Perlahan Berubah
yang nungguin part 38, cuuuung tangan 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
hahahahah... pas aku ngetik hari ini, aku iseng-iseng ngecek kan. ternyata cerita ini udah 209 halaman. ya salaaaam... padahal niat awalnya tuh cuma mau buat sekitar 150 halaman aja deh, makanya dari awal alurnya cepet. tapi, kok malah kebablasan sampe sejauh ini... 🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️
hiksss...
semoga aja kalian ga bosan yaaa... 🤗🤗🤗
nah, untuk kali ini, yang mau baca, vote dulu doooong... hahahha... dan tinggalkan komen kalian yaaaa... 😘😘😘
===========================================================================
Pak Ridwan mengambil posisi dan menatap para orang tua dan murid bergantian dengan tersenyum lebar.
"Terima kasih, Bapak Ibu sekalian, serta para siswa kami yang tercinta," katanya kemudian. "Kita sudah melalui acara ini dengan sukses dan penuh kesan. Dan sebelum acara ini saya tutup, saya akan memberikan hadiah untuk Juara Favorit tahun ini."
Bahkan sebelum Pak Ridwan menyelesaikan kata-katanya, Claressa dengan penuh percaya dirinya beranjak dari kursinya dan berjalan ke depan. Semua orang tertawa. Apalagi Abraham dan Elena. Keduanya terbahak. Ingin menarik Claressa pun percuma ketika gadis kecil itu mengacungkan lima medali perlombaannya kemaren.
"Ada yang tidak sabaran sepertinya," kata Pak Ridwan tergelak. "Baiklah, Juara Favorit kita tahun ini adalah Claressa Rhodes."
Claressa mendekat pada Pak Ridwan. Menyilakan kepala sekolahnya untuk mengalungkan medali Juara Favorit di lehernya. Tepuk tangan meriah membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.
"Terima kasih, Pak."
Pak Ridwan mengusap kepala Claressa. Beberapa saat ia tertegun, bingung seraya menatap para guru bergantian, lalu pada Claressa lagi. "Ehm, Claressa sudah boleh duduk lagi kok."
Claressa menengadahkan kepalanya. "Aku nggak ngomong dulu, Pak?"
"Ngomong?"
Tangan Claressa menunjuk microphone Pak Ridwan. "Kalau di televisi, yang juara selalu ngomong, Pak."
"Hahahaha!"
Tak ada seorang pun yang tak tertawa. Claressa tetap menatap Pak Ridwan. "Nggak ya, Pak?"
Pak Ridwan berusaha menahan tawanya. "Ya boleh, boleh. Claressa mau ngomong apa?" tanya Pak Ridwan seraya menyerahkan microphone-nya pada gadis itu.
Claressa memegang microphone itu dengan kuat. Lalu menghadap pada semua orang. "Ehm, tadi aku mau ngomong apa ya, Len?"
"Hahahaha!"
Elena memeluk perutnya yang terasa begitu geli. Abraham di sebelahnya pun terbahak-bahak.
"Ah!" Claressa mengangguk-angguk. "Aku ingat."
"Hahahaha!"
"Tadi aku mau ngomong terima kasih ke Daddy," kata Claressa. "Tapi, nggak jadi."
"Eh? Hahahaha."
Abraham geleng-geleng kepala seraya tersenyum geli.
Pak Ridwan mendekat. "Kenapa nggak jadi?"
"Aku mau makasih sama Elena aja, Pak."
Elena menunjuk dirinya sendiri dengan tatapan tak percaya pada Claressa, tertawa. Abraham bertepuk tangan di sebelahnya.
"Soalnya Elena baik banget sama aku, Pak," kata Claressa mengerjap-ngerjapkan matanya. "Makasih ya, Len."
Elena melambai-lambai dari tempat duduknya.
"Sudah?"
Claressa menggeleng. "Dad," katanya kemudian, "tahun depan ikut lagi ya? Biar aku bisa menang lagi."
Abraham mengangguk.
"Janji ya, Dad?" tanya Claressa. "Nggak boleh bohong loh."
Abraham tertawa dengan pandangan berkabut. Lalu, mengangguk lagi.
Claressa beralih pada Pak Ridwan, menyerahkan microphone dan berterima kasih sebelum berlari menghampiri Abraham.
"Daddy janji loh tahun depan ikut lagi."
Abraham mengangguk. "Iya, Sa. Daddy janji."
Tangan Claressa bergerak melepas medali favoritnya dari lehernya. Lalu, mengisyaratkan pada Abraham agar menundukkan kepalanya.
"Eh? Ini untuk Daddy?" tanya Abraham ketika putrinya mengalungkan medali itu padanya. "Ini kan medali favorit kamu, Sa."
Claressa tersenyum, menggeleng. "Medali favorit aku itu bukan medali, tapi Daddy."
Abraham tertegun. Sudah cukup kuat ia menahan desakan air matanya saat Claressa meminta ia kembali ikut tahun depan, tapi kalau seperti ini?
Elena tersenyum dalam diamnya. Melihat Claressa merapikan posisi medali itu di leher Abraham. Majikannya itu kemudian kembali berkata.
"Makasih, Daddy Sayang."
Dan ucapan manis itu ditutup dengan satu ciuman di pipi Abraham.
*
"Kamu sudah tahu?"
Abraham menanyakan itu seraya menoleh ke sebelah. Tepat ketika ia harus sedikit menurunkan kecepatan laju mobilnya. Saat ini mereka tengah berada di jalan pulang.
Elena menoleh. "Tahu apa, Pak?"
Abraham meraba medali di lehernya dan sontak saja membuat Elena tersenyum geli.
"Medali itu, Pak?"
Abraham mengangguk. Lalu, teringat percakapan mereka semalam.
Yang penting Bapak dan Claressa saling mempedulikan. Bapak diam-diam melihat Claressa yang tidur. Sedang Claressa yang selalu membayangkan Bapak untuk hal-hal yang ia lakukan.
Pria itu lantas mengembuskan napas panjang, berkata dengan lirih. Lebih ke dirinya sendiri. "Kamu sudah tahu."
Elena tersenyum. "Nona mengatakan kalau dia ingin Bapak melihatnya menang. Saya pikir tentu Nona berpikir untuk membuat Bapak tidak menyesal ikut acara ini."
Senyum sendu terukir di bibir Abraham. Membayangkan tiga tahun berlalu tanpa memanfaatkan kesempatan melihat hal itu sebelumnya. Ia menyia-nyiakan waktunya.
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Abraham, Elena membiarkan pria itu untuk menikmati pikirannya sendiri untuk beberapa saat sebelum berujar. "Bapak masih memiliki tahun-tahun selanjutnya."
Abraham menarik napas panjang.
"Tahun depan... tahun depannya lagi... dan tahun-tahun berikutnya," kata Elena tersenyum. "Banyak tahun-tahun yang akan Bapak lalui dengan Nona. Bapak hanya perlu menikmati masa-masa yang masih ada tanpa menyesali yang telah berlalu."
Abraham tersenyum kecil. "Sepertinya kamu benar-benar menikmati hidupmu."
"Saya?" Elena tergelak kecil. "Gimana lagi, Pak. Nggak dinikmati juga hidup bakal terus lanjut. Ya tinggal dinikmati aja."
"Aku akan mencobanya."
Dahi Elena berkerut. "Sekarang kalau saya perhatikan, sepertinya..."
Abraham menoleh. "Apa?"
"Sejak kapan?" tanya Elena. Ia memaksa otaknya berpikir.
"Apa?" tanya Abraham lagi.
Kerutan di dahi Elena semakin dalam. Kalau dia tidak salah mengingat. "Sejak semalam..?"
"Apa sih?" tanya Abraham menggeram. "Kamu lagi ngomongi apa? Apanya yang sejak semalam?"
Elena memutar duduknya. Jarinya spontan menunjuk. "Ah, benar!"
Geram, tangan kiri Abraham naik dan menangkap telunjuk Elena. "Apa yang benar?"
Elena menatap Abraham. "Sejak kapan Bapak ngomong nggak formal sama saya?" tanya Elena. "Pake aku kamu. Bukan saya kamu lagi?"
"Oh." Abraham melirih pendek. Matanya berkedip-kedip. "Ehm... mungkin... sejak semalam."
"Tuh kan benar. Sejak semalam," kata Elena dengan tatapan menyelidik. "Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?"
"Kenapa nggak formal lagi?"
"Untuk apa formal lagi?"
Elena mengatupkan mulutnya rapat-rapat. "Bapak ini ternyata memang orang yang tipe seperti ini..."
"Memangnya aku ini tipe orang yang kayak gimana?"
"Suka menjawab pertanyaan dengan pertanyaan dan menarik kesimpulan dengan pertanyaan yang berbeda," kata Elena seketika mendadak memasang tampang ngeri.
Abraham menyeringai. Sepenuhnya menyadari bahwa yang dikatakan Elena benar. Ia memang seperti itu.
"Memangnya apa salahnya dengan menjadi orang yang bertipe seperti itu? Nggak ada kan?"
"Walaupun menjadi orang yang bertipe seperti itu nggak salah, tapi bukan berarti ngomong nggak formal dengan saya itu benar, Pak."
Abraham menggunakan jemari tangan kirinya untuk mengusap dagunya yang dipenuhi oleh bakal jambang. Elena meneguk ludah. Ugh! Jadi mau usap-usap juga.
Elena menggeleng pelan. Menepis pikiran itu jauh-jauh dari benaknya.
"Memangnya salahnya di mana?" tanya Abraham. "Setelah yang kita lakukan semalam, menurut saya justru salah kalau saya masih bersikap formal dengan kamu."
"Hukkk!"
Elena mengipasi wajahnya dengan tangan. Abraham menyeringai melihat Elena yang merona karena perkataannya.
"Benar kan?"
Elena menggerutu. "Ini kenapa dari tadi benar salah benar salah? Yang kayak lagi ujian aja."
"Kamu yang mulai."
"Sa---"
Tangan Abraham bergerak. Jari telunjuknya menahan gerakan bibir Elena. "Menurut kamu pantas kita bersikap formal setelah malam tadi?"
Ugh. Dibahas lagi.
"Lagipula, ini semua aku lakukan juga buat kamu kok."
Dahi Elena berkerut.
"Biar kamu nggak perlu manggil Bapak lagi ke aku---"
Mata Elena melotot.
"---Kan kamu mau manggil aku Abang." Abraham tak mampu menahan desakan tawanya untuk meledak.
Elena menjerit. Lalu, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Eh! Kamu jerit-jerit ntar dikira orang aku lagi nyulik kamu."
Elena menggeram. "Aku bilang aja kalau aku memang diculik."
Mata Abraham mengerjap-ngerjap. Lalu menarik tangan Elena dari wajah gadis itu. Ia memicing. "Diculik masuk ke hati aku heh?"
Tawa Abraham tak henti-hentinya menggoda Elena yang semakin memerah.
"Berenti aja deh. Biar aku naik bus Claressa."
"Nah, lihat!" kata Abraham tak menghiraukan perkataan Elena. "Kamu juga ngomong nggak formal lagi kan ke aku?"
"Wah!" Elena tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. "Ini beneran Bapak Tirex yang biasanya?" tanya Elena menyelidik. "Ini bukan Bapak Tirex yang aku kenal selama ini."
"Memangnya yang kamu kenal yang seperti apa?"
"Yang aku kenal, Bapak Tirex itu ganas."
Abraham menoleh. Menyipitkan matanya dan berkata dengan suara dalam. "Kamu mau ngeliat keganasan aku?"
Wajah Elena sontak kaku total.
Deg.
"Beneran mau?"
Glek.
"Memangnya kamu yakin sanggup ngelawan keganasan aku?"
Oh, Tuhan...
Elena mengap-mengap.
Astaga! Aku bener-bener nggak bisa napas lagi. Persis ikan yang tenggelam. Eh, salah. Maksudnya ikan yang kekurangan air.
Tuh kan.
Akal sehat Elena benar-benar tidak tertolong lagi.
Di sebelahnya, Abraham hanya terkekeh geli melihat wajah merah padam Elena.
*
Elena sangat bersyukur karena pada akhirnya perjalanan pulang mereka dilengkapi oleh Claressa. Ia tak habis pikir apa nyawanya masih bisa bertahan di badan andaikan ia benar-benar menghabiskan sepanjang perjalanan itu berdua saja dengan Abraham.
Sungguh!
Ia tak menyangka Abraham seperti itu.
Maka tak heran bila rasa syok yang melanda dirinya membuat ia nyaris bisa dikatakan melompat ketika mobil telah sampai di pelataran rumah. Secepat kilat Elena menarik travel bag miliknya dan Claressa, lalu melesat masuk ke rumah dalam hitungan menit yang sangat mengagumkan.
Abraham mau tak mau mengulum senyum melihat kelakuan Elena yang terlihat dengan jelas ketakutan karena ulahnya.
Kamu sih, Ab, ngomong kok nggak pake dipikir dulu. Kan jadi ketakutan tuh cewek.
"Dad?"
Panggilan Claressa membawa Abraham kembali ke dunia nyata. "Iya?"
"Daddy istirahat ya. Besok kan Daddy kerja."
Abraham tersenyum. Mengajak putrinya untuk masuk, mengantarnya ke kamar. "Kamu juga ya. Istirahat dulu."
Claressa mengangguk patuh.
Sekilas, Abraham mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar Claressa, tapi Elena tak terlihat. Hingga kemudian pria itu tersenyum melihat pintu kamar mandi Claressa yang tertutup.
Abraham beranjak. Menutup pintu kamar itu sedikit lebih keras sebagai pengirim pesan untuk gadis yang bersembunyi di dalam kamar mandi.
Elena mendengarnya dan merutuk.
Dasar, eh si Abang ternyata tahu.
Ia tergelak ketika dengan sengaja menggunakan panggilan abang. Semacam kepuasan batin untuk mengejek dirinya sendiri.
Claressa memandang heran pada Elena yang keluar dari kamar mandinya. "Eh, kamu di kamar mandi, Len?"
Elena nyengir. "Cuci muka bentar, Non. Oh iya, Nona tidur aja. Saya keluarkan dulu pakaian kotornya biar bisa dicuci Intan."
Claressa mengiyakan. Setelah ia membersihkan diri seadanya dan mengganti pakaian, ia lantas memutuskan untuk tidur siang menjelang sore.
Setelah memilah pakaian kotor Claressa, Elena beranjak turun. Berencana untuk memberikannya pada Intan agar segera dicuci, namun yang ia dapati adalah siaran langsung gosip terhangat.
"Eh, Elena! Udah pulang!"
"Gimana liburannya?"
"Pasti seru ya?"
Elena memutar-mutar bola matanya. "Ya begitulah. Lumayan buat segar kembali otak."
Gadis itu meletakkan pakaian Claressa di ember dan melihat bahwa pakaian Abraham juga telah berada di satu ember lainnya.
"Jadi," kata Lola seraya menarik tangan Elena untuk duduk, "ada hal menarik apa tentang Tuan selama liburan?"
Mata Elena berkedip-kedip. "Hal menarik apa?"
Intan yang kemudian menjawab. "Mungkin dia dapat telepon dari pacarnya mungkin. Atau sering chat gitu?"
"Pacar..."
Mereka bertiga menangkap nada tak yakin dari perkataan Elena.
"Kamu ingat kan waktu Intan cerita soal lipstik di baju Tuan?" tanya Bu Siti mengingatkan.
Elena mengangguk.
"Jadi," kata Intan, "apa pemilik lipstik ini menelepon Tuan selama di sana?"
Mata Elena mengerjap-ngerjap. Tak yakin harus berkata apa. Tapi, ia tidak ingin menambah catatan dosanya dengan berbohong. Jadi ia menjawab.
"Tidak."
Toh, pemilik lipstik itu memang tidak menelepon Abraham selama di Puncak.
Ketiga dahi itu mengerut.
"Sibuk balas chat?"
Elena kembali menjawab. "Tidak."
Mereka kompak mengusap-usap dagu. Bingung.
"Tapi, nggak mungkin Tuan nggak punya pacar," kata Intan.
"Benar. Aku aja yang cuma sekilas aja bisa ngeliat kalau Tuan benar-benar pasti lagi jatuh cinta," imbuh Lola.
"Eh? Memangnya kenapa?"
Bu Siti menghela napas panjang. "Karena setelah kami pikir-pikir lagi, sepertinya Tuan yang lama balik lagi."
"Tu-Tuan yang lama?"
Mereka bertiga kompak menopang dagu di atas meja. Bu Siti yang kemudian kembali berkata.
"Dulu, Tuan nggak menakutkan kayak gini. Walau Tuan nggak seperti Tuan Jack, tapi Tuan ya tetap baik."
"Dia ramah, sering menyapa, dan nggak jarang juga menemani Tuan Jack latihan," sambung Intan.
"Tapi, semenjak artis sialan itu selingkuh, Tuan berubah langsung. Rumah ini yang semula istana berubah menjadi rumah hantu," tambah Intan.
Elena manggut-manggut mendengar penjelasan itu, tapi sama sekali tidak menimpali.
"Jadi, ini pasti ada kaitannya dengan pemilik lipstik itu," kata Intan yakin.
"Oh. Ha-ha." Elena tertawa kaku dan meneguk ludahnya. "Aduh... pemilik lipstik..."
"Kamu tahu?" tanya Lola. "Tuan bahkan bawain kami cemilan."
Elena melirik cemilan di atas meja. Makanan itu tadi memang mereka beli ketika mengisi minyak di SPBU. Tangan Elena lantas meraih kacang dan membukanya.
"Aku jadi penasaran. Kira-kira kapan ya Tuan akan menikah lagi?"
"Huuuukkk!"
Sial!
Elena tersedak kacang!
*
Elena benar-benar merasa gila sekarang!
Menikah?
Astaga!
Aku tidak mungkin membayangkan kalau aku akan menikah dengan dia kan? Oh, Tuhan! Yang benar saja. Itu pasti nggak mungkin terjadi. Dan kalaupun sampai terjadi, itu tandanya dunia akan kiamat sebentar lagi.
Semalaman memikirkan perkataan Intan benar-benar membuat rasa gilanya semakin menjadi-jadi. Dan pagi ini, Elena terbangun dengan dua kantung mata. Ia sebisa mungkin menyamarkannya sebelum beranjak menuju ke kamar Claressa.
Menikah dengan Bapak Tirex?
Ia geleng-geleng kepala.
Lagipula, Bapak Tirex tidak mungkin akan menikahiku kan? Memangnya kenapa juga dia akan menikahiku?
Jantung Elena berdebar.
Karena ciuman itu? Atau karena perasaan... ehm...
Elena meneguk ludahnya.
Teringat perkataan Abraham yang mengungkapkan perasaannya.
Sial!
Ini tidak hanya akan berakhir buruk. Tapi, ini benar-benar akan berakhir dengan menyedihkan.
Ya ampun, Elena. Kurang gede apalagi kaca di kamar sampe-sampe kamu nggak bisa becermin?
"Nona mau dikuncir gimana rambutnya?" tanya Elena ketika sudah mendapati Claressa yang selesai mengenakan seragamnya.
"Suka-suka kamu aja, Len."
Elena meraih sisir dan menguncir dua rambut Claressa yang telah memanjang. Dengan cekatan ia memasang pita di dua kuncir itu.
Ponsel Elena bergetar di dalam kantung celananya.
"Bentar, Non."
Claressa mengangguk. Lalu bangkit dari kursinya. Beranjak untuk kembali mengecek buku pelajaran di dalam tas ranselnya.
Kamu sudah selesai ngurusin Claressa?
Kalau sudah sini dulu bantuin aku bentar di kamar.
Jantung Elena mengancam untuk melompat-lompat. Itu chat dari Bapak Tirex? Astaga. Setelah beberapa kali ia mengirimkan pesan tapi tak dibalas, pagi ini justru Abraham mengirimkan chat padanya?
Ta-Tapi, isinya?
Mata Elena melotot. Aku harus bantu dia ngapain di kamar?
Sudah sih, Pak.
Bantu apa ya Pak di kamar?
Tak menunggu lama untuk Abraham membalas.
Bantu aku milih kemeja.
Memangnya kamu mikir bantuin apa?
Elena mencibir. Memangnya aku mikir apa coba?
Ia beranjak menghampiri Claressa. "Non, saya keluar bentar ya."
Claressa mengangguk. "Aku juga bentar lagi mau turun sarapan."
Elena menuju ke kamar Abraham dan mendapati pintu kamarnya yang tak tertutup rapat. Ia mengetuk pelan dan Abraham menyuruhnya masuk.
Satu hal yang terlupakan oleh Elena. Tadi itu Abraham jelas-jelas ngomong kalau dia minta dibantu dalam memilih kemeja loh ya. Itu artinya...
Glek.
Elena meneguk ludah mendapati Abraham yang berdiri di depan lemari pakaiannya hanya mengenakan celana dasar hitam dan kaos putih body fit yang begitu pas di tubuh pria itu. Kaos tipis itu nyaris memberikan pemandangan lekuk maskulin dan otot Abraham melebihi imajinasi Elena selama ini.
Kedua tangan Abraham berkacak di pinggang. Menoleh pada Elena yang berdiri mematung di depan pintu.
"Kenapa diam di sana?" tanya Abraham. "Sini."
Sekilas ketika berjalan, Elena melirik kasur berukuran besar di tengah ruangan. Oh, Tuhan. Pagi-pagi pikirannya sudah mulai ternoda.
Tangan Elena saling meremas satu sama lain, sengaja untuk menyibukkan tangan. Khawatir kalau-kalau mendadak dia mau meremas yang lainnya.
Eh?
"Menurut kamu hari ini aku bagusnya pake kemeja warna apa ya?"
Elena melirik melalui ujung matanya. "Perasaan saya sebelumnya Bapak lancar-lancar aja milih kemeja. Kenapa sekarang mendadak minta pendapat saya?"
Suara hembusan napas Abraham terdengar dengan jelas di telinga Elena. "Balik lagi pakai bahasa formal ke aku?"
"Er--- Pak, saya kan lagi kerja."
"Kamu kan ngasuh anak aku. Berarti kamu kerjanya ke Claressa, bukan dengan aku."
"Tapi, tetap aja, Pak. Kan Bapak yang menggaji saya."
Abraham mengusap dagunya. "Kamu benar juga."
Elena mengembuskan napas lega. Tapi, tak lama. Karena perkataan Abraham kemudian membungkam mulutnya.
"Kalau begitu seharusnya aku punya hak dong ya buat nyuruh kamu nggak usah formal lagi ke aku?"
"Eh?"
Abraham menyeringai. "Ingat, aku yang menggaji kamu," kata pria itu dengan rasa penuh kemenangan. "Aku nggak mau kamu ngomong formal lagi ke aku. Apalagi setelah kejadian di Puncak itu."
Elena terdiam beberapa saat. "Tapi, Pak. Kalau yang lain dengar kan sa---"
"Oke. Setidaknya kamu nggak usah formal kalau cuma kita berdua. Gimana?"
Dahi Elena berkerut-kerut. Persis seperti baju yang baru keluar dari mesin cuci. "Ini kenapa jadi begini sih?"
"Begini apanya?"
Elena tersadar. Ia harus mengatakannya sebelum terlambat. "Pak, sa---"
Melihat bagaimana Elena berusaha untuk berbicara formal lagi padanya membuat Abraham geram. Langsung saja ia mengambil tindakan super kilat.
"Cup!"
Astaga.
Elena kelonjotan karena kecupan singkat itu.
"Setiap kamu ngomong formal, aku bakal menghentikannya dengan cepat dan menggunakan cara yang paling tepat."
Bibir Elena seketika mengerucut.
"Kamu mau ngomong apa tadi?"
Elena mengerjap-ngerjap. Lalu, dahinya berkerut lagi. Abraham tergelak.
"Well, i do my best. Nggak heran kalau kamu mendadak lupa apa yang mau kamu katakan."
Elena ingin membantah, tapi ia benar-benar mendadak lupa. Tadi dia mau ngomong apa coba?
Melihat itu, sembari mengulum senyum Abraham menunjuk kemejanya yang tergantung.
"Yang mana?"
Jengkel karena tidak menemukan hal yang ingin ia katakan di sudut otaknya bagian manapun, Elena beranjak meraih satu kemeja bewarna biru muda. Memberikannya pada Abraham yang menerima dengan wajah kaget.
"Kenapa? Ada yang salah?"
Abraham menatap Elena lekat-lekat dan meraih kemeja itu. "Dari mana kamu tahu ini kemeja kesukaan aku?"
Elena melongo.
"Ternyata selama ini kamu diam-diam memerhatikan aku ya?"
Seluruh tubuh Elena bergidik mendengar perkataan Abraham dan tanpa aba-aba ia langsung permisi. Tak menunggu izin dari Abraham, gadis itu terbirit-birit keluar dari kamar pria itu.
Di tempatnya berdiri, Abraham mengenakan kemeja itu seraya tergelak. Memasukkan tiap kancing seraya geleng-geleng kepala.
"Dia selalu saja berapi-api dan berani," lirih Abraham, "tapi kalau sudah urusan seperti itu, ia malah ketakutan setengah mati."
Abraham menarik sehelai dasi dari gantungannya. Memasangnya dan hanya untuk berpikir.
"Mengapa aku tidak sekalian saja memintanya untuk memasang dasi?" Abraham mengulum senyum. "Besok masih ada waktu."
*
tbc...
btw, guys... aku jadi teringat sesuatu... bentar lagi bulan puasa loh ya... itu artinya aku bakal up malam-malam... takut puasanya batal... hahahha 😂😂😂... tapi, kalau selesai sebelum puasa sih lebih bagus lagi... 🤣🤣🤣
soalnya ya, aku perhatikan kalau dari 38 part yang udah aku up, part yang paling banyak dibaca itu part 1 "Tragedi Pengasuh" (okehlah ya, mungkin pembaca nyoba-nyoba baca dulu) dan part 29 "Diam Tak Selamanya Emas, Terkadang Justru Ciumlah"... ini menandakan kalau pembaca sangat-sangat berminat dengan bacaan bernuansa seperti ini... hahahaha 🤣🤣🤣... ga tau aja mereka kalau ada adegan lainnya yang tidak tergambarkan oleh judul part... 😂😂😂
Pkl 18.58 WIB...
Bengkulu, 2020.04.21...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro