Semalam Bersama
aduh... malam-malam judulnya malah gitu... hahahha 😂😂😂
udah siap untuk part ke 22, Guys?
ehm, sebelum baca... kira-kira apa ya yang terjadi pada mereka? hihihihi... 🤣🤣🤣
===========================================================================
Elena pernah membaca buku katanya Segitiga Bermuda memang benar-benar ada dan di sana ada semacam lobang hitam yang bisa menelan benda apa pun yang melintasinya. Elena sih sebenarnya sempat meragukan teori itu, bukannya apa. Elena ini tergolong dalam tipe perlu bukti untuk meyakini fakta. Nah, mungkin kalau dia benar-benar sudah lenyap ke Segitiga Bermuda, baru dia akan percaya. Tapi, terlepas dari teori itu benar atau tidak, justru sekarang Elena benar-benar berharap agar teori itu benar. Karena sepertinya Elena harus melenyapkan diri ke dimensi lain.
Dimensi mana pun itu asal ia tak bertemu dengan Abraham lagi dalam keadaan yang memalukan seperti ini!
Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bergerak. Baik Elena maupun Abraham membatu di posisinya masing-masing dengan mata yang sama membuka lebar. Sama-sama saling menatap tanpa kedip.
Astaga! Dasar KTP sialan! maki Elena di dalam hati.
Sedang di lain pihak, mendapati seorang gadis tengah berjongkok di depan pintunya, jelas bukan hal yang pernah ia pikirkan. Lagipula, mengapa dia harus berjongkok di depan pintuku? Memangnya dia sedang apa? Ck.
Tapi, dibandingkan itu, sejujurnya Abraham justru menyesal untuk keluar sekarang hingga harus mendapati Elena di depan pintunya. Waktu yang tidak tepat, pikirnya.
Remasan tangannya pada daun pintu mengeras. Andaikan daun pintu bisa bersuara, ia pasti menjerit: Bukan salah aku loh ya!
Abraham berusaha untuk meraba situasi yang absurd itu. Keadaan itu terlalu aneh hingga detik selanjutnya, Abraham pun bertanya dengan spontan.
"Ngapain kamu malam-malam jongkok di depan pintu saya?" Matanya membesar pada Elena.
Tapi, Elena secepat kilat bangkit dari posisi jongkoknya.
Harusnya Abraham mengantisipasi tindakan Elena yang terkadang menurut Abraham memang terlalu berani.
"Maaf, Pak," kata Elena cepat seraya menutup mata Abraham. "Saya cuma mau ngembaliin KTP Bapak yang ketinggalan di sekolah Nona. Kemaren Bapak lupa ngambilnya dan tadi Nona lupa ngasihnya."
Otak Elena seketika menangkap satu kesimpulan. Bapak anak ini sama-sama pelupa.
"Karena itu," lanjut Elena tanpa menurunkan kecepatan lidahnya berbicara. "Saya harap Bapak nggak marah-marah. Beneran saya nggak ada maksud mau muncul di hadapan Bapak. Saya pikir tadi Bapak udah tidur. Jadi, saya harap Bapak nggak mikir saya yang macam-macam. Saya bukan semacam stalker kok, Pak."
Elena yang bicara panjang lebar, Abraham yang merasa sesak napas.
"Lagipula, Bapak belum ngedip loh ya. Artinya secara harfiah Bapak belum benar-benar melihat saya. Sekali lagi saya minta maaf, bukan maksud saya---"
"Hukkk!"
"---untuk berlaku tidak sopan, tapi..." Elena menghentikan estafet kata-katanya dan mengerutkan dahi. "Bapak masih demam?"
Abraham kembali terbatuk.
Mengabaikan batuk-batuk Abraham, tangan Elena yang memegang KTP perlahan bergerak. Tatapannya teralihkan pada butir-butir keringat yang mengucur di sisi wajah pria itu.
"Kok malah tambah panas sih, Pak?"
Abraham kembali terbatuk dan merasakan telapak tangan Elena yang menutup matanya sedikit bergeser ke atas. Meraba dahinya dan merasakan suhu tubuhnya di sana.
"Bapak sudah berobat?" tanya Elena lagi. "Dari dua malam yang lewat, Bapak udah demam loh."
Elena menyadari itu, ketika dua malam yang lalu saat tindakan-tutup-mata pertama ia lakukan pada pria itu. Abraham demam dan sepertinya sekarang justru demam itu meninggi.
Abraham menggeleng. "Saya nggak apa-apa jadi nggak perlu berobat. Dan mau sampai kapan kamu di sini?" tanya Abraham sedikit meninggikan nada suaranya. "Apa peringatan saya kemaren kurang jelas?!"
Memanfaatkan fakta bahwa ia menutup mata Abraham, gadis itu mencibir pada Abraham. Dalam hati ia tertawa. Lihat! Pria ini nggak tahu aja, selain mengumpat, aku pun berani mencibir di depan wajahnya tanpa takut.
Berusaha mengeluarkan semua stok kesabarannya, Elena menarik napas panjang. "Saya masih ingat dengan jelas peringatan Bapak kemaren," kata Elena. "Bapak nggak mau ngeliat saya di rumah. Seolah saya ini endemik penyakit yang bisa menular lewat mata saja."
"I---"
"Saya tahu saya salah, Pak," lanjut Elena. "Saya tahu saya kelewat batas." Elena menggigit bibirnya, suaranya perlahan memelan. "Menghakimi Bapak tanpa mengetahui posisi Bapak." Ia menarik napas panjang. "Untuk itu, dari hati saya yang paling dalam, saya minta maaf untuk kesalahan saya malam itu."
Seolah beban ratusan ton terangkat dari pundaknya dengan seketika, maka seperti itu juga lega yang akhirnya Elena rasa.
"Bapak maafin saya kan?"
"Uhuk!" Abraham kembali terbatuk. Ia berusaha beranjak. Walau bagaimana pun juga, lama-lama ia merasa aneh dengan tangan Elena yang tetap berada di depan matanya.
"Bapak maafin saya kan?" tanya Elena lagi. "Saya udah minta maaf loh."
Abraham terbatuk. "Sudah, sudah. Sekarang, kamu pergi."
Mata Elena berbinar. "Berarti itu artinya Bapak mau ngeliat saya?"
"UHUUKKK!"
"Bukannya apa, Pak. Hanya saja saya nggak biasa dijauhi orang-orang di sekitar saya. Saya nggak suka."
Satu tangan Abraham naik ke mulutnya. Menutupnya ketika batuknya kembali datang.
"Terserah kamu," kata Abraham dengan susah payah. "Sekarang bisa kamu minggir dan lepaskan tangan kamu dari mata saya?"
Elena menarik turun tangannya. "Berarti Bapak memang mau ngeliat saya."
Abraham menarik napas panjang. "Mana KTP saya?"
"Ah, benar!" Elena menyodorkan KTP itu dan langsung diterima oleh Abraham. "Ini, Pak."
Abraham melihat KTP-nya dan berkata. "Sudah kan? Nggak ada lagi yang mau kamu bilang?"
Elena berusaha untuk tidak cemberut sekarang.
"Kalau nggak ada, saya mau istirahat. Ngeliat kamu kepala saya jadi tambah pusing!"
Mata Elena melebar. Tangannya terangkat, entah sadar atau tidak justru menunjuk pria itu. "Nah kan! Tadi katanya Bapak nggak apa-apa, sekarang katanya pusing. Bapak bohong."
Tatapan lebar Elena sepenuhnya terbalaskan tatapan yang serupa dari Abraham.
"A-Apa?" Abraham pikir kepalanya sedikit goyah.
"Nah lo nah lo nah lo!" kata Elena. "Bapak mau pingsan?"
Abraham memejamkan matanya dan menarik napas panjang. "Siapa juga di dunia ini yang mau pingsan?!"
"Ah, bener juga!" Elena menyadari salah menggunakan kosakata. See? Bahasa Indonesia kadang tidak sesederhana yang terlihat. "Maksud saya apa Bapak merasa akan jatuh pingsan?"
Abraham menggeleng. Tangannya semakin mengerat pada daun pintu yang tak bisa menjerit karenanya.
Ia menatap Elena tanpa kedip.
"Saya mau istirahat dulu di kamar," katanya. "Silakan kamu pergi."
Mengatupkan mulutnya rapat-rapat, Elena mengangguk. Lalu, mundur selangkah. Sekilas melihat Abraham yang berkali-kali menarik napas panjang. Ia memutar tubuh dan berjalan. Tapi, ketika baru dua langkah----
"Bruuukkk!"
Elena berbalik dan melihat Abraham yang tengah berusaha berpegang pada daun pintu. Berupaya agar tidak jatuh di sana.
"Waduh! Beneran mau pingsan si Bapak!"
*
Elena beberapa kali menimbang untuk memanggil Pak Zulman agar mengurusi majikannya itu. Tapi, wajah tua Pak Zulman justru hadir dengan tatapan mengiba di benaknya.
Gimana bisa aku nyuruh seorang bapak yang udah tua ngurus orang sakit keras kepala seperti ini?
Elena menatap Abraham yang terbaring di salah satu sofa yang terletak di ruang kerjanya. Dada pria itu turun naik dengan irama yang cepat. Keringat semakin membanjiri wajahnya. Batuk pun turut serta memeriahkan penderitaan pria itu.
"Ckckckck." Elena berdecak. Berjongkok dan bertopang dagu dengan siku di atas kedua lututnya. "Udah suka marah-marah, nggak suka dengar omongan orang, eh keras kepala lagi." Ia geleng-geleng kepala. "Untung ganteng."
Elena menarik satu ember dan handuk di dekat meja. Membasahi handuk tersebut dan dengan mencibir mengompres dahi Abraham. Ketika itu juga Elena melirik pada bibir Abraham yang bergetar. Jemarinya dengan takut-takut meraba bibir bawah tersebut. Lalu, matanya mengerjap-ngerjap ketika beralih pada kedua mata Abraham yang tertutup. Perlahan, gadis itu menarik pelan kelopak mata Abraham turun ke bawah.
"Ckckckck." Elena kembali berdecak.
Ia meraih satu piring kecil dari atas meja.
Tadi, ketika menyiapkan air kompresan, Elena menyempatkan untuk membuat satu minyak mujarab turun temurun dari nenek moyang seluruh warga pribumi Indonesia. Apa lagi kalau bukan minyak bawang?
Elena mengenyahkan kemungkinan bahwa mungkin Abraham belum pernah menggunakan minyak itu. Tapi siapa pun sudah membuktikan keampuhan minyak itu. Kombinasi bawang merah, minyak goreng, dan sedikit minyak kayu putih adalah hal yang begitu tepat untuk mengusir demam meriang seperti ini. Orang tua bahkan tidak segan menambahkan balsem ekstra panas agar efeknya lebih terasa.
Yang pertama, Elena mengusap minyak itu di kedua telapak kaki Abraham. Rasanya dingin persis seperti keringat pria itu. Kemudian, Elena bingung.
Haruskah aku mengusap punggungnya?
Elena bergidik.
Takut seandainya Abraham bangun dan mengira dirinya sebagai cewek asusila. Jadi, ia memilih untuk seadanya mengusap tekuk dan leher pria itu.
Elena beranjak. Mengambil selimut yang ia ambil dari kamarnya dan menyelimuti tubuh Abraham.
Beberapa saat, Elena hanya terpekur di tempatnya seraya memandangi wajah Abraham.
"Ehm... Tuhan Yang Maha Baik," katanya dengan suara lirih. "Aku minta jodoh kayak Pak Abraham ya?" Ia menarik napas panjang. "Lihat! Selain dari sifatnya yang menyebalkan, sebenarnya Pak Abraham ini memang cakep. Kandidat yang cocok untuk memperbaiki keturunan hamba, ya Tuhan."
Tangan Elena kembali terulur. Mengusap keringat dingin yang kembali mengucur di wajah pria itu. Dan tanpa sengaja justru menyentuh calon-calon jambang di sekitaran rahang pria itu.
"Wih!"
Mata Elena melotot.
"Ternyata jambang memiliki aliran listrik ya?" Elena mengulum senyum. "Berasa kena setrum aku."
*
Abraham merasa tubuhnya pegal di beberapa tempat, tapi selebihnya ia bersyukur karena oksigen terasa lebih mulus masuk ke dalam paru-parunya.
"Ehm..."
Pria itu melenguh panjang seraya merenggangkan kedua tangannya ke atas hanya untuk menyadari bahwa tangannya membentur tangan sofa.
Dahi Abraham sontak berkerut. Kedua matanya memandang langit-langit dan menyadari bahwa itu bukanlah langit-langit kamarnya. Ketika ia menoleh ke samping, ia melihat punggung sofa. Turun ke bawah, melewati selimut yang menutupi dirinya, akhirnya Abraham menyadari tengah tidur di mana ia saat ini.
Kenapa aku tidur di sini? tanyanya bingung.
Memutuskan untuk bangkit dari tidurnya, Abraham tidak bersiap menerima kenyataan bahwa satu kepala tengah tertidur di sisi tubuhnya.
"AAAAH!"
Elena seketika tersentak kaget dengan mata setengah membuka. Melalui celah sempit itu ia bisa melihat wajah kaget Abraham.
"Braakkk!"
"Tuan?"
Mengabaikan Pak Zulman dan Intan yang mendadak masuk ke ruang kerjanya karena mendengar teriakannya, Abraham menatap horor pada Elena.
"Ka-Ka-Kamu," desisnya dengan lidah bergetar. "Ngapain kamu di sini?!"
Mata Elena mengerjap-ngerjap. Ia menengadah ketika berusaha mengumpulkan ingatannya. Ia menutup mulut ketika menguap.
"Kayaknya saya ketiduran," kata Elena.
Abraham tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tanpa sadar, ia menarik selimut ke dadanya. Elena yang melihat itu sontak saja melebarkan mata.
Ia bangkit dan bersiap dalam mode membela diri. "Pak, sumpah, Pak! Saya nggak ada ngapa-ngapain Bapak. Saya cuma megang kaki, tekuk, dan leher, Bapak!"
"A-Apa?"
Elena mengangkat kedua tangannya. "Juga sedikit bibir, mata, dan jambang."
Pak Zulman dan Intan di depan pintu melongo.
"Saya sumpah. Selain itu saya nggak ada megang yang lain-lain!"
"Wah!" Abraham melongo tak percaya dan bangkit. Menatap Elena dengan mata melotot lebar. "Nggak ada megang yang lain-lain?"
Elena meneguk ludahnya.
Gawat!
Kayaknya beneran marah nih Bapak Tirex!
"Saya minta maaf, Pak. Saya bener-bener min---"
"Ada apa ini?"
"---ta maaf."
"Elena? Daddy? Kalian tidur bareng?"
Elena dan Abraham kompak melihat ke pintu dan menyadari bahwa penonton telah bertambah satu.
"Nona!" desis Intan seraya berusaha menutup mata gadis itu, tapi Claressa mengelak.
Claressa mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kalian tidur bareng?"
Glek.
Elena meneguk ludahnya. Lalu, menggeleng. "Nggak, Non, nggak."
"Itu..." Claressa menunjuk pada mereka. "Kalian pagi-pagi berdua. Ada selimut."
Abraham menggeram dan mengusap wajahnya yang terasa memanas. Rasa-rasanya ia benar-benar ingin menelan orang hidup-hidup sekarang.
Kepala Claressa meneleng ke satu sisi. "Kenapa tidur bareng nggak ngajak aku?"
Gubrak!
Elena pikir, langit pasti runtuh saat ini.
Ini benar-benar kacau!
"Lihat hasil perbuatan kamu?!" bentak Abraham kemudian.
"Aduh," desis Elena panik. Terutama ketika menyadari bagaimana anehnya situasi mereka saat itu. "Aduh, Pak. Saya minta maaf karena sudah ketiduran, tapi saya nggak maksud buat tidur bareng Bapak."
Mata Abraham sudah tidak bisa melotot lebih besar lagi.
"Pak Zulman dan Intan," katanya kemudian. "Ini nggak seperti yang kalian bayangkan. Sumpah!"
Abraham menarik napas panjang. "Kamu benar-benar keterlaluan, Len."
Bibir Elena berkedut. "Saya nggak ada keterlaluan," katanya. "Bapak yang keterlaluan!"
"Saya?!" tanya Abraham menunjuk hidungnya sendiri. "Kamu nggak liat ini semua akibat perbuatan kamu? Dan kamu bahkan dengan sadar kan ngomong kamu nyentuh-nyentuh saya malam tadi?!"
Intan secepat mungkin menutup telinga Claressa.
Mulut dan mata Elena sama-sama membuka lebar. "Wah..." Elena geleng-geleng kepala. Lalu, beralih pada Pak Zulman yang dari tadi diam membantu. "Pak, tolong bawa majikan Bapak ini ke dokter. Saya khawatir sakitnya lebih parah dari yang saya duga."
"Ckckckck." Abraham berdecak. "Kamu mau lepas dari tanggungjawab?!"
Tangan Elena berkacak pinggang. "Lama-lama Bapak ini beneran buat kesel ya. Please, Pak. Walau ganteng, tapi nggak usah menyebalkan banget dong jadi cowok."
Telunjuk Abraham tepat di depan hidung Elena. "Ka-Kamu..."
"Pak Zulman, majikan Bapak ini sakit," kata Elena. "Malam tadi saya yang ngejaga dia pas hampir pingsan di depan pintu."
Mata Abraham berkedip.
"Lupa?" sentak Elena. "Udah saya tanyain malam tadi. Bapak masih demam? Udah berobat? Berasa mau pingsan?" Elena mengulang tiap kata-katanya. "Tapi, Bapak malah sok kuat bilang saya nggak apa-apa, jadi nggak perlu berobat. Ckckckck. Dikira enak ngegotong badan Bapak yang gede gini."
Dahi Abraham sedikit berkerut. Apa malam tadi aku beneran hampir pingsan?
"Lihat ni lihat!" Elena menunjuk kekacauan di atas meja.
Baskom kompresan dan piring minyak bawang masih tergeletak di sana. Seketika Abraham bergidik ketika menyadari aroma aneh di sekujur tubuhnya.
"Kamu ngasih minyak apa ke badan saya?"
"Eiiiish! Bukannya terima kasih udah dirawat malah ngomentari minyak yang saya pake," gerutu Elena. "Saya pake minyak pelet. Puas?!"
Intan mengulum senyum, sedang Pak Zulman mendehem pelan.
"Lain kali tuh kalau badan sakit berobat. Kayak nggak punya duit buat berobat aja. Kalau nggak punya, sini biar saya kerok pake cangkul biar cepat merah. Keluar keluar semua dah itu angin di badan."
Claressa mendekat. "Daddy sakit, Len?"
Elena mengangguk seraya bersidekap. "Saya megang kaki, leher dan tekuk Bapak itu buat ngolesin minyak bawang. Ditambah sedikit pijitan tanpa plus plus!"
Abraham dan Pak Zulman kompak terbatuk.
"Berasa enak kan badannya sekarang?" Elena memicingkan matanya. "Terus, saya megang bibir Bapak tu untuk ngecek kalau Bapak tu dehidrasi. Saya megang kelopak mata Bapak tu untuk ngecek kalau Bapak tu anemia."
Abraham terdiam.
"Yang jambang," kata Elena ragu seraya mengerjap-ngerjap, "itu nggak sengaja." Elena kembali beralih pada Pak Zulman. "Pokoknya, majikan Bapak ini dehidrasi, anemia, kurang nutrisi, dan menyebabkan masuk angin."
Intan dan Pak Zulman sama-sama mengembuskan napas panjang.
"Silakan bawa ke rumah sakit atau rumah hantu sekalian deh. Udah dirawat malah mikir aku yang aneh-aneh."
Claressa menarik tangan Elena. "Jangan marah-marah, Len. Nanti kamu kelaparan pagi-pagi."
Elena cemberut mendengar perkataan Claressa. Sedang Abraham merasa tak enak dengan penjelasan Elena.
Tangan Elena meraih Claressa. "Ck. Kalau nggak mikir Bapak ini Bapak majikan saya, mana saya mau capek-capek ngurusin Bapak. Mending saya biarin Bapak jatuh di depan pintu. Dasar!" rutuknya. "Pagi-pagi malah dibuat emosi."
"Apa kamu bilang?"
Elena menatap Abraham. "Ah, untung aja ganteng. Kalau nggak udah saya santet juga nih Bapak."
Tak menghiraukan reaksi Abraham akan perkataannya, Elena menarik Claressa beranjak dari sana. Tapi, ketika sampai di depan Pak Zulman, ia berhenti hanya untuk berkata.
"Tapi, kalau saya lihat dari betapa bersemangatnya Bapak Tirex marah-marah pagi ini, sepertinya dia udah sembuh."
Abraham hanya bisa melongo mendengar perkataan itu.
Dengan kesal, ia membanting selimut yang tanpa sadar dari tadi ia pegang.
"Argh!"
*
tbc...
udah sepenuh hati banget loh ya aku ngetik part ini guys... jadi, tinggalkan bintang dan komennya... hahahah... 😂😂😂
jadi, begitulah malam pertama mereka lalui bersama... 🤣🤣🤣
pkl 19.11 WIB...
Bengkulu, 2020.04.03...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro