Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pertengkaran Tiga Perempuan

Selamat malam pecinta Elena dan Abraham di mana pun kalian berada... 😁😁😁

Pada nungguin kelanjutan cerita ini? Heheheh... makasih loh ya... 🤣🤣🤣

jadi, pokoknya selamat menikmati... 🤗🤗🤗

===========================================================================

Abraham dengan kesal membanting selimut lepas dari tubuhnya. Dahinya berkerut-kerut dengan emosi yang tak tertahankan ketika mendengar keributan itu. Terutama ketika terdengar suara teriakan Claressa.

Tunggu!

Abraham sepertinya baru menyadari sesuatu.

Untuk itulah ia secepat mungkin berlari keluar kamarnya. Ketika ia akan menuruni tangga, kakinya lantas berhenti melangkah.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana semua asisten rumah tangganya berkumpul di bawah. Pak Zulman berdiri dengan menutup mulutnya, pun begitu dengan yang lainnya. Seolah mencegah seruan kaget itu keluar dari mulut masing-masing.

Di tengah-tengah kerumunan tersebut, berdiri tiga sosok wanita.

Yang pertama, ada Claressa yang tampak mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat. Ia memandang murka pada Dania.

Sedang ada Dania, yang justru menatap Elena tanpa kedip. Tangan kanannya untuk beberapa detik masih mengambang di udara. Pertanda bahwa tangan itu baru saja melaksanakan tugasnya. Dan dengan bergetar, ia menarik turun tangannya seraya dadanya naik turun dengan luapan emosi yang tak terbantahkan lagi.

Dan yang terakhir, ada Elena yang--- Glek! Entah mengapa Abraham justru meneguk ludahnya. Mungkin karena gadis itu malah melihat padanya dengan sorot mata yang mampu membuat es di Kutub Utara mencair karenanya.

Elena menjanjikan kematian di sorot matanya yang menatap pada Abraham.

Tapi, tatapan itu kemudian buyar seketika. Saat Dania bergerak maju dan menggunakan kedua tangannya untuk mendorong tubuh Elena.

"Dasar wanita pelacur!" bentaknya. "Kamu pikir kamu secantik itu? Sampai berani menggoda Abraham? Apa nggak ada yang bisa kamu lakukan selain menggoda orang?!"

Lola segera beranjak pada Claressa, menarik majikan kecil itu agar ia tak mendengar kata-kata kasar yang Dania ucapkan.

Elena memandang Dania seraya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. "Tolong, Nona. Saya bukan pelacur."

Dania mendengus. Tangannya melayang sekali lagi, tapi kali ini Elena sudah siap. Ia akan menangkap tangan itu dan---

"Kamu lupa pintu rumah ini ada di mana, Dan?!"

Tangan Dania memang tidak sampai melayangkan tamparan berikutnya pada Elena, tapi itu bukan berarti Elena yang menangkap tangan itu.

Semua mata di sana menatap horor mendapati kehadiran Abraham yang langsung menangkap pergelangan tangan Dania. Semua kompak meneguk ludah dengan ketakutan.

"A-A-Ab..."

Abraham menyentak tangan Dania, melepaskannya dengan kasar. "Apa yang kamu lakukan? Menampar pengasuh anakku?! Di depan anakku?!"

Ragu-ragu, Dania berusaha mendekati Abraham. "Ab..." Ia geleng-geleng kepala. "Wanita ini perlu dikasih pelajaran..."

Elena menggeram rendah.

"Aku nggak mau dia berpikir sedikit pun untuk ngerebut kamu dari aku..."

Abraham memejamkan matanya dengan dramatis. Satu tangannya berkacak di pinggang dan satu lagi memijit pelipisnya.

"Saya nggak ada mau merebut Tuan dari Nona!" tukas Elena. "Sembarangan saja kalau ngomong!"

Dania berpaling pada Elena. "Tutup mulut kamu cewek gatal!"

"Dania cukup!!"

Bentakan Abraham membuat Elena dan Dania kompak sama-sama menutup mulutnya.

"Aku rasa kamu lebih baik pulang dulu sekarang."

"Ka-Ka-Kamu ngusir aku, Ab?" tanya Dania tak percaya. "Hanya karena cewek ini?"

Abraham tak menjawab pertanyaan Dania. Dan itu membuat wanita itu menjadi berang dan kembali beralih pada Elena.

Ia dengan cepat meraih rambut Elena. Semua orang sontak menjerit kaget. Tak terkecuali Elena.

Gadis itu menggigit bibirnya ketika rambut panjangnya yang ia sanggul diraup kasar oleh sepuluh jari Dania. Belum selesai dengan itu semua, Dania menyentak-nyentak rambut itu hingga kepala Elena terasa pusing.

Claressa menjerit. Melepaskan diri dari Lola dan berlari untuk memukul Dania. Tapi, Dania bergeming. Abraham pun tak tinggal diam. Ia berusaha menarik tubuh Dania untuk melepas dari Elena.

Tapi, wanita cantik itu seperti memiliki tenaga ekstra sehingga sulit untuk dilepaskan. Hingga kemudian, menyadari bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa lagi, Elena menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya terangkat ke atas, memegang kedua pergelangan tangan Dania dari dalam, lalu memutir keluar kedua pergelangan tangan itu.

"Aaaaah!"

Semua orang bingung ketika mendengar lirihan sakit bukan dari Elena, tapi justru dari Dania. Wanita itu merintih ketika tangannya diputir oleh Elena hingga jambakannya terlepas. Lalu, dengan penuh emosi Elena membanting kedua tangan itu.

Bibir Dania bergetar dengan kemarahan yang tak terkira. Belum berniat untuk menyerah, ia kembali mencoba menampar Elena.

Elena dengan sigap menangkap tamparan itu dengan tangan kirinya dan segera melayangkan serangan serupa dengan tangan kanannya.

"PLAAAKKK!"

Claressa terkesiap seraya menutup mulut dengan mata yang melebar besar. Abraham pun tak kalah kagetnya.

Elena menarik napas panjang sekali. Menahannya di dada. Lalu melepasnya dengan perlahan.

"Jangan coba-coba narik rambut saja, Nona. Ini udah saya rawat dari kecil," geram Elena. "Dan saya ingatkan lagi, saya nggak ada menggoda Pak Abraham. Apa yang saya lakukan tulus untuk ngerawat dia yang lagi sakit." Elena mendengus. Meraba rambutnya yang acak-acakan dengan mata yang memerah.

"Kamu be-berani nampar saya?!"

"Semua orang jadi saksi kalau Nona duluan yang nampar saya!" bentak Elena. "Saya nggak pernah nyari masalah, Non. Tapi, bukan berarti saya nggak bisa ngelawan!"

Elena merapikan rambutnya seadanya.

"Terserah Nona mau mikir apa, tapi semua yang saya katakan itu jujur!" lanjut Elena. Ia mengedip-ngedipkan matanya yang terasa menghangat. "Ah!" Ia kemudian memutar tubuhnya.

"Kamu mau ke mana, Len?" tanya Claressa ketika melihat Elena beranjak ke pintu.

"Maaf, Non. Saya mau pergi."

Lalu, secepat mungkin Elena justru berlari dari sana. Meninggalkan jerit kepanikan Claressa.

"Daddy!" jerit Claressa. "Elena pergi!"

Abraham meninju udara. Menatap kesal pada Dania. "Kamu pulang sekarang, Dan!"

Dania menatap Abraham dengan mata yang berkaca-kaca.

*

"Dark chocolate float, avocado float, mango float, pepsi, kentang goreng dua porsi, dan burger original juga 2. Berapa semuanya?"

Rinda terbengong-bengong. "Ini kamu, Len?"

Elena menatap Rinda seraya meringis. "Bukan. Ini kembarannya Cinta Laura," katanya. "Please, I am so starving to death. Bisa agak cepetan dikit ya, Mbak?"

"Ewww." Rinda mencibir mendengar suara Elena yang meliuk-liuk ketika mencoba meniru gaya bicara Cinta Laura. "Itu lidah keseleo baru tahu rasa."

Elena cemberut. Membiarkan Rinda menerima dan menghitung pesanannya. Sekilas, Rinda melirik ke belakang.

"Kamu sendirian?"

"Yuhu."

"Sial!" lirih Rinda. "Abis ada masalah apa?"

Bola mata Elena memutar-mutar.

"Total semuanya seratus enam puluh enam ribu rupiah."

Elena menyerahkan ponselnya. Rinda menerimanya dan menuntaskan pembayaran tersebut dengan e-wallet.

Seraya menyerahkan struk pembayaran dan ponsel Elena, Rinda kembali bertanya. "Kamu abis ribut dengan siapa?" Lalu, mata Rinda membesar. "Adudududuh! Pipi kamu kenapa?"

Elena menggeleng malas. Ia justru beranjak dan mengambil duduk di pojokan. Kebetulan sekali karena suasana sedikit sepi saat itu.

Elena mengangkat ponselnya dan becermin di sana. Ia menggerutu sebal melihat keadaan pipinya yang memerah. Tak henti-hentinya ia mengumpat Dania.

Rinda mengantarkan pesanan Elena dengan tergesa-gesa. Dengan pelayanan ekstra, menyusun pesanan itu di atas meja. Lalu, duduk di sana.

Elena tak menghiraukan Rinda. Ia meraih dark chocolate float-nya, mengaduk minuman itu sejenak dan menyeruput isinya melalui sedotan yang tersedia.

Beberapa saat, Rinda tak mengatakan apa pun selain mengamati bagaimana lahapnya Elena makan. Seraya menikmati minumannya, ia pun meraup kentang goreng. Mengunyahnya cepat, lalu beralih pada burgernya.

Rinda meneguk ludahnya melihat Elena makan.

"Kamu baik-baik aja, Len?"

Mata Elena melirik.

Deg!

Sekilas membuat Rinda ketakutan.

"Memangnya ada wanita yang baik-baik saja makan kayak setan kesurupan iblis gini?"

Rinda meringis. Ini beneran lagi ngamuk si Elena.

Jadi, Rinda dengan penuh bijaksana membiarkan Elena meneruskan makannya dengan nyaman. Sedangkan dirinya, yang beruntung bisa meminta Naya, rekannya, untuk menggantikan dirinya sejenak di meja pemesanan, dengan diam mengamati setiap gerak-gerik Elena.

Gadis itu kembali meminum dark chocolate float-nya. Ia nyaris tersedak ketika menelan burger yang belum ia kunyah sepenuhnya.

Rinda memutar kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka. Ada pelanggan lagi, pikirnya. Wowow! Pelanggan yang satu ini boleh juga.

"Len," panggil Rinda dengan suara rendah. "Gila! Ada pelanggan cakep banget."

Elena tak menghiraukan perkataan Rinda. "Bodoh ah!" Ia mencolet kentang goreng ke saus sambal. Menyelipkannya di roti burger, lalu baru menggigitnya.

"Astaga, Tuhan!"

Rinda menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Aku kok berasa liat ada aktor Hollywood mendadak muncul di sini."

Glek.

Rinda berkali-kali meneguk ludahnya. Terutama ketika si Pelanggan yang belum juga menuju ke meja pemesanan, justru berdiri di depan pintu dengan jarak yang aman mengantisipasi pelanggan lain yang mungkin akan keluar masuk. Ia tampak mengedarkan pandangannya berkeliling. Dan demi Tuhan! Rinda terkesiap tak percaya ketika pelanggan tampan itu menajamkan mata ke arahnya.

"Ya Tuhan," desis Rinda. "Kayaknya dia mau ngajak aku kenalan deh."

Elena mencibir. Kembali menyeruput minumanya, seraya membiarkan satu tangannya memegang burger dan tangan lainnya meraih kentang goreng. Colet sedikit ke sambal, selanjutnya---

"Elena."

Rinda menganga.

Elena menolehkan wajahnya ketika mendengar namanya disebut. Dan wajah itu sukses membuat ia tersedak burger!

"Huuukkk!"

Secepat mungkin Elena menarik mulutnya dari sedotan dan melepas burger serta kentang goreng dari kedua tangannya.

Ya Tuhan! Bagaimana bisa Bapak Tirex ngeliat aku lagi dalam mode makan bayi Dinosaurus nggak dikasih makan satu minggu gini?

"P-Pak..." Elena melirih dengan terbatuk-batuk.

Pelanggan cakep yang dikatakan Rinda, yang tak lain adalah Abraham adanya panik mendapati Elena yang tersedak. Ia segera mendekat. Menyodorkan pepsi pada Elena.

Gadis itu meraihnya dengan wajah memerah. Meminumnya dengan cepat dan menyadari bahwa karena peristiwa tersedak itu membuat mata dan hidungnya membasah.

Gila!

Aku nggak mendadak ingusan kan?

Panik dengan keadaannya yang memalukan, Elena bangkit.

"Kamu mau ke mana, Len?" tanya Abraham cepat. "Saya harus ngomong ke kamu."

Elena geleng-geleng kepala. Lalu, menutup mulut dan hidungnya dengan satu tangan dan menggunakan tangan lainnya untuk menunjuk ke belakang.

"Toi...let."

Abraham melepaskan tangannya dari Elena. Membiarkan gadis itu untuk pergi dengan tatapan tak berdaya.

"Ehem."

Abraham menoleh dan baru menyadari bahwa ada wanita lain yang duduk di sana. Ia balas mendehem pelan, lalu tersenyum samar.

Rinda membalas dengan senyum lebar. "Duduk aja dulu, Pak."

Abraham ragu-ragu meraih satu kursi dan duduk di sana. Ketika ia telah duduk, ia mendapati uluran tangan Rinda.

"Rinda," katanya. "Saya teman Elena dari zaman Suzanna masih suka beli sate madura."

Abraham tersenyum kecut. "Abraham Rhodes," katanya seraya menarik lagi tangannya setelah jabatan singkat itu.

"Astaga!" kesiap Rinda. "Ternyata Bapak. Wah! Memang pantas banget Elena bilang kalau bapak majikannya ganteng."

Tanpa ada angin tanpa ada hujan, Abraham terbatuk. Ketika ia mengangkat wajah, ia mendapati Rinda menutup mulutnya.

"Ups! Saya keceplosan," katanya geli. Lalu, angguk-angguk kepala. "Tapi, itu memang Elena loh yang bilang."

Abraham meringis.

"Bapak ngapain ke sini?" tanya Rinda. "Mau makan bareng Elena ya?"

Abraham menoleh pada dua porsi makanan di atas meja. Ia menatap Rinda dengan bingung. Apa Elena tahu kalau dirinya menyusul gadis itu?

"Soalnya ini dua porsi makanan cuma memiliki dua kemungkinan, Pak," kata Rinda.

Abraham menunggu kelanjutan kalimat Rinda, tanpa sadar bahwa mereka berbicara layaknya orang yang memang sudah saling mengenal. Tapi, bukankah itu memang kemampuan alamiah seseorang yang bekerja dengan melayani orang lain? Terbiasa berperilaku friendly terhadap siapa pun.

Rinda menarik napas panjang seraya mengangkat kedua jarinya. "Untuk Elena, makanan dua porsi bisa berarti: dia akan makan dengan orang lain atau..." Rinda menjeda ucapannya dengan sedikit dramatis. "... justru ia sedang menahan emosi agar tidak memakan orang lain."

Mata Abraham berhenti berkedip. Ia kembali batuk sekali, hingga kemudian Rinda kembali bertanya.

"Dia lagi ada masalah dengan Bapak atau dengan siapa?"

"Ehm..."

Rinda memainkan mulutnya menjadi beberapa bentuk abstrak. "Yah, nggak mau dijawab juga nggak apa-apa sih. Cuma saya mau ngomong aja, Pak."

"Apa?"

"Elena itu ya," lanjut Rinda, "walau keliatan anaknya lembut---"

Lembut dari mananya? tanya Abraham.

"--- sebenarnya dia justru cewek paling keras kepala yang pernah saya temui."

Wajah Abraham berubah.

"Benar-benar keras kepala." Rinda mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah. "Memang, nggak ada orang yang ngira dia kayak gitu. Kalau Bapak panjang umur, ntar Bapak bisa liat buktinya."

"Mak---"

"Naya manggil kamu, Rin."

Ucapan Abraham terputus.

Rinda dan Abraham kompak mengangkat wajah dan melihat wajah Elena yang terlihat lebih segar setelah dibasuh dengan air.

Mendengar perkataan Elena, Rinda hanya manyun seraya berdiri. "Giliran ada cowok cakep aja aku diusir." Ia menghela napas dan berkata pada Abraham. "Bapak mau saya bawain air mineral?"

Mata Elena melotot mendengar pertanyaan itu dan mendelik hingga akhirnya Rinda pergi dari sana. Dengan berusaha menjaga raut mukanya agar terlihat lebih netral, Elena meraih kursi yang diduduki Rinda tadi.

"Ba---"

"Ka---"

Eish! Elena ingat persis bahwa ini adalah salah satu adegan kolosal di drama Korea yang pernah ia tonton. Terlalu klasik, tapi ternyata memang bisa terjadi di kehidupan nyata.

Elena dan Abraham sama-sama mendehem kemudian.

"Sa---"

"Sa---"

Elena dan Abraham lagi-lagi mendehem setelahnya. Lalu, Elena mengambil waktu yang tepat untuk berkata.

"Bapak silakan kalau mau ngomong."

"Ladies first."

"Yang tua lebih dulu, Pak."

"Yang tua ngalah ke yang muda."

Bibir Elena berkedut dalam keinginannya untuk mengumpat. Kesal, Elena meraih kentang gorengnya dan mengunyahnya.

"Bapak ngapain ke sini?"

"Karena kamu ke sini."

"Eh?"

Abraham menarik napas seraya berusaha merilekskan punggungnya. "Kamu mau berenti kerja?"

Elena mengerjap-ngerjap. "Siapa yang bilang, Pak?" tanya Elena cemas. Dirinya benar-benar bodoh kalau sampai melepaskan pekerjaan dengan total gaji tiga puluh juta sebulan.

"Kamu pergi dari rumah," kata Abraham. "Saya pikir kamu mau berenti kerja."

Bola mata Elena berputar-putar, entah berapa kali putaran. Untung ia tidak sampai pusing.

Elena menumpuk kedua tangannya di atas meja. "Jelaslah saya pergi. Memangnya saya mau ngambil risiko meladeni Nona Dania begelut?" tanya Elena. "Saya masih waras untuk nggak benar-benar menghajar cewek itu setelah ngomong saya pelacur dan segala macam."

Abraham terbatuk.

"Bapak masih sakit?" tanya Elena seraya mengulurkan tangan, tapi detik selanjutnya ia tersadar sesuatu. Ia menarik kembali tangannya. "Serah deh mau sakit atau sehat." Elena mengerucutkan mulutnya. "Gara-gara ngerawat Bapak saya jadi dituduh yang nggak-nggak sama cewek Bapak itu."

"Dania bukan cewek saya."

Elena kembali mengerucutkan mulutnya. "Tapi, bukan itu intinya, Pak," kata Elena dengan gagap. "Bapak nggak ngeliat apa semarah apa Nona Dania sama saya? Memangnya apa sih yang Bapak bilang ke dia?"

"Menurut kamu apa?" balas Abraham. "Saya hanya ngomong jujur tentang yang terjadi semalam."

Mata Elena menyipit.

"Tentang kita yang tidur bareng," kata Abraham. "Tapi, kamu di bawah dan saya di atas."

Dan perkataan Abraham tepat selesai ketika Rinda datang mendekat dengan nampan di tangan yang membawa segelas air putih. Dari sekian banyak kosakata yang ada di dalam kamus bahasa Inggris Hassan Shadily, ia justru memilih satu kata yang begitu tepat.

"Shit!"

Elena dan Abraham kompak menoleh dan mendapati Rinda yang menganga lebar. Bahkan sapi yang hamil mungkin bisa masuk dalam mulutnya.

"Kalian udah tidur bareng?"

Ah, mungkin sebaiknya mereka menghubungi Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Sekalian saja seluruh warga se-Indonesia Raya tahu kalau mereka tidur bersama.

*

tbc...

ehm guys... cuma mau ngomong, untuk part selanjutnya... itu bakal full Elena dan Abraham... jadi, update-tan besok yaaaa... hehehhe 🤣🤣🤣

pkl 20.18 WIB...

Bengkulu, 2020.04.05...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro