Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Izin Dan Permisi Diterima?

haloha... part 28 akhirnya datang menyapa... hayoooo, apa yang melintas di benak kalian dengan judul part ini? 🤣🤣🤣

hahahaha....

btw. ini part panjang loh ya... jadi, siap-siap aja ngantuk bacanya... hahahah... 😅😅😅

===========================================================================

"Jadi, Daddy mau bawa Elena ke kantor?" tanya Claressa pagi itu seraya sarapan dengan Abraham seperti biasanya.

Abraham mengangguk singkat. "Hanya hari ini. Gimana?"

"Yaaa..." Claressa manggut-manggut. "Terserah Daddy."

"Elena itu pengasuh kamu."

Claressa mengangguk. "Anggap aja dia juga bisa jadi pengasuh daddy."

"Uhuk!"

Anak kecil terkadang omongannya memang terlampau polos.

"Elena bantu Daddy di kantor, rawat Daddy lagi sakit..." Claressa mengerutkan dahi dan mengusap dagunya. "Jadi Elena juga pengasuh Daddy kan?"

Abraham melirik dengan ekor matanya. Ia bisa melihat Pak Zulman mendehem pelan mendengar perkataan itu.

"Ehm..." Claressa meminum susunya. "Mungkin sekarang Elena sedang siap-siap."

Abraham tak menghiraukan perkataan Claressa. Hanya saja di benaknya ia berharap, semoga Elena benar-benar tahu harus mengenakan pakaian apa pagi itu.

Dan sebenarnya, Elena memang tahu ia harus mengenakan apa. Ia bahkan tahu dengan pasti tatanan rambut seperti apa yang tepat untuknya hari ini. Berikut dengan kombinasi sepatu dan tas yang sesuai.

Elena memilih setelan tiga potong, kombinasi antara celana panjang, kemeja, dan juga blazer berkancing satu. Ia dengan sengaja memilih warna hitam dan memadukannya dengan stiletto polos dengan warna senada. Sebagai pelengkap, tas yang ia pilih pun memiliki warna yang sama.

Ia meneliti penampilannya di cermin. Memastikan bahwa rambutnya tersisir dengan rapi. Kali ini ia memilih menyisir rambutnya dengan model updo, alih-alih cepol seperti wanita kantoran lainnya.

Sebelum memutuskan untuk beranjak dari kamar, Elena kembali memastikan bahwa helai-helai rambut yang ia sengaja bebaskan di kedua sisi wajahnya tidak terlalu banyak dan dalam kapasitas yang tepat.

Dan setelah yakin dengan penampilannya, termasuk dengan memastikan bahwa beberapa alat make up dadakan telah masuk ke dalam tasnya, ia beranjak dari kamar. Sekilas ia sempat bersandar pada pintu ketika langkah kakinya sedikit goyah.

Ia menghela napas panjang.

"Padahal baru sebentar aku lepas dari sepatu seperti ini," desahnya seraya kembali melanjutkan langkah.

Ia memutuskan untuk menunggu di teras. Dan tak butuh waktu lama untuk kemudian ia mendengar dua langkah yang keluar.

Ia memutar tubuh. Mendapati Claressa dan Abraham yang mendekat.

"Wah!"

Claressa menganga besar.

Sedang Abraham merasa tak sanggup bernapas.

Elena tersenyum kaku. "Kenapa, Non? Lucu ya?"

Mata Claressa mengerjap-ngerjap. "Kamu cantik banget, Len," puji Claressa. "Ini baju kamu?"

Elena mengangguk sekali. "Udah lama nggak dipake sih, Non."

"Ckckckck." Claressa berdecak. "Kamu bener-bener cantik."

Elena semakin salah tingkah karena perkataan Claressa.

"Jadi, kamu pergi dengan Daddy?"

Nah, itu dia yang jadi pertanyaan Elena tadi.

"Apa saya pergi dengan Nona aja, Pak? Biar nanti Doni ngantar saya ke kantor Bapak?"

Doni yang berdiri tak jauh dari sana berdoa dalam hati. Memangnya ada orang waras yang mau bolak-balik menembus kekejaman jalanan ibu kota di pagi hari? Ya Tuhan. Hamba mohon jangan suruh hamba macet-macetan di jalan.

"Atau kamu pergi aja dengan Daddy, Len?" tanya Claressa.

Mata Elena membulat, tapi ia tak berani melihat pada Abraham.

"Walaupun sebenarnya aku nggak suka nggak diantar kamu ke sekolah," kata Claressa manyun. "Kamu biasa belai-belai kepala aku sebelum aku masuk."

"Ya udah, Non. Biar saya aja ngantar Nona ke sekolah dulu."

Doni terlemas di tempatnya berdiri.

"Bagaimana, Pak?"

Abraham menarik napas. "Atau mungkin kita bisa ke sekolah Claressa dulu, baru ke kantor."

Mata Claressa membulat besar. "Daddy mau nganter aku ke sekolah?" tanya Claressa tak percaya. "Wah! Ayoh, Len!"

Dan Elena hanya terbengong ketika mendapati tangannya ditarik oleh Claressa menuju mobil Abraham.

*

Ketika mereka akan berangkat, Elena berdiri bingung di sisi mobil. Di belakang Claressa sudah duduk dengan nyaman. Di depan Abraham sudah duduk di balik kemudi. Terus aku duduk di mana, Tuhan?

Di belakang atau di depan?

Abraham dan Claressa sama-sama melihat padanya.

Argh! geramnya dalam hati. Lantas, ia membuka pintu belakang. Memutuskan untuk duduk bersama dengan Claressa.

Sepanjang perjalanan, Abraham nyaris tak bersuara. Tapi, ia bisa mendengar setiap percakapan antara Claressa dan Elena di belakang. Sesekali ia bahkan mencuri pandang melalui spion. Melihat bagaimana Claressa, separuh bersandar pada lengan Elena membicarakan banyak hal dengan gadis itu.

Dan ketika sampai di depan sekolah, Elena dengan segera turun dan membantu Claressa. Ia menuntun Claressa hingga ke depan gerbang sekolah. Berjongkok dan merapikan seragam Claressa.

"Tolong jaga Daddy ya, Len."

"Eh? Apa, Non?"

Claressa menatap Elena yang sedang merapikan rambutnya. "Jagain Daddy."

"Eh?"

"Jagain kayak kamu jagain aku," kata Claressa. "Kan pengasuh harus gitu."

"Eh?"

"Tadi waktu sarapan," kata Claressa lagi, "katanya kamu juga pengasuh Daddy."

Ujung bibir Elena berkedut dalam keinginan ingin menelan orang hidup-hidup. Gimana bisa ia mengatakan hal seperti itu pada anaknya sendiri?

Elena akhirnya memilih untuk tersenyum tipis. "Nona belajar yang rajin ya."

Claressa mengangguk. Setelah Elena membelai kepala anak itu sekali, Claressa beranjak pergi seraya mengirimkan dadah padanya dan juga Abraham.

Elena kembali bingung. Sejenak melihat pada pintu belakang dan pintu depan. Bola matanya berputar, lalu menahan napas ketika membuka pintu depan. Ia pun duduk di sana. Di sebelah Abraham.

Mereka sampai di kantor Abraham tepat waktu. Ketika mereka masuk melewati lobi dan resepsionis, beberapa mata tampak memandang padanya. Elena menarik napas dalam-dalam menyadari bahwa dirinya mendadak jadi pusat perhatian pagi itu.

"Astaga! Ini beneran babysitter Claressa?"

Elena tersenyum kaku.

Natasha mendekatinya dan tak segan-segan menunjukkan kekagumannya. "Kamu terlihat begitu berbeda dengan pakaian ini," pujinya. "Abraham yang beliin?"

Abraham mendorong pintu ruangannya seraya berkata. "Itu bukan aku yang beliin. Dan itu memang pakaian Elena."

"Oh," lirih Natasha tak percaya. Ia mengajak Elena untuk masuk dan duduk di ruangan Abraham. "Mungkin sepuluh menit lagi Tadataka Yamada sampai. Kamu nggak apa-apa kan kalau menemani mereka?"

"Nggak apa-apa," kata Elena.

Natasha kemudian menjelaskan beberapa hal penting pada Elena mengingat ia akan mengerjakan hal lainnya. Elena mengeluarkan satu buku catatan kecil dan pena dari dalam tasnya. Natasha melirik dengan dahi berkerut, tapi kembali meneruskan penjelasannya. Hingga kemudian tamu yang mereka tunggu tiba tepat waktu.

Abraham serta merta mengajak Elena untuk memulai pertemuan itu.

*

"Sebelum jadi babysitter Claressa," kata Natasha siang menjelang sore itu setelah pertemuan dengan Tadataka Yamada selesai, "Elena kerja di mana, Ab?"

Abraham membaca ringkasan hasil pertemuannya tadi. "Ehm, katanya sih kerja di restoran cepat saji."

"Masa?" tanya Natasha tak percaya. "Sebelum kerja di sana?"

Abraham mengangkat wajahnya dan menatap Natasha. "Sepertinya di bimbel."

"Bimbel?" tanya Natasha semakin tak percaya.

Abraham tak menghiraukan nada tak percaya dalam perkataan Natasha. Ia makin larut dengan ringkasan itu. Lalu, pintu terketuk dan Ilona masuk.

"Sepertinya kamu memang pintar dalam mencari babysitter," kata Ilona. "Aku baru saja membaca ringkasan pertemuan tadi. Apa dia sebelumnya ada kerja sebagai sekretaris?"

Abraham menuntaskan bacaannya dalam lima detik dan meletakkannya kembali ke atas meja. "Setahuku dia hanya bekerja di restoran cepat saji dan di bimbel."

Ilona manggut-manggut. "Well... dia pintar."

"Kalau dia tidak pintar, nggak mungkin Pak Zulman milih dia untuk ngasuh Claressa."

Ilona dan Natasha tersenyum masam mendengar perkataan Abraham.

"Yah," ujar Ilona. "Dia pintar dan juga cantik. Apa ia sudah punya calon?"

Abraham seketika melihat Ilona. "Calon apa?"

Bola mata Ilona berputar-putar dramatis. "Kurasa enam tahun menjadi duda membuat satu bagian di otakmu sedikit berkarat, Ab."

Natasha tersenyum geli. "Maksudnya tentu saja calon suami, wahai kakak sepupuku tersayang."

Abraham mencerna perkataan itu, lalu menggeleng. "Aku tidak tahu kehidupan pribadinya."

Ilona beralih pada Natasha. "Bagaimana kalau kita jodohkan ia dengan Jack? Dia pulang sebentar lagi kan?"

"Itu benar-benar tipe Jack."

"Benar itu."

Dahi Abraham berkerut. "Sepertinya, mereka berdua nggak cocok."

"Ehm?"

Ilona dan Natasha kompak mendehem, lalu tersenyum geli sambil saling melirik. Mengabaikan itu, Abraham bangkit seraya melihat jam tangannya.

"Mungkin sebaiknya aku mengantar Elena pulang dulu. Sekalian menjemput Claressa. Dan aku juga nggak balik lagi."

Ilona menatap Natasha. "Sejak kapan dia menjemput anaknya dari sekolah?"

Abraham menggeram. "Berhenti berbicara seolah-olah aku nggak ada di sini."

Dua wanita itu hanya tertawa.

*

Selagi menunggu Abraham, Elena menikmati secangkir teh yang tadi ia seduh sendiri di pantry. Ia juga membaca sebuah majalah yang tersedia di meja tunggu. Sedikit memperbaiki duduknya untuk lebih nyaman, mendadak ia merasakan kehadiran seseorang.

Dania dengan terang-terangan menatap Elena dari atas hingga bawah. Gadis itu bingung harus bersikap apa dengan kedatangan Dania. Semenjak insiden tampar-tamparan dan jambakan itu, mereka tidak lagi pernah bertemu.

Pelan-pelan, Elena meletakkan cangkir tehnya. Balas menatap Dania untuk menilai keadaan. Namun, untuk beberapa detik Elena belum juga memutuskan. Harus tersenyum atau memasang tampang datarkah ia?

Dania menarik sedikit satu sudut bibirnya ke atas. "Ternyata kamu lawan yang berat."

Aku cuma empat puluh lima kilogram loh.

Tapi, alih-alih mengatakan itu, Elena justru berkata pelan. "Maaf?"

Dania menghela napas panjang dan bersidekap. Ia mendengus, lalu memulas satu senyum mengejek di bibirnya. "Kamu ingat aja ya, ini belum berakhir."

Dahi Elena berkerut-kerut mendengar perkataan itu. Masih mencerna apa maksud Dania dan keburu wanita itu pergi meninggalkannya.

Elena mengikuti kepergian Dania dari sana dengan pertanyaan yang memenuhi benaknya. Apa yang belum berakhir? Sinetronkah? Ckckckck.

"Sudah istirahatnya?"

Elena menoleh dan mendapati Abraham sudah berdiri di dekatnya seraya bertanya. Ia mengangguk.

"Kalau begitu," lanjut Abraham, "kita jalan sekarang. Sekalian jemput Claressa dan mengantarmu pulang."

Elena mengangguk lagi.

Tak menunggu lebih lama, mereka berdua beranjak dari sana. Menuruni lantai demi lantai mengenakan lift khusus yang diperuntukkan baginya, Abraham mendapati berdua saja dengan Elena membuat waktu berjalan sangat lama. Ironisnya, waktu itu mereka lalui hanya dengan saling berdiam diri. Lebih parah dari itu, ketika melirik Abraham mendapati bahwa Elena menundukkan kepalanya. Benak Abraham bertanya-tanya, pahlawan mana lagi yang sedang ia doakan saat ini?

Mereka berkendara dengan kedamaian yang membuat Bunda Teressa bangga. Benar-benar hening malah. Dan begitulah keadaannya hingga mereka tiba di sekolah Claressa.

Sesampainya di sana, Elena segera turun. Seperti biasa, ia menunggu hingga Claressa datang.

"Wah! Daddy juga jemput aku," kesiap Claressa tak percaya.

Elena tersenyum seraya mengajak Claressa ke mobil.

"Gara-gara kamu, aku jadi ngerasain diantar jemput Daddy, Len," kata Claressa dengan seringai di wajahnya. "Kamu memang hebat, Len." Dua jempol Claressa teracung untuk Elena.

Elena membantu Claressa untuk duduk dengan nyaman di belakang dan ia pun memilih menemani Claressa di sana. Membiarkan Abraham seorang diri di balik kemudinya.

Ketika mobil telah berhenti di pelataran rumah, Abraham melirik ke belakang pada Elena melalui spion.

"Nanti ke ruangan saya sebentar," kata Abraham.

Elena mengerjap dan mengangguk.

Setelah mengantarkan Claressa ke kamarnya dan meminta bantuan pada Lola untuk membantu mengganti seragamnya, Elena pergi menuju ke ruang kerja Abraham.

Ia datang tepat ketika Abraham tengah melepas jasnya dan berdiri di sisi meja. Seraya melepas kedua kancing pada lengan kemeja, menggulung lengan kemeja itu hingga ke siku, ia menunjuk kursi dan menyuruh Elena untuk duduk.

Elena duduk dan ia mendapati Abraham yang masih berdiri menyerahkan sebuah amplop padanya. Sontak saja membuat gadis itu tersenyum sumringah.

"Makasih, Pak," katanya.

Abraham mengangguk. "Sama-sama."

Elena tidak bisa menghentikan dirinya ketika akhirnya ia bertanya. "Apa itu artinya urusan dengan Yamada-san udah selesai, Pak?"

Kedua lengan Abraham bersidekap. Hal itu membuat kemeja yang ia kenakan beralih fungsi menjadi cetakan alami terhadap otot-otot bisepnya di sepanjang lengan. Elena mengalihkan pandangannya dari sana.

"Sudah. Tidak ada pertemuan apa pun lagi dengannya," kata Abraham. "Kenapa?"

"Yah, siapa tahu Bapak masih butuh jasa saya."

Satu alis Abraham naik.

"Saya bisa bahasa Jepang, Korea, Italia, dan sedikit Thailand, Pak," kata Elena. "Kalau ada klien Bapak yang dari negara itu, bisa menghubungi saya."

Abraham mengangguk. "Akan saya pertimbangkan."

"Baik, Pak." Elena kembali tersenyum dan berniat untuk segera pamit, tapi kedahuluan dengan suara Abraham di detik selanjutnya.

"Ehm," dehem pria itu. "Kalau saya boleh menyimpulkan..." Dahi Abraham tampak berkerut karena berpikir. "Apa itu artinya sekarang kamu nggak lagi dalam mode menghindari saya?" tanyanya. "Iya?"

Elena meringis mendengar pertanyaan itu. "Saya bukannya menghindari Bapak. Kemaren itu saya menjaga jarak."

Abraham hanya mengamati Elena ketika bicara. Ia sedikit beranjak ke sisi meja dan mengistirahatkan bokongnya di sana.

"Jangan mengatakan kalau itu seolah-olah kesalahan saya."

Elena cemberut. "Kan nyatanya memang salah Bapak."

"Kalau mulut kamu nggak kelewatan, saya nggak mungkin kayak gitu."

Elena masih cemberut. "Kelewatan gimana, Pak? Saya rasa semua masih di ambang batas kewajaran."

"Kamu tahu gimana parahnya kamu kalau lagi ngomong? Dan kamu nggak pake mikir dua kali buat mencibir di depan saya."

Elena terdiam dalam cemberutnya.

"Kalau kamu nggak begitu, saya juga nggak kepikiran buat membungkam mulut kamu itu."

Elena dengan jelas bisa menangkap geram di nada suara Abraham. Dan benar saja. Ketika ia mengangkat pandangannya, ia mendapati mulut Abraham yang terkatup rapat. Seolah sedang mengendalikan diri.

"Tapi, Pak..." Elena berkata lirih. "Dari sekian banyak cara untuk membungkam mulut saya---" Elena meneguk ludahnya. "Apa Bapak harus memilih cara itu?"

Abraham terbatuk. "Karena itu satu-satunya cara yang terbersit di benak saya. Apa kamu mau mulut kamu itu saya bungkam dengan benda yang lain?" tanyanya kemudian.

Benak Elena melanglang buana memikirkan kemungkinan benda yang lain itu. Ia seketika bergidik.

"Dan lagi pula," lanjutnya, "terbukti itu adalah cara paling efektif untuk membungkam mulut kamu. Terbukti 100% efektif memberikan hasil dalam waktu cepat."

Elena meremas tangan kursi seraya meringis. "Memilih cara itu jelas membuat saya yakin, bahwa selain keras kepala ternyata Bapak juga nggak normal."

"Saya normal dan itu buktinya," tukas Abraham tak menerima perkataan Elena.

Elena mengerjap-ngerjapkan matanya. Tentu ia sudah mengerti makna normal yang dimaksud Abraham.

"Mencium pengasuh anaknya sendiri apa masuk kategori normal?

"Menurut kamu mana yang lebih normal dibandingkan ngomongi bapak majikannya dengan temannya?"

Dahi Elena berkerut. Eh? Apa?

"Rinda ngomong kalau kamu sering ngomongi saya."

Mata Elena membulat besar. Terkutuklah punya teman mulut ember!

"Menurut kamu, saya seganteng apa?"

Elena sontak bangkit dari kursinya. "Saya permisi dulu, Pak."

"Eits!"

Dengan sigap Abraham menyambar satu tangan Elena, lalu membuat ia terduduk kembali.

"Katanya kamu nggak mau ngindari saya lagi," ejek Abraham. "Terus kenapa mau kabur?"

Glek.

Mendadak Elena merasa wajahnya memanas melihat seringai di wajah Abraham.

"Kenapa? Kehilangan kemampuan bicara?"

Glek.

Lebih parah dari itu, pikir Elena. Cara bernapas gimana sih?

"Ma-Ma-Maaf, Pak," kata Elena gagap. "Saya bukannya mau kabur."

Abraham menyeringai. "Jadi, benar? Kamu memang sering ngomongi saya?"

Apa ada yang lebih memalukan selain ketahuan orang yang sering kalian omongi di belakang layar?

Elena hanya bisa menggigit bibirnya menahan kesal. Dalam hati, ia memikirkan cara terbaik untuk mengeksekuki temannya itu.

"Kenapa nggak dijawab? Biasanya kamu selalu membalas perkataan saya dengan kalimat sepanjang garis khatulistiwa. Sampai-sampai saya nggak tahu ujung pangkal kalimat kamu itu yang mana."

Elena menggeram mendengar nada ejekan itu. Jelas menyadari bahwa posisi dirinya sedang tidak menguntungkan saat ini.

"Apa aja yang sering kamu omongi tentang saya?"

Elena memikirkan beberapa skenario di benaknya. Haruskah aku kabur, Tuhan?

"Kenapa? Takut buat ngaku?"

Mata Elena menyipit. "Bapak nantangin saya?"

Kedua bahu Abraham naik sekilas. "Nggak sama sekali. Saya cuma nanya apa yang sering kamu omongi tentang saya dengan teman kamu."

Elena cemberut. "Kalau Bapak tahu, Bapak pasti marah."

Abraham menyeringai, kedua bahunya naik lagi sekilas.

"Saya bilangin ke Rinda kalau Bapak itu," Elena menarik napas panjang, mempersiapkan diri, "judes, sombong, menyebalkan, keras kepala---"

Sepertinya Pak Zulman lupa menyuruh orang untuk membersihkan pendingin ruangan. Ia dengan geram melonggarkan ikatan dasinya, lalu melepas satu kancing kemeja teratasnya.

"--- tapi, sayangnya Bapak itu ganteng."

Ough! Mungkin sudah dibersihkan.

Abraham sebisa mungkin untuk menahan keinginan bibirnya untuk terangkat dua sudutnya ke atas.

"Udah kan, Pak," kata Elena kesal. Ia bangkit berdiri. "Kalau udah saya ma---"

"Jadi," potong Abraham seraya kembali meraih siku Elena, membuat gadis itu terdiam di tempat, "menurut kamu saya memang ganteng?"

Mata Elena berkedip-kedip. Eh? Ini kenapa si Bapak malah sibuk nanya dia ganteng atau nggak?

"Saya nggak tahu kalau selain keras kepala, ternyata Bapak juga rabun dekat," kata Elena. Tapi, sebelum Abraham sempat bicara, ia kembali berkata. "Bapak nggak bisa ngeliat wajah Bapak di cermin?"

Abraham mendehem pelan, sementara Elena dengan gemetar mendapati tangan Abraham masih menahan sikunya. Ia berkali-kali meneguk ludah dengan gelisah dan meremas amplop sebagai pelampiasannya.

"Pak...," lirih Elena dengan napas yang mulai terasa semakin payah. Entah mengapa ia merasa jantungnya berdetak dengan kecepatan yang mampu mengalahkan debar paniknya saat menunggu pengumuman beasiswanya dulu. "Saya boleh keluar? Saya udah jawab pertanyaan Bapak loh."

"Yang semalam belum."

Elena melihat bagaimana kedua mata kelabu Abraham menatap lurus-lurus kepadanya. Dan itu bagaikan serangan telak menggunakan anak panah Katniss Everdeen. Tepat sasaran.

Abraham beranjak. Mengikis dengan pelan jarak di antara mereka. Elena beringsut, tapi tak banyak karena kursi menahan tubuhnya. Pilihannya hanya dua: tetap berdiri sedang jarak mereka sangat dekat atau duduk kembali ke kursi dan itu justru membuat ia terkurung.

Mundur jelas bukan tipe Elena. Jadi, ia bertahan sebisa mungkin walau jantungnya mengancam untuk rontok dari tempatnya.

"Bagaimana?" tanya Abraham. "Apa perlu saya pake acara izin pake acara permisi? Kalau iya, maka saya akan menghargai kamu. Saya izin saya permisi."

Glek.

Elena berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan Abraham, tapi tak bisa. Pria itu seolah memiliki gravitasinya sendiri hingga tatapan Elena kembali jatuh pada dirinya.

"Ini---"

Cup!

Satu kecupan jatuh tepat di bibir Elena. Sontak membuat gadis itu yakin kalau Abraham itu memang sebangsa Medusa edisi pria. Tubuhnya sontak membeku jiwa raga.

Oh, Tuhan!

Dia pasti gila!

Di hadapannya, Abraham terlihat tersenyum dengan begitu mempesonanya. Sedang ia nyaris kehilangan nyawa karenanya.

Abraham semakin mendekat. Seolah ingin menghipnotis, ia kembali berkata dengan suara pelan. "Saya sudah izin saya udah permisi loh."

Glek.

Mengantisipasi pergerakan Abraham, tetap saja Elena kalang kabut ketika mendapati bibir Abraham terdiam beberapa milimeter di depan bibirnya.

"Saya ingin mencium kamu..."

Mata Elena terpejam. Di tangannya, ia tengah meremas amplop putih berisi lembaran rupiah. Di depan bibirnya, ada bibir yang meminta izin ingin menciumnya.

Kok ya ia berasa kayak dibayar untuk ciuman?

*

tbc...

sssst... ga pake teriak-teriak kan bacanya? hahahha... teriak-teriaknya ditahan untuk part besok ya... hahahha... 🤣🤣🤣

jangan lupa untuk bintang dan komennya guys... 🤗🤗🤗

pkl 21.44 WIB...

Bengkulu, 2020.04.08...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro