Lamaran, Penolakan, dan Janji Yang Tersirat
Yang nungguin part 47 cuuuuung tangan dulu 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
hahahaha... maafkanlah ya baru up sekarang... soalnya aku bukanya jam 6 lewat 10 ciiiin... jadi, eike kudu buka dan ngapa-ngapain dulu... 😂😂😂
oke... sebelumnya, makasih buat antusiasnya... yang baru bergabung, yuk ah vote dulu cerita ini dari part 1 sampe 47... hehehehhe... 🤣🤣🤣
jadi, aku ga tau gimana perasaan kalian nanti pas baca ini... soalnya tadi pas aku ngetik pas aku ngantuk berat... heran deh, hari ini aku capek banget... 🤣🤣🤣
so, happy reading guys... 🤗🤗🤗
==========================================================================
Elena bisa merasakan bahwa ia mengalami kepanikan yang tak terkira. Bagaimana bisa ia tidak panik ketika ia mendapati ada satu drone menangkap kebersamaannya dengan Abraham tadi?
Ya Tuhan.
Dan sekarang Elena bertanya-tanya, entah siapa yang melihatnya tadi? Tapi, terlepas dari siapa pun orangnya, Elena yakin, itu tetap saja bermuara pada satu kesimpulan. Ia berada dalam masalah.
Dengan gemetar, Elena menuruni tangga. Melihat ke sana ke mari mencari Claressa dan ia menemukan majikan kecilnya itu di taman. Ia bergabung ke sana dan berbaur dengan para anak-anak.
Elena memucat ketika melihat ada drone di atas meja teras. Claressa mendekatinya.
"Kamu mau main drone, Len?" tanya Claressa tanpa menangkap raut kepanikan Elena. "Nanti ya. Kita tunggu Uncle Jack. Dia lagi nemui Daddy."
Deg!
Jantung Elena terasa bagai tak berdetak lagi.
Ia meneguk ludahnya dengan penuh ketakutan.
Jack... Dia yang melihat kami.
Tapi, ketakutan belum benar-benar melingkupi dirinya. Tatkala entah mengapa, seakan tubuhnya memiliki radar sendiri, ia membalikkan tubuh di saat yang tepat. Ketika Dania dan Ayuhdia muncul di ambang pintu samping. Mereka berdua tampak menatap Elena tanpa kedip. Sedang di sebelah Elena, Claressa menarik-narik tangan Elena.
"Len..."
Gadis kecil itu lalu beralih pada Dania dan Ayuhdia.
"Oma?"
Ayuhdia tersenyum. Memperbaiki selendang yang teruntai di sepanjang punggung dan kedua sikunya. Ia tersenyum pada Claressa.
"Boleh Oma bicara sebentar dengan pengasuh kamu, Sayang?"
Claressa berkedip-kedip polos, mengangguk.
"Saya pikir, kita perlu bicara," kata Ayuhdia. "Mari kita ke dalam."
Elena meneguk ludahnya.
Harusnya kamu pergi selagi bisa, Len.
Dan kengerian membayang di benak Elena.
Inilah waktunya.
Inilah saatnya.
Elena menahan desakan untuk meringis, alih-alih ia memasang wajah datar sebisa yang ia lakukan.
Bersiap dengan apa pun kemungkinan buruk yang akan terjadi. Terutama ketika ia melihat bagaimana Dania menatapnya dengan tatapan yang membuat Elena mual seketika.
Elena menarik lepas tangannya dari Claressa. Dengan langkah pelan ia menghampiri Ayuhdia dan Dania yang langsung memutar tubuhnya. Tapi, ketika mereka baru melangkah beberapa langkah, suara berderap terdengar dari lantai atas. Dua pria dewasa berlari hingga Elena yakin rumah itu terasa bagai diguncang gempa.
Abraham dan Jack tiba dengan napas yang sama-sama tersengal, namun dengan ekspresi berbeda. Abraham dengan jelas menatap Dania tanpa kedip sedikit pun, lalu beralih pada Ayuhdia yang menampilkan raut wajah tak terbaca, sedang Elena... Abraham hanya bisa mengepalkan tinjunya ketika menyadari sesuatu.
Sial! Aku baru saja berusaha mendapatkan kepercayaannya dan malah ini yang terjadi?
Di belakangnya, Jack menepuk punggungnya pelan. Ia berbisik. "This is your fucking shit, Bro."
*
Abraham tahu situasi saat ini tidak bisa lebih buruk lagi. Ini seperti kesialan semua makhluk di Bumi sedang dilimpahkan semua padanya.
"Mom..."
Ayuhdia menoleh dan menatap Abraham. Pria itu seketika beralih pada Michael.
"Dad? Want to say something?"
Pria paruh baya itu tersenyum muram dan menggeleng. "I dont know anything about this, Son. Tell me first."
Jadi, bagaimana Abraham akan menjelaskannya?
"Maybe..," lirih Michael, "berbicara adalah solusinya."
Ayuhdia menarik napas dalam-dalam, beralih pada suaminya yang duduk tepat di sampingnya. Mereka berdua layaknya hakim yang siap untuk menjatuhkan vonis terhadap tersangka. Elena.
Sedang Elena merasa tak berdaya ketika pada akhirnya, Ayuhdia memutuskan untuk mereka berkumpul di ruang kerja Abraham. Untuk pertama kalinya, Elena benar-benar merasa bagai tak bernyawa berada di dalam ruangan itu. Terutama dengan keadaan di mana semua orang tampak terfokus padanya. Bahkan Jack dan Dania pun tak segan-segan menatap padanya.
"Tapi, nggak dengan cara yang seperti ini."
"Mommy sudah mendengar semuanya, Ab," kata Ayuhdia. "Dania sudah menceritakannya pada Mommy sebelum kepulangan kami hari ini."
Dania tampak menegapkan punggungnya. Menatap Elena seraya tersenyum merendahkan.
"Apa yang ia katakan?" tanya Abraham dengan suara berat. Sungguh, melihat Elena berdiri seolah benar-benar menjadi tersangka yang siap dihukum mati membuat seluruh tubuhnya terasa nyeri. "Ini harus menjadi cerita dua arah."
Michael melirik Dania. "Tell me, Dan."
Dania berpura-pura bersikap sopan ketika ia berkata. "Kalau aku harus menjelaskannya dengan singkat, maka bisa aku bilang kalau Elena berusaha untuk menggoda Abraham."
Elena diam-diam menarik napas panjang.
"Menggoda?" tanya Abraham tak percaya. "Mommy percaya dengan perkataan Dania?"
"Mommy sudah mengenal Dania lama, Ab."
"Dengar, Mom. A---"
"Abraham!" potong Ayuhdia. "Bisakah kamu duduk dengan tenang? Mommy bahkan belum sempat mendengar suara wanita itu."
Abraham menggeram. "Elena, Mom. Namanya Elena."
"Baik. Elena." Ayuhdia kemudian beralih pada Elena. "Dania sudah menceritakan banyak hal ke saya."
Elena menegakkan wajahnya, menatap Ayuhdia. "Tepatnya apa yang sudah Nona Dania ceritakan pada Nyonya?"
"Ehm... tentang perilaku kamu yang memberikan dampak pada Claressa. Dan tentang bagaimana kamu yang berusaha untuk mendapatkan Abraham."
Abraham menahan keinginan untuk mengumpat.
"Mendapatkan Mas? Seperti dia barang saja."
"Jack," sengit Ayuhdia.
"Aduh!" lirih Jack ketika menggeser duduknya. "Kakiku..."
Michael mengulum senyum melihat kelakuan Jack.
Elena menarik napas. "Apa saya bisa membela diri, Nyonya?" tanya Elena dengan suara bergetar.
Ingatan gadis itu tertarik ke belakang. Ironis memang, tapi ia merasa sedang mengalami hal yang sama untuk kedua kalinya.
Ayuhdia menatap Elena tak berkedip. "Oh, kamu mau membela diri?"
"Saya mengharapkan itu mengingat Nyonya mengadakan pertemuan semacam ini," kata Elena. "Karena kalau saya tidak diperkenankan membela diri, mungkin Nyonya bisa mempertimbangkan untuk langsung mengusir saya. Mengingat Nyonya hanya menginginkan penjelasan satu pihak."
Mata Ayuhdia membulat, sedang Michael terdengar mendehem pelan.
"Wah! Lihat kan, Tante!" seru Dania. "Lihat betapa beraninya wanita ini kepada Tante!"
Elena menoleh. Keadaan benar-benar tidak berpihak padanya, jadi ia berkata. "Saya pikir lebih baik berani daripada sembunyi-sembunyi bermain belakang, Non."
Dania merasakan wajahnya memanas seketika.
"Jadi, sebenarnya pembelaan diri saya tidak akan panjang lebar, Nyonya. Saya khawatir apa pun yang saya katakan tidak akan berguna. Karena Nyonya lebih lama mengenal Nona Dania kan?"
"Ehm..." Ayuhdia menarik napas.
"Yang bisa saya katakan adalah mungkin Nyonya bisa menanyakan langsung pada dua objek yang bersangkutan. Claressa dan..." Elena meneguk ludahnya. "Tuan Abraham. Itu akan lebih adil dibandingkan mempertemukan saya dan Nona Dania."
"Saya jelas akan melakukan itu," kata Ayuhdia tenang. "Sekarang adalah waktu untuk kamu."
"Itu melegakan saya." Gadis itu benar-benar menarik napas panjang dan mempersiapkan dirinya. "Selanjutnya," lirih Elena seraya merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar amplop putih. "Saya ingin menyerahkan ini."
Elena maju dan menyerahkan amplop putih itu kepada Ayuhdia.
"Apa ini?" tanyanya.
Sedang Abraham, seakan bisa menerka arah pikiran Elena, sontak terkesiap. "Elena... jangan bilang."
"Surat pengunduran diri saya, Pak."
Abraham bangkit. "Kamu mau pergi?"
"Sebenarnya, sebelum hari ini saya memang sudah mempertimbangkan untuk pergi. Bisa Nyonya lihat tanggal di surat itu. Saya membuatnya beberapa hari yang lalu."
Ayuhdia melihat tanggal tersebut dan mengangguk. Ia menatap Abraham. "Memang. Dia ingin mengundurkan diri dua hari yang lewat."
"Tapi, itu sebelum hari ini kan?" tanya Abraham. "Kamu nggak jadi menyerahkan surat itu kan? Ya Tuhan, Elena. Kamu mau pergi?"
Elena memulas senyum tipis. Dua hari yang lalu, ketika ia menulis surat itu, ia sempat ragu. Akan benar-benar menyerahkannya atau tidak. Dan sekarang, ketika semua itu terjadi, Elena yakin bahwa surat itu akhirnya benar-benar akan ia gunakan.
"Ya. Saya ingin pergi, Tuan. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih untuk semua kebaikan yang saya terima di rumah ini."
"Astaga!" Ia beralih pada orang tuanya. "Apa harus seperti ini?"
"Mommy nggak pernah menyuruh dia untuk pergi, Ab," kata Ayuhdia. "Kalau dia memang ingin pergi, berarti itu keinginannya."
Abraham meringis. "Dengan semua ini? Menghakimi dia di depan semua orang? Mommy tega."
"Ehm, Ab," dehem Michael. "Perhatikan kata-katamu. Dia mommy kamu."
"Mommy yang aku kenal nggak kayak gini, Dad."
Ayuhdia membulatkan matanya.
"Tante bisa lihat sendiri kan bagaimana wanita itu sudah memperdaya Abraham?" tanya Dania. "Wanita itu memang seharusnya diusir dari rumah secepat mungkin."
"Dania! Jangan buat kesabaran aku habis!" geram Abraham. "Dan aku pastikan tidak ada seorang pun yang bisa mengusir Elena dari rumah ini."
"Ab, dia hanya babysitter."
"Tapi, aku sudah melamarnya!"
"Pak!"
Seruan Elena menjadi tak berguna ketika Abraham sudah mengumumkan hal itu. Suasana mendadak hening seketika. Semua telah terlambat. Abraham telah mengumumkan hal itu. Jelas membuat semua orang menjadi kaget tak percaya. Hanya terdengar 'wah kecil' dari Jack.
Michael kemudian terbatuk, Ayuhdia terlihat kesulitan bernapas.
"Ka-Kamu melamarnya?"
Abraham mendelik pada Dania. "Ya! Dan aku berencana menikahinya dalam waktu cepat."
"Abraham! Bagaimana bisa kamu melakukan itu? Aku sudah menunggu kamu selama ini!" jerit Dania histeris.
"Dan aku sudah menolak kamu dari dulu!" tukas Abraham tanpa perasaan.
"Kamu benar-benar melamarnya?" tanya Ayuhdia.
"Aku baru saja melamarnya siang ini dan a---"
"Saya menolak lamaran Bapak."
Suara Elena yang memotong perkataan Abraham membuat pria itu tercekat. Tak percaya ia menoleh pada Elena.
"A-Apa kamu bilang?"
Elena tersenyum tipis. "Aku menolak lamaran kamu."
Kalau tadi Ayuhdia syok mendengar Abraham melamar Elena, maka sekarang wanita paruh baya itu syok mendengar kenyataan bahwa Elena menolak lamaran itu.
"Ka-Kamu menolak lamaran Abraham?" tanya Ayuhdia dengan suara tercekat. "Menolak Abraham? Menolak lamaran putra saya?"
Elena menatap Ayuhdia yang memandangnya tak percaya. Ia mengangguk. "Saya menolaknya."
Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. Di sebelahnya, Michael meremas jemari istrinya.
Abraham beranjak mendekati Elena. Meraih tangannya dan berkata. "Kamu bilang kamu cinta aku, Len. Terus ke-ke-kenapa? Kamu becanda kan?"
"Aku serius," jawab Elena pelan. "Aku memang cinta kamu, tapi itu nggak menjadi jaminan untuk aku menerima lamaran kamu sekarang kan?" Elena menatap Abraham. "Jadi, sekarang yang terpikir di benakku adalah menolak lamaran kamu."
Abraham membuka mulutnya, tapi tak menemukan kata-kata yang bisa membalas perkataan Elena.
Di lain pihak, Ayuhdia yang mendengar perkataan Elena, semakin terkesiap. "Kamu sungguh-sungguh menolak lamaran Abraham?"
Jadi, Elena perlahan melepaskan diri dari Abraham. Mengambil jarak yang cukup dan berkata pada Ayuhdia.
"Maaf, Nyonya. Tapi, saya sungguh-sungguh menolak lamaran putra anda."
"Wah!" kesiap Jack. "Ada yang menolak seorang Abraham Rhodes. Itu prestasi."
"Tu-Tunggu..." Ayuhdia mengelap dahinya, terasa begitu syok menyadari bahwa Elena bersungguh-sungguh menolak Abraham.
Elena melirik pada Abraham. "Aku sudah bilang kan? Keadaan ini nggak bakal berhasil..."
"Elena..."
"Aku sudah bilang, aku akan dipermalukan. Tapi, kamu nggak percaya aku. Lihat kan apa yang terjadi sekarang? Aku nggak mau hidup di situasi seperti ini. Nggak bisa."
Abraham menatap nelangsa pada Elena. Bisa semua orang lihat bagaimana ketegasan Elena ketika berkata seperti itu. Ia tak akan goyah.
"Walau..," lirih Elena kemudian seraya beralih pada orang tua Abraham, "saya memang harus jujur. Saya benar-benar mencintai putra kalian. Dan menolak lamarannya adalah bukti bahwa saya benar-benar mencintainya."
Elena menarik napas dalam-dalam. Ia tak mau, tapi entah mengapa ia mendadak tertarik ke belakang. Saat pertama kali bertemu Abraham dan seketika langsung memuja pria itu.
"Kalau saya menerima lamaran putra kalian sekarang, semua orang yang berada di ruangan ini akan mempertanyakan cinta saya. Hubungan kami."
"Elena!" potong Abraham. "Persetan dengan omongan orang! Yang aku inginkan hanya hidup bahagia dengan kamu!"
"Dan apa menurut kamu aku bisa bahagia kalau orang-orang memandang kamu rendah seperti mereka memandang aku?" tanya Elena dengan mata berkabut. "Mereka akan mengatakan bahwa kamu mencintai aku hanya karena aku goda. Lihat! Aku hanya akan membuat kamu berkubang bersama aku. Dan aku nggak mau itu!"
"Tapi a---"
"Aku tahu kamu nggak peduli, tapi aku peduli. Satu-satunya bukti bahwa aku benar-benar mencintai kamu adalah dengan melepaskan kamu sekarang." Kedua tangan Elena terkepal erat di sisi badan. "Jadi, Nyonya dan Tuan, setelah saya menyerahkan surat pengunduran diri dan menolak lamaran Tuan Abraham, saya akan pergi dari rumah ini."
"Kamu serius?"
Elena mengangguk sebagai jawaban pertanyaan Ayuhdia. "Nyonya tidak perlu khawatir. Saya akan pergi ke tempat yang jauh dan bahkan tidak akan memberitahu putra kalian ke mana saya pergi."
Michael menarik napas panjang. "Kamu tidak perlu bertindak hingga sejauh itu."
"Menurut saya perlu." Elena menegakkan kepalanya. Karena bukan Abraham yang ia ragukan, melainkan dirinya sendiri. Berada di dekat pria itu, tapi tak mampu menyentuhnya akan lebih menyiksa dibandingkan terpisah jarak ribuan kilometer. "Tapi, sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih pada Nyonya dan Tuan."
Ayuhdia dan Michael tampak saling pandang dengan heran.
"Terima kasih?"
Kali ini, Elena memantapkan hatinya. Ia tersenyum lepas. Bersiap untuk meluapkan semua apa yang ia rasakan.
"Saya ingin berterima kasih karena kalian sudah menghadirkan Abraham ke dunia ini. Mendidiknya dengan sangat baik. Dan menjadikannya pria yang sempurna."
Abraham terpaku di tempatnya berdiri.
"Saya tidak pernah menemukan pria yang begitu sopan seperti putra kalian. Seorang pria yang bisa menghargai wanita dengan keinginan-keinginannya. Setiap tindakan dan perbuatannya sangat mencerminkan pria sejati yang saya impikan." Elena tersenyum, tanpa sadar sebutir air mata jatuh di pipinya.
Semua orang hanya bisa diam mendengarkan perkataan Elena.
"Pertama kali saya bertemu Abraham, saya pikir dia adalah pria yang paling menyebalkan. Tapi, ternyata dia adalah pria yang begitu perhatian. Setiap malam ia akan mengunjungi Claressa yang tidur dan mengecup dahinya. Terlalu sempurna kan ya? Bagaimana bisa ada orang yang bisa menjadi pria sejati dan ayah yang penuh kasih secara bersamaan?"
Elena menarik napas dalam-dalam.
"Dia juga bercerita tentang kalian. Tentang bagaimana Nyonya dan Tuan bertemu. Juga tentang adiknya. Dan dari sana saya tahu betapa Abraham sangat menyayangi kalian semua."
Kata-kata yang dilontarkan Elena semakin membuat Abraham tak tahu harus melakukan apa. Ia hanya bisa terdiam, menahan semua emosi yang menyeruak di dadanya.
"Saya tahu kalau kalian nggak akan percaya ketika saya mengatakan bahwa saya benar-benar mencintai Abraham dengan tulus. Tapi, itu nggak jadi masalah. Seandainya saya di posisi kalian, memiliki putra seperti Abraham dan dia menjalin asmara dengan seorang pengasuh, saya pun akan berpikir yang sama. Jadi, saya mundur." Ketika kalimat itu terucap, air mata tak lagi malu-malu untuk jatuh di pipinya. "Saya menyadari saya siapa. Dan saya memang tidak pantas bersanding dengan Abraham."
Sesuatu membuat jantung Abraham bagai diremas. Di sinilah ia, melihat wanita yang ia cintai berurai air mata karena dirinya.
"Dulu.." Elena sedikit mengelap air matanya. "Saya selalu berharap bisa menjadi Cinderella. Seorang Pangeran Tampan yang kaya raya datang melamar saya dan saya pun hidup bahagia. Tapi, sekarang saya benar-benar tidak ingin mengharapkannya."
Tapi, itu khayalan yang begitu ia dambakan. Dan sekarang, ia akan melepaskannya.
"Saya nggak mau melihat Abraham dipandang rendah karena menikahi wanita yang bekerja sebagai pengasuh anaknya. Seumur hidup saya sudah merasakan hal semacam itu dan saya nggak mau Abraham mengalami hal yang sama."
"Elena..."
"Jadi, apapun yang terjadi, semua akan saya bawa beserta dengan kepergian saya." Elena mengganti air matanya dengan senyuman. "Saya ingin suatu saat nanti Abraham bisa memandang dunia dengan penuh rasa bangga akan wanita yang ia pilih. Saya hanya berharap kebahagiaan untuk putra kalian."
Ayuhdia dan Michael sama-sama tak mampu bersuara.
"Semuanya sudah saya katakan," kata Elena kemudian. "Kalau begitu, saya permisi."
Elena memberikan satu senyuman terakhir dengan wajah yang terangkat tinggi dengan penuh rasa percaya diri. Lalu, memutar tubuh dan ketika melintasi Abraham, ia berkata.
"Ironis kan?" Ia tersenyum geli. "Tapi, itu risiko yang setimpal karena mencintai kamu, Abang."
Elena pergi.
Sejenak pria itu tertegun, lalu ia tertawa terbahak-bahak.
Seketika membuat semua orang di dalam ruangan itu ketakutan. Ini tidak seperti Abraham langsung kehilangan kewarasannya kan?
"Abraham?" Suara Ayuhdia terdengar ragu. "Kamu nggak apa-apa, Nak?'
Abraham mengangguk. "Aku baik-baik saja, Mom." Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku nggak pernah merasa sebaik ini."
"Kamu membuat kami ketakutan," kata Michael.
"Kamu nggak mendadak gila kan, Mas?"
Abraham terkekeh. "Kalian semua melihatnya kan?" tanya Abraham seraya menunjuk ke pintu. "Bagaimana bisa aku nggak jatuh cinta dan tergila-gila dengan wanita itu? Ya Tuhan. Dia benar-benar sempurna."
"Well, kamu seperti orang yang mabuk cinta, Mas."
"Gimana bisa nggak? Dia wanita yang pintar dan berani memegang teguh pendiriannya. Aku bahkan nggak mikir dua kali untuk mengatakan bahwa itu benar-benar membuat ia begitu sempurna." Abraham tersenyum lebar dengan mata yang menghangat. "Menurut kalian, di mana aku bisa menemukan wanita seperti itu? Wanita yang nggak hanya mencintai aku, tapi juga bisa merebut hati Claressa?" Abraham terkekeh dan satu aliran air mata menetes di pipinya. "Keberuntungan aku nggak mungkin datang dua kali."
"Tapi, dia sudah menolak kamu, Mas."
Abraham mengangguk. "Dan karena itulah mengapa aku semakin mencintai dia, Jack."
Jack melihat kakaknya dengan ngeri. Pria itu jelas tertawa, tapi matanya berurai air mata.
"Oh, Tuhan! Mungkin hanya aku pria di dunia ini yang bahagia karena lamarannya ditolak."
Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. "Kalau begitu, biarkan saja semua seperti yang ia inginkan, Ab."
Abraham menatap Ayuhdia. "Terima kasih, Mom." Pria itu melangkah dan memeluk Ayuhdia. "Mommy tahu kan kalau aku bersyukur memiliki Mommy?"
Ayuhdia mencium pipi putranya. "Kamu mungkin ingin membantunya berkemas."
Abraham mengangguk dan segera keluar dari sana.
Jack menggaruk kepalanya. Bingung, tapi sebelum ia sempat bertanya ia malah mendengar Ayuhdia berkata pada Dania.
"Kamu sudah melihatnya sendiri kan?"
"Tante, aku..."
"Abraham mencintai wanita itu." Ayuhdia menarik napas dalam-dalam. "Wanita itu pasti sangat menakjubkan hingga bisa membuat putraku yang begitu penurut membelanya di hadapanku."
"Tante, aku sudah menunggu Abraham selama ini dan Tante juga mengizinkan aku mendekati Abraham."
"Tidak menjadi jaminan bahwa Abraham akan mencintai kamu."
"Ini nggak adil, Tante." Tangis Dania mulai pecah. "Aku yang menunggu selama ini harus kalah dengan wanita yang baru datang."
"Apa kamu mau hidup dengan pria yang tidak mencintai kamu?" tanya Ayuhdia dengan lembut. "Nggak ada rumah tangga yang lebih menyiksa dibandingkan dengan hidup satu rumah dengan pria yang hatinya bukan untuk kamu."
Dania tertegun, lalu terisak makin kencang. Merasa terlalu rendah ia dipermalukan oleh takdir dan tanpa permisi ia menghambur keluar.
Jack menghela napas panjang.
"Ada yang mau menjelaskannya padaku?"
Michael tersenyum. "Hanya satu kalimat. Mungkin dalam beberapa tahun kamu akan mendapatkan kakak ipar baru."
Jack semakin bingung. "Bukankah yang tadi itu mereka berpisah?"
Ayuhdia bangkit. "Wanita itu akan kembali."
"Tentu saja ia akan kembali," kata Michael. "Ada pria yang menunggunya di sini."
*
tbc...
so guys... menurut kalian gimana? 😶😶😶
kalau kalian lupa, mungkin kalian bisa baca blurb di part pertama ya mengapa aku memutuskan untuk memilih jalan ini sebagai eksekusinya... 🤗🤗🤗
jadi, aku ragu... karena part selanjutnya belum aku ketik... mungkin tinggal 2 atau 3 part lagi sebelum ending... 😁😁😁
pkl 19.23 WIB...
Bengkulu, 2020.04.29...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro