salah menilai Abraham. Selalu memvonis bahwa pria itu adalah sosok ayah yang kejam pada putrinya. Tapi, apa memang benar? Apa Abraham sedingin itu pada putrinya sendiri? Seperti yang selalu terlihat selama ini?

Jadi, dimulai dari malam itu, Elena akhirnya memutuskan memundurkan jam tidur malamnya. Toh, sebenarnya selama menunggu Claressa di sekolah, ia bisa mengganti waktu tidurnya.

Ia penasaran. Apa malam itu adalah malam langka di mana Abraham mendatangi Claressa atau sebaliknya?

Ternyata di malam selanjutnya, Elena kembali mendapati pemandangan yang serupa. Pria itu kembali mengucapkan kata-kata pujian untuk Claressa layaknya orang tua pada anaknya. Mengungkapkan betapa imutnya atau betapa lucunya gadis itu dengan kuncir barunya. Lalu, ditutup dengan satu kecupan ringan yang sama.

Elena kemudian menyadari bahwa ia merasa itu adalah pemandangan yang paling mendamaikan perasaannya. Tapi, mengapa pria itu menampilkan sisi yang berlawanan di kesehariannya tetap membuat benak Elena bertanya-tanya.

Elena menyandarkan punggungnya. Membiarkan Abraham kembali menikmati waktunya untuk beberapa saat. Ketika pria itu pelan-pelan mengendap keluar seraya menutup pintu tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu melirih pelan.

"Bukankah lebih baik kalau mulai besok malam Bapak saja yang menidurkan Nona?"

Abraham menoleh.

Terbelalak tak percaya mendapati Elena yang berdiri di sebelah pintu.

"Kamu..."

Elena tersenyum. "Biar kerjaan saya lebih ringan, Pak."

"Kamu..."

Elena masih tersenyum. "Bapak mau minum sesuatu sebelum tidur? Teh? Coklat? Atau kopi mungkin. Ups." Ia tergelak kecil. "Masa minum kopi jam setengah satu malam."

Abraham tak tahu harus berkata apa. Yang di benaknya hanya ada satu hal. Sejak kapan dia ada di sini?

Abraham menguatkan kakinya untuk melangkah mendekati Elena. Gadis itu menegakkan punggungnya yang sedari tadi bersandar pada dinding.

"Kamu..."

"Apa Bapak mau yang lain?"

"Saya tidak mau a---"

"Kruuuukkk..."

Sepertinya ada ayam yang berkokok tengah malam. Ayam atau...

"Bapak lapar?" tanya Elena polos. Tatapannya langsung terarah pada satu tangan Abraham yang spontan memegan perutnya. "Mau makan sesuatu, Pak? Saya mantan koki. Tenang saja. Belum pernah ada laporan orang keracunan masakan saya."

Abraham menarik napas dalam-dalam. Otaknya menerka. Jelas Elena mengetahui apa yang terjadi. Lihat saja. Gadis itu berada di atas angin. Seolah telah mendapatkan informasi yang selama ini diincar oleh agen Densus 88 hingga ia bisa berbicara lancar layaknya jalan tol di tengah malam yang berbadai lebat. Dia selalu saja besar mulut ketika berada di atas angin, pikir Abraham.

"Tidur saat lapar, itu benar-benar tidak mengenakkan, Pak. Percaya saya," kata Elena kembali meyakinkan.

Lima menit kemudian, Abraham tengah duduk di kursi tinggi bertopang dagu di kitchen island. Di hadapannya, Elena tengah masak mie instan.

Entahlah. Abraham tidak pernah menduga bahwa masak mie instan harus bersertifikasi sebagai koki.

"Saya masak dua bungkus untuk Bapak. Lengkap dengan sayur mayur dan telor."

Abraham menerima mangkoknya dengan mata membesar. "Ough. Dua bungkus sepertinya terlalu banyak," katanya seraya melihat mangkok Elena. "Punya kamu berapa bungkus? Satu bungkus?" Pertanyaan itu terlontar dengan tak begitu yakin.

Elena tersenyum. "Ya dua bungkus juga dong, Pak." Elena kemudian tertawa pelan. "Mari, Pak, dimakan."

Abraham menyesap sesendok kuah mie rebus itu. Membiarkan lidahnya menangkap rasa gurihnya.

"Jadi, Pak. Sebenarnya saya mau minta maaf."

Mulut Abraham mengunyah dan menatap Elena. "Maaf untuk apa?" tanyanya tak yakin. Dari tadi, di saat ia menikmati makan tengah malam itu, ia sudah bertanya-tanya kapan Elena akan menanyakan perihal kunjungan rutinnya ke kamar Claressa itu. Tapi, maaf? Sama sekali bukan hal yang diduga oleh Abraham.

Elena meletakkan sendok dan garpunya sejenak. Mie instannya masih menyisa sekitar setengah lagi di saat punya Abraham nyaris habis.

"Kamu ada buat salah apa lagi?" tanya Abraham lagi.

Elena meneguk air minumnya sebelum menjawab. "Saya minta maaf untuk semua perkataan kasar saya dulu."

Abraham menunggu kelanjutan perkataan Elena.

"Untuk semua vonis saya tanpa melihat sisi praduga tak bersalah Bapak."

"Oke," kata Abraham. "Ini semakin membuat saya bingung. Sebenarnya ada apa?"

Elena menarik napas panjang. "Saya minta maaf untuk sikap saya yang keterlaluan. Yah, mau bagaimana lagi. Saya memang tergolong dalam manusia yang suka menggebu-gebu kalau berbicara, Pak. Terkadang saya memang kebablasan dalam berkata. Sejauh ini saya selalu berusaha untuk berbicara sesuai fakta, tapi saya juga masih bisa salah. Dan saya benar-benar minta maaf dari lubuk hati saya yang paling dalam."

Abraham mengembuskan napas panjang.

Tuh kan. Dia mulai lagi ngomong panjang lebar.

"Saya memang harusnya tidak terkejut kalau kamu adalah wanita yang menggebu-gebu," kata Abraham.

Dahi berkerut Elena menjadi sinyal bagi pria itu untuk kembali melanjutkan perkataannya.

"Elena... Nama kamu Elena," kata Abraham. "Itu artinya api. Kalau boleh saya tambahkan artinya menjadi api membara yang berkobar-kobar."

Elena seketika manyun. "Saya menganggap nama saya artinya cahaya, Pak. Kalau boleh saya tambahkan artinya menjadi cahaya bersinar yang terang benderang."

"Seharusnya saya bisa menebak kalau kamu memang orang yang seperti itu, seperti api." Abraham menuntaskan santapannya. "Jadi, kamu sebenarnya mau minta maaf soal apa?"

Elena menguatkan hatinya. "Dari awal kita bertemu, saya sudah menuduh Bapak."

"Menuduh saya apa?"

"Menuduh Bapak sebagai orang tua yang tidak menyayangi anaknya---"

Dia benar-benar melihatnya.

Sendok dan garpu terlepas dari kedua tangan Abraham.

"--- berulang kali mengatakan Bapak sebagai orang tua yang tidak berperasaan." Elena memaksa sekuat tenaga untuk mampu meneguk rasa pahit di tenggorokannya. "Saya benar-benar minta maaf."

Abraham berusaha menenangkan dirinya yang mendadak bergetar. Keringat dingin terbit di dahinya.

"Ka-Kamu benar-benar melihat semuanya..."

"Sudah beberapa hari."

Abraham menarik napas panjang. "Tidak akan ada yang berubah di antara saya dan Claressa."

"Maksud Bapak?"

Abraham menggeleng. Ia meminum air minumnya. Lalu bangkit dari sana. "Terima kasih untuk makanannya. Saya duluan."

Rasa bersalah semakin menyengat di hati Elena.

Astaga, Len! Kamu selalu tahu rasanya bagaimana dituduh dengan tidak semestinya. Dan sekarang justru kamu yang melakukan itu?

Secepat mungkin, Elena bangkit sembari mengulurkan tangan.

"Pak."

Langkah Abraham tertahan.

"Bapak tahu?" tanya Elena tanpa menunggu jawaban Abraham. "Ketika saya di Jepang dulu, saya pernah berbagi kos dengan mahasiswi asal Korea. Kami sering saling membantu dalam belajar dan berbagi budaya."

Abraham menatap Elena. Bingung dengan perubahan topik yang tiba-tiba itu.

"Salah satunya budaya penerimaan orang Korea," kata Elena kemudian seraya membayangkan apa yang baru saja terjadi di antara mereka. Satu hal yang sederhana sebenarnya. "Makan mie instan bersama..." Elena berusaha sekuat tenaga menahan debar di dadanya. Dia akan percaya kan? "Itu salah satu bentuk penerimaan di sana."

Abraham tertegun.

"Bapak ingin menceritakannya?"

*

tbc...

btw... Elena nih memang kadang-kadang suka ngerjain Abraham deh ya... pada tau kan ya maksud makan ramen itu apa kalau di Korea? ehm...

see yaaaa...

pkl 08. 37 WIB...

Bengkulu, 2020.04.14...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro