Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sama-Sama Bingung

part ke-7 otewe guys... 🤗🤗🤗

widiiiih... pagi-pagi udah dapat sarapan aja nih...

===========================================================================

Nak, jaga omongan ya. Ngomong itu yang baik-baik, soalnya kita nggak tau kapan Tuhan mau ngabulin omongan kita.

Mendadak pesan Ibunya terngiang-ngiang di benak Elena. Apa ini gara-gara dia mengamini doa Rinda tadi ya? Baru beberapa detik dia langsung dikejutkan oleh telepon Pak Zulman yang menawarkan gaji lima belas juta rupiah padanya! Tuhan lagi becanda ini kayaknya. Tapi, nggak ada salahnya mencoba kan?

Makanya, setelah mendapat dorongan sepenuh jiwa dan seluruh raga dari Rinda, ia akhirnya dengan menggunakan ojek online berbekal bonus dari tukar poin selama ini, ia kembali ke rumah Rhodes.

Berkali-kali Elena meneguk ludahnya. Melihat rumah menjulang tinggi di hadapannya sebelum akhirnya Budi membuka pintu pagar, menyilakannya untuk masuk.

Ketika kakinya mencapai pelataran rumah itu, ia langsung kaget ketika mendapati Intan, seorang ART yang bertugas untuk bersih-bersih rumah, langsung menarik tangannya.

"Loh, Tan? Ini kenapa?"

Intan belum sempat menjawab. Kedahuluan dengan suara menggelegar dari dapur.

"PRAAANGGG!!!"

"AAAAHHHH!!!"

Jantung Elena rasa-rasanya copot seketika dari tempatnya.

"Berenti, Sa!"

Elena dengan jelas mengenal suara itu. Siapa lagi kalau bukan suara Bapak Tirex?

"Nggak mau!"

"PRAAANGGG!!!"

"Kalau kamu nggak berenti kamu bakal Daddy kurung! Sini kamu! Turun!"

"AAAAAH! Nggak mau! Nggak mau!"

Wajah Intan seketika pucat. Lalu ia menjelaskan singkat seraya mereka melintas di rumah itu.

"Nona Claressa ngamuk-ngamuk. Terus minta kamu disuruh balik lagi. Dia nggak mau pengasuh lain. Dan kalau kamu nggak balik lagi, dia janji nggak mau sekolah dan malah mau ngancurin ini rumah."

Glek.

Tapi, sesuatu melintas di otaknya. "Eh, tapi kenapa dia minta aku balik lagi?"

Langkah Intan terhenti. "Nah itu yang mau kami tanyakan ke kamu. Kamu ngapain Nona sampai Nona mau kamu balik lagi? Nona nggak pernah seperti ini sebelumnya."

Dahi Elena berkerut-kerut. "Memangnya aku ngapain dia?"

*

Abraham benar-benar hilang akal melihat bagaimana Claressa mengacak-acak dapur itu. Keadaannya benar-benar kacau. Persis seperti dapur yang baru saja kena serang pasukan zombie yang kelaparan. Di sudut, Bu Siti mengusap lengannya berulang kali yang baru saja kena lempar teplon oleh Claressa.

Menjadi pusat perhatian, Claressa berdiri di atas kitchen island seraya mengacung-acungkan sutil di tangannya.

"Aku nggak mau turun! Pokoknya usir itu---siapa namu kamu hah?"

Seorang gadis berseragam merah muda yang merupakan pengasuh baru Claressa dengan terbata menjawab. "Ayu, Nona."

"Pokoknya usir Ayu dari sini! Aku nggak mau diasuh dia!"

Abraham mendekat. Tapi, Claressa langsung melempar botol garam di tangannya yang lain. Botol itu menyerempet dahi Abraham. Isinya berhamburan ke udara. Seketika semakin membuat Abraham naik darah.

"Kamu coba sekali saja dengar kata Daddy, Sa! Dasar anak nakal!"

"Daddy juga nggak mau dengar kata aku!" balas Claressa. "Aku nggak mau Ayu! Aku mau Elena balik lagi ke sini!"

Berkali-kali Abraham menarik napas. "Memangnya apa bagusnya Elena itu?! Cewek itu nggak cocok jadi pengasuh kamu! Dia cewek bar-bar! Nggak berpendidikan! Kasar!"

Mulut Claressa mengatup dengan kuat. Tampak semakin menantang ayahnya sendiri. "Karena Elena pintar."

Abraham mengepalkan tangannya. Seakan ingin meninju apa pun yang berada di sekitarnya.

"Ayu juga pintar! Pak Zulman nggak mungkin nyari pengasuh yang bodoh untuk kamu, Sa!"

"Pokoknya aku nggak mau!!!"

Dengan membabi buta, Claressa kembali meraih beberapa barang yang berada di dekatnya. Lalu melemparnya pada siapa pun di sana. Sontak membuat Abraham murka.

"Berenti, Sa!"

Claressa tetap melempar-lempar barang.

"Nggak mau!"

"PRAAANGGG!!!"

"Kalau kamu nggak berenti kamu bakal Daddy kurung! Sini kamu! Turun!" bentak Abraham seraya mendekat dan meraih kaki Claressa.

Claressa seketika menjatuhkan tubuhnya di kitchen island itu. Memegang kuat pada pinggirannya ketika Abraham berusaha menarik dirinya.

"AAAAAH! Nggak mau! Nggak mau!"

"Sini! Dasar anak nakal! Biar Daddy kurung kamu!!! Dan nggak ada yang bakal bisa ngeluarin kamu dari kamar!!!"

Claressa kembali menjerit. Kali ini disertai ketakutan dan mendadak air mata perlahan keluar.

"Aku nggak mau!!! Aku nggak mau!!!"

Semua pekerja di rumah itu hanya menundukkan kepalanya. Berusaha untuk tidak melihat keributan antara Abraham dan Claressa. Selain itu, mereka pun tak tahu harus berbuat apa.

"Turun!!!"

"Nggak mau!!" jerit Claressa. "Daddy, sakit!"

Tapi, Abraham tidak melepaskan genggamannya pada pergelangan kaki Claressa. Ia justru semakin mengeratkannya dan berusaha menyentak tubuh gadis itu.

"Kamu benar-benar buat Daddy kehilangan kesabaran! Selalu buat masalah!!!"

"Lepas, Dad, lepas!!!"

Claressa mencoba meronta. Menendang-nendang, tapi jelas tenaganya bukan tandingan tenaga ayahnya.

"Ya Tuhan! Ini Bapak Tirex benar-benar nggak punya otak?!!"

Bumi memutuskan berhenti berotasi seketika. Jam dinding langsung berhenti berdetak. Angin kompak terdiam. Bahkan setan memutuskan untuk menyingkir. Begitu pun dengan malaikat maut yang berencana kabur dulu ke neraka.

Semua mata langsung beralih ke sosok perempuan berkaos oblong dan celana jeans panjang, serta sepasang sepatu kets yang warnanya telah memudar. Wajah itu terlihat memerah. Tapi----

Apa tadi Elena sadar sudah membentak siapa?

Mata Abraham melotot. Tercengang dan berkata. "Ka-Kamu..."

Elena melangkah. Tangannya menunjuk. "Kamu ini beneran bapaknya bukan sih? Anak sendiri kok disiksa begitu?" Wajah Elena terlihat begitu syok tak percaya.

Claressa sesegukan di atas kitchen island. Genggaman Abraham di kakinya mengendur karena kedatangan Elena.

"Ngapain kamu balik ke sini?!"

"Lah saya ditelepon suruh balik ke sini."

Abraham seketika melirik pada Pak Zulman yang menunduk.

"Dan beruntung saya datang cepat karena ternyata ada Bapak Tirex lagi nyiksa anak Tirex di sini!"

"Kamu pergi dari sini! Ini bukan urusan kamu! Sekali lagi kamu ikut campur, kamu bakal nyesal!"

"Saya justru bakal nyesal kalau ngeliat Bapak nyiksa Claressa kayak ini!"

Abraham tertawa. "Mau sok jadi pahlawan? Hahaha. Kamu nggak ingat apa yang dia lakukan ke kamu?! Dia ini anak nakal!"

Elena mengusap kepalanya. Benjol. Dan itu kenang-kenangan karena memori mesra antara dia dan kamar mandi.

"Saya nggak mau jadi sok pahlawan, Pak. Pengalaman udah ngebuat saya yakin kalau jadi pahlawan itu nggak enak. Tapi, walaupun anak Bapak nakal, nggak semestinya juga dibuat kayak gini!"

Abraham melepaskan kaki Claressa. Seketika berkacak pinggang menghadap gadis itu. Dan Claressa segera duduk dengan seseguk.

"Tau apa kamu soal ngasuh anak huh?! Kamu belum punya anak kan?! Jadi jangan sok menggurui saya!"

Elena bersidekap. Bola matanya berputar-putar. "Pak, saya punya empat orang adek yang sifatnya kayak gado-gado dicampur pecel. Dan kami tinggal di rumah yang ukurannya nggak lebih dari 3 x 5 meter. See? Rumah saya aja bisa muat ke dalam kamar saya di rumah ini. Dan Bapak nggak tau aja gimana rasanya menghadapi mereka di rumah yang sempit kayak gitu." Elena mendengus. "Saya emang belum punya anak, tapi seenggaknya dari orang tua saya bisa saya simpulkan bahwa kekerasan bukan jalan yang tepat untuk mendidik anak. Kalau pun itu jalan yang tepat, itu pasti jalan yang terakhir."

Abraham menggeram. "Kamu liat kan kekacauan yang disebabkan Claressa?!" tanyanya seraya menunjukkan fakta betapa hancurnya dapur itu karena keributan yang dilakukan Claressa. "Ini baru sebagian kecil dari yang bisa ia lakukan!"

Elena meneguk ludahnya. Ini bener-bener anakan Tirex.

"Jadi," kata Abraham, "selagi saya masih berbaik hati. Silakan kamu pergi baik-baik dari sini. Dan jangan kembali lagi! Jangan pernah berharap bisa bekerja di sini!"

Wajah Elena mengeras. "Berbaik hati aja modelnya kayak begini. Saya sama sekali nggak heran kalau Claressa jadi punya watak yang keras. Bapaknya sendiri memberi contoh itu pada Claressa."

Abraham tersentak oleh perkataan Elena. "Pergi kamu! Pergi!"

Mulut Elena mengatup erat menahan emosi.

"Elena! Jangan pergi!"

Suara itu adalah isakan Claressa. Ia mengulurkan tangannya.

"Please, Dad. Aku mau Elena balik."

Tanda tanya beragam bentuk berputar-putar di benak Elena. Tak merasa yakin dengan apa yang matanya lihat dan telinganya dengar.

Tapi, keheranan itu bukan hanya dirasakan oleh Elena. Semua orang di sana juga merasakan hal yang sama.

Abraham melihat Claressa tak percaya. Putri nakalnya itu terisak meminta pengasuhnya untuk kembali bekerja?

Beberapa saat, tak ada yang bersuara ataupun bergerak. Semua seolah terfokuskan pada Claressa yang tetap merengek.

"Please... Elena, sini..."

Claressa menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hingga membuat Elena terenyuh. Tapi, ketika ia melangkah, secepat kilat ia melihat apa ada genangan minyak goreng di lantai. Dan ternyata, tidak ada.

Elena mengusap pergelangan kaki Claressa yang memerah. Lalu, ia melirik Abraham dengan kesengitan yang bisa membuat iblis sekalipun menjadi lari terbirit-birit.

"Jangan pergi..." Claressa terisak. "Jadi babysitter aku ya? Please..."

Nah, sekarang Elena benar-benar tidak habis pikir. Lagipula, ia masih meraba. Ini air mata sungguhan atau air mata tipu daya seperti malam kemarin?

Tapi, Elena akhirnya mengangguk pelan. Sekali.

Claressa menahan sesegukannya. Menggeser duduknya hingga kedua kakinya menggantung di sana. Kedua tangannya terkembang.

Masih menahan isak, ia berkata. "Kita ke kamar yuk."

Lalu, Elena meraih tubuh itu dalam gendongannya. Astaga! Menggendong anak umur sepuluh tahun tidak pernah menjadi rencana hidupnya.

Ya Tuhan. Ia pasti butuh koyok cabai selepas ini.

Orang-orang di sana hanya terdiam di tempatnya masing-masing melihat bagaimana kedua tangan Claressa mengalung pada leher Elena. Dan wajahnya bersembunyi di lekuk leher gadis itu.

Semua bingung.

*

tbc...

hayo, guys... kenapa itu mendadak Claressa jadi seperti itu? 😅😅😅

pkl 08.20 WIB...

Bengkulu, 2020.03.19...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro