Sedikit Bentuk Perasaan
selamat sore Minnaaaa...
aduh, ini rencana mau aku up tadi pagi, tapi error wattpad aku... 🙄🙄🙄
jadi, selamat menikmati... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa memulai hal kecil untuk menebak secinta apa Nona pada Bapak. Coba usap selai coklat yang mengotori bibir Nona setelah sarapan.
Abraham memandang Claressa yang mengunyah rotinya dengan penuh semangat, nyaris tak menyisakan setitik kesedihan pun di wajahnya karena kejadian kemaren. Ia meneguk habis susunya. Turun dari kursi dan meraih tas ranselnya.
"Dad, aku pergi."
Abraham menarik napas. "Ben..tar, Sa."
Claressa memutar tubuhnya. "Ya?"
Abraham mengangkat tangan dan menyuruh Claressa mendekat. "Sini," katanya. Ketika Claressa mendekat, Abraham mengusap noda selai coklat di bibir Claressa. "Ada selai di mulut kamu."
Mata Claressa membesar dengan berbinar. Tangannya yang kecil juga terulur dan mengusap sudut bibir pria itu.
"Ada kopi di mulut Daddy," katanya dengan tersenyum.
Kalau Bapak bisa menemukannya dan perlu bukti yang sedikit lebih besar, coba katakan padanya kalau Bapak ingin mengantarnya ke sekolah.
Abraham memegang tangan kecil itu dengan bimbang. Tangan itu terasa begitu kecil di dalam genggamannya. Sejenak, ia menghirup napas panjang. Tersenyum dan menatap mata putrinya. "Apa hari ini mau Daddy antar ke sekolah?"
Claressa menganga.
Abraham menelan bulat-bulat rasa pahit yang menyergap tenggorokannya. Tatapan Claressa yang berbinar bagai memendarkan berbagai rupa rasa yang tak mampu ia jabarkan.
"Mau?"
Claressa secepat mungkin mengangguk berulang kali. "Mau, Dad, mau!"
Abraham bangkit dari duduknya. Beralih pada Pak Zulman, meminta tas kerjanya. Pria itu tersenyum samar melihat bagaimana tangan Claressa yang sontak naik berpegang pada tangan kiri.
"Don, hari ini biar Claressa pergi dengan saya dan Pak Restu."
Doni yang tengah mengelap mobil berhenti seketika. "Eh, apa, Pak?" tanya Doni tak yakin dengan apa yang ia dengar.
Abraham mengulangi perkataanya "Hari ini Claressa pergi dengan saya dan Pak Restu."
Claressa menarik tangan Abraham. "Apa Elena ikut ke sekolah, Dad?" tanya Claressa seraya menatap Elena yang bangkit dari duduknya. Memandang padanya dengan tersenyum.
"Saya nggak mungkin nunggu Nona di pinggir jalan kan?"
Abraham melupakan itu. Biasanya kan Elena menunggu Claressa di mobil bersama Doni. Kalau ia mengantar Claressa itu artinya Elena tidak bisa ikut kan?
"Nona mau diantar Tuan atau Doni?" tanya Elena geli.
"Kamu benar-benar aja, Len," kata Claressa manyun. "Ya pasti dengan Daddy dong."
Gadis itu mengangguk. "Saya nggak perlu ikut ke sekolah lagi, Non. Kan Nona udah nggak perlu ditungguin lagi di sekolah," kata Elena. "Nona kan anak baik."
Claressa mengangguk. "Dad, Elena tunggu aku di rumah aja."
"Oke."
Claressa mendekati Elena. "Apa seragamku sudah rapi?"
Sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi Claressa untuk membiarkan Elena merapikan seragamnya. Lalu, setelahnya Elena membelai kepala gadis kecil itu.
"Belajar yang rajin, Non."
Claressa mengangguk.
Di sekolah, Claressa menatap Abraham untuk beberapa saat. "Daddy pasti telat ke kantor karena ngantar aku ke sekolah."
Abraham menoleh dan melihat Claressa bersiap turun dari mobil. Pak Restu sudah membuka pintu untuknya.
"Sepertinya memang Daddy bakal telat sampai ke kantor."
"Maaf," kata Claressa pelan.
Abraham mengusap kepala Claressa yang berkuncir dua. "Kalau begitu, sebaiknya besok kita bangun lebih cepat. Sarapan lebih cepat. Biar kita tidak terlambat lagi."
"I-Itu..." Mata Claressa mengerjap-ngerjap. "Apa besok Daddy akan mengantarku lagi?"
"Hanya kalau kamu mau saja."
"Tentu, Dad!" seru Claressa cepat. "Aku sekolah dulu."
Abraham mengangguk.
Claressa melambai-lambai padanya dengan senyum lebar ketika masuk melewati gerbang seolah.
*
"Kalau kayak gini," kata Doni, "kerjaan kita jadi tambah ringan kan ya, Mbak?"
Tangan Elena bersidekap mengamati kepergian mobil yang membawa Abraham dan Claressa pergi.
"Di otak kamu cuma ada soal kerjaan aja?"
Doni menatap Elena bingung. "Memangnya apa lagi?"
Gadis itu geleng-geleng kepala. "Nggak ada," lirihnya pelan seraya mengembuskan napas panjang.
Elena baru saya selangkah memasuki rumah ketika merasakan getar di ponselnya. Ia mengusap layarnya dan mendapati satu email masuk.
Elena segera membuka email itu.
Research on Biotechnology - Foresty
ke saya
25/11/2019 Tampilkan detailnya
Dear, Ms. Anindya.
Thank you for your interest. I have read your proposal and honestly I think that's so awesome.
Prof. Simarmata called me and said a lot of about you. You are his favorite student, right?
....
Elena menahan napasnya sembari menuntaskan membaca email tersebut. Segala sesuatu mendadak berkecamuk di dadanya.
Email yang telah ia tunggu selama ini akhirnya datang.
*
"Daddy bilang Daddy bakal ngantar aku tiap hari ke sekolah, Len," kata Claressa dengan penuh semangat. "Walau pulang aku masih dijemput Doni, tapi tetap aja aku senang. Daddy kan masih kerja kalau siang. Nggak apa-apa Doni yang jemput, yang penting Daddy yang antar. Jadi, karena kantor Daddy jauh, mulai besok kami harus bangun lebih cepat. Berarti kamu juga harus bangun lebih cepat, Len. Kamu kan harus ngurus aku."
Elena mendengarkan cerita Claressa seraya tersenyum lebar.
"Terus apa lagi, Non?"
Claressa tersenyum. "Jadi, tadi itu..."
Entah apa lagi yang Claressa ceritakan. Elena mendengarkan dengan saksama seraya gadis kecil itu meneruskan mengerjakan tugas sekolahnya.
"Apa itu artinya Daddy sayang aku, Len?"
Bibir Elena menyunggingkan senyum. "Tentu saja Tuan sayang Nona. Apa Nona mau saya kasih tahu sesuatu?"
Claressa meletakkan pensilnya. Tepat ketika soal terakhir selesai ia jawab. "Apa?"
Elena meraih ponselnya. Membuka galeri foto dan menunjukkan sesuatu pada Claressa.
"Tiap malam, Tuan selalu menemani tidur Nona."
"Daddy pernah marah-marah kalau aku tidur lama."
"Saya rasa itu karena Tuan khawatir tidak bisa membelai Nona seperti ini."
Air mata timbul memenuhi kelopak mata Claressa. "Itu artinya Daddy sayang aku, Len?"
"Tuan selalu sayang Nona," kata Elena. "Bagaimana bisa ada seorang ayah yang tidak menyayangi putri secantik Nona? Nona juga sayang Tuan kan?"
Claressa mengangguk. "Aku sayang Daddy."
Tangan Elena membelai kepala Claressa. "Nona pernah bilang ke Tuan kalau Nona sayang Tuan?"
Claressa menggeleng. "Aku mau bilang sama Daddy kalau aku juga sayang Daddy."
Elena mengangguk. "Tuan pasti lagi di ruang kerja."
Claressa turun dari kursinya. "Apa nanti Daddy akan marah, Len?" tanyanya. "Ah, kalau Daddy marah kamu bisa belain aku kan, Len?"
Elena tergelak kecil. "Saya bakal belain Nona. Tapi, saya yakin Tuan nggak bakal marah."
Claressa mengangguk mantap. Ia menuju ke ruang kerja Abraham. Mengetuk pelan pintu itu.
"Siapa?"
Claressa menjawab. "Ini aku, Dad. Aku boleh masuk kan?"
Yang terjadi kemudian adalah pintu itu terbuka sebelum Claressa sempat meraih daun pintunya. Abraham berdiri menjulang tinggi di hadapannya. Lantas, pria itu turun berjongkok.
"Ada apa?"
Claressa terdiam beberapa saat menatap mata Abraham. Satu tangannya terulur pada ayahnya. "Aku sayang Daddy..."
"A-Apa, Sa?"
"Aku sayang Daddy... Daddy sayang aku kan?"
Abraham menahan desakan air matanya ketika menatap mata kelabu polos itu melihat padanya.
"Tentu Daddy sayang kamu, Sa."
Dan kalimat itu ia ucapkan seraya memeluk erat putrinya.
*
"Kedua saudara tirinya kemudian juga meminta maaf untuk semua kesalahannya selama ini. Akhirnya, Cinderella hidup dengan bahagia bersama Pangeran di istana."
Abraham menutup buku cerita itu. Lalu meletakkan di nakas.
Claressa tidur dengan begitu nyaman. Dengan dongeng yang indah, dengan belaian yang penuh kasih, dan ditutup kecupan di dahi dari ayah tersayang.
Pelan-pelan, Abraham merapikan selimut Claressa. Memadamkan lampu utama dan menutup pintu.
Di depan kamar Claressa, ia menemukan Elena tengah berdiri.
"Saya cuma jaga-jaga kalau mungkin Bapak butuh sesuatu. Tapi, sepertinya tidak."
Abraham menangkap senyum di bibir Elena. "Claressa sudah tidur."
"Saya yakin mulai malam ini ia akan selalu bermimpi indah."
Abraham tak mengomentarinya.
"Kalau begitu, selamat beristirahat, Pak."
Elena membalikkan tubuhnya, berniat untuk menuruni tangga sebelum akhirnya menyadari langkahnya tertahan satu rengkuhan.
Kedua tangan Abraham menyusup di kedua sisi tubuh Elena, lalu memeluknya di sekitaran perut gadis itu.
Di saat Elena masih meraba situasi, ia merasakan dagu Abraham yang bertopang di bahunya.
Tangan Elena sontak menahan tangan Abraham.
"Pak..."
"Terima kasih," kata Abraham. "Terima kasih."
*
tbc...
ehm... waktu dan tempat untuk berkomentar, aku persilakan... 🤗🤗
sampai jumpa di part selanjutnya...
Pkl 15.53 WIB...
Bengkulu, 2020.04.16...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro