Sama-Sama Menguntungkan
aku pikir tadi pagi aku udah up part 9, eh ternyata belum 😅😅😅
salah ingatan ini...
===========================================================================
"Jadi begitu ceritanya. Selain pinggang aku yang mendadak kayak kena asam urat, sebenarnya aku hanya penasaran kenapa si anak Tirex itu nekat minta aku balik lagi jadi pengasuhnya? Ditambah iming-iming kenaikan gaji seolah benar-benar biar bisa memikat aku buat balik lagi."
Beberapa saat tidak ada suara Rinda di ujung sana. "Ehm, kalau kamu ragu... ya mending cabut aja deh. Jangan-jangan kali ini beneran organ dalam kamu mau dijual."
Elena meringis.
"Kamu beneran mutusin buat tinggal di sana?" tanya Rinda kemudian setelah beberapa saat tidak mendengar suara Elena.
Helaan napas Elena terdengar lebih keras. "Aku kan mesti ngirim uang ke keluarga kali, Rin. Dan..."
"Yah, aku tahu sih. Dan itu beneran karena duitnya kan makanya kamu mau kerja di sana?"
"Tentu saja karena duit," kata Elena cepat. "Cuma orang gila aja yang nggak tergiur dengan duit bersih lima belas juta sebulan. Belum lagi bonus 25% tiap akhir pekan." Elena kembali menghela napas panjang. "Di mana lagi coba aku bisa dapat kerja kayak gini. Di tempat dulu, udah gaji pas-pasan UMR, lembur hampir tiap malam, belum untuk sehari-hari..." Elena kembali menghela napas. "Eh, dilengkapi lingkungan madu yang menutupi racun di mana-mana."
"Kalau itu keputusan kamu," kata Rinda, "ya aku dukung. Sehat-sehat di sana ya. Dan ntar kalau ada waktu, main-main ke sini."
"Tentu."
Elena memutuskan telepon itu. Beralih pada sehelai kertas di tangannya. Di sana tertulis beberapa pertimbangan Elena untuk tetap bekerja di sana. Ia melihat dengan jelas tulisan angka lima belas juta rupiah sebagai keuntungan dari pekerjaannya yang menurut Elena dengan telak mampu mengungguli poin penderitaan mengasuh Claressa. Yang penting dia masih hidup, berarti lima belas juta rupiah jelas masih merupakan angka yang menguntungkan.
Ini logis. Kita berbicara soal uang yang besar, Len. Sangat-sangat logis.
Elena beranjak ke cermin dan berkata pada dirinya sendiri.
"Ini murni karena gajinya yang besar."
Namun, misteri mengapa Claressa menginginkan dirinya kembali, masih membuat Elena penasaran. Elena tidak suka dengan ketidaktahuannya akan sesuatu. Dan Elena bermaksud mencari tahu. Mungkin satu-satunya cari yang sederhana dan mudah dilaksanakan, mengingat ia berhadapan dengan anak berumur sepuluh tahun adalah dengan bertanya langsung.
Elena hanya butuh waktu yang tepat untuk itu.
Dan selagi mencari waktu yang tepat, ia berusaha untuk menjalani tugasnya dengan sebaik mungkin. Seraya hatinya terus berdoa memanjatkan puja puji syukur kepada Tuhan agar dihindari dari bencana apa pun itu seandainya Claressa memutuskan untuk mengerjai dirinya seperti yang sudah-sudah.
"Ada mau makan yang lain, Non?" tanya Elena seraya menyisihkan piring yang kosong di dekat nakas. Ia baru saja menyuapi Claressa makan siang yang sebenarnya sangat terlambat. Tapi, bagaimana pun juga, itu karena Claressa baru bangun ketika sudah jam tiga sore. Dan Elena langsung membawa makanan untuk Claressa.
Gadis kecil itu menggeleng. Meminum air putih dan menatap Elena. "Kamu jangan besar kepala ya mentang-mentang aku yang minta kamu balik kerja lagi."
Nah, nada Claressa masih terdengar begitu ketus dan tanpa perasaan walau Elena yakin, kejadian tentang ia yang memohon seraya beriba-iba dengan menangis masih segar di ingatan siapa pun, termasuk Claressa sendiri. Sekuat tenaga, Elena berusaha untuk memasang wajah tanpa ekspresi. Selain karena ia tidak ingin mengubah situasi yang masih dalam kategori terkendali itu menjadi situasi yang mencekam, Elena pun juga masih ingat pasti tentang apa yang ia ketahui sekarang. Seandainya Elena belum mendengar berita dari tiga orang wanita di dapur tadi, Elena pasti akan tersulut emosinya dan membalas kata-kata itu dengan tidak kalah sadisnya. Tapi, sebaliknya. Elena menggeleng.
"Saya tahu, Nona pasti kasihan karena orang tua saya petani makanya nyuruh saya balik kerja lagi. Biar kami bisa beli makanan yang lebih bersih," kata Elena tersenyum. "Terima kasih banyak, Non. Saya pasti bakal bekerja dengan baik."
Untuk perkataannya yang terakhir, itu tentu benar-benar murni dari lubuk hatinya. Elena akan bekerja dengan baik sehingga ia bisa bertahan di sana dalam waktu yang lama. Lagipula, peristiwa siang tadi sedikit banyak memang memengaruhinya, walau ia dengan sekuat tenaga mengatakan bahwa semua yang ia lakukan logis.
Elena akan mencatat itu di benaknya. Yang terlihat dari luar, belum tentu yang sebenarnya. Ada alasan untuk setiap orang bertindak. Untuk Claressa, anak mana yang bisa bertahan dengan kekalutan keluarganya tanpa merusak karakternya? Dia bisa bertahan sejauh ini pun cukup menunjukkan bahwa ia anak yang kuat. Terutama dengan bagaimana ia berusaha tetap ingin terlihat keras.
Claressa mengerucutkan mulutnya. "Barang-barang kamu sudah dibawa lagi?"
"Sudah. Tadi sewaktu Nona tidur saya balik ke kos ngambil barang-barang saya." Mendadak Elena tersenyum geli.
"Kenapa?" tanya Claressa.
"Itu, saya teringat ibu kos saya. Kasihan ngeliatnya. Udah seneng karena saya balik ngekos lagi, eh akhirnya nggak jadi ngekos lagi."
Elena ingat dengan jelas ketika ibu kos-nya menyambut kedatangan Elena pagi tadi dengan senyum yang begitu lebar. Namun, ketika tadi siang ia mengambil barang-barangnya lagi dan mengatakan kali ini benar-benar tidak akan melanjutkan kos-nya, ibu kos langsung uring-uringan. Bagaimana pun juga, Elena termasuk tipe orang yang tepat waktu dalam melakukan pembayaran uang kos. Sesuatu yang mungkin sedikit langka dialami olehnya.
Satu sudut bibir Claressa terangkat samar. Tapi, tak lama.
"Ehm, karena ini sudah sore," kata Elena kemudian. "Gimana kalau Nona mandi? Biar lebih segar."
Claressa bangkit dari kasurnya. Ia mengangguk. "Baiklah."
Selagi Claressa mandi, maka Elena menyiapkan pakaian untuknya. Meletakkan di kasur dan beranjak pada meja rias gadis itu.
Seraya memegang satu sisir di tangannya, ia mencari-cari sesuatu. Di laci, di balik bedak, di mana-mana. Tapi, ia tak menemukan apa yang ia cari.
Bagaimana bisa ada anak perempuan berusia sepuluh tahun tapi tidak memiliki satu jepit rambut pun?
Elena menghirup napas panjang. Menutup mulutnya. Untuk beberapa saat, ia membiarkan otaknya bekerja.
Perlahan, mata Elena membuka. Tak sengaja langsung bersirobok dengan pantulan dirinya di cermin yang terlihat justru seolah sedang menatapnya dengan lekat.
Dan untuk itu, Elena berpegang teguh pada keyakinannya. Bekerja dengan sekeras mungkin adalah hal yang wajar. Termasuk di dalamnya bila ia berusaha membuat majikan kecilnya itu sedikit senang.
Kalau majikannya senang, ia tentu bisa terus bekerja dengan gaji yang besar kan? Kenaikan gaji bukan hal yang mustahil ia dapatkan kalau Claressa senang.
Kepalanya mengangguk sekali. Aku nggak salah. Ini logis.
Dan ketika Claressa keluar dari kamar mandi, Elena spontan bertanya walau tak berharap banyak. Toh, nonanya ini anak orang kaya loh. Dan ide Elena rasanya begitu receh.
"Non, mau jalan-jalan ke mall?"
*
Di luar prediksi Elena, ternyata Claressa benar-benar antusias mendapat tawaran jalan-jalan Elena. Sejenak membuat gadis itu bingung bahwa: aku cuma ngajak ke mall kok. Tapi, ia tak menghiraukan itu.
Jadi, setelah mendandani Claressa sebaik mungkin, sedang Elena masih mengenakan seragamnya, ia meminta Pak Zulman untuk menyiapkan kendaraan untuk mengantar mereka pergi.
Pak Zulman memutuskan bahwa seorang supir bernama Doni pilihan tepat untuk mengantar Claressa dan Elena. Doni adalah supir termuda yang bekerja di kediaman Rhodes. Terhitung baru beberapa bulan bekerja.
"Baru sekitar empat bulan sih, Mbak," kata Doni bercerita seraya melajukan mobilnya di jalanan. "Lagi mujur aja waktu itu."
Elena melirik. Doni di sebelahnya tersenyum lebar. "Mujur gimana?"
"Sebenarnya aku kerja ini nggak ngelamar loh, Mbak," kata Doni tersenyum. Sekilas melirik Elena. "Jadi, waktu itu kan mobil Tuan mogok di tengah jalan. Nah ternyata Pak Restu nggak tau soal mobil gitu, padahal Tuan ada acara penting. Kebetulan aku lewat dan karena aku jurusan otomotif pas SMK, ya aku bantuin. Rupanya cuma ada yang longgar dikit. Nggak sampe lima menit ya tu mesin nyala lagi."
Elena angguk-angguk kepala.
"Terus diajak langsung naik ke mobilnya." Doni tertawa. "Dibawa ke kantornya, Mbak. Wih! Gede banget, Mbak. Terus pas di rumahnya, baru deh ketemu Pak Zulman. Aku disuruh jadi supir."
"Ckckckck." Elena berdecak. Bertepuk tangan tanpa suara. "Kamu hebat."
"Hebat apanya, Mbak?" tanya Doni tersenyum malu. "Karena bisa benerin mobil Tuan yang mogok?"
"Bukan." Elena menggeleng. "Hebat karena bisa dapat pekerjaan tanpa drama kamar mandi."
"Eh?"
Elena menghela napas panjang. Lalu, menoleh ke belakang dan mendapati Claressa tengah bermain dengan ponselnya.
"Non?" panggilnya. Dan Claressa langsung mengangkat wajahnya. "Ntar ke mall mau ke mananya, Non?"
Claressa berkedip-kedip menatap Elena. "Terserah kamu aja, Len."
Sesampainya di mall, Elena mengajak Claressa memasuki Naughty. Gadis itu langsung menghambur ke rak pernak-pernik yang ada.
Elena menyusulnya.
Claressa meraih satu bandana yang bertelinga Minnie Mouse. Mengenakannya dan bercermin. Lalu, ia beralih pada jepit-jepit yang lainnya.
"Cocok yang mana, Len?"
Elena mendekat. Melihat bagaimana Claressa mencatut satu jepit berpita di kepalanya, kemudian mengganti dengan model lainnya.
Elena meraih satu. "Kayaknya lebih cocok yang ini, Non."
Claressa membawanya ke cermin. Lalu angguk-angguk kepalanya. "Sayang rambut aku pendek. Jadi nggak bisa dikepang." Ia melirik pada rambut Elena yang disanggul. "Rambut kamu panjang?"
Elena mengangguk. "Tenang aja, Non. Rambut Nona ntar bakal panjang kok."
"Ya, mudah-mudahan."
Elena memberikan ruang bagi Claressa untuk memilih aneka jepit rambut, bandana, dan pernak pernik yang ia suka. Lalu, membawanya ke kasir.
Setelah membayar untuk semua belanjaan itu, Elena menarik tangan Claressa. Mengajaknya untuk membeli es krim di gerai McDonald yang berada tak jauh dari sana.
"Ehm, mau rasa apa, Non?"
Claressa menatap beberapa pilihan di sana. "Kamu pilih apa?"
"Coklat."
"Kalau gitu aku coklat juga."
Elena menoleh dan geleng-geleng kepala. Tapi, tetap memesan dengan menu yang sama.
"Ada mau cemilan, Non?"
"Kamu mau pesen apa?"
Otak Elena bekerja. "Mau kentang goreng aja sih."
Dahi Claressa berkerut, sejenak membuat Elena ingin tersenyum. "Aku juga kentang goreng."
Senyum Elena menghilang. Matanya memicing. Ini anak lagi mau niru-niru aku ceritanya?
"Kentang gorengnya dua sama beef burgernya satu, Mbak."
Claressa menarik tangan Elena. "Katanya kamu cuma pesan kentang goreng."
"Burger buat Doni, Non. Kasian dia di parkiran nungguin kita muter-muter."
Mulut Claressa terkatup dan tak berargumen lagi.
Elena mengajak Claressa duduk dan menikmati pesanannya. Selagi mulutnya mengunyah dan matanya memerhatikan Claressa, otaknya kembali bekerja. Memang sulit, tapi otak Elena memang sudah terbiasa bekerja. Bahkan sebelum tidur otaknya pun masih bekerja. Ehm, mengkhayal maksudnya.
Ketika menilai situasi di antara mereka, Elena cukup menyimpulkan entah bagaimana ceritanya aura antara ia dan Claressa termasuk ke dalam kategori yang terkendali. Elena ragu akan mendapat waktu yang lebih tepat daripada ini.
"Nona..."
Claressa mendehem sambil mengulum es krimnya. "Ehm?"
"Saya boleh nanya?"
"Apa?"
Sejenak Elena menarik napas sebelum berkata. "Selain karena Nona kasihan melihat orang tua saya yang petani..." Ia sengaja berkata dengan pelan demi melihat respon Claressa. Gadis itu menaikkan pandangannya pada Elena. "Kenapa sih Nona mau saya kerja lagi?"
Claressa diam. Lalu, menggeleng. "Mau aja."
Mata Elena sejenak terpejam. Tapi, ia tak menyerah. Ia merasa yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Claressa.
"Kalau Nona nggak bilang, saya nggak tahu loh harus melakukan apa biar Nona senang."
Claressa terlihat ragu-ragu. Elena yakin, bujukan sudah mulai memengaruhi gadis itu.
"Nona mau saya melakukan apa?"
Tapi, Claressa belum mau menjawab. Dan Elena sudah hampir menyerah ketika ia mendengar Claressa balik bertanya.
"Kamu nggak takut bentak-bentak Daddy?"
Kali ini bukan lagi lampu pijar yang menyala di otak Elena, tapi kebakaran. Seketika ia menarik kesimpulan yang membuat dirinya bergidik ngeri.
"Nona nyuruh saya balik kerja biar saya bentak-bentak Tuan?"
Claressa cemberut. "Yang bilang gitu siapa?"
"Lah terus?"
Claressa kembali terdiam. Lalu, ia mencondongkan diri. Mengirimkan sinyal agar Elena turut menunduk supaya mempermudah ia berbisik.
"Nggak ada yang berani marahin Daddy, Len. Apalagi kalau aku lagi dimarah Daddy."
"Terus?"
Elena turut bertanya dengan suara rendah. Seolah-olah mereka sekarang adalah mata-mata di film-film Hollywood yang sedang berbagi informasi rahasia. Mata-mata genre komedi.
"Aku cuma mau kamu ngelindungi aku kalau Daddy marah-marah."
Elena menarik tubuhnya sedikit. Meringis. Yang benar aja deh. Aku dijadiin tameng buat ngadepin Bapak Tirex?
"Non," kata Elena. "Tuan juga nggak bakal marah-marah kalau Nona nggak berulah."
"Kamu nyalahin aku?"
Jangan sampai dipecat, Len. Mau jualan tissue di simpang lampu merah?
Elena meneguk ludah. "Gini deh, Non. Saya nggak nyalahin Nona. Emang Tuan juga kalau ngamuk beneran serem. Jadi, saya pasti bakal ngelindungi Nona."
Claressa tersenyum.
"Tapi, nggak gratis loh, Non."
"Kan kamu udah digaji."
"Non! Gaji saya lima belas juta itu untuk ngasuh Nona. Bukannya gaji buat bentak-bentakin Bapak Tirex." Elena merinding disco. "Nona sendiri tahu gimana menyeramkannya Tuan kalau ngamuk."
Claressa mengangguk. "Daddy memang nakutin. Terus kamu mau dibayar berapa lagi?"
Elena menyeringai. Kalau Claressa menginginkan sesuatu darinya, itu artinya ia juga harus mendapatkan sesuatu dari Claressa. Ho-ho-ho. Ini anak sepuluh tahun berusaha bernegosiasi dengan orang berusia dua puluh sembilan tahun? Ckckckck.
"Saya berjanji akan ngelindungi Nona dari Tuan kalau Tuan lagi ngamuk, dengan satu syarat."
"Apa?"
Mata Elena menyipit. Satu bibirnya naik menampilkan seringai setan yang menawarkan perjanjian pada umat manusia yang berhati lemah. "Turuti apa yang saya katakan."
Claressa melotot. "Apa kamu bilang?! Kamu mau nyuruh-nyuruh saya?"
Elena menggeleng. "Nggak, Non. Saya tetap akan bekerja. Hanya saja saya harus memastikan bahwa nggak bakal ada lagi minyak goreng di kamar mandi, nggak ada lagi permintaan aneh-aneh, dan kalau ngerjain tugas, saya bantu tapi tetap Nona yang ngerjain. Hanya seperti itu."
Claressa membuang muka. Melipat tangan di dada dan dagunya terangkat tinggi seolah menantang langit.
"Ya udah, Non. Lagipula taruhannya nyawa kalau sampai melawan Tuan. Emang selama ini ada yang berani ngelawan Tuan?"
Perlahan, dagu Claressa turun kembali. Matanya berkedip-kedip. Elena benar. Selama ini nggak ada yang berani sama Daddy.
Elena menyeringai.
Toh, sebenarnya Tuan marah ke dia kan karena dia nakal. Dan kemarahannya tadi murni karena Claressa yang ngamuk minta aku balik kerja. Berarti, dengan kehadiran aku sebenarnya Claressa nggak bakal buat ulah lagi. Kalau dia nggak buat ulah, otomatis dia nggak bakal dimarah. Dengan kata lain, aku nggak harus menghadapi kemarahan Tuan. Selain itu, secara nggak langsung aku juga udah meredam keusilan anak ini dengan sendirinya. Tanpa ia sadari sebenarnya aku malah nggak berbuat apa-apa.
Hahahaha.
Elena... Elena... Kok bisa ada cewek sepintar kamu?
"Baiklah," kata Claressa dengan nada tinggi. "Tapi, janji kamu bakal bela aku kalau Daddy marah-marah."
Elena mengangguk. "Janji, Non, janji," kata Elena seraya mengangguk berulang kali. "Ehm, abis ini Nona ada mau ke mana lagi?"
"Kita belum pulang?"
"Terserah, Nona sih. Kalau mau pulang kita pulang atau kalau mau lanjut jalan ya kita jalan lagi."
Claressa menegapkan tubuhnya. Ia tersenyum lebar. "Kita main?" tanyanya antusias. "Aku nggak pernah main. Kita pulang nanti saja."
Elena mengerjap-ngerjap.
"Soalnya aku nggak pernah jalan ke mall," kata Claressa turun dari kursinya. "Selama Opa dan Oma pergi, nggak ada lagi yang ngajak aku jalan-jalan."
Elena terkejut. "Jadi selama ini Nona ngapain aja?"
"Di rumah. Daddy takut aku nakal kalau main di luar."
Dan mata kelabu Claressa membuat Elena tak bisa berkata apa-apa.
*
tbc...
see ya di part selanjutny guys...
jangan lupa kasih aku bintang dan komennya 🤗🤗🤗
pkl 19.01 WIB...
Bengkulu, 2020.03.20...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro