Petaka Menyapa
Selamat malam minggu semuanya...
btw. ini beneran malam minggu kan ya? agak susah membedakan hari kalau 24 jam di rumah aja selama 7 hari seminggu... 😂😂😂
nah, seperti janji aku tadi pagi... malam ini aku update lagi...
selamat menikmati... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Elena merutuki dirinya yang pergi tanpa sempat membawa ikat rambut. Itu jelas membuat ia kewalahan ketika hari beranjak siang. Terasa sedikit gerah hingga akhirnya karena putus asa, dengan menggunakan pena yang ada di dashboard mobil, ia menggelung rambutnya asal.
Setelah melihat ke jam tangannya, ia keluar dari mobil. Bersiap menyambut kedatangan majikannya yang pulang sekolah.
Dari kejauhan kembali tampak Claressa yang terlihat mendorong temannya dan hampir terjungkal ke belakang andai tak ditahan oleh teman lainnya. Tangan Elena bersidekap dan masih menimbang dalam hati apakah harus mendatanginya atau tidak.
"Begitulah Nona..."
Elena mengerjap kaget mendengar suara Doni di sebelahnya.
"Nggak tahu kenapa Nona susah sekali jadi anak yang baik. Padahal Nona itu cantik, seandainya saja ia nggak suka berantem."
Bibir Elena mengerucut. "Eish! Itu cuma dorong-dorongan dikit, Don. Nggak bisa dibilang berantem."
"Wah!" Doni melotot melihat Elena. "Itu tetap aja berantem kecil."
Elena geleng-geleng kepala. "Berantem kecil versi cewek itu jambak-jambakan rambut, Don. Itu tadi bahkan nggak termasuk kategori berantem. Menurut penglihatan aku itu termasuk ehm..." Elena tampak berpikir sejenak. "Gertakan." Ia mengangguk-angguk dengan penuh keyakinan. "Ya, cuma gertakan."
Doni menatap Elena tak percaya.
"Sepertinya level berantem kita beda," lirih Elena seraya mengembangkan tangan ketika Claressa mendekat. "Halo, Nona. Gimana sekolahnya hari ini?"
Claressa memicingkan matanya. "Aku kegerahan."
"Ups!" Elena menutup mulutnya.
*
Claressa baru saja selesai mandi dan berpakaian ketika Elena datang ke kamarnya. Pengasuhnya itu segera membantu ia menyisir rambut dan Claressa merasa begitu senang karena telah berhasil mengusir kegerahan.
"Aku nggak mau lagi ke sekolah nggak mandi, Len," kata Claressa. "Gerah."
Elena angguk-angguk kepala seraya melihat pantulan Claressa dan dirinya di cermin. "Saya tahu, Non. Saya juga pernah merasakan hal yang sama. Percayalah."
Claressa mendengus. "Kamu sering ke sekolah nggak mandi?"
"Yang saya ingat dengan pasti sih waktu kuliah, Non," kata Elena meringis. "Waktu saya masih di IPB saya pernah dideadline hasil penelitian oleh pembimbing saya dan itu mengharuskan saya nginap di laboratorium. Nah, jadi ya besoknya saya nggak mandi dan langsung lanjut kuliah jam delapan. Selesai kuliah... ehm, mungkin sekitar jam dua siang baru saya pulang ke kos dan mandi."
Claressa menganga tak percaya.
"Eh, Nona. Itu sih belum separah waktu saya di Jepang. Musim gugur pertama saya di sana saya masih sok mandi pagi untuk beberapa hari. Setelahnya...." Elena merinding. "Saya masih waras untuk nggak sering-sering mandi. Apalagi kalau lagi musim dingin, Non."
"Kan bisa mandi air hangat kali...."
"Ckckckck. Menurut saya bahkan mandi air hangat pun nggak bisa dilakukan setiap saat saking dinginnya."
"Saya nggak tahu kalau kamu jorok gitu, Len."
Elena geleng-geleng kepala. "Ini bukan jorok, Non. Lagipula kalau di negara empat musim ada kalanya mandi jadi jarang dilakukan, tapi ada kalanya mandi bisa dilakukan dua puluh empat kali sehari. Waktu musim panas." Bola mata Elena berputar memandang berbagai arah tak tentu ketika berpikir. "Ini namanya adaptasi terhadap lingkungan. Tahu kapan harus mandi atau nggak. Sebagai seorang wanita yang memiliki tuntutan hidup yang tinggi, diri kita harus fleksibel, Non." Elena mengulum senyum. "Yah walaupun sebenarnya nggak mandi di Indonesia memang rada susah dilakukan karena Indonesia negara tropis. Teknologi memang sudah bisa menciptakan parfum yang bisa meredam aroma tak sedap manusia karena nggak mandi, tapi belum ada teknologi yang bisa mengusir rasa gerah karena nggak mandi. Jadi, besok-besok kita jangan telat bangun lagi."
"Tuh kan." Mata Claressa memicing melalui cermin. "Besok-besok kamu yang harus jangan telat lagi."
"Seandainya semalaman nggak nulis surat buat Tuan..." Elena mendesah. Ia memutar kepala memandangi kertas-kertas yang masih berhamburan di lantai kamar Claressa. Lalu beranjak demi mengumpulkan kertas-kertas itu. "Kita nggak mungkin telat, Non."
"Kenapa kamu nggak nyuruh Lola aja buat ngeberesin itu pagi tadi?" tanya Claressa memutar duduknya di kursi. "Lihat ini kamar aku masih berantakan."
Elena duduk di lantai dan memungut kertas itu satu persatu. "Nanti kalau dibaca Lola gimana, Non? Malulah saya. Makanya tadi saya pesan ke mereka untuk jangan masuk ke kamar Nona."
"Ehm..." Claressa mendehem dan mengusap dagunya. "Tapi, kira-kira Daddy mau datang nggak ya, Len?"
"Mana saya tahu, Non. Eh! Tadi pagi nggak Nona tanyain ke Tuan?"
Claressa mendesah. "Mana sempat aku nanya kalau kita buru-buru ke sekolah?"
Elena membenarkan perkataan majikannya seraya melihat setumpuk kertas yang sudah berada di tangannya. Ia mengamati kertas itu satu persatu dan dahinya mulai berkerut karena memaksa otak untuk mengingat. Lalu, ia berpaling pada Claressa yang masih bersidekap menatapnya. Elena menatap Claressa dengan tak yakin.
"Non," katanya kemudian. "Omong-omong, kemaren Nona jadinya ngasih surat yang mana buat Tuan?"
Mata Claressa seketika berkedip-kedip dan menghindari tatapan Elena. "Ehm... Yang mana ya?"
Elena bangkit. Kembali membolak-balik kertas itu. "Yang mana, Non?" tanyanya lagi. "Karena setelah saya liat-liat kok surat yang nggak ada di sini adalah surat yang paling bermasalah ya?"
"Nggak bermasalah kok. Menurut aku malah itu surat yang paling keren."
Kepala Elena pelan-pelan naik dan melihat Claressa yang duduk dengan mata berkedip-kedip dan bibir yang mengerucut.
"Jangan bilang..."
Senyum Claressa terkembang. "Bukannya lebih bagus memang surat yang bertuliskan: Dear Bapak Tirex?"
Mulut Elena menganga dengan kengerian yang tak mampu ia bayangkan. "Nona!"
Claressa tak mampu menahan tawanya ketika mendengar jeritan tak percaya Elena. Gadis itu benar-benar terlihat panik mendengar perkataan Claressa.
"Astaga, Nona!" Kedua tangan Elena naik dan memegang kepalanya. "Mampus saya mampus!"
"Hahahaha."
"Gimana bisa Nona bermain-main dengan nyawa saya? Ya Tuhan. Kalau saya mati nanti malam gimana?"
"Hahahaha."
"Kalau saya ditelan Tuan gimana?"
"Hahahaha."
Glek. "Ini saya beneran bakal jadi fosil dalam perut Tuan."
Dengan panik, Elena mondar-mandir di kamarnya. Mendadak keringat dingin membanjiri wajahnya. Bibirnya bergetar dan napasnya mendadak kacau bagai dipaksa lari marathon keliling Pulau Jawa. Sedangkan di pihak lain, Claressa justru masih tertawa-tawa dengan senangnya.
Elena menggigit kuku jari jempolnya. "Aku harus buat surat wasiat secepatnya. Argh! Beneran mati sebelum nikah ini ceritanya."
"Hahahaha."
"Non!" seru Elena menjatuhkan diri guna menyejajarkan tingginya dengan Claressa yang duduk. "Gimana nasib saya selanjutnya? Saya pasti dikubur idup-idup sama Tuan."
"Ck. Nggak usah ketakutan gitu, Len."
"Gimana saya nggak takut, Non? Nyawa saya di tangan Tuan. Sekali dia bilang bunuh," kata Elena seraya membuat gestur dengan telapak tangannya yang mengarah pada leher layaknya pisau yang siap mengiris batang lehernya. "Saya bakal mati beneran."
"Hahahaha."
Frustrasi, Elena hanya bisa menahan diri melihat majikannya tertawa terbahak-bahak. Ia terduduk lemas di lantai. Membenamkan wajah di puncak lutut dan merutuki kebodohannya. Walau bagaimana pun juga, Abrahamlah yang menggajinya di sini. Bukan Claressa.
"Tenang, Len. Nggak usah panik. Semua bakal baik-baik saja."
Elena mengangkat wajahnya. "Maksudnya?" tanya Elena tanpa sadar melihat bagaimana Claressa yang sedang memegang ponselnya yang tadi ia letakkan di atas meja rias Claressa. "Nona ngapain ponsel saya?"
Claressa tersenyum. Menampilkan layar ponsel Elena. "Lihat! Centang duanya sudah berubah warna jadi biru. Bentar lagi pasti dibalas."
"Nona ngirim WA ke siapa?"
"Daddy." Claressa tersenyum lebar. "Bapak Tirex yang baik hati, saya minta maaf untuk surat malam tadi. Jadi, apa Bapak akan datang?"
Roh terbang meninggalkan raga Elena.
"Tinggi saya 157 sentimeter, Non," kata Elena lesu. "Jaga-jaga kalau tukang gali kubur butuh ukuran badan saya."
*
Suara tawa itu terdengar begitu keras hingga mampu menyusup masuk ke dalam ruang kerja Abraham. Pria itu mengerutkan dahi, namun tangannya masih mencari-mencari map yang ia butuhkan di tumpukan kertas.
"Sudah aku bilang kan, harusnya biar Ilona saja yang mencari berkas itu. Kamu nggak perlu seperti ini, Ab."
Abraham mengabaikan perkataan itu. Terutama ketika telinganya kembali menangkap tawa yang serupa dari kamar putrinya.
"Ilona sedang sibuk."
"Itu risiko jadi sekretaris."
Abraham tanpa berpikir kemudian berkata. "Aku nggak suka orang lain menyentuh barang-barangku, Dan."
Dania tersenyum. "Termasuk aku?" tanyanya. "Sampai-sampai kamu nyusul aku ke rumah waktu kamu tahu aku akan mengambilnya sendiri?"
"Termasuk kamu."
Senyum masih terkembang di wajah Dania. Tepat ketika Abraham menyodorkan satu map tepat di depan wajahnya.
Dania bangkit dari duduknya dan mengambil map itu. Matanya menatap Abraham dengan tatapan yang tak malu-malu lagi. Satu tangannya yang bebas tampak naik merayap ke depan dada Abraham. Pria itu mengernyit.
"Ting!"
Abraham menarik diri dan berkata. "Sorry, ada pesan." Abraham mengeluarkan ponselnya dan mengerutkan dahinya ketika melihat ada satu pesan dari nomor yang tak dikenal di ponselnya.
Bapak Tirex yang baik hati, saya minta maaf untuk surat malam tadi.
Jadi, apa Bapak akan datang?
Dania mendekat. "Pesan dari siapa?"
Abraham segera memasukkan ponsel itu kembali ke sakunya. "Bukan pesan yang penting," katanya. "Aku pikir kamu sudah bisa kembali ke kantor. Berkas yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan."
Dania kembali tersenyum. Mengangguk sekali. "Kurasa ya. Tapi, mungkin aku akan menyapa Claressa sebentar."
Abraham dan Dania sama melirik ke arah pintu.
"Sepertinya Claressa sedang dalam suasana yang bagus. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengambil hatinya."
"Dan..."
Tangan Dania menyentuh tangan Abraham. "Lagipula, aku mendapat kabar dari Doni kalau Claressa terlihat mendorong temannya sewaktu pulang tadi. Dia perlu didisiplinkan, Ab."
Abraham menghela napas panjang. Tapi, sebelum ia sempat berkata apa pun, Dania sudah meraih tasnya dan beranjak keluar dari sana.
Dengan penuh percaya diri, Dania mendorong pintu kamar Claressa hingga terbuka lebar. Memungkinkan bagi Dania dan Abraham yang berada di belakangnya untuk melihat kekacauan di kamar Claressa.
"Len... Udah, nggak usah dipikirin. Semua baik-baik aja."
Claressa tampak tersengal ketika berdiri di tengah kasur. Gadis kecil itu terlihat sedang mengguncang-guncang tubuh Elena yang meringkuk di atas kasur dan menutupi wajahnya dengan bantal. Beberapa saat kemudian, ia baru menyadari kehadiran Dania dan Abraham di ambang pintu.
"Daddy..." Claressa meneguk ludahnya seiring dengan tawanya yang hilang. Ia kembali mengguncang tubuh Elena. "Len... Bangun, Len."
"Non! Kalau saya beneran dibunuh sama Tuan gimana? Nona nggak tahu sih gimana menyeramkannya Tuan waktu ngebentak saya malam itu. Merinding seluruh tubuh saya dibuatnya!" geram Elena dari balik bantal.
Claressa panik. "Len..., bangun." Kali ini Claressa berusaha menarik bantal itu.
"Saya ngomong Tuan itu Bapak Tirex bukan tanpa alasan, Non. Auman Tuan bahkan lebih menakutkan dari auman manusia srigala versi film Twilight. Benar-benar buat saya takut, Non. Hiks! Dan sekarang saya beneran bakal ditelan idup-idup sama Tuan. Digigit dan dimasukkan ke dalam usus besarnya."
Claressa semakin panik melihat wajah Abraham yang makin lama makin memerah. "Len!" desisnya tajam. "Bangun sekarang!"
Dengan mendengus, Elena bangkit seraya menarik turun bantal dari wajahnya. Matanya seketika melotot besar ketika tatapannya langsung tertahan tatapan tajam Abraham. Tapi, tak lama karena Abraham segera memutuskan untuk pergi dari sana.
"Mampus aku!" desis Elena tak berdaya. "Aku harap semoga shinigami yang datang bisa secakep Ichigo Kurosaki."
*
tbc...
hayo loh hayo...
kira-kira bakal mampus beneran ga tuh si Elena? 😂😂😂
pkl 19.12 WIB...
Bengkulu, 2020.03.28...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro