Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Semua Ada Sebab

selamat malam semuanyaaaa...

udah makan malam? gimana? masih dalam edisi di rumah aja? 😁😁😁

===========================================================================

Elena mengusap-usap kepala Claressa yang tengah meringkuk di balik selimut. Kedua mata gadis itu menutup, lelap dalam tidur siangnya yang diawali oleh isakan air mata. Sesekali Elena menangkap sesegukan spontan darinya. Sedikit banyak membuat perasaan Elena mengiba.

Dasar Bapak nggak berperikebapakan.

Lalu Pak Zulman masuk, mengajak Elena untuk bicara di luar.

Elena kasihan melihat pria itu. Otak Elena bisa menangkap apa yang terjadi dengan cepat. Pak Zulman menghubungi tanpa persetujuan Abraham. Dan karena itu ia pasti kena masalah.

"Nona tidur ya?"

Elena mengangguk. "Mungkin nanti coba panggil tukang urut, Pak. Saya kasian liat kaki Nona."

Pak Zulman menatap Elena.

"Er--- Bapak tahu tukang urut kan?" tanyanya khawatir kalau-kalau orang di rumah itu saking terlalu kayanya sampai tidak tahu tukang urut. Tapi, Pak Zulman mengangguk. "Untunglah. Saya takut kakinya bengkak atau apa gitu."

"Sebelumnya, saya minta maaf kalau pertanyaan saya nggak sopan. Tapi, apa yang sudah kamu lakukan sampai-sampai Nona meminta kamu kembali lagi?"

Elena berkedip-kedip. "Percayalah, Pak. Saya juga menanyakan hal yang sama di benak saya. Lagipula, ngapain saya sampai melakukan apa-apa yang bisa membuat Nona meminta saya kembali lagi. Ngasuh Nona benar-benar lebih menakutkan ketimbang ujian Tesis."

Pak Zulman mengangguk muram. "Jadi, begini. Saya sudah membahas soal kamu dan Tuan."

Nah, ini yang penting.

"Melihat situasi yang terjadi, sepertinya Tuan nggak punya pilihan lain. Tuan menerima kamu kembali bekerja di sini dengan syarat."

Mata Elena seketika memicing. "Syarat apa, Pak?"

"Yang pertama, Tuan tidak ingin melihat atau bertemu kamu. Bagaimana pun keadaannya, hindari Tuan."

Elena bersidekap. Mendengus. "Dikiranya saya mau apa ketemu dengan dia? Duh Gusti! Oke, Pak. Selanjutnya?"

"Yang kedua, kenaikan gaji yang saya katakan tadi sepenuhnya akan Tuan bayarkan."

Ehm, Elena sumringah. Oke. Lima belas juta..., come to Mommy, baby.

"Terus?"

"Hanya itu yang dikatakan Tuan." Pak Zulman menghirup napas dalam-dalam. "Tapi, kalau saya boleh meminta. Tolong jangan menyinggung mantan istri Tuan."

Mata Elena mengerjap. Wajahnya terasa kaku mendadak. "A-Apa, Pak?"

"Saya mohon untuk tidak menyinggung apa pun soal itu di hadapan Tuan. Saya mohon."

*

Rasa-rasanya Elena butuh seseorang untuk meyakinkan kenyataan yang terjadi padanya. Jadi, dalam kurun waktu enam jam kemarin, ia memutuskan berhenti di dua pekerjaan yang berbeda. Lalu, nggak sampai dua puluh empat jam kemudian ia justru mengharapkan kembali bekerja dengan dua mantan bosnya yang berbeda. Akhirnya, ia justru kembali ke rumah yang telah ia janjikan di dalam hati untuk tidak akan ia datangi kembali.

Ia geleng-geleng kepala.

Ternyata hidup selucu ini.

Setelah memeriksa penampilannya dengan seragam yang kembali ia kenakan, Elena keluar dari kamarnya. Ia sempat memberitahu pada Rinda bahwa ia akhirnya benar-benar kembali bekerja di sana. Ya, setidaknya kalau ia bekerja di sana makan minum dan tempat tinggalnya terjamin.

"Nggak liat kalian waktu dia ngebentak Tuan? Astaga. Aku aja sampe merinding ngeliatnya."

"Gila memang tu cewek."

"Kayak yang nggak ada takut-takutnya."

Elena menghentikan langkah kakinya. Mendengar bisik-bisik yang pasti sedang membicarakan dirinya tentang bagaimana ia yang berani menentang Abraham tadi. Tapi, mengapa telinganya seolah mendengar bisikan yang lain?

"Biasa, cari muka. Mentang-mentang punya wajah cantik gitu?"

"Semua orang dia goda, nggak peduli tua muda."

"Entah siapa aja yang udah ia jerat."

"Ckckckck. Benar-benar memalukan."

Elena menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu kembali menangkap bisikan lainnya.

"Tapi, sebenarnya kadang aku tuh kasihan lihat Nona. Dia tuh pasti kesepian."

Kedua mata Elena nyaris bertemu ketika dahinya berkerut.

"Nggak ada teman dan semua orang nggak ada yang berani membela dia kalau dimarahin Tuan."

Deg!

"Tapi, kadang Nona juga kelakuannya aneh-aneh sih. Wajar Tuan jadi jengkel."

Elena melangkah masuk ke dapur yang tengah dibersihkan. Wanita-wanita di sana saling pandang dan salah tingkah. Merasa tertangkap basah saat sedang bergibah.

"Ehm," gumam Elena yang juga merasa tidak enak. "Aku nganggu ya? Hehehe. Cuma kalau ada yang bisa aku bantu, ya bilang aja."

Bu Siti mendekat. "Nggak usah. Ini kerjaan kami. Kamu kan cuma perlu ngasuh Nona."

Elena manggut-manggut.

"Gimana Nona?" tanya Lola.

"Lagi tidur siang," jawab Elena. "Ehm, sebenarnya apa sih yang terjadi sampai ribut besar kayak gini?"

Intan menghela napas. "Nona tadi nggak mau pergi sekolah. Dan itu ngebuat Tuan marah. Eh, pas dipaksa suruh ke sekolah. Dia bilang cuma mau ke sekolah kalau kamu balik lagi."

"Eh?"

Lola membenarkan. "Tuan ya nggak mau dan akhirnya terjadilah peperangan itu di dapur. Pemilihan tempat yang buruk."

"Jadi..."

Ketiga wanita itu menggerumuninya.

"Sebenarnya apa yang membuat Nona mau kamu balik lagi?"

Elena bingung dengan pertanyaan Lola. "Aku juga nggak tahu sih. Lah orang aku abis bentak-bentak Bapaknya, terus aku minta berenti. Eh, tadi malah ditelepon suruh balik lagi ke sini."

Mereka memandang Elena dengan lekat.

"Aku juga nggak tahu deh." Elena menjawab dengan jujur.

Mereka tampak tidak puas dengan jawaban itu, tapi masalahnya Elena memang tidak tahu. Dan mereka merasa tidak mendapat berita mewah untuk dijadikan bahan gibah selanjutnya.

"Eh," kata Lola, "ngomong-ngomong, soal bentak-bentak Tuan... Kalian benar-benar ribut?"

Elena mengangguk. "Dan karena itu aku juga langsung minta berenti."

"Emangnya kenapa?"

Bola mata Elena berputar. "Karena nggak sengaja ngomong soal ibu Nona---"

"Wah!" seru mereka kompak. "Wajar Tuan marah besar."

"--- Aku nggak tahu kalau ternyata Tuan udah cerai. Aku pikir istrinya masih ada di sini."

Bu Siti menepuk pundak Elena. "Jangan bahas soal Nyonya lagi di depan Tuan."

"Hush!" kata Intan. "Dia udah bukan nyonya kita lagi, Bu. Lagipula, aku juga nggak mau punya nyonya kayak gitu."

"Eh?" Elena bingung. "Memangnya ada apa sih? Tuan juga kayaknya yang emosi banget gara-gara aku ngomong soal dia."

Lola mencondongkan tubuhnya. Merendahkan suaranya. "Mantan istri Tuan itu Belinda. Artis antagonis yang cantik dan sering muncul di sinetron 4.356 episode tiap malam."

Elena bukan penikmat sinetron. Tapi, ia berniat untuk mencarinya di Google.

"Ketahuan selingkuh pas lagi syuting di luar kota."

"Oh, shit!" kesiap Elena.

"Dan itu dilaporkan sendiri oleh sopir Nyonya. Berikut videonya."

Elena geleng-geleng kepala.

"Kejadiannya tepat enam tahun yang lalu. Pas Nona masih umur empat tahun."

"Apa sekarang Belinda udah nikah sama selingkuhannya?"

Mereka bertiga memandang Elena seperti alien yang tersasar.

Kedua bahu Elena naik. "Aku nggak suka nonton sinetron dan nggak suka gosip artis."

Lola kembali berbisik. "Mereka nggak mungkin nikah dong. Orang Belinda selingkuh dengan pengusaha yang juga masih punya istri."

"Wah! Mereka gila?"

"Sepertinya sih iya."

Elena sudah tidak bisa geleng-geleng kepala lagi. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan berita yang ia dengar.

"Dan setelah berita perselingkuhan seperti itu," lirih Elena, "Belinda masih ehm... berani tampil di televisi? Ckckckck. Urat malunya ke mana ya?"

"Dia nggak ada urat malu. Yang ada cuma kemaluan."

"Hush!" kata Bu Siti pada Lola.

"Lagipula," kata Intan, "Indonesia kan memang gitu. Heran aja seleb yang bermasalah jadi malah tambah tenar. Yang selingkuh, yang narkoba, yang aneh-aneh justru kok yang malah tambah ditawarin banyak job sih? Padahal kan banyak seleb lain yang lebih terpandang, terpelajar, dan baik-baik."

Elena meringis mendengar perkataan Intan.

"Jadi, sebenarnya aku tuh sedih kalau ngeliat Tuan. Padahal sebelumnya Tuan itu baik dan ya masa ada cewek yang mau selingkuh dari Tuan sih?" Intan geleng-geleng kepala. "Memang nggak ada otak itu cewek."

"Tapi, sebenarnya Nona itu lebih kasian lagi."

Elena menunggu kelanjutan perkataan Lola.

"Selama ini dia nggak pernah dijenguk sama Belinda. Enam tahun dia cuma bisa melihat Belinda di sinetron setiap malam."

Jantung Elena serasa diremas-remas.

*

Elena merasa bersalah.

Ia merutuk lidahnya yang berucap kelewatan.

Memang ia tidak membenarkan perlakuan Claressa dan sikap Abraham, tapi ternyata...

Semua memang terjadi karena ada sebab.

Pantas saja anak ini tumbuh dengan karakter yang seperti ini.

Ia menatap Claressa yang masih terlelap.

Membandingkan kehidupan Claressa dengan dirinya.

Bukan orang tua aku yang beruntung memiliki anak seperti aku, tapi aku yang beruntung karena memiliki orang tua seperti mereka. Kalau aku terlahir seperti Claressa... aku pasti melakukan hal yang lebih parah dari ini.

Dan untuk Abraham... Ia tidak tahu sakit hati pria itu dan justru menghakiminya sesuka hati.

Elena menarik napas.

Ia benar-benar merasa bersalah.

*

tbc...

ternyata guys... 😭😭😭

pkl 20.04 WIB...

Bengkulu, 2020.03.19...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro