Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pengakuan Perasaan

berjumpa lagi kita, guys...

aduh judul part ini aduh... bikin aku mules-mules... hahahha... 🤗🤗🤗

jadi, aku tuh bingung tadi mau up siang atau malam, tapi setelah aku pikir-pikir, berita baik kan harus diberitahu secepat mungkin... hahahha... 😂😂😂

terutama, biar siang hari ini lebih panas... hahahha... cari kipas dulu ya sebelum baca... lebih bagus lagi tambah es teh 🤣🤣🤣

===========================================================================

Biasanya sih ada abang ojek, abang bakso, abang gorengan, eh sampai abang parkir. Kalau mendengar panggilan itu sama sekali tidak terdengar keren. Tapi, kok kalau Elena yang memanggilnya dengan panggilan abang terasa berbeda ya?

Seperti ada manis-manisnya gitu deh.

Kayak ada yang berdesir-desir juga sih.

Kan Abraham jadinya susah untuk tidak tersenyum.

Adudududuh, Gusti. Kok mendadak Elena keliatan imut gini sih?

"Well," lirih Abraham dengan suara parau. Astaga, ia merasa begitu norak hanya karena satu panggilan itu. "Jadi, kamu mau manggil saya Abang?"

Elena terdiam.

"Kenapa diam?" desak Abraham. "Kamu mau manggil saya Abang?"

Elena benar-benar tak berkutik saat ini. Astaga! Ia benar-benar merasa malu hingga titik terendah dalam hidupnya.

Memberanikan diri, Elena menggeleng.

"Terus yang tadi?" tanya Abraham.

Elena bingung harus menjawab apa.

Abraham melihat kedua tangan Elena yang masih menutupi mulutnya. "Kamu nggak bisa jawab pertanyaan saya kalau kamu nutup mulut kayak gitu."

Elena meringis. Ia benar-benar bagai domba yang terpojok oleh serigala buas.

Abraham mengulurkan tangannya. Meraih kedua tangan Elena dan menariknya turun perlahan.

Lalu, tatapannya teralih pada bibir Elena yang gadis itu gigit.

Ugh! Abraham menarik napas panjang.

Kan aku jadi pengen juga gigit-gigit.

Mengalihkan tatapannya, Abraham kembali berkata. "Jadi, gimana? Yang tadi itu apa?"

Elena benar-benar bingung harus menjawab apa.

"Masih tutup mulut, heh?" tanya Abraham mendekatkan wajahnya. "Atau kamu memang mau mulut kamu ditutup?"

Mata Elena membulat. Otaknya jelas cukup pintar untuk menangkap makna tersirat dari pertanyaan itu.

"Er---itu..."

Glek.

Elena tak mampu meneruskan kata-katanya. Ketika Abraham semakin memajukan wajahnya, seperti yang sudah-sudah, Elena mendadak kehilangan kemampuannya untuk berbicara.

Tapi, seolah ingin membuat tubuh Elena semakin gemetar, Abraham justru menjaga jarak antara wajah mereka. Ia menatap mata Elena.

Untuk beberapa saat, Abraham seolah sedang mengamati situasi. Mendapati kenyataan bahwa bagaimana pun bergetarnya tangan Elena di genggamannya, tapi fakta bahwa gadis itu tidak mencoba menarik diri membuat perasaan Abraham seolah terbang di atas awan.

"Claressa bilang," kata Abraham, "kamu suka saya."

"Eh?!"

Abraham tersenyum. "Melihat wajah kamu, sepertinya dia nggak bohong."

Ya salam. Memangnya kapan aku ngomong ke Claressa kalau aku suka bapaknya?

"Pak... Itu..."

"Saya juga."

"...sebenarnya..." Elena mengerjap. "Apa?"

Abraham menatap mata Elena. Untuk beberapa detik, ia hanya menatap mata Elena dalam diam. Lalu berkata. "Saya menyadari kalau saya memiliki perasaan sama kamu."

Ugh.

Elena membuka mulut. Berencana untuk mengatakan sesuatu, tapi kamus perbendaharaan kata-kata di otaknya mendadak kosong melompong. Tak ada satu kata pun yang bisa ia katakan.

"Dan ketika saya tahu kalau kamu juga memiliki perasaan untuk saya," kata Abraham, "bukankah ini terasa seolah memang takdir?"

Ya Tuhan...

Elena benar-benar tidak bisa mengatakan apa-apa. Lidahnya kelu, tubuhnya kaku, napasnya terasa tinggal satu-satu. Melihat ia kelonjotan kehilangan nyawa seolah tinggal menunggu waktu.

"Kenapa kamu diam saja?" tanya Abraham seraya mencari-cari di kedua bola mata Elena yang bening. "Apa kata-kata saya ada yang salah?"

Elena berusaha untuk menarik napas dalam-dalam. Hal itu selalu berhasil menghilangkan gugupnya saat ia harus tampil di muka publik, tapi sekarang? Di depan Abraham sepertinya tidak berhasil.

"Pak..."

Abraham tersenyum mendengar suara Elena. "Apa?"

"Sa-Saya pikir saya mau kembali ke kamar," kata Elena. Berusaha bangkit, tapi tangan Abraham yang memegang kedua tangannya secepat mungkin menarik turun kembali tubuhnya. Terduduk di tempat semula. "Pak, sa---"

Kalimat Elena terhenti. Abraham semakin memajukan wajahnya, menghentikan jarak tipis di antara mereka.

"Boleh?"

Elena menggigit bibir bawahnya. Lalu, mendadak Elena gemetar ketika merasakan sapuan hangat di bibirnya dan mendapati bagaimana Abraham membelainya dengan ujung lidahnya yang hangat.

Tuhan!

Kedua tangan Elena mengepal. Jantungnya benar-benar tidak tertolong lagi. Kewarasan akal sehatnya mengancam hancur berantakan sesaat lagi.

"Dari tadi saya melihat kamu menggigit bibir," lirih Abraham dengan suara serak. "Kalau kamu memang mau bibir kamu digigit... kamu bisa minta saya yang ngelakuinnya."

Ah, sudahlah, pikir Elena.

Dengan sisa keberanian yang nyaris habis, Elena pelan-pelan mengangkat wajah dan menatap mata Abraham yang menatapnya dengan begitu lekat. Seakan menjadi sinyal bahwa pria itu tak akan melepaskannya dalam waktu dekat.

Berpikir cepat, Elena menyadari bahwa ia telah mengalami banyak hal memalukan sepanjang hari ini. Menjadi lebih memalukan sepertinya tidak akan jadi masalah.

Abraham menunggu. Dan ia nyaris menyerah ketika dilihatnya mata Elena memejam seraya mendapati wajah itu bergerak mendekati dirinya.

Satu sentuhan pelan menyapa bibirnya.

Pelan-pelan, mata Elena membuka. Mendapati Abraham yang terbengong di depannya.

Bagaimana pun juga, pikir Abraham, aku ya tetap aja bisa ngerasa syok kalau dia mencium aku segitu lembutnya.

Lalu, seakan ada intruksi tanpa suara, kedua bibir itu kembali bertemu.

Abraham menarik kedua tangan Elena. Membuat tubuh gadis itu menempel tanpa celah dengan tubuhnya.

Dua bibir saling menyapa dalam sentuhan yang terasa begitu mendebarkan. Semua permainan kata-kata, kalimat tajam, bahkan seringai tantangan, menghilang dalam satu kecupan. Menyublim menjadi keinginan untuk saling merasa yang begitu tidak tertahankan lagi.

Tak butuh kata-kata untuk Abraham mampu menyimpulkan semuanya. Andai Elena tidak mengatakannya secara gamblang pun, keberanian gadis itu tatkala menciumnya adalah lebih dari jawaban yang ia butuhkan.

Elena menginginkannya.

Sama seperti dirinya yang menjerit ingin memiliki gadis itu.

Jadi, Abraham tak menemukan satu alasan pun untuk mampu menghentikan dirinya. Untuk menghentikan mereka. Untuk menghentikan ciuman itu.

Ciuman yang dimulai dari sentuhan ringan berubah cepat menjadi kecupan nakal yang membuat semua saraf menjadi bersiaga. Rasa dan debaran yang tercipta seolah membangunkan semua sensor di tubuh mereka. Dan bukan hal yang aneh apabila itu mendesak Abraham untuk merasakan hal yang lebih.

Bibirnya dengan lincah melumat bibir Elena. Mengecupnya dengan kebutuhan yang tak tertahankan demi mengabsen tiap rasa yang Elena tawarkan padanya. Manis, memabukkan, menjadi candu.

Lidah Abraham membelai hangat. Membuat gadis itu gemetar. Tapi, ia benar-benar tak bisa melakukan apa-apa selain memasrahkan diri pada pria itu. Membiarkan Abraham mendominasi dirinya. Menyilakan Abraham untuk merasakan dirinya. Dan bahkan lebih dari itu, Elena pun hanyut dalam setiap sentuhan Abraham. Ia merasa bagai dirinya terbawa arus yang dengan senang hati akan ia ikuti. Membiarkan dirinya mengalir dengan pusaran keinginan alam bawah sadarnya, entah Abraham yang menariknya atau justru ia yang mendorong dirinya sendiri, Elena perlahan bergerak.

Kekokohan genggaman tangan Abraham yang tak melepas dari pergelangan tangannya dari tadi mendapat isyaratnya ketika Elena beranjak. Tangan pria itu spontan melepas genggamannya. Bergerak menuntun. Membawa Elena untuk semakin mendekat padanya. Semakin melenyapkan jarak tak berarti di antara mereka. Dan ciuman itu terasa semakin dalam tatkala Abraham berhasil membawa Elena untuk duduk di pangkuannya.

Elena merasakannya. Bagaimana dua tangan Abraham yang besar menjalari punggungnya. Menahan posisinya. Membuat ia benar-benar merekat pada pria itu. Tak hanya bibir mereka yang bertemu, bahkan dada mereka pun saling menyentuh.

Belaian demi belaian yang lidah Abraham berikan untuk menggoda dirinya membuat ia merekah. Kedua bibir Elena membuka, membiarkan Abraham untuk masuk dan menghisap lidah miliknya. Bersamaan itu, Elena merasa bagian dirinya ikut terhisap. Tangan Elena bergerak. Melintasi bahu Abraham yang kokoh. Saling menjalin beberapa saat di balik tekuk pria itu hingga merasakan kebutuhan untuk sedikit menyalurkan hasrat yang ia rasakan. Dengan menahan debar, tangan Elena meremas rambut Abraham.

Dada Abraham semakin menyesak oleh kebutuhan yang benar-benar nyaris membutakan matanya. Kecupan demi kecupan, lumatan, panggutan, dan bahkan hisapan yang ia lakukan membuat dirinya benar-benar tak berdaya. Dengan geram, seolah ingin benar-benar menuntaskan keinginan yang ia tahan sedari tadi, Abraham menggigit bibir bawah Elena gemas.

Gadis itu menjerit kecil, namun dengan cepat jeritan itu lenyap ke dalam rongga mulut Abraham. Remasannya pada rambut Abraham semakin mengerat. Mengirimkan sinyal bagi ia untuk mendekap tubuh Elena semakin erat, untuk mencium bibir Elena semakin dalam, untuk memiliki Elena semakin banyak.

Napas keduanya semakin memburu. Di sekitar mereka, udara tetaplah rendah hingga bisa membuat tubuh menggigil. Tapi, mereka jusru merasakan yang sebaliknya.

Oh, mungkin Tuhan memang memberikan 'sesuatu yang panas' sesuai dengan yang mereka butuhkan saat ini.

*

Tubuh Elena masih bergetar. Nyaris tak percaya bahwa ia bisa melangkahkan kakinya tanpa jatuh mengingat betapa lemasnya kedua kakinya. Tapi, satu alasan yang menjadi penyebab mengapa ia tak sampai jatuh merosot ke lantai adalah karena tangan kokoh Abraham yang sedari tadi merengkuhnya dengan erat.

Elena memandang pintu kayu di hadapannya. Lalu, beralih pada Abraham. Pria itu menunduk dan menatap mata Elena dengan tatapan yang demikian lembutnya. Lantas jemari Abraham naik. Merapikan rambut Elena yang acak-acakan. Beranjak membelai pipinya yang memerah, mengusap bibirnya yang merona menggoda.

Abraham menarik napas dalam tatkala teringat rasa yang ia dapatkan dari bibir itu.

Dengan menguatkan diri, ia akhrinya mampu berkata. "Masuk dan tidurlah."

Elena meneguk ludahnya. Sesaat tadi, ketika mereka mengakhiri ciuman mereka dan Abraham mengatakan padanya agar ia tidur, Elena ragu akan dibawa ke mana dirinya oleh Abraham. Bukannya Elena berharap sesuatu yang melebihi hal yang bisa mereka dapatkan, hanya saja Abraham membuat ia merasa kagum.

"Sejujurnya," lirih Abraham dengan suara parau, "aku terpikir untuk membawamu ke kamarku."

Ough. Perut Elena seketika terasa penuh oleh kupu-kupu yang beterbangan karena kejujuran Abraham.

"Tapi, kalau itu kulakukan aku yakin kita berdua tidak akan tidur."

Elena tidak ingin melakukannya, tapi ia benar-benar terkekeh geli karena pengakuan itu.

"Jadi, kumohon bantu aku kali ini," pinta Abraham tak berdaya. "Masuk dan pergilah tidur."

Elena mengangguk. Satu tangannya naik. Oh, dia benar-benar selalu memimpikan ini. Merasakan sensasi bakal-bakal jambang Abraham di bawah telapak tangannya.

Abraham memiringkan wajahnya. Mengecup telapak tangan Elena dengan penuh sensual. Elena tertegun. Memutuskan untuk menarik tangan hanya untuk menyadari bahwa Abraham menarik tangannya lebih dulu. Wajah Abraham turun. Memberikan satu kecupan selamat malam yang teramat manis untuk Elena lepaskan.

"Mimpi indah."

Elena tertegun. Melihat Abraham memutar tubuh dan menghilang dari pandangannya.

Ketika beberapa menit kemudian Elena berbaring di tempat tidur. Ia berada di kamarnya. Terapit oleh dua orang guru yang telah lelap dalam tidurnya. Tapi, entah mengapa Elena merasa bahwa walau ia belum tidur nyatanya ia merasa ia telah bermimpi saat ini.

Mungkin ia terlalu lancang membiarkan rasa kekagumannya pada Abraham perlahan-lahan berubah menjadi perasaan antara wanita dan pria. Tapi, ketika Abraham mengatakan bahwa ia memiliki perasaan yang sama... oh, Elena pikir sebenarnya takdirlah yang sudah lancang membuat hal seperti itu menjadi sebuah kenyataan.

Sekarang, untuk mundur pun terasa percuma. Terpisah beberapa meter, entah bagaimana caranya, tapi Elena seolah masih merasakan pria itu. Ketika Elena mengangkat tangannya, aroma wangi rambut Abraham tertinggal di sana. Layaknya cinderamata yang akan menemaninya di sisa malam.

Kedua tangan Elena bergerak perlahan meraba bibirnya. Bahkan hanya dengan memikirkannya membuat jantung Elena kembali berdebar parah.

Mata Elena memejam.

Ia mendengar suara Abraham. Berbisik lembut padanya. Mengatakan apa yang ia rasakan pada dirinya.

Setiap sentuhan yang Abraham berikan padanya pun turut membayang. Rasa tangan pria itu di sekujur punggungnya. Tekanan bibir pria itu di setiap sisi bibirnya. Hembusan napas hangat pria itu di sisi wajahnya.

Bahkan hanya dengan menutup mata, ia bisa melihat jelas mata kelabu Abraham yang menatap lembut padanya. Mengirimkan sejuta kedamaian tak terdeskripsikan ke seluruh relung hatinya.

Elena akhirnya menyadari sesuatu. Ia telah terjatuh. Begitu dalam hingga ia yakin tak akan mampu keluar lagi darinya.

Di benaknya saat ini hanya ada pria itu. Seolah tak tersentuh oleh kenyataan di mana dirinya berada sekarang.

Saat ini, seakan terabaikan oleh Elena, suara dengkuran masih terdengar. Tapi, kali ini ia merasa dengkuran itu berubah menjadi nyanyian indah. Lantunan irama yang membuat ia tersenyum dalam ingatan terakhir akan malam itu bersama Abraham.

You can hear it in the silence, silence, you...

You can feel it on the way home, way home, you...

You can see it with the lights out, lights out...

You are in love, true love...

You are in love...

*

tbc...

dududududu... sampe jungkir balik beneran aku ngetik part ini... maksud aku, rada susah sih nulis momen romantis dibandingkan dengan momen adu mulut... hahahha... 😅😅😅

gimana gimana? apa yang kalian rasakan? 🤗🤗🤗

Btw. Jujur, siapa tadi yang ngira Abraham bawa Elena ke kamarnya? 😂😂😂 dasar pikirannya... Hentai mulu 🤣🤣🤣

oh, benar. jadi aku teringat sesuatu, kapan hari ada yang nanya kenapa aku ga bikin cerita dewasa++... you know maksudnya ya guys... tapi, aku emang ga kepikiran. bukan apa-apa... aku bikin 1 part full ciuman aja kalian bilangnya udah ngos-ngosan, gimana kalau dewasa++... hahahha... lagipula, aku memang rasanya ga sanggup nulis gituan... hahahha... biarlah jati diri aku yang seperti ini ya... jangan yang erotis, yang romantis aja mampu buat susah napas kok... 😂😂😂

see ya di part selanjutnya... 👋🏻👋🏻👋🏻

Pkl 12.12 WIB...

Bengkulu, 2020.04.20...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro