Jatuh Cinta?
pleaseeee... baca judul part ini jangan sambil nyanyi... hahahha 😂😂😂
beneran deh ya, rencana part ini mau diup siang tadi, tapi gangguan say... haduuuuh... 🙄🙄🙄
btw. kalian masih sanggup kan buat menikmati fase pasangan yang tengah berbunga-bunga? hahahha... awas ya jadi pada melayang-layang... 🤣🤣🤣
ah iya... aku persilakan untuk komen-komennya... ahahhah... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Claressa menguap seraya masuk ke kamarnya. Ia baru saja pulang sekolah sekitar setengah jam yang lalu. Dijemput oleh Doni dan juga Elena. Ketika pulang, ia segera makan siang. Dan berkat rasa letih yang masih mendera tubuhnya karena aktifitas pikniknya kemaren, sekarang Claressa merasa perut kenyang membuat matanya berat.
Ia segera beranjak ke atas kasur dan mengatakan pada Elena kalau ia akan tidur siang. Elena mengangguk. Membelai kepala Claressa yang menatapnya bingung, namun tak urung juga gadis kecil itu terlelap.
Elena meninggalkan kamar Claressa ketika ia yakin Claressa telah tertidur dengan nyaman. Ia menuruni tangga.
Melewati Lola yang baru saja menyapu teras samping rumah. Mulut Lola bergerak, tapi kemudian memilih untuk tidak memanggil Elena.
Elena terus melangkah. Kali ini ia menuju ke dapur. Membuka pintu kulkas dan menuang segelas air untuknya. Lalu, ia meletakkan gelas yang ia gunakan di wastafel. Di bagian belakang rumah, memanfaatkan pintu dapur yang terbuka, Intan yang tengah memeriksa jemuran pakaiannya, melontarkan tatapan pada Bu Siti yang diam tak bersuara ketika Elena melintasinya tanpa menegur sepatah kata pun.
"Ada apa dengan Elena?" tanya Intan seraya membawa jemuran yang telah mengering.
Bu Siti menaikkan bahunya sekilas. "Sepertinya dari pagi ia mendadak seolah nggak ada di sini."
Lola yang baru datang meletakkan sapu di sudut. "Kayak yang pikirannya ada di mana gitu."
"Benar," kata Bu Siti. "Apa dia lagi ada masalah?"
Intan dan Lola kompak menggeleng tak tahu.
Dan sebenarnya, jelas Elena sekarang sedang memiliki masalah. Bahkan karena masalah itulah seharian ini ia benar-benar tidak fokus. Ke mana pun kakinya melangkah, pikirannya tertuju pada satu hal.
Sebenarnya pagi tadi aku mau ngomong apa sih ke Bapak Tirex?
Ugh!
Rasanya Elena benar-benar frustrasi menyadari bahwa ia mendadak melupakan sesuatu yang ia rasa benar-benar penting untuk ia katakan pada pria itu. Seakan kata-kata itu sudah ada di ujung lidahnya pagi tadi. Siap akan terucap. Tapi, berkat kecupan singkat itu, semuanya musnah lenyap sudah.
Eh.
Ketika itu, Elena tersadar sesuatu.
Tadi dia nyium aku nggak pake izin lagi?
Wah...
Elena tidak percaya.
Dasar laki-laki. Sekali dikasih pasti mau lagi.
Elena menggeram rendah tanpa sadar mengerucutkan bibirnya. Menyadari fakta itu justru membuat ia semakin kesal. Walau sebenarnya ia tak tahu kesal karena apa? Kesal karena ciuman itu? Ehm, Elena yakin ini masih ada kaitannya dengan omongannya yang terlupakan pagi tadi itu.
Sebenarnya, itu benar-benar membuat Elena frustrasi. Gadis itu memang tipe orang yang akan sangat merasa gila sendiri saat mengingat sesuatu. Sampai-sampai seharian ia akan benar-benar memfokuskan pikirannya demi mengingat.
Ugh!
Bahkan sampai malam pun ia benar-benar masih berusaha. Hingga selesai makan malam bersama dengan Bu Siti, Intan, dan Lola, yang mana mereka bertiga saling bertukar pandang dengan heran ketika mengamati Elena sedang gadis itu tak menghiraukan mereka.
Elena baru saja meletakkan piring kotor ketika kemudian ia mendengar celotehan Lola.
"Ah, aku benar-benar hampir melupakan sesuatu."
"Apa?" tanya Intan.
"Tadi pagi, sewaktu aku menyapu lantai atas," kata Lola, "aku dengar loh Tuan lagi ngomong gitu."
Langkah kaki Elena terhenti. Telinganya mendengarkan.
"Tuan ngomong gini." Lola mendehem. "Dia selalu saja berapi-api dan berani,tapi kalau sudah urusan seperti itu, ia malah ketakutan setengah mati."
Intan dan Bu Siti memandang Lola.
"Menurut kamu Tuan lagi ngomongi si pemilik lipstik itu?" tanya Intan.
Lola mengangguk. "Kayaknya sih iya."
Di tempatnya berdiri, Elena meneguk ludah.
"Terus terus?" tanya Bu Siti bersemangat. "Apalagi yang kamu dengar?"
Elena dengan gemetar menunggu jawaban Lola.
Tapi, Lola menggeleng. "Soalnya Pak Zulman lagi lewat di seberang. Jadi aku nggak enak berdiri terus di dekat kamar Tuan. Ketahuan nguping, bisa kena omel aku sama dia."
Elena melepaskan napas lega. Entah apa pun itu, ia benar-benar tidak ingin mereka mendengar hal lebih lanjut tentang pemilik lisptik itu.
Tapi, benak Elena terpikir sesuatu. Dia ngomongi aku di belakang? Elena menggeram. Tidak bisa dimaafkan.
Mata Elena kemudian membulat.
Benar!
Elena mendadak teringat sesuatu yang ia lupakan.
Aku kan harus ngomong ke dia kalau sekarang aku lagi digosipkan oleh ART di sini
Elena keluar dari dapur dan mengeluarkan ponselnya. Ia mengetik pesan.
Pak, sudah pulang?
Elena menggigit bibirnya. Pesan itu sudah terkirim padahal ia belum selesai mengetik. Tapi, naas. Abraham segera membalas pesan itu.
Wah. Aku nggak ngira kalau kamu nungguin aku pulang.
Ini baru saja sampai depan.
Kita ketemu di ruang kerja saja ya.
Tolong sekalian bawakan aku teh dan camilan.
Elena melongo. Merasa kedua bola matanya akan copot gara-gara membaca pesan itu.
Ia segera memutar tubuh, masuk kembali ke dapur. Langsung menyiapkan teh dan camilan yang Abraham pesan.
"Untuk siapa, Len?" tanya Bu Siti.
"Itu," kata Elena sebal. "Bapak Tirex."
Mereka bertiga manggut-manggut dan tak mengatakan apa pun lagi ketika Elena berlalu bersama nampan di kedua tangannya.
"Elena kayaknya benar-benar kesal ya dengan Tuan?" tanya Intan. "Maksudnya dari dulu mereka kayaknya sering banget adu mulut."
Bu Siti mengangguk. "Eh, tapi kenapa Tuan nyuruh dia yang bawain teh dan camilan?"
Intan dan Lola mengerjap.
"Eh, bener juga ya."
*
Pak Restu baru saja menghentikan laju mobil dan dengan segera membuka pintu untuk Abraham, ketika pria itu menyadari ponsel di saku celananya bergetar. Seraya melangkah masuk ke dalam rumah dan memberikan tas kerjanya pada Pak Zulman yang menyambut kepulangannya, ia membaca pesan yang masuk.
Pak, sudah pulang?
Sulit, tapi Abraham tidak ingin dilihat orang kalau ia mendadak senyum-senyum sendiri. Terutama dengan Pak Zulman yang tengah membawa tas kerjanya.
Dengan memasang wajah datar, ia mengetik balasan dengan cepat.
Wah. Aku nggak ngira kalau kamu nungguin aku pulang.
Ini baru saja sampai depan.
Kita ketemu di ruang kerja saja ya.
Tolong sekalian bawakan aku teh dan camilan.
Abraham mendehem berulang kali dan berpaling pada Pak Zulman. Ia berkata. "Pak, sini tas saya. Biar saya saja yang bawa. Saya ada sedikit kerjaan yang mau saya kerjakan."
Pak Zulman dengan patuh memberikan kembali tas kerja itu kembali pada Abraham.
Abraham tersenyum. "Bapak silakan istirahat. Jaga kesehatan ya, Pak."
Pak Zulman terbengong-bengong di tempatnya berdiri. Semakin bengong ketika Abraham berlalu seraya menepuk sedikit lengan atas Pak Zulman. Kepala pelayan yang sudah berumur itu terheran-heran tak percaya ketika dilihatnya Abraham bersiul menaiki dua anak tangga sekaligus.
"Ehm... Mungkin hari ini nilai saham perusahaan sedang naik," lirih Pak Zulman memutar tubuh. Lalu, ia berpapasan dengan Elena yang membawa nampan. "Untuk siapa?"
Elena menarik napas lesu. "Untuk Tuan, Pak. Katanya Tuan mau teh dan camilan."
Dahi Pak Zulman berkerut.
"Permisi, Pak."
Pak Zulman hanya mengangguk sekilas. Membiarkan Elena pergi menaiki tangga dan membelok menuju ruang kerja Abraham.
Di depan pintu, Elena mengetuk sekali dan baru saja akan mengetuk yang kedua kali ketika suara Abraham terdengar.
"Masuk."
Elena segera masuk. Dan menutup pintu di balik punggungnya. Abraham terlihat membuka jas kerjanya dan beranjak menuju Elena yang meletakkan nampan di meja sofa.
"Ini, Pak, teh dan camilannya."
Abraham duduk. "Duduk."
Elena pun duduk seraya meletakkan nampan di sisi meja lainnya.
Tangan Abraham terulur meraih telinga cangkir. Lalu menyesap minuman itu. Ketika ia menikmati tegukan pertama, ia tersadar sesuatu.
"Teh kamu mana?"
Elena menggeleng. "Nggak usah, Pak."
Mata Abraham membesar memberikan sejuta peringatan.
"Aku nggak minum teh malam-malam."
Abraham tersenyum seraya menyesap tehnya lagi. "Terus minumnya apa kalau malam-malam?"
"Kopi."
Lalu tatapan Abraham berubah menjadi tatapan memicing, terkesan menggoda. "Biar tahan begadang tengah malam?"
Blussssh!
Abraham tergelak. "Sepertinya itu kebiasaan yang bagus," kata Abraham. "Tetap pertahankan."
Kipas kipas.
"Mu-Mungkin aku akan mencoba minum teh," kata Elena gagap. Jelas menangkap dengan pasti maksud perkataan Abraham.
Abraham menawarkan tehnya. "Mau?"
"Nggak perlu. Habiskan saja," kata Elena tersenyum ngeri.
Abraham kembali menyesap teh itu. Lalu, gerakannya terhenti, membuat cangkir teh hanya menempel di bibirnya. "Kamu mau minum teh ini lewat bibir cangkir?" tanya Abraham. "Atau lewat bibir aku?"
Wajah Elena memucat.
Bahkan setan dalam diri Abraham pun merinding karena perkataan Abraham. Sedang sisi malaikat dirinya berkata menuduh.
Semua ini gara-gara kamu kan?
Aku? Sembarangan saja. Tanpa aku hasut aja dia udah inisiatif duluan.
Bohong. Pasti kamu yang ngajarin dia.
Enak aja kalau ngomong. Aku aja rasa-rasanya mau kabur ke neraka lagi gara-gara dengar omongan dia.
"Pilih yang mana?"
Elena cemberut. "Bibir cangkir."
Abraham terkekeh ketika Elena mengambil cangkir itu dari tangannya. Ia geleng-geleng kepala. "Padahal kalau minum lewat bibir aku pasti rasanya bakal jadi lebih manis loh."
"Huuukkk!"
Abraham terkekeh lagi melihat Elena yang tersedak.
Itu juga bukan ajaran aku loh, Kat, kata Setan dalam diri Abraham ketakutan.
Malaikat geleng-geleng kepala. Ini benar-benar sudah tidak tertolong lagi, Tan.
Terus gimana?
Gimana lagi? Daripada mata dan telinga kita tercemar, mending kita pergi aja. Terserah deh mereka mau ngapain.
Yakin nggak mau nonton lebih lanjut?
Abraham beranjak pindah ke sebelah Elena. Gadis itu serta merta beringsut menjauh. Eh, tapi dasar si Abraham. Pria itu geser lagi. Elena pun beringsut lagi. Abraham geser lagi. Begitu terus sampai Elena mentok di tangan sofa.
"Gimana tehnya?"
Elena napas dengan susah payah. "E-Enak."
Abraham mengangguk. "Tentu saja. Pasti karena sudah kena mulut aku makanya teh itu enak."
Tangan Elena meremas celana seragamnya di bagian paha. Perkataan demi perkataan Abraham benar-benar membuat jantungnya semakin tidak tertolong lagi.
Abraham menurunkan pandangannya. Menatap tangan Elena yang meremas celananya. Pria itu menyunggingkan senyum miring yang selalu membuat lutut Elena lemas seketika.
Ugh. Beruntung gadis itu tengah duduk sekarang. Kalau dia sedang berdiri, mungkin dia akan meleleh merosot ke lantai seperti es krim yang mencair.
"Kamu ngapain ngirim pesan ke aku malam ini?" tanya Abraham. "Kamu rindu?"
Fokus, Len, fokus.
"Bukan gitu."
"Terus?"
Elena menarik napas dalam-dalam. Ia ingat urutannya tadi.
"Aku mau ngomong sama kamu."
Abraham kembali tersenyum. "Kayaknya baru kali ini kamu manggil aku 'kamu'. Ehm... Boleh juga."
Fokus, Len, fokus.
"Aku serius."
"Aku juga," kata Abraham. "Walaupun aku masih penasaran. Kapan kamu mau manggil aku abang?" Abraham tergelak melihat pipi Elena merona.
"Aku beneran mau ngomong," kata Elena kesal.
Abrahan tersenyum. "Silakan."
Kali ini sorot mata Elena berubah. Ia menatap tajam pada Abraham. "Tadi pagi kamu cium aku nggak pake izin."
Mata Abraham berkedip-kedip. Sepertinya... iya. Abraham meneguk ludahnya.
"Nah kan!"
"Eh. Yang pagi tadi itu bukan ciuman," kata Abraham membela diri.
Elena menatapnya tak percaya. "Terus kalau bukan ciuman apa namanya? Pelukan?"
Abraham tersenyum. "Kecupan."
Aduh, Ibuuuu! Anakmu ini nggak kuat kalau diginiin.
"Jelas kamu nggak bisa membedakan ciuman dan kecupan," kata Abraham percaya diri melihat Elena yang terbengong-bengong. "Yang pagi tadi itu namanya kecupan. Karena itu cuma sekilas."
Elena memejamkan matanya dengan frustrasi. Ketika ia membuka mata, dilihatnya Abraham menatapnya dengan sorot mata geli.
"Eh, tapi kalau mau diingat-ingat," kata Abraham. "Waktu di Puncak, kamu juga nggak ada izin dulu mau cium aku."
Wajah Elena seketika memerah.
"Lihat! Inilah kenapa wanita terkadang nggak adil. Selalu saja pakai standar ganda. Kalau pria duluan yang cium tanpa izin dibilang pelecehan, tapi kalau wanita duluan yang cium tanpa izin dibiarkan saja," kata Abraham. "Memangnya kaum pria nggak bisa merasakan pelecehan seksual apa?"
Elena meneguk ludahnya.
"Me-Memangnya kamu merasa dilecehkan?"
Mata Abraham mengedip-ngedip. "Nggak sih."
"Dasar!" gerutu Elena.
"Yang ada malah nagih."
Wajah Elena pasti sudah tidak bisa lebih memerah lagi, Pemirsa. Bahkan bisa dikatakan tak ada lagi warna merah yang mampu mendeskripsikan bagaimana merahnya wajah Elena saat ini.
"Elena..."
Elena tertegun. Menoleh dan menyadari sepertinya itu kali pertama Abraham memanggil lengkap namanya. Pria itu tersenyum.
"Sepertinya nama kamu memang terasa enak di lidah aku."
Elena sama sekali tidak bisa menerka, nama yang enak di lidah itu yang seperti apa. Ia geleng-geleng kepala dan mengembuskan napas panjang. Lebih untuk menenangkan dirinya sendiri sebenarnya sih.
"Jadi, cuma itu yang mau kamu bilang ke aku?" tanya Abraham. "Kenapa terdengar seperti nyari-nyari alasan buat ketemu aku sih?"
Elena mengerucutkan mulutnya.
"Jujur aja kalau kamu kangen aku."
Elena memicingkan mata. Dan Abraham justru memajukan muka. Elena mundur seketika. Abraham semakin maju tanpa kata-kata.
Tatapan Abraham berpindah-pindah. Dari kedua mata Elena yang resah, hingga bibirnya yang tampak menggoda memerah.
Jantung Abraham memacu di balik dadanya. Terutama ketika ia menyadari bagaimana Elena dengan gugup selalu berusaha menghindari tatapan matanya.
Udara di sekeliling mereka mendadak terasa berbeda.
Satu tangan Abraham terulur. Meraih dagu Elena, membawa wajah itu untuk tetap berada di hadapannya. Memaksa gadis itu untuk menatap matanya yang kelabu.
"Aku kangen kamu."
Mata Elena tak berkedip mendengar pengakuan itu.
"Aku nggak akan malu untuk jujur kalau seharian ini aku benar-benar memikirkan kamu."
Glek.
"Dan kamu tahu apa lagi yang aku pikirkan saat ini?"
Elena menggeleng pelan.
"Aku cuma berpikir untuk mencium kamu."
Mata Elena membesar. "A-Apa kamu harus sejujur ini?"
"Apa kamu lebih suka dengan cowok pembohong?"
"I-Itu..."
Tapi, tatapan intens Abraham membuyarkan semua jawaban yang mungkin bisa dikatakan Elena. Yah, lagi-lagi terbukti. Abraham mampu melenyapkan setiap kata-kata Elena.
Elena berkedip pelan tatkala wajah Abraham menunduk. Fokus mata pria itu hanya tertuju pada satu titik. Lantas, mata Elena memejam.
Kedua bibir Abraham meraup bibir Elena dalam sentuhan lembut. Terkesan pelan-pelan dan berhati-hati. Berlama-lama hanya untuk mencicipi, lalu ia menarik diri.
Ciuman itu mungkin tak lama dan tidak aktraktif seperti ciuman Abraham yang sudah-sudah, tapi efeknya jangan ditanya.
Nyatanya sentuhan itu membuat Elena merasa panas dingin seluruh tubuh.
Ciuman yang dalam dan penuh perasaan.
Abraham tersenyum melihat mata Elena memejam di bawahnya. Terasa begitu pasrah ketika ia membiarkannya untuk menyentuh gadis itu.
Tangan Abraham bergerak. Meraih pinggang Elena. Menariknya ke dalam rengkuhannya.
Mata Elena sontak membuka. Tangannya langsung menempel di dada Abraham. Lalu, ia menggeleng.
"Aku benar-benar harus mengatakan sesuatu ke kamu. A---"
Sungguh Abraham benar-benar paham bagaimana memutus kalimat Elena dengan satu kecupan di sudut bibirnya. Dan yah! Pria itu benar-benar mengerti bagaimana menyentuh Elena. Tak perlu sentuhan dalampun mampu membuat wanita itu hilang akal.
"Aku dengar kok," lirih Abraham seraya memindahkan bibirnya ke pipi gadis itu. Pelan-pelan hingga kemudian berpindah ke rahang gadis itu. "Kamu mau ngomong apa?"
Napas Elena semakin kacau. Terutama ketika wajahnya yang beralih ke leher Abraham membuat aroma pria itu semakin tajam memasuki indra penciumannya.
Abraham memeluk tubuhnya dengan erat. Lalu, ketika pria itu mengecup sisi lehernya, Elena mendadak teringat sesuatu.
"Aku ingat aku harus ngomong apa."
Abraham terkekeh di kulit leher Elena. "Jadi, dari tadi kamu diam gara-gara sibuk berpikir?"
"Eng---nggak juga sih sebenarnya," lirih Elena. Tapi, kemudian ia berusaha serius. Mendorong tubuh Abraham. "Ini penting."
Menahan rasa gelinya, Abraham bertanya. "Apa?"
"Orang-orang di rumah ini mulai membicarakan kita."
Dahi Abraham mengerut. "Aku suka dengan istilah 'kita'."
Elena menggeram. "Bukan itu yang penting."
"Terus?"
Maka Elena menceritakan bagaimana ART mulai mencurigai bahwa Abraham tengah jatuh cinta dan mereka sibuk bertanya-tanya tentang pemilik lipstik itu.
Abraham tersenyum. "Apa aku benar-benar terlihat seperti sedang jatuh cinta?"
"Dengan acara bersiul sambil memasang dasi?" tanya Elena tak percaya. "Mereka bilang itu satu ciri pria yang sedang jatuh cinta."
"Jatuh cinta dengan pemilik lipstik itu?"
Elena terdiam.
"Jadi, apa masalahnya?"
Elena menghela napas kesal. "Itu artinya aku nggak boleh lagi seperti ini dengan kamu. Aku nggak mau lipstik aku nempel lagi ke kemeja kamu."
Mata Abraham melihat bibir Elena. "Kamu nggak pakai lipstik kalau di rumah. Itu artinya aman kan?"
Elena terdiam.
"Atau kalau kamu lebih yakin lagi," kata Abraham sedikit menarik tubuhnya. Lalu mengarahkan kedua tangannya ke depan kemejanya. "Apa perlu aku lepas kemeja sekarang?"
Secepat kilat Elena menutup mulutnya. Mencegah jeritannya untuk keluar. Tanpa aba-aba ia berdiri dan berkata.
"Sepertinya aku harus ngeliat Nona ngerjain tugas. Permisi."
Abraham tertawa terbahak-bahak melihat Elena yang langsung kabur dari ruang kerjanya.
"Aaaah," desah Abraham. "Padahal dari awal dia itu seolah-olah wanita yang paling galak sedunia. Tapi, ternyata ehm... dia imut juga."
Abraham meraih cangkir tehnya. Mengamati sekilas. Menduga-duga bagian mana tadi yang Elena tempelkan pada bibirnya ketika meminum air itu. Setelah yakin, ia meminum teh itu dari pinggiran yang sama.
Benar-benar seperti kurang kerjaan saja. Tapi, mau bagaimana lagi ya. Namanya juga lagi jatuh cinta.
Abraham tertegun.
Apa aku benar-benar jatuh cinta?
*
tbc...
hahahahha...
aku yaaa ngetik akhir-akhir ini selalu aja sambil cengar-cengir... ahhahah... tapi, siapkan untuk part-part selanjutnya ya... pasti lebih heboh lagi... soalnya, si Bapak Tirex mendadak merasa balik jadi anak muda lagi siiiih... hihihi... 😂😂😂
pkl 18.43 WIB...
Bengkulu, 2020.04.22...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro