Lowongan Pekerjaan
Selamat malam semuanya yang membaca cerita ini... Hahaha... Part dua akan meluncur...
===========================================================================
"Satu mocca float, kentang goreng, dan nasi goreng seafood. Total semuanya Rp 67.890,-."
Selembar uang bergambarkan Sang Proklamator terulur. Lalu, jemari lincahnya mengetik kembali di keyboard. Struk pemesanan keluar. Diserahkannya struk transaksi tersebut bersama sejumlah uang kembalian.
"Silakan ditunggu pesanannya, Mbak."
"Terima kasih."
Setelah kepergian pelanggan itu, ia melangkah ke belakang. Melalui celah pembatas antara bagian pemesanan dan dapur, ia berseru.
"Elena! Pesanan selanjutnya!"
Gadis yang dipanggil menoleh. Menerima struk pesanan dan berkata.
"Okey, Rin!"
Rinda tersenyum. Lalu kembali ke tempatnya.
Di belakang, tepatnya di bagian dapur yang selalu menjadi tempat aktifitas paling tinggi di setiap restoran mana pun, termasuk di restoran fast food, Elena dan beberapa orang di sana tampak sibuk dengan bagiannya masing-masing. Mempersiapkan setiap menu yang telah dipesan dan menyediakan bahan-bahan lainnya. Nyaris jam istirahat siang bagi orang-orang justru menjadi masa-masa paling sibuk mereka. Bekerja di restoran memang tidak pernah mudah. Terutama restoran fast food.
Elena mengembuskan napas panjang.
Ia mengipasi wajahnya dengan telapak tangannya sendiri. Menyandarkan punggung ketika duduk. Dan menenangkan dirinya dengan meminum segelas air.
"Gila! Padahal akhir bulan, tapi kok hari ini rame banget sih!" rutuk Rinda yang akhirnya bisa duduk setelah bertukar dengan rekan lainnya. "Sampai pegal aku berdiri di meja kasir."
Elena melirik. "Tapi, seenggaknya kamu nggak panas-panasan di depan kompor, Rin," kata Elena dengan suara pelan.
Rinda manyun.
"Bekerja seharian di depan kompor benar-benar menyiksa. Ehm, bukannya aku benci masak, cuma yaaa..." Elena menghela napas panjang. "Seandainya aja ada kerjaan lain."
"Nyari kerjaan zaman sekarang susah. Walau sebenarnya yang lebih susah itu nyari kerjaan yang benar-benar klik."
"Nah itu! Maunya sih nyari kerjaan yang nggak terlalu ribet, tapi gajinya gede."
"Ngasih umpan buaya mau?"
"Buaya darat sih nggak apa-apa."
Rinda tertawa. Ia lantas mengeluarkan ponselnya dari saku celana jeans yang ia kenakan. "Coba kita cek dulu ya. Siapa tahu ada kerjaan jadi admin gitu. Ya walau gajinya nggak seberapa, tapi kan waktu kerjanya biasanya normal. Dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Sabtu dan Minggu libur. Bisa dipakai untuk nyambil jualan online sih," tutur Rinda panjang lebar sembari membuka tiap grup lowongan pekerjaan. Dari Instagram hingga ke Facebook.
Elena diam-diam melirik sekilas. Tapi, tak berharap banyak. Toh, menjadi koki di sana pun sudah menjadi keberuntungan buatnya. Kala itu Rinda yang telah lebih dulu bekerja di sana mengatakan bahwa mereka butuh koki cepat karena koki terdahulu kecelakaan dan tidak bisa bekerja lagi. Kebetulan karena itu memasak, yang mana menjadi salah satu pekerjaan kesukaan Elena, maka ia pun menerima. Walaupun ternyata akhirnya ia sedikit mengelus dada. Jadi koki restoran tidak seperti di drama. Tapi, Elena tetap bersyukur. Masih banyak di luar sana yang sampai saat ini masih sibuk mencari pekerjaan. Memangnya, sebanyak apa sih loker yang buka tiap hari? Palingan juga cuma sedikit dan itu pun dengan gaji yang menyedihkan. Walau terkadang ditulis di atas UMR, nyatanya nanti ada potongan-potongan yang akhirnya membuat gaji itu balik lagi di bawah UMR.
"Seandainya aja ada kerjaan yang gajinya gede," lirih Elena.
Rinda membulatkan matanya. "Oh, shit! Ini pasti malaikat baru aja lewat."
Elena menoleh. Menangkap ekspresi tak percaya Rinda dengan mata melotot pada ponselnya. "Apa?"
Satu tangan Rinda terulur. Menarik Elena ke arahnya. "Kamu mau gaji sepuluh juta sebulan, Len?"
"Sepuluh juta?" tanya Elena sambil mengerutkan dahinya membentuk beberapa kerutan. "Ngasih makan buaya darat atau jadi lobang buaya?"
Rinda mengangkat wajahnya dan ponselnya ke arah Elena. "Jadi babysitter digaji sepuluh juta."
"Eh?" Elena terkesiap tak percaya. Ia menoleh pada ponsel Rinda dan membaca. Spontan lidahnya melirih. "Ini babysitter anak manusia atau anakan buaya?"
Rinda menggeleng. "Anakan buaya juga imut-imut, Len."
"Coba sini aku lihat!" seru Elena mendadak bersemangat.
"Itu cocok buat kamu, Len. Aku udah baca persyaratannya."
Elena mengambil alih ponsel Rinda dan membaca lowongan pekerjaan itu. Dahinya semakin lama semakin berkerut dengan tiap kata yang ia baca.
"Kelas 4 SD... Oke, ini membuktikan bahwa yang dicari babysitter untuk anak manusia," katanya pelan. "Ya kali anakan buaya pergi ke sekolah." Elena meneruskan membaca. "Syarat pertama wanita. Oke, aku wanita tulen dari lahir. Bukan wanita jadi-jadian apalagi buaya jadi-jadian. Tidak ada batasan usia, ehm... baguslah. Umur 29 terkadang terlalu banyak intimidasi. Nggak tahu aja wajah 29 tahun aku masih lebih muda daripada anak SMA kelas 3 yang bibirnya pada merah merona kayak abis makan cabe sekilo."
Rinda geleng-gelenge kepala.
"Sabar dan disiplin." Elena menyesap kata-kata itu. Ia menatap Rinda. "Bukannya cobaan hidup ini udah membuktikan bahwa aku cewek yang sabar ya?" Ia tertawa melihat Rinda yang bengong. "Dan aku cukup disiplin."
"Ya ya ya."
"Siap bekerja di bawah tekanan?" Dahi Elena kembali berkerut. "Seberapa menekannya menjadi babysitter, Rin?"
"No idea. Belum pernah jadi babysitter soalnya."
"Ehm...," gumam Elena. "Setidaknya S1 dari Universitas terakreditasi A oleh DIKTI." Elena bergumam lagi. "Oke, that makes me confused. Korelasinya antara akreditasi kampus dengan jadi babysitter apa?"
Kedua bahu Rinda terangkat. "Ada sebagian orang yang nyari babysitter sekalian dengan guru private gitu. Mungkin itu alasannya."
"IPK ≥ 3.00? Really? Ini beneran nyari babysitter? Bukannya tim pengajar Olimpiade Matematika kan?" tanya Elena semakin heran. "Menguasai sedikitnya 3 bahasa asing? Waw?" Mata Elena mengerjap-ngerjap.
"Inggris, Korea, Jepang, Italia, dan sedikit Thailand. Kamu bahkan lima bahasa. Belum termasuk Sunda, Padang, dan Melayu. Total ada delapan malah."
Elena bergidik. "Sunda, Padang, dan Melayu bukan bahasa asing, by the way. Bahasa daerah."
"Di beberapa telinga orang, itu bahasa asing."
Elena menyerah. "Ini serius bukan lagi nyari sekretaris gitu?" tanyanya kemudian. "Tapi, nggak mungkin juga sekretaris menginap kan?" Itu persyaratan selanjutnya. "Kabar bagusnya adalah tidak membutuhkan pengalaman. Ini adalah yang paling penting."
Elena menarik napas panjang.
"Dicoba aja, Len. Itu menggiurkan loh. Kalau aja aku memenuhi kualifikasi, aku yang bakal daftar. Liat deh gajinya."
Pandangan Elena menurun. "Gaji senilai sepuluh juta? Ehm. Ini bakal ngasuh cucunya Pak Jokowi atau gimana ya?" Gadis itu garuk-garuk kepala. "Seragam, oke. Tempat tinggal yang layak dengan kamar berukuran 5 x 5 m lengkap dengan fasilitas lainnya. Oh, Tuhan! Kalau kamar babysitter aja ukurannya 5 x 5 m, terus rumahnya segede apa ya?"
"Beberapa orang kaya mah memang punya rumah lebih luas dari lapangan sepakbola," kata Rinda.
"Makan minum dibebaskan, oke. Ini bagus. Nggak kebayang aja dapat majikan pelit sama makanan. Ehm, liburan. Bonus weekend sebesar 25% dari gaji pokok. Itu artinya setiap minggu dapat tambahan dua juta lima ratus ribu rupiah? Berarti dalam sebulan total 20 juta dong. Lalu, kenaikan gaji bila pekerjaan memuaskan." Elena menghirup napas panjang. "Kalau gaji awal aja udah sepuluh juta, terus naiknya bisa berapa ya?" Elena menghitung beberapa angka di benaknya dan langsung meneguk ludahnya. "Oh, shit."
"Jadi, gimana?" tanya Rinda. "Mau nyoba?"
Elena menatap Rinda. "Tapi, persyaratan sebanyak ini buat bingung deh. Terus gaji segede ini? Yakin buat ngasuh anak? Aku takutnya ini malah penipuan. Terus pas aku datang ke sana, eh aku malah diculik. Kalau organ dalam aku dijual gimana? Bisa jadi tubuh ditinggal kuyang eike ntar."
Rinda menjitak dahi Elena. "Telepon. Terus kalau misalnya disuruh pergi, kalau sekiranya itu tempat mencurigakan ya nggak usah disamperin."
Elena menimang sejenak. Lalu mengangguk.
Ia menekan nomor ponsel yang tertera. Menunggu beberapa saat ketika panggilannya tersambung. Lalu...
"Hello, can I help you?"
Dahi Elena lagi-lagi berkerut. Ia menarik sebentar ponselnya untuk meyakini bahwa ia tidak salah sambung.
Otaknya berputar dengan cepat.
"Oh, yes," jawab Elena seraya menenangkan dirinya yang sempat bingung. " Jônēn Elena imnida. Zulman-san irassahaimasu ka? I want to ask about his job vacancy as a babysittter."
"Ough... Okey..."
Rinda di sebelahnya terheran-heran ketika melihat Elena yang berbicara dengan satu tarikan napas dan mengombinasikan beberapa bahasa.
"Perfecto!"
Rinda menyahut dalam hati. Numero uno!
"Khxbkhun sahrab wela. Have a nice day, Sir."
Telepon terputus.
Rinda di sebelahnya mendadak mengeluarkan napas lega. "Ceritanya langsung diwawancarai?" tanyanya bingung. "Tadi ngomong apaan aja sih? Sumpah! Mau buka Subscene nggak tahu judul subtitle-nya apa."
Elena geleng-geleng kepala. "Tuh Bapak aneh-aneh aja deh ya. Syok deh pas tadi ngomong English waktu telepon aku diangkat. Jadi kayaknya itu semacam tes langsung kali ya. Aku cuma ngomong basa-basi aja sih sebenarnya. Kayak orang nelepon nomor baru gitu."
"Terus?"
"Dia nyuruh datang jam enam ini."
"Alamatnya?"
"Dia bilang bakal kirim via Whatsapp."
Dan tepat ketika Elena menjawab pertanyaan Rinda, satu pesan masuk ke Whatsapp-nya. Ketika ia membuka pesan itu, satu alamat tertera di sana. Elena menunjukkannya pada Rinda.
"Nih alamatnya."
"Jadi, kamu mau nyoba?" tanya Rinda.
"Why not? Kayaknya ini semacam perumahan elit gitu sih." Elena menggaruk kepalanya dengan satu jari. "Mungkin aku memang bakal ngasuh cucu Pak Jokowi."
"Ngomong-ngomong," kata Rinda. "Kayaknya cucu Pak Jokowi belum ada yang umurnya sepuluh tahun deh."
Elena mengerucutkan bibirnya. "Apa anak Nia Ramadhani ya?"
Rinda mengangkat kedua bahunya. Bodo' deh...
*
tbc...
jadi ini ceritanya mau buat cerita yang ringan dan mudah dicerna 😂😂😂
diusahakan konfliknya ringan 🤣🤣🤣
pkl 23.15 WIB...
Bengkulu, 2020.03.16...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro