Risiko Pekerjaan
halo, para manusia yang masih beraktifitas di jam segini.. hehehe 😂😂😂
sini nih biar aku temenin dengan part ke 4 dari Daddysitter... 😘😘😘
btw. di part sebelumnya, aku rada syok juga nulis cerita yang kayak gitu... hehehhe
===========================================================================
Dengan tergopoh-gopoh Elena berlari menaiki tangga.
Tadi, setelah insiden di kamar mandi Claressa, akhirnya Elena mandi lagi untuk membersihkan diri setelah terlebih dahulu menyikat bersih lantai kamar mandi itu. Seraya menahan geram karena harus menyingkirkan setidaknya dua liter minyak goreng yang menutupi seluruh lantai kamar mandi, Elena berusaha untuk menahan emosinya ke titik yang terendah.
Dua puluh juta, Len, dua puluh juta.
Dan ketika ia mengira bahwa setelah kejadian itu maka ia bisa beristirahat mengingat jam yang sudah menunjukkan jam sembilan malam, maka ia lagi-lagi dibuat mengatupkan mulutnya sekuat mungkin. Ponselnya berdering. Claressa yang telah memiliki nomor ponselnya, memanggil Elena kembali ke kamarnya.
"Iya, Non?"
Elena masuk dan langsung disuruh mendekati Claressa yang sedang berada di meja belajar.
"Sini. Saya punya banyak tugas."
Elena mengangguk. Oke, lebih baik nyuruh aku kerja pake otak daripada nyikat kamar mandi yang penuh minyak gorenng.
Claressa meraih setumpuk buku dari meja belajarnya. "Ini!"
"Eh?"
Gelagapan Elena menangkap tiap buku yang satu persatu dilempat oleh Claressa ke arahnya.
"Matematika. IPA. Bahasa Inggris." Claressa melihat-lihat lagi bukunya. "Sepertinya itu saja."
Elena angguk-angguk kepala. "Kita ngerjainnya di mana, Non?" tanya Elena bingung mengingat meja belajar itu hanya punya satu kursi. "Di bawah?" tanyanya seraya menunjuk satu meja lantai lengkap dengan karpet bulu tebal di sana. Elena penasaran akan seperti apa rasanya bila duduk di karpet yang pasti harganya mahal itu.
Claressa menyipitkan matanya. "Yang bilang kita yang ngerjainnya siapa?"
"Lah?" Elena bingung. "Terus siapa yang ngerjain, Non? Bukannya saya bantuin Nona ngerjain tugasnya?"
Claressa turun dari kursi. Melangkah dengan dagu yang terangkat tinggi. "Kamu itu digaji ya. Jadi ya kamulah yang ngerjain tugas itu."
Mata Elena melotot. Belum hilang sakit di tubuh aku, eh sekarang aku mendapat penindasan lagi?
"Sa-Saya?"
Claressa melirik dengan ujung matanya. "Iya." Langkahnya terhenti sebelum naik kembali ke tempat tidurnya. "Ngomong-ngomong, apa kamu pintar? Bisa nggak ngerjain tugas aku? Kalau nggak bisa berenti aja!"
Elena mengembuskan napas melalui mulutnya. Ia mendekap buku di depan dadanya.
"Kata Pak Zulman tadi, kamu dari kampung. Orang tua kamu petani." Claressa memandang Elena dari bawah sampai atas. "Yakin kamu ngerti tugas aku?"
Wah, decak Elena dari dalam hati.
Oke. Dia mulai berada dalam situasi yang bisa meledak. Terutama ketika ia mendengar Claressa membawa kedua orang tuanya.
"Petani itu kan miskin. Makannya pun pasti yang jorok-jorok. Ewwww." Claressa memegang perut dengan kedua perutnya seraya menunjukkan ekspresi jijik. "Mana mungkin bisa buat orang pintar."
Mata Elena mengerjap-ngerjap. Tapi, otaknya memikirkan hal lain. Yang dikatakan Claressa benar. Orang tuanya miskin.
Senyum terkembang di bibir Elena. "Mungkin Pak Zulman juga sudah ngomong kalau saya lulusan terbaik IPB, Non. Itu universitas ranking dunia dan menjadi lulusan terbaik kayaknya udah jadi jaminan kalau saya pinter deh."
Claressa melirik.
"Dan karena orang tua saya miskin, makanya saya hanya bisa kuliah kalau saya pinter dan kerja keras untuk dapat beasiswa. S2 saya di University Tokyo of Agriculture loh, Non. Beasiswa penuh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia."
Claressa mendengus. "Kamu mau nyombong hah?!"
Elena menggeleng. Benar, orang tua aku miskin. "Cuma mau meyakinkan Nona kalau saya pintar."
Claressa bergeming. Lalu, naik ke tempat tidurnya.
"Kerjain itu. Pokoknya harus selesai semua."
Elena mengembuskan napas panjang. Beranjak ke meja lantai dan kemudian merasakan bahwa karpet yang ia duduki benar-benar empuk. Lalu, ia mulai mengerjakan tugas-tugas itu.
Tugas anak SD kelas empat tentu saja mudah dikerjakan oleh Elena dan seharusnya bisa diselesaikan gadis itu dengan cepat. Terutama karena Elena berencana untuk tidur secepatnya. Bukan apa-apa. Acara pindahan instan dan tragedi kamar mandi tadi lumayan membuat tubuhnya nyeri. Tapi, semua tidak seperti yang diharapkan.
Ketika Elena baru menjawab dua pertanyaan, Claressa memanggilnya.
"Aku haus, Len. Tolong ambilkan minum."
Elena langsung turun ke bawah. Membawa segelas air. Dan air itu justru Claressa buang isinya ke lantai. Beruntung celananya tidak terkena.
"Yang bilang aku mau minum air putih siapa?"
"Eh?" Dahi Elena berkerut. "Terus mau minum apa, Non?"
Claressa memutar-mutar bola matanya. "Jus semangka kuning aja deh."
"Di mana saya nyarinya, Non, semangka kuning malam-malam gini?"
"Bodo' deh."
Kedua tangan Elena terkepal. Lalu turun ke bawah. Sesampainya di dapur, ia sontak bertemu dengan seorang ART di sana.
"Bu," lirih Elena dengan segera mengingat Bu Siti dari perkenalan singkat ketika Pak Zulman mengajaknya berkeliling. "Kira-kira di mana ya saya bisa nyari semangka kuning?"
Bu Siti melirik ke lantai atas. Lalu, menarik tangan Elena. Ia kemudian membuka satu lemari kompor dan isinya membuat Elena tercengang.
"Saya udah nyiapin ini sore tadi. Semangka kuning, pir hijau, jambu biji putih, dan yang lain-lainnya."
Di dalam sana, buah-buah aneka jenis tersimpan dengan rapi. Sontak membuat Elena melototkan mata dan merinding.
"Udah Ibu siapin?"
Bu Siti mengangguk. "Tapi, antarnya agak lamaan ya. Kalau cepat, nanti Nona tau kalau kamu nggak pergi buat nyari buah semangkanya."
Elena meneguk ludahnya.
"Ini kayak yang Ibu udah nggak kaget lagi dengan kejadian ini."
Bu Siti memandang Elena iba. "Nona memang sering ngerjain pengasuhnya," katanya lirih. "Gimana tadi? Sakit terpleset di kamar mandi?"
Elena syok!
"Bukan sakit lagi, Bu. Untung ini tubuh sudah melalui berbagai cobaan hidup, kalau nggak mungkin saya udah mati."
Bu Siti mengangguk muram. "Kalau kamu nggak tahan, lebih baik kamu berenti. Jangan menyiksa diri gara-gara gaji dua puluh juta itu. Lagipula, sebesar apa pun gaji yang Tuan kasih pasti nggak sebanding dengan risiko pekerjaannya."
"Maksud Ibu?" tanya Elena. "Risiko pekerjaan apa?"
"Ya risiko ngasuh Nona. Belum sehari kamu di sini, kamu sudah dikerjai. Apalagi besok."
"Ibu benar..."
"Saya sering sedih ngeliat gadis-gadis kayak kalian memaksakan diri buat ngasuh Nona. Bener. Nggak tega saya."
Elena mengusap tekuknya. Mendadak ia merasa aura di sekitarnya berubah dan seolah sekarang ia sedang mengikuti acara uji nyali di televisi.
"Indah kemarin," lanjut Bu Siti, "pengasuhnya yang terakhir. Baru saja berenti kemarin malam. Anak itu lebih memilih pergi naik taksi jam satu malam gara-gara sudah tidak tahan lagi dengan Nona."
Gleeeekkk.
"Jam satu malam?" tanya Elena horor.
Bu Siti mengangguk. "Dahinya dilempar vas bunga sampai berdarah."
*
"Gila, Rin!"
Elena mondar-mandir di kamarnya.
"Gila apaan? Kamu di mana kini? Nggak yang lagi di dalam truk penculik kan?"
"Nggak."
"Syukurlah..."
"What?!" Elena nyaris memekik.
"Kok kayak yang kamu lagi emosi gitu?"
Elena menarik napas dalam-dalam. "Ini aku nggak tahu harus gimana, Rin. Astaga, Tuhan."
"Ada apa sih? Coba cerita."
Kaki Elena berhenti mondar-mandir. "Coba tebak aku ngasuh anak apa?"
"Anak apa?" tanya Rinda dengan suara bingung. "Anak ma-manusia kan? Ya kali anak Jin Ifrit."
"Salah!" tukas Elena.
"Hah? Maksud kamu?"
"Aku memang bukan ngasuh anak buaya," kata Elena kemudian, "tapi aku ngasuh anakan T-rex!"
Rinda terkesiap di seberang sana. "Maksudnya?"
"Jadi gini ya. Satu yang harus kita catat. Nggak pernah ada yang namanya kerja enak duit gede. Itu so so bullshit!"
"Kok kamu jadi buat aku takut gitu, Len?"
"Harusnya aku mikir kenapa gaji yang ditawarkan besar. Ya Tuhan. Kok aku begok banget sih." Elena seraya ingin menjambak rambutnya sendiri. "Kok nggak yang curiga kenapa gajinya sampai dua puluh juta sebulan dan dikasih fasilitas mewah?"
"Astaga, Len. Tolong cerita dulu. Ini aku tuh bingung tauk."
Elena mengembuskan napas panjang. Tangannya mendadak menutupi sedikit mulutnya ketika berkata. Seolah khawatir bahwa dinding di sana ada telinga. "Anak yang aku asuh kayaknya psikopat babysitter deh. Dari yang aku dengar dari juru masak di sini, nggak ada babysitter yang bertahan lebih dari satu minggu ngasuh dia----"
"Shit!"
"--- Bahkan sebulan terakhir ini paling lama pengasuhnya bertahan cuma empat hari. Dan Indah, pengasuhnya yang baru aja berenti malam kemarin," lanjut Elena. "Lebih milih risiko ketemu kuntilanak gara-gara cabut dari ini rumah jam 1 malam ketimbang harus meladeni kenakalan itu anak. Dahinya bocor dilempar pake vas bunga."
"Ya Tuhan, Len..."
Tubuh Elena lemas setelah menceritakan itu. Ia terduduk di kasur. "Dan sekarang aku lagi pura-pura keluar nyari semangka kuning. Padahal aslinya aku kini di kamar. Coba tebak, Rin. Saking seringnya tuh anak ngerjain pengasuhnya, juru masak di sini udah nyiapin banyak bahan-bahan yang biasa dijadikan alasan Claressa."
"Aku nggak tahu harus ngomong apa, Len. Tuh anak namanya Claressa?"
"Iya. Claressa Rhodes," kata Elena. "Kayaknya bapaknya bule deh. Soalnya bawa nama belakang Rhodes."
"Udah ketemu? Mungkin kamu bisa menanyakan tentang kerjaan kamu ke dia?"
"Aku belum ketemu dia dan untuk kerjaan aku ada kepala pelayannya yang mengarahkan aku." Elena mengusap-usap wajahnya. "Aaargh! Pantas aja gaji gede. Ini mah memang setara dengan ngasih makan buaya."
Rinda menangkap kegundahan Elena. "Terus gimana? Kamu mau berenti?"
"Lah kalau aku berenti kini aku kerja apa?" tanya Elena. Ia mendadak teringat bahwa setelah ia tandatangan kontrak dan mengangkut semua barangnya ke sini, ia segera mengirimkan pesan pada bosnya di restoran fast food itu.
Bos, maaf.
Tapi, saya tidak bisa melanjutkan pekerjaan saya.
Besok saya akan memberikan surat pengunduran diri saya.
"Aku udah WA ke Bos, Rin. Ngomong kalau aku udah nggak bisa kerja lagi dan besok bakal ngasih surat pengunduran diri aku."
"Tapi, kan kamu belum ngasih surat pengunduran dirinya, Len!" kata Rinda cepat. "Mungkin belum terlambat. Bos kan baik."
Elena seketika menegapkan kembali tubuhnya. "Benar. Bos kan baik."
*
Sesampainya Elena di kamar Claressa beserta segelas jus semangka kuning, ia mendapati bahwa majikannya itu sudah tidur. Dengan kesal Elena meletakkan jus itu di nakas dan menarik selimut hingga ke dada gadis kecil itu.
Elena teringat akan tugas-tugas yang harus dikerjakannya dan dengan segera menuntaskannya dalam sekejap. Ia menarik napas panjang. Setelah membereskan buku-buku itu, Elena lantas memadamkan lampu dan keluar kembali ke kamarnya.
Elena baru saja melepas jepit rambut yang menggelung rapi rambutnya ke atas, ketika ketukan halus terdengar kembali di pintunya.
Ia mendesah kesal. Membiarkan rambut sepunggungnya tergerai, ia membuka pintu dan menemukan Pak Zulman berdiri di sana.
"Ada apa, Pak?"
"Maaf, sebelumnya. Tapi, Tuan ingin anda menemuinya di ruang kerjanya."
Dahi Elena berkerut. "Jam sebelas malam?"
"Hanya sebentar dan ini mengenai Nona Claressa."
Mata Elena menyipit. Waktu yang bagus.
"Baik, Pak." Elena mengangguk.
Pak Zulman mengajak Elena untuk mengikutinya ke atas dan mengarahkannya ke ruangan yang sedikit berada di pojok. Berpintu kayu besar dan mewah. Seolah ingin menegaskan kekayaan pemiliknya.
Di dalam kepalanya, Elena memikirkan beberapa skenario. Maaf, Pak. Saya nggak bisa melanjutkan pekerjaan ini. Daripada saya mati muda sebelum nikah. Ya kali dapat siksa kubur sebelum mencicipi surga dunia.
Pak Zulma mengetuk halus.
"Masuk."
Elena mendengar suara itu. Sedikit serak, dalam, dan berat. Kombinasi aneh yang justru membuat jantung Elena berpacu.
Pak Zulman membuka pintu. Menyilakan Elena untuk masuk.
Berjarak beberapa meter di hadapannya, seorang pria tampak duduk membelakangi Elena. Hanya kepalanya yang terlihat ketika punggung kursi yang besar dan tinggi itu mampu menyembunyikan si empunya.
Elena melirik ke belakang sekilas dan menyadari kalau Pak Zulman telah meninggalkan mereka berdua.
Kedua tangan Elena terkepal erat. Bersiap dengan skenario yang sudah ia rancang.
Kursi itu perlahan bergerak. Dan Elena berusaha tetap menarik napas ketika melihat wajah tampan yang kemudian langsung memaku matanya dengan sorot yang begitu tajam.
Elena meneguk ludahnya.
Tunggu...
Skenarionya tadi apa ya?
*
tbc...
Nah, buat yang penasaran dengan tampang Abraham kayak gimana...pantengin aja besok pagi ya... hahahha... 🤗🤗🤗
btw. ada yang ngeh Abraham pernah muncul di mana? 😂😂😂
pkl 23.23 WIB...
Bengkulu, 2020.03.17...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro