Medusa Edisi Pria
part 27 menyapa siang ini guys...
aduh... malam-malam aku nggak bisa tidur coba kan... terbayang-bayang ciuman sore itu... hahahhah... 😂😂😂
dan setelah aku pikir-pikir, sepertinya cerita ini memang belum bakal selesai dalam waktu cepat deh ya... aku jadi candu mau ngetik adegan romantis mereka... hahahha.... 🤣🤣🤣
===========================================================================
Tangan Abraham terangkat satu. Ingin berseru memperingatkan, tapi suaranya seolah tercekat di tenggorokan. Ia hanya bisa meringis melihat bagaimana Elena kabur melesat dengan begitu cepat menuju lantai atas tak peduli sebanyak apa anak tangga yang harus dinaiki olehnya. Dan itu semua karena ia melihat dirinya.
Abraham mendengus. "Dan sekarang dia yang menghindariku?"
Mengabaikan rasa kesalnya, ia pun naik ke atas. Menuju ke ruang kerjanya. Sesampainya di sana ia malah menggerutu.
"Memangnya dia pikir dia siapa? Sok mau menghindari aku?"
Abraham geleng-geleng kepala karena teringat lagi dengan kenyataan di mana Elena selalu berusaha menghindari dirinya karena kejadian petang itu di dalam mobilnya.
"Karena ciuman itu?" tanya Abraham pada dirinya sendiri.
Dan... selamat!
Pertanyaan yang tepat untuk membawa Abraham kembali teringat pada peristiwa itu.
Abraham menarik napas dalam-dalam. Berusaha menenangkan gejolak yang mendadak seolah sedang berlomba-lomba mendobrak dadanya.
Itu hanya satu ciuman, pikirnya.
Tapi, itu satu ciuman yang panjang.
Abraham kembali menghela napas. Mungkin seharusnya aku tidak sampai melakukan itu. Tapi, demi apa pun! Ternyata itu cara yang benar-benar efektif untuk membungkam mulut Elena. Dan terlampau efektif malah. Lihat saja. Bukan hanya tidak berani bicara lagi di depannya, Elena pun lari terbirit-birit kalau melihatnya. Dan entah mengapa, melihat kenyataan itu membuat Abraham menjadi geram. Rasa-rasanya ingin sekali ia menyeret wanita gila itu dan--- dan--- dan---
Abraham mengenyahkan pikiran yang melintas di benaknya.
Ketika duduk di kursinya, ia memejamkan matanya. Berpikir bahwa itu adalah cara yang tepat untuk meredakan emosi. Tapi, seketika matanya membuka nyalang menatap langit-langit.
Tadi, sekejap ketika matanya terpejam. Mendadak sesuatu melintas. Dan berhasil membuat ia meneguk ludah dengan frustrasi.
Bayangan kelembutan bibir Elena terbayang dengan sangat menggoda di pikirannya.
Sial!
Dan di saat ia tengah setengah mati berusaha membuang bayangan itu, ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dan tidak membantunya sama sekali ketika melihat pesan tersebut dari Natasha.
Ab, apa kamu sudah mengatakannya pada Elena?
Kita sama tahu gimana sifat Tadataka Yamada.
Aku rasa ide yang bagus kalau pertemuan minggu depan kamu mengajak Elena.
Sepertinya pria tua itu menyukai Elena.
Abraham melongo.
Pria tua itu menyukai Elena?
Abraham menoleh pada pendingin udara di ruangannya.
Apa itu AC belum dibersihkan? geramnya seraya melonggarkan ikatan dasinya.
Mendadak ia merasa gerah.
*
Pagi itu, seperti biasa Elena menyempatkan diri untuk mampir ke dapur demi bekal yang sudah disiapkan oleh Bu Siti untuk dirinya. Ketika ia sampai, bukan hal yang aneh lagi kalau mendapati tiga wanita itu tengah berbincang-bincang mengenai orang lain.
"Ada apa?" tanya Elena cuek seraya meraih kotak bekalnya di atas kitchen island. Ia memandangi wajah Bu Siti, Intan, dan Lola bergantian.
Lalu, mereka saling memandang satu sama lain sebelum Intan berkata.
"Kami heran aja ngeliat Nona Dania nggak muncul-muncul lagi."
"Ehm..."
"Nggak biasanya dia menghilang selama ini," kata Lola dengan penasaran. "Udah dua bulanan loh. Apa udah mau tiga bulan ya? Lama amat kan ya?"
Bu Siti mengangguk. "Apa pertengkaran kalian tempo hari itu benar-benar membuat dia kapok ke sini?"
Elena mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak tahu harus menjawab atau berkata apa.
"Tapi, Tuan kemaren memang sadis juga sih waktu ngusir Nona Dania," kata Intan. "Aku jadi agak kasihan juga waktu itu." Intan menghela napas panjang. Tidak berpikiran untuk menceritakan bagaimana keributan itu bermula. Ingat? Dia loh yang pertama mengompori Nona Dania.
"Tapi, Nona Dania itu memang keterlaluan sih. Dan tebal muka juga," ujar Lola.
"Ya bukannya tebal muka mungkin. Namanya juga berusaha. Apalagi kalau orang tua sudah setuju."
Wait a minute. Sepertinya telinga Elena menangkap kata orang tua dan setuju.
Menyadari tatapan bingung Elena, Bu Siti kembali berkata. Tapi kali ini dengan suara rendah.
"Sebenarnya Tuan dan Nyonya Besar udah lama nyuruh Abraham untuk menikahi Nona Dania."
Mata Elena membesar. "Mereka dijodohkan?"
"Nggak dijodohkan juga sih," kata Bu Siti agak bingung. "Tapi, Nyonya memang nyuruh mereka menikah. Udah lama itu mah ceritanya. Sebelum Tuan dan Nyonya Besar pergi ke Bengkulu buat nemeni Tuan Jack yang lagi dalam masa terapi pemulihan. Yah... sekitar lima tahun yang lewat. Waktu masih hangat-hangatnya berita perceraian Tuan. "
Elena tersenyum masam.
"Lagipula, kalau Tuan memang mau dengan Nona Dania," sambung Lola, "nggak mungkin banget itu cewek dianggurin lima tahun! Ya kali tahan amat."
Intan mengangguk-angguk setuju. "Sepertinya Tuan nggak bisa nolak Nona Dania itu cuma gara-gara belum nemu calon buat dihadapkan ke Nyonya Besar."
"Betul itu. Apalagi ini udah mau akhir tahun lagi, sedih saya mikir Tuan jadinya."
Mata Elena memandangi mereka satu persatu. "Kenapa dengan akhir tahun?"
"Oh..," lirih Bu Siti. "Tuan dan Nyonya Besar pasti pulang ke sini bareng Tuan Jack buat konsultasi dokter. Juga untuk menginterogasi Tuan karena belum menikah lagi sampai sekarang."
"Sebenarnya mungkin posisi Tuan lebih bagus seandainya aja Tuan Jack udah nikah. Jadi Tuan dan Nyonya Besar nggak lagi menyudutkan Tuan," lanjut Lola.
"Ehm..," gumam Elena tak yakin. "Tuan Jack itu saudaranya Bapak Tirex ya?"
Bu Siti mengulum senyum, memukul tangan Elena pelan. Geli dengan panggilan Bapak Tirex. "Tuan Jack itu adiknya Tuan."
"Dan sangat cakep," kata Lola seraya mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Dia benar-benar idola aku."
"Oh..., gitu?"
"Mereka memang cakep dari lahir. Turunan Tuan Besar sih," kata Bu Siti. "Tapi, sifat Tuan Jack itu jauh berbeda dengan Tuan."
"Betul! Betul! Betul!" kata Intan. "Dia ramah, baik hati, suka senyum, dan suka nyapa. Dia bahkan tahu hari ulang tahun kami dan selalu ngucapinnya."
"Wah!" Elena mau tak mau terpukau dengan penjelasan Intan. "Sepertinya tipe pria yang sangat-sangat perhatian terhadap pasangan."
"Tapi, kayak kakaknya," lirih Bu Siti. "Nasib percintaannya termasuk menyedihkan."
"Kenapa?"
"Gagal nikah," bisik Intan. "Gara-gara cidera kaki."
"Syok pasca cidera, gagal nikah, kata orang-orang Tuan Jack perlu diterapi panjang. Semoga aja dia benar-benar bisa sembuh."
Elena bergumam rendah mendengar penjelasan Bu Siti. Belum ada sepuluh menit ia berada di sana dan ia nyaris mendapatkan pelajaran sejarah mengenai keluarga Rhodes. Memang semuanya berbakat jadi guru sejarah.
"Oh iya! Ini juga pertama kalinya kamu ketemu Tuan dan Nyonya Besar kan?" tanya Intan bersemangat.
"Eh, belum tentu juga sampai akhir tahun aku masih di sini."
Lola menggamit tangannya. "Kamu udah masuk bulan ketiga. Sejauh ini, nggak ada seorang pengasuh pun yang melampaui rekor itu. Selamat! Kamu penakluk Nona Claressa!"
"Ha-ha." Elena tertawa kaku. "Penakluk apaan."
*
"Subjek, predikat, dan objek. Kalimat bahasa Inggris harus punya tiga unsur ini. Subjek itu orang yang melakukan, predikat itu kata kerja, dan objek itu benda yang mendapat perlakuan."
Claressa angguk-angguk kepala. "Seperti... I love you?"
Elena terkekeh. Mungkin karena pada dasarnya Claressa membawa separuh gen orang Amerika, ia sering mendapati Claressa menyelipkan bahasa Inggris dalam keseharian. Walau memang tak banyak. Dan karena memang Elena mengakui kecerdasan Claressa, gadis kecil itu cepat belajar.
"Benar."
Elena kembali menulis di buku Claressa. Lalu menyuruh majikannya untuk mengerjakan beberapa soal yang ia tulis dalam sekejap mata.
"Tok! Tok! Tok!"
Elena dan Claressa kompak melihat ke pintu. Claressa bersuara.
"Masuk."
Pak Zulman masuk dan tersenyum pada mereka berdua yang tengah belajar di atas tempat tidur dengan posisi yang nyaman.
"Ada apa, Pak?" tanya Claressa.
Pak Zulman melirik pada Elena sejenak sebelum kembali beralih pada Claressa. "Tuan nyuruh Elena ke ruang kerja Tuan sebentar."
Sensor peringatan seketika menyala di kepala Elena. Sontak gadis itu terduduk dengan tegang.
"Kenapa Daddy mau ketemu dengan Elena?" tanya Claressa. "Aku kan lagi belajar malam dengan Elena."
Elena angguk-angguk kepala. "Be-Bener itu, Pak. Saya lagi ngajar Nona." Elena menunjuk buku yang bertebaran di atas kasur. "Sebentar lagi mau ujian akhir semester."
Claressa menoleh. "Masih lama, Len, aku ujiannya." Ia geleng-geleng kepala. "Pergi aja dulu, Len. Siapa tahu mau naik gaji."
Elena mencibir menanggapi gurauan Claressa. Tapi, jujur saja. Ia merasa ngeri-ngeri sedap ingin pergi ke sana. Jadi, sekuat tenaga akhirnya Elena berhasil juga mengetuk pintu itu. Tak butuh waktu lama untuk kemudian suara Abraham terdengar menyuruhnya masuk.
Tenang, kata Elena dalam hati. Tadi untuk makan malam aku cuma makan ikan sambal kok.
Entah apa sebenarnya hubungan antara ikan sambal dan ketenangan yang berusaha Elena dapatkan saat masuk ke dalam ruangan tersebut.
Ketika Elena melangkah masuk, saat ia berjalan melintasi tengah ruangan, ia tak sengaja melihat sofa itu. Tempat di mana ia dan Abraham tertidur malam itu. Meneguk ludah dengan kuat, Elena mati-matian berusaha untuk tetap melangkah, alih-alih kabur dari sana.
Setelah Elena duduk, gadis itu memilih untuk menundukkan kepalanya.
"Kamu sedang ngajar Claressa?"
"Iya, Pak."
"Sibuk nggak?"
"Nggak, Pak."
"Tiap malam kamu ngajar dia?"
"Iya, Pak."
"Tapi, malam Minggu nggak kan?"
"Nggak, Pak."
"Claressa nurut selama diajar?"
"Iya, Pak?"
"Nggak bandel dia?"
"Nggak, Pak."
Abraham menarik napas panjang.
"Apa setiap pertanyaan saya bakal kamu jawab iya dan nggak saja?"
"Iya, Pak."
Elena mengerjap. Eh?
"Nggak mau menjawab pake kata-kata lain?"
"Nggak, Pak."
Eh?
"Dan selama itu juga kamu bakal nunduk kayak lagi mengheningkan cipta?"
"Iya, Pak."
Be-Bentar...
"Kamu nggak mau ngeliat saya?"
"Nggak, Pak."
"Wah!"
Sontak Elena mengangkat wajahnya. Matanya beradu dengan Abraham, lantas ia kembali menunduk.
Abraham geleng-geleng kepala. Ini benar-benar tidak bagus kalau Elena harus ikut bertemu dengan Tadataka Yamada dalam kondisi terus menunduk.
"Ckckckck." Abraham berdecak. "Perasaan saya dulu ada orang yang nekat nyuruh saya nyabut peringatan saya tentang saya yang nggak mau ngeliat seseorang."
Elena meneguk ludahnya. Seseorang itu adalah dia.
"Dan sekarang justru dia yang seolah nggak mau ngeliat saya," lanjut Abraham. "Kenapa?" tanyanya. "Apa saya semacam Medusa edisi pria? Yang kalau kamu ngeliat saya kamu berubah jadi batu?"
Elena menggigit bibirnya. Ia menggeleng pelan.
"Jadi," lanjut Abraham. "Mau sampai kapan kamu nunduk kayak gini? Saya mau ngomong."
"Kan ngomong cuma butuh mulut dan telinga, Pak," kata Elena pelan. "Saya dengerin kok."
"Wah! Mulut kamu itu---"
Elena tersentak dan mengangkat wajahnya. Refleks saja ketika ia menutup mulutnya.
Abraham melirik tindakan Elena. Jantungnya mendadak tersentak di dalam sana. Ah, dia jadi teringat lagi kan?
Pria itu mendehem pelan. "Nah kan? Ngeliat saya nggak ngebuat kamu berubah jadi batu kan?"
Elena cemberut. "Memang nggak jadi batu sih, tapi napas saya yang jadi ilang satu per satu," lirihnya pelan. Lalu, seolah tersadar, ia kembali menutup mulutnya.
Abraham mengerjap. Ia butuh kekuatan yang besar untuk mampu menarik udara ke dalam rongga paru-parunya, alih-alih menarik jari telunjuk Elena seperti dulu.
Berat. Seperti yang sudah ia duga, ide Natasha untuk mengajak Elena adalah ide terburuk seumur hidupnya.
Elena menggigit bibir bawahnya, kesal dengan kata-kata yang terceplos begitu saja dari mulutnya.
"Ada apa Bapak manggil saya?" tanyanya kemudian mengalihkan topik pembicaraan.
Ah, benar. Abraham akhirnya menemukan kembali separuh akal sehatnya.
"Minggu depan Tadataka Yamada akan datang lagi," kata Abraham. "Kamu masih ingat dengan dia kan?"
Elena mengangguk. Ia tentu tidak akan melupakan pria tua yang jelas-jelas memuji dress tanpa lengan yang ia kenakan kala itu. Dasar pria tua nggak tahu umur, pikirnya.
"Natasha pikir akan lebih baik kalau kamu ikut hadir dalam pertemuan itu," kata Abraham dengan tatapan menyelidik. "Bagaimana? Tenang saja. Itu akan dihitung dengan honor layaknya penerjemah profesional."
Elena menimbang sejenak dalam benaknya. "Tapi, Nona bagaimana, Pak?"
"Akhir-akhir ini dia sudah tidak membuat kekacauan lagi di sekolah. Saya bisa menjelaskan pada Claressa nanti."
Elena tidak melihat satu alasan pun di mana tawaran Abraham itu adalah hal yang salah. Nyatanya ia justru akan mendapatkan tambahan gaji bulan ini. Jadi, ia mengangguk.
"Tapi, saya harap pertemuan minggu depan kamu bisa menyesuaikan pakaian kamu."
Ah, tentu saja. Ia tidak mungkin hadir dengan dress tanpa lengan lagi.
"Saya bisa mengusahakannya, Pak."
Abraham kembali menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Kalau kamu nggak yakin saya pi---"
"Tenang saja, Pak," potong Elena cepat.
Abraham mengangguk mendapati perkataan penuh keyakinan dari Elena. "Baiklah."
"Ada lagi yang lain, Pak?"
Abraham mendengus. "Nggak ada lagi yang lain."
"Kalau begitu, saya boleh pergi, Pak?"
Abraham mengangguk. "Tentu. Dan ah!"
"Iya, Pak?"
"Pertahankan sikap kamu yang seperti ini ya?"
"Yang mana, Pak?"
"Yang ngomong seadanya dan tidak lebih dari satu kalimat."
Sejenak Elena bingung dengan perkataan Abraham hingga pria itu menjelaskan.
"Dari tadi kamu nggak ada ngomong lebih dari satu kalimat. Padahal biasanya saya selalu sesak napas setiap kamu bicara. Lebih parah dari rangkaian kereta api se-Indonesia kalau disatukan."
Elena seketika manyun mendengar perkataan Abraham. "Saya belajar dari pengalaman, Pak."
Abraham menyeringai.
"Dari pada saya ngambil risiko menghadapi cowok nggak tahu sopan santun yang mendadak langsung nyambar saya."
Seringai Abraham seketika berubah menjadi tatapan tak percaya. "Berarti benar dugaan saya," kata Abraham. "Kamu jadi menghindari saya gara-gara ciuman itu?"
"Saya nggak ngindari Bapak." Elena geleng-geleng kepala.
"Yang kamu ngacir tiap ngeliat saya itu bukan ngindari saya?"
Elena terdiam sejenak. "Yah, lagipula wajar kan, Pak, saya ngindari Bapak. Mana saya tahu kalau selama ini ternyata bapak majikan saya termasuk ke dalam golongan cowok yang suka nerkam tanpa ngasih peringatan."
"Wah!" Abraham benar-benar tak percaya dengan perkataan Elena. "Dan sekarang sifat kamu itu balik lagi."
Elena beringsut di kursinya.
"Tadi kamu mengatakan saya apa? Cowok yang suka nerkam tanpa ngasih peringatan?"
Mata Elena mengerjap-ngerjap. Dagunya naik. "Memang iya kan?"
Abraham menarik napas dalam-dalam.
"Bapak nggak lupa kan?" tanya Elena. "Bapak nyium saya tanpa izin tanpa permisi sama sekali."
Abraham kembali melirik pendingin ruangannya. Nanti ia akan meminta Pak Zulman untuk segera memanggil tukang service AC. Benda itu perlu dibersihkan.
"Menurut pengalaman saya, Pak. Hanya cowok yang suka nerkam tanpa ngasih peringatanlah yang berani nyium cewek tanpa izin tanpa permisi."
Abraham menatap Elena tajam. "Memangnya kalau saya pake acara izin pake acara permisi, kamu mau saya cium?"
Tiiiit!
Bumi memutuskan untuk berhenti berputar.
*
tbc...
aduh gimana lah ya... lagi adu mulut aja mereka buat aku ngetik sambil senyam senyum ga karuan... gimana kalau ga coba? hahahha... 🤣🤣🤣
pkl 13.08 WIB...
Bengkulu, 2020.04.07...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro