Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Selalu Terbayang

hayo loh!!! yang langsung senyum-senyum, jerit-jerit, dan salah tingkah pas baca judul part ini siapa??? hahahha 😂😂😂

jadi, heboh ya di part sebelumnya... ehm, gimana coba ya... soalnya Si Elena buat kesel sih ya... jadi, terpancing deh jiwa laki-lakinya Si Abraham... 🤣🤣🤣

well well well... kalau kalian mikir Abraham nyium Elena, selamat! kalian masih pada normal semua 😂😂😂

jadi, selamat menikmati... 🤗🤗🤗

===========================================================================

Jadi mungkin karena itulah mengapa Tuhan menciptakan manusia bernapas melalui hidung walau mulut tersedia. Karena di saat-saat tertentu, mulut memiliki tugas lain yang tidak berhubungan dengan oksigen sama sekali. Ehm, berciuman misalnya. Kalian bisa membayangkan seandainya manusia bernapas melalui mulut dan kemudian melakukan ciuman? Apa tidak akan sesak napas jadinya? Ckckckck. Cukuplah sesak napas karena debaran yang memukul-mukul di balik dada. Jangan ditambah sesak napas karena kekurangan udara. Yah, seperti yang dialami sekarang oleh Elena.

Gadis itu tidak yakin paru-parunya masih bekerja, sesaat ia merasa mendadak terlempar ke ruang hampa udara. Tidak! Bukan hanya hampa udara, tapi mungkin juga hampa gerakan. Ia nyaris merasa kaku seluruh otot dan sendi. Tubuhnya benar-benar tidak bisa bergerak. Satu-satunya pergerakan yang masih bisa ia rasakan adalah di bibirnya. Dan itu pun bukan karena ia yang menggerakkannya, melainkan karena ada seseorang yang melakukannya. Dan itu Abraham!

Abraham merasa benar-benar kesal ketika melihat bagaimana dengan beraninya Elena mencibir padanya. Mengira gadis itu merasa berada di atas angin dengan kenyataan Claressa benar-benar tergantung padanya. Tapi, mungkin ia tak seharusnya mengambil tindakan seekstrim itu untuk membungkam mulut Elena yang tengah mencibir padanya. Tak seharusnya. Tapi, untuk beberapa detik yang lalu ia hanya terlalu emosi untuk mampu berpikir dengan jernih. Ironisnya, detik selanjutnya ia justru merasa bahwa tindakannya adalah tindakan yang tepat.

Elena benar-benar terdiam! Bahkan ia nyaris tidak bergerak di bawah bibir Abraham. Dan mendapati kenyataan itu, Abraham justru menggerakkan bibirnya dengan gerakan lembut nan sensual yang pernah Elena terima. Elena merasakan bagaimana Abraham dengan bibirnya yang hangat menekan bibirnya. Memanggutnya dengan penuh irama. Lalu melumat bibir bawahnya dalam sentuhan panjang.

Mata Elena membulat besar menatap mata Abraham yang menutup di hadapannya. Jantungnya benar-benar tidak tertolong lagi!

*

Ketika Elena dan Abraham sampai di rumah, Intan langsung mengajak mereka ke dapur dan mendapati kekacauan di sana.

"Elena!"

Claressa turun dari meja kompor dan menghambur pada gadis itu. Elena menyambutnya.

"Kamu nggak jadi pergi kan?" tanyanya.

Ia geleng-geleng kepala. "Nggak, Non. Saya tadi cuma mau keluar sebentar kok. Bukannya mau pergi dari sini."

"Syukurlah," desahnya. Claressa melongok ke belakang dan mendapati Abraham yang berniat memutar tubuh. "Daddy! Makasih!"

Sekilas, Abraham melihat putrinya tersenyum padanya. Ia hanya mengangguk sedikit. Melihat kekacauan yang timbul hanya karena Elena pergi makan di luar sebentar, Abraham bersyukur mengambil keputusan cepat untuk menyusul gadis itu.

Dan yah... Otak Abraham teringat hal lainnya. Lebih dari bersyukur sepertinya.

*

Jemari Elena dengan cepat mengetik di mesin pencarian Google.

Biaya periksa kesehatan jantung.

Elena membuka beberapa laman, tapi tak yakin harus percaya yang mana. Informasi yang diberikan benar-benar bervariasi.

Ia menggeram rendah. Membanting ponselnya ke sebelah dan meraih bantal untuk menutupi mukanya.

Ini bukan karena penyakit, Len!

Satu suara terdengar mengejek di benaknya.

Ah! Karena ciuman tadi ya?

Omo! Ciuman itu udah lewat beberapa jam yang lalu, tapi debarnya masih kerasa sampe sekarang?

Yah mau gimana lagi ya? Itu lumatan bibir benar-benar---

"Argh!"

Elena memejamkan mata dan menutup telinganya sendiri. Merasa benar-benar tak berdaya dengan dirinya.

"Dasar Bapak Tirex kurang asam!" geramnya penuh kesal. "Ya kali kalau nggak suka dengan mulut aku bisa nyuruh aku tutup mulut dengan cara yang normal! Bukannya malah nyium aku."

Napas Elena terasa kacau.

Bibirnya berkedut frustrasi.

"Mentang-mentang cakep," rutuknya lagi. "Semau dia aja nyium aku. Nggak pake izin nggak pake permisi."

Seraya mendengus kasar, Elena membanting tubuhnya berbaring. Memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur. Tapi, Demi Tuhan. Eh, kenapa malah kilasan ciuman tadi membayang di pelupuk matanya?

Aku pasti udah nggak waras lagi.

Glek.

Ini gawat! pikir Elena. Bapak Tirex nggak bagus buat kesehatan jantung dan kewarasan akal aku.

Dengan penuh frustrasi dan rasa tak berdaya, Elena berjanji dalam hatinya. Kalau kemaren Abraham yang memberikannya ultimatum untuk tidak terlihat oleh pria itu, maka kali ini berbeda. Elena mengultimatum dirinya sendiri untuk tidak melihat pria itu.

Kesehatan jantung dan kewarasan akalnya berada di zona merah!

*

Jadi, dimulai dari malam itu, Elena benar-benar berusaha menghindari Abraham. Dan sebenarnya itu bukan hal yang sulit mengingat kan Elena babysitter Claressa.

Hahaha. Ya kali aku daddysitter Bapak Tirex.

Seharian Elena akan berada di kamar Claressa. Dan kalau pun ia tidak di sana, berarti ia berada di kamarnya. Kalau pun Claressa mengajaknya untuk bermain di halaman, ia akan memastikan bahwa tak ada Abraham. Lagipula, pria itu kan kerja di kantor. Memang nyaris tidak menyisakan waktu untuk di rumah. Dan sejauh ini, semua berjalan aman terkendali. Selain tidak bertemu dengan Abraham, Elena pun tidak mendapati kedatangan Dania setelah hari ini. Dengar-dengar dari para wanita yang suka berghibah di dapur seraya membersihkan sayur, Abraham mengusir wanita itu di depan semua orang. Ugh! Terkadang pria itu memang kelewatan kasarnya.

Dan Elena juga bertekat untuk tidak mengingat Abraham maupun ciuman saat itu. Walaupun sebenarnya sulit. Apalagi tiap saat Elena harus berhadapan dengan Claressa, majikan kecil duplikat Abraham.

Minggu pertama, ia bahkan merasa nyaris terbayang wajah Abraham saat melihat Claressa. Ia merasa gila melihat wajah Claressa yang tersenyum berubah menjadi wajah Abraham.

Minggu kedua, sudah lumayan terkendali. Setidaknya ia tidak lagi membayangkan Abraham yang berkata: Jangan berenti belai kepala aku sampai aku tidur ya, Len. Padahal nyatanya itu adalah Claressa yang berkata.

Minggu ini, gangguan Elena sudah mulai semakin menghilang. Tapi, memang masih sering muncul sih. Apalagi kalau mendadak Claressa mengajaknya untuk tidur bersama. Entah kenapa otaknya jadi terpikir kejadian malam itu. Ehm, padahal sebenarnya tidak terjadi apa-apa loh di antara mereka.

Jadi pada intinya, rasa-rasanya tak ada satu hari terlalui tanpa Elena yang tidak teringat bagaimana mata kelabu itu menutup saat mencium bibirnya. Nah, kalau itu sudah terjadi, Elena tidak sadar akan meraba bibirnya. Teringat kembali bagaimana bibir Abraham yang melumat bibirnya dengan gerakan yang benar-benar membuat ia panas dingin sekujur tubuh.

Ponsel Elena berdering, membuyarkan kenangan itu dari benaknya dan ia segera mengangkat panggilan itu.

"Halo, Bu," sapa Elena.

"Halo, Nak. Gimana? Sehat?'

Elena tersenyum menanggapi pertanyaan khas ibunya ketika menelepon. "Sehat, Bu. Di rumah sehat-sehat semua kan?"

"Sehat semua. Terakhir ke dokter dan obatnya cocok sama Bapak. Sekarang Bapak udah bisa ke sawah lagi."

Elena melangkah sedikit hingga memilih bersandar di railing tangga. Ia baru saja dari kamarnya dan berniat ke kamar Claressa.

"Syukurlah kalau begitu, Bu."

"Oh iya. Gaji kamu naik ya?" tanya Ibu kemudian. "Kok ngirimnya bisa gede gitu?"

Elena tersenyum sendu mendengar pertanyaan Ibu.

"Tiga minggu kemaren kamu ngirim terus. Tadi kamu juga ngirim. Sebulan ini kamu udah ngirim empat kali. Gaji kamu naik ya?"

"Ehm... Nggak naik sih, Bu. Cuma lagi ada proyek aja."

"Oh...," lirih Ibu. "Karena kamu ngirim terus, uangnya jadi ibu pakai untuk bayar-bayar yang lain."

"Bayar aja semuanya, Bu. Biar nggak ada pikiran lagi kalau semua tagihan udah lunas. Nanti yang lain-lain bisa aku bayar dari sini."

"Iya, pasti Ibu bayar semuanya nanti. Dan makasih ya, Nak."

Elena mengerjap. Satu tangannya yang bebas dengan frustrasi mengusap kepalanya. Matanya memanas dan ia menghirup napas panjang demi mendamaikan perasaannya.

"Iya, Bu," katanya dengan suara bergetar. "Ehm... Sudah dulu ya, Bu. Sebentar lagi aku mau ngadiri seminar. Aku harus baca materinya dulu."

"Oh iya iya. Hati-hati. Jaga kesehatan."

Elena tersenyum. Membalas ucapan itu dengan perkataan serupa, lalu memutuskan panggilan.

Ia menarik napas panjang berulang kali. Setelah memasukkan ponselnya kembali ke saku celana, ia kembali meraih railing tangga. Namun, sebelum ia sempat naik, satu sosok yang berdiri di tengah ruang itu membuat Elena membulatkan mata. Tanpa berpikir dua kali, Elena segera berlari melesat naik ke atas dengan terburu-buru.

Sial!

Aku malah ngeliat Bapak Tirex!

*

Sesampainya di kamar Claressa, napas Elena kacau. Ia secepat mungkin menutup pintu kamar itu di balik punggungnya. Untuk beberapa saat, ia bersandar di sana. Dadanya naik turun dengan cepat.

Tuh kan. Jantung aku jadi bermasalah lagi, pikirnya.

Claressa turun dari kasur. Jalan dengan perlahan-lahan, menghampiri Elena. Ia mendongak pelan dan anehnya membuat Elena kaget.

"Astaga, Non."

Mata kelabu Claressa mengerjap-ngerjap. Elena melihatnya. Lalu, ia terbayang dengan mata yang serupa.

"Kamu ngapain, Len?" tanya Claressa. "Abis lari-lari? Dikejar siapa?"

Elena meneguk ludahnya, berusaha mengatur napasnya yang kacau. "Ehm... itu, tadi..." Elena kembali menarik napas panjang. "Tadi ada Tuan, Non, makanya saya lari ke sini."

Mulut Claressa manyun. "Memangnya peraturan jangan sampe Daddy ngeliat kamu itu masih berlaku ya?" tanyanya polos. "Itu udah lama banget kan, Len? Udah sebulan."

Elena mengangguk kaku.

"Lagipula," lanjut Claressa. "Bukannya kalian juga pernah tidur bareng kan?"

"Uhuk!"

"Itu artinya kalian liat-liatan kan?" tanya Claressa lagi. "Ah! Kalau tidur itu pejam mata ya." Claressa tertawa-tawa.

Elena meringis mendengar perkataan Claressa.

"Tapi, kalian kan juga datang ke sekolah aku. Daddy ngajak ke kantor. Terus juga---"

"Non," potong Elena kemudian. "Tugasnya gimana?"

Claressa cemberut seketika. "Baru mau aku kerjain."

Fyuh!

Setidaknya Elena tahu pasti cara agar Claressa tidak membicarakan Daddy-nya lagi.

*

tbc...

unch... ngetik ini aku jadi berasa balik muda lagi 🤣🤣🤣    berasa yang gimana gitu ya... ngetiknya aja buat aku senyam senyum parah coba... ngaku deh... yang mendadak jadi teringat ciumannya di sini siapa aja? 😂😂😂

jadi, ehm... aku akhirnya mikir, ini cerita bakal sepanjang apa ya? rencananya aku tuh mau selesai 5 part lagi, eh tapi nggak tau bakal terkejar atau nggak... ehm... 🙄🙄🙄

pkl 19. 12 WIB...

Bengkulu, 2020.04.06...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro