Jarak Yang Tak Memisahkan
Selamat malam guys...
pada nungguin part 49? 🙋🏻♀️🙋🏻♀️🙋🏻♀️
sorry ya update-nya sedikit terlambat... bukannya apa, tapi mendadak ada masalah dan ngebuat aku marah-marah malam ini... hahahha... dan seingat aku, malam ini adalah kemarahan terbesar aku seumur hidup... kerennya lagi, aku marah-marah di depan Bapak... dan ga dihentikan beliau loh... hahahha... ga usah dipikirin ya, cuma mau share sedikit unek-unek aku aja... 😂😂😂
jadi, semoga kalian menikmati part-part terakhir kita ya... sejauh ini, gimana tanggapan kalian? 🤗🤗🤗
========================================================================
21 Desember 2019
Halo, Len.
Eh, Mommy...
Hari ini bagi rapot. Aku juara empat, padahal aku mau juara tiga.
Tapi, Daddy senang. Kata Daddy aku sangat pintar.
Jadi sebagai hadiah kami akan jalan-jalan.
Coba kalau Mommy ada di sini.
Oh iya, mulai hari ini aku akan nulis cerita aku. Biar Mommy baca pulang nanti.
Aku mau nelpon Mommy, tapi nomor Mommy nggak aktif.
Kata Daddy hape Mommy hilang ya?
Ehm...
Mommy sehat-sehat ya.
Love, Essa.
Claressa meletakkan pena di atas meja belajarnya. Lalu menutup satu buku diary besar yang baru saja ia tulis. Meletakkannya di bawah tumpukan buku-buku pelajarannya. Membuat buku itu tak terlihat.
Pintu kamar Claressa terbuka pelan.
"Sayang..."
Claressa menoleh. "Dad..."
Abraham masuk dan mendekati Claressa. "Tidur?"
Claressa mengangguk.
Abraham lantas membawa Claressa ke kamar mandi. Membantu putrinya untuk menyikat gigi dan mencuci kaki tangannya. Ia pun membantu mengganti pakaian Claressa.
"Kamu benar nggak mau pengasuh yang baru?" tanya Abraham membantu menyelimuti Claressa.
Claressa memegang tepian selimutnya, menggeleng. "Nggak, Dad. Biar Mbak Lola aja bantuin aku beres-beres."
Dahi Abraham sedikit mengernyit. Tapi, ia tersenyum mendapati Claressa yang mengubah panggilannya pada Lola.
Claressa melirik Abraham. "Malam ini ada cerita apa, Dad?"
"Kamu mau cerita apa?"
"Ada cerita tentang putri dan pangeran?" tanya Claressa.
Abraham mendekat dan membelai Claressa, berbaring di sebelahnya. "Ada. Tentang putri yang begitu kuat dan pemberani."
Claressa menguap. "Hoooaaam. Apa dia cantik?"
"Sangat cantik."
"Seberapa cantik dia, Dad?"
Abraham tersenyum. "Secantik yang mampu orang lihat."
Claressa meringkuk dan memeluk Abraham. Dan pria itu membelai tubuh Claressa semakin lembut. Teramat lembut untuk mengantarkan putrinya ke dunia mimpi.
"Sangat cantik di mata orang yang mencintainya."
*
"Jadi, gimana? Apa Patung Liberty di Odaiba dan Patung Liberty di New York itu memang mirip?" tanya Rinda dengan penuh semangat.
Lalu, ia tertawa mendengar perkataan Elena di seberang sana. Beralih pada pelanggan di hadapannya, Rinda bertanya.
"Pesan apa, Mbak?"
Rinda dengan cekatan menjumlahkan pesanan itu dan menyebutkan nominalnya.
"So? Apa udara di sana enak? Ehm... makanannya gimana?" tanya Rinda seraya membawa struk pesanan ke belakang. Memanggil nama rekannya untuk menyerahkan pesanan itu. "Apa pizzanya enak?"
Struk pesanan berpindah tangan, lalu Rinda memutar tubuhnya seraya berucap.
"Eh, lupa ya. Pizza itu kan asalnya dari Itali. Hahahaha." Rinda menepuk dahinya. "Kenapa kamu nggak ke Itali aja coba. Kan kata--- Ups."
Abraham tersenyum di hadapan Rinda.
Rinda buru-buru berkata. "Ntar aku telepon lagi ya. Ada pelanggan spesial." Dan Rinda tak menghiraukan godaan Elena di seberang sana.
"Elena?"
Rinda meneguk ludahnya. Tapi, ia mengangguk sekali.
Abraham menarik napas dalam-dalam. "Burger satu, kentang goreng, dan pepsinya." Ia mengeluarkan selembar uang dan langsung memilih duduk.
Rinda mengamati Abraham yang duduk dan berbisik lirih pada dirinya sendiri.
"Ngapain itu cowok? Lagi kangen Elena? Ckckckck. Sampai-sampai duduk di meja mereka dulu." Rinda mendengus geli. "Dasar bucin."
Dan mungkin Abraham memang sedang merindukan Elena hingga ia dengan putus asa memutuskan untuk mampir ke restoran tempat ia bekerja dulu. Makan di meja mereka dulu mungkin bisa sedikit mendamaikan perasaan pria itu.
"Kangen Elena, Pak?"
Pesanan Abraham datang diantar langsung oleh Rinda. Dan Rinda memutuskan untuk menata pesanan itu seraya duduk di hadapan Abraham.
Abraham tersenyum tipis seraya meraih pepsi dan meminumnya.
"Bapak nggak bisa ngubungi dia?"
Wajah Abraham berubah.
Rinda bersidekap seraya menyandarkan punggungnya. "Well... itu tipikal Elena," katanya. "Sebagai info aja, nomor dia nggak ganti. Tapi, Bapak yang diblokir."
"Saya memang menduga seperti itu. Tapi, nggak habis pikir saja."
Kali ini Rinda membawa kedua tangannya ke atas meja. "Bapak jangan mikir itu karena Elena kejam, Pak. Tapi, dia gitu justru karena takut hatinya bakal goyah kalau Bapak ngubungi dia."
Abraham tertegun.
"Kamu tau semua tentang masa lalu Elena?"
Rinda menarik napas dalam-dalam. Menggeleng. "Nggak ada yang tau, Pak."
"Maksud kamu?"
"Bapak ingat waktu saya bilang Elena itu wanita paling keras kepala yang pernah saya temui?" tanya Rinda. "Juga waktu saya bilang kalau Bapak panjang umur Bapak bakal ngeliat buktinya?"
Abraham mengangguk.
"Sekarang Bapak ngeliat kan buktinya," kata Rinda. "Saya aja sejujurnya nggak tau persis apa yang ia alami. Yang saya tau adalah mendadak pagi buta dia datang ke kos saya, bilang kalau nggak jadi dosen lagi. Terus saya dengar kabar burung tentang gosip dan fitnah yang ia alami di kampus. Bapak tau apa jawaban Elena waktu saya nanya kebenaran berita itu?"
"Apa?"
"Biasa, orang keren mah emang sering digituin." Rinda tergelak, sedang Abraham mau tak mau tersenyum kecil. "Jangankan ke Bapak atau ke saya, ke orang tuanya pun dia nggak ngomong, Pak."
Kali ini Abraham yang menarik napas dalam-dalam.
"Elena itu, Pak, tipe wanita yang nggak mau membuat orang yang ia sayangi khawatir akan dirinya. Apa pun masalahnya, ia akan menghadapinya."
"Saya nggak ngira dia benar-benar sekeras itu," ujar Abraham tersenyum miris.
"Dia wanita yang kuat dan kelemahannya hanya satu." Rinda menatap Abraham. "Orang yang ia cintai."
"Karena itu..."
"Karena itu dia memblokir nomor Bapak dan nggak ngasih tau dia ke mana. Karena takut dia akan luluh dan justru nggak bisa pisah dari Bapak." Rinda tergelak. "Ah, dia benar-benar udah jatuh cinta."
Hati Abraham seketika menghangat. Kenangan akan Elena sontak bermain-main di benaknya.
"Bapak nggak usah khawatir Elena akan selingkuh atau segala macam. Nggak bakal ada cowok yang mau sama cewek galak dan keras kepala kayak dia selain Bapak."
"Well itu..." Abraham tersenyum. "Terima kasih..."
"Sama-sama."
Lalu, Abraham memberanikan diri. Mencoba keberuntungannya. "Apa kamu nggak bisa ngasih tau saya dia pergi ke mana?"
Wajah Rinda seketika berubah. "Elena memang belum pernah ngebunuh saya sih, Pak. Tapi, saya nggak mau nyoba-nyoba digorok sama dia."
"Saya janji saya nggak bakal nemui dia. Saya cuma mau tau dia di mana dan apa yang ia lakukan."
Rinda menarik napas dalam-dalam.
"Cuma itu. Sungguh! Saya beneran nggak bakal nemui dia. Saya juga nggak mau dia ngamuk-ngamuk."
Rinda menimbang sejenak, lantas berkata. "Dia ke Amerika, Pak."
"A-Amerika?" tanya Abraham. "Beneran Amerika? Saya pikir dia pulang ke kampungnya."
Rinda menggeleng. "Dia ke Amerika."
"Ngapain?"
"Melanjutkan sekolah doktornya. Sebenarnya awal tahun ini ketika ia memutuskan berhenti mengajar, dia sudah mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Hanya saja terkendala dengan LoA. Memang sih dia bisa saja mencari pembimbing di sana secara mandiri. Tapi, ia memang sudah termotivasi untuk dibimbing satu profesor di sana. Dia selama ini menunggu LoA dari profesor itu," kata Rinda.
Abraham mencerna informasi dari Rinda. Lama ia menatap Rinda hingga gadis itu menghela napas panjang.
"Dia S3 di Fakultas Pertanian dan Sumber Daya Alam." Rinda menarik napas sekali lagi. "Di Michigan State University."
*
Langit gelap malam itu terasa lebih indah dengan satu bulan purnama di atas sana. Entah bagaimana ceritanya, hal itu justru membuat Abraham teringat akan malam di Puncak bersama dengan Elena.
Well... jelas malam ini ada bulan. Itu karena seseorang sedang tidak berada di dekat aku.
Abraham tersenyum dan menarik napas panjang. Memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan merasakan tepukan di bahunya.
"Mikirin Elena, Mas?"
Abraham menyeringai. "Aku bohong kalau mengatakan nggak."
"Well well well..." Jack melirik dengan tatapan menggoda. "Memang nggak perlu bohong sih. Sudah keliatan jelas banget di wajah kamu, Mas."
Abraham mengangguk.
"Jadi, kapan dia akan kembali?"
"Mungkin tiga atau empat tahun lagi," lirih Abraham. Mengingat penjelasan Rinda beberapa waktu yang lalu, tentu saja waktu yang Elena butuhkan untuk menyelesaikan kuliah doktornya adalah sekitar tiga hingga empat tahun.
"Itu lama sekali," lirih Jack seraya menempelkan satu tangan di dada kirinya. "Ugh. Aku nggak bisa membayangkannya."
Abraham tergelak kecil dan menyodok perut Jack. "Dan kapan kamu bakal pergi lagi ke Bengkulu? Kamu udah terlalu lama di sini."
Jack seketika cemberut. "Rumah ini masih tercatat rumah Mom dan Dad sampai Elena jadi istri kamu, Mas," tukasnya. "Jadi, aku masih bebas mau tinggal selama apa pun di sini."
"Hahahaha."
"Aku hanya nggak bisa membayangkan kamu nunggu selama empat tahun, Mas. Gila! Kamu udah 38 tahun waktu nikah ntar."
Abraham berusaha untuk tidak tersenyum terlalu lebar mendengar perkataan Jack. Ehm, sepertinya menikah seminggu setelah kepulangan Elena adalah hal yang bagus. Tapi, ia jelas tidak akan berbagi ide itu dengan Jack. Adiknya itu pasti akan menggodanya habis-habisan. Jadi, daripada membiarkan dirinya yang diganggu, ia memutuskan untuk balik menggoda Jack.
"Ketika aku berumur 38 tahun, itu artinya aku sudah punya seorang putri yang berumur 14 tahun dan seorang calon istri," kata Abraham. "Nggak seperti seseorang."
Wajah Jack berubah.
"Berumur 34 tahun tanpa pendamping hidup. Ugh." Kali ini Abraham yang menempelkan satu tangan di dada kirinya. "Aku nggak bisa membayangkannya."
Bibir Jack berkedut dalam dorongan ingin menghajar kakaknya. Tapi, ia hanya mendengus.
"Terserah," katany seraya menghempaskan satu tangannya. Memutar badan dan meninggalkan Abraham sembari berkata. "Percuma ngomong dengan orang yang kasmaran."
Abraham tidak akan menghabiskan tenaga untuk menampik hal tersebut. Jack benar.
*
Elena menengadahkan kepalanya. Menatap langit sore yang mendung dan merasakan angin yang bertiup sedikit lebih dingin. Ia lantas menaikkan resleting jaket yang ia kenakan. Tepat di saat ia mendengar ponselnya berdering.
"Halo, Bu!" sapa Elena dengan ceria. "Gimana kabarnya?"
"Baik, Nak. Gimana di sana?"
Elena menuruni tangga gedung kuliahnya. Mulai melangkahkan kaki. Sesekali ia tersenyum ketika berpapasan dengan teman-temannya.
"Enak. Menyenangkan."
Terdengar helaan lega Ibu di seberang sana. "Ini Bapak mau ngomong."
Lalu, suara lembut berganti menjadi suara yang lebih berat. "Sehat di sana, Len?"
"Sehat dong, Pak. Walau sore ini kayaknya sedikit lebih dingin, tapi aku sehat. Apalagi sebentar lagi musim panas. Jadi ya aku sehat-sehat aja."
"Ibu senang dengarnya, Len."
"Bapak sama Ibu selalu berdoa agar kamu sehat dan sukses di sana."
Elena tersenyum mendengar perkataan orang tuanya. Lalu,langkah kakinya terhenti. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Pak, Bu. Sebenarnya aku mau jujur."
"Apa?" tanya Ibu.
Elena menguatkan dirinya dan berkata. "Sebenarnya tahun kemaren aku sudah nggak jadi dosen lagi. Ada masalah di kampus dan aku memutuskan untuk berhenti."
Hening beberapa saat.
"Tapi, Bapak dan Ibu nggak usah khawatir. Sekarang aku benar-benar lagi sekolah di sini. Di Amerika." Elena berusaha berkata dengan suara seceria mungkin, tapi matanya berkabut. Ia merasa bersalah karena berbohong selama ini.
Yang pertama terdengar kemudian adalah suara Ibu.
"Ibu sudah tau kamu nggak jadi dosen lagi, Nak."
Elena tercengang. "Tau dari mana?"
"Hanya firasat," lirih Ibu. "Setiap Ibu menghubungi kamu dan kamu bilang akan mengajar, seminar, atau apa... saat itu Ibu selalu merasa ingin menangis. Ibu nggak tau kenapa, tapi Ibu pikir pasti ada yang kamu sembunyikan."
Elena menengadahkan wajah dan menatap awan kelabu yang semakin menggelap.
"Terlalu sakit untuk dibicarakan?" tanya Ibu.
"I-Iya, Bu." Elena sekuat mungkin menahan air matanya yang ingin jatuh. "Tapi, aku sekarang nggak apa-apa, Bu. Kalau aku nggak mengalami hal buruk itu, sekarang aku nggak ada di sini." Elena tersenyum dan berpikir. Ada kalanya kita akan mensyukuri nasib buruk yang kita lalui.
"Kami tau, kamu pasti bisa melewati semua masalah kamu. Kamu wanita yang kuat, Nak," kata Bapak.
"Tapi, kamu jangan seperti ini terus menerus, Len," kata Ibu. "Kalau ada masalah, ceritakan."
Elena tersenyum. "Tentu saja, Bu. Dan aku sepertinya sudah menemukan orang yang nantinya akan aku ajak bercerita."
Angin terus berembus. Membelai wajah Elena. Menciptakan simfoni syahdu yang membuat gadis itu menarik napas dengan begitu tenang.
Apa ini angin yang sama dengan yang kamu rasakan?
Rintik gerimis pertama jatuh mendarat di pipi Elena. Gadis itu menengadahkan wajahnya. Menyambut rintik lainnya yang menyusul.
Lama, tapi kemudian ia bergumam rendah seraya memandang cincin di jarinya. Mengusapnya dengan penuh perasaan, tersenyum.
"Halo, Abang," katanya geli. "Hari ini, entah mengapa aku merasakan begitu tenang." Ia mengecup cincinnya.
"Seakan kamu sedang ada di sini dengan aku."
Dihirupnya dalam-dalam udara yang membuat ia begitu damai.
"Seakan kamu selalu ada di dekatku."
Dan tak jauh dari tempat Elena berdiri, bersembunyi satu sosok di balik pohon. Seraya menempelkan ponsel di telinganya ia mendengar pertanyaan di sana.
"Gimana, Dad?"
"Dia terlihat sehat dan cantik seperti dulu. Ehm... mungkin sepertinya terlihat lebih cantik."
Terdengar suara tawa di seberang sana. "Hati-hati, Dad. Kalau Mommy tau Daddy diam-diam ngeliatin Mommy, Daddy pasti dimarah."
Abraham tergelak kecil. Sedikit beringsut ketika Elena kembali melangkah berjalan sambil masih mengusap-ngusap cincinnya.
Elena tepat melintas di depan pohon yang menjadi tempat persembunyian Abraham. Gadis itu tersenyum pada cincinnya dan berjalan dengan riang.
Sama riangnya dengan Abraham yang menyadari bahwa wanita yang ia cintai baik-baik saja.
Ehm... sepertinya selama empat tahun ke depan ia memiliki pekerjaan tambahan.
Diam-diam melihat Elena.
*
tbc...
jadi guys, begitulah ya... hehehehe... 😅😅😅
jangan lupa vote dan komennya guys... 😘😘
aku tinggal menyisakan satu part lagi untuk besok... 😁😁😁
see yaaaa... 👋🏻👋🏻👋🏻
pkl 22.27 WIB...
Bengkulu, 2020.04.30...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro