Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ini Cinta

Mei 2024...

"Jadi, gimana? Mau ikut nggak?"

"Cuma jalan bentar loh."

"Sekalian kita seneng-seneng. Kan baru selesai ujian."

"Apalagi Edward juga ikut loh."

"Dia kan naksir kamu, Sa."

Claressa menggigit bibir bawahnya ketika langkah kakinya kembali tertahan. Teman-temannya tampak semangat membujuk dirinya agar ikut pergi dengannya siang itu selepas ujian akhir semester genap mereka.

"Tapi, aku belum bilang ke Daddy kalau mau pergi."

"Ya elah. Chat aja bilang kita pergi."

"Kan gampang."

Claressa menarik napas dan menyadari bahwa mereka sedikit menghalangi jalan menuju gerbang sekolah. "Daddy lagi rapat kayaknya, jadi chat aku belum dibalas."

"Kan yang penting kamu udah ngabarin."

"Tapi, Daddy belum nyuruh. Nanti Daddy marah," kata Claressa seraya melihat ponselnya.

"Ck. Kita kan udah gede kali, Sa. Bukan anak SD lagi."

"Gimana? Gimana?"

"Mau kan ya?"

"Ada Edward loh. Siapa tau nanti dia mau nembak kamu."

Claressa memandangi satu per satu temannya. "Ehm..."

"Kita udah SMP, Sa."

"Ehm..." Claressa mendehem. "Tapi, kita baru kelas satu loh."

"Argh. Nggak apa-apa. Kita pergi cuma sebentar kok. Bentar lagi kita juga mau kelas dua."

Claressa menguatkan hati dan menggeleng. "Aku nggak mau ikut ah."

"Loh? Kok gitu sih?"

"Kalau aku pergi nggak izin sama Daddy, ntar Daddy marah," kata Claressa.

"Kan bentar doang, Sa."

"Yang dimarah Daddy itu ntar aku, bukan kalian," kata Claressa. "Lagipula aku nggak mau buat Daddy marah. Kasian Daddy, udah capek kerja malah capek marahin aku."

"Apa sih? Nggak mungkin dimarah kali, Sa."

"Ehm, kita nggak jadi pergi?"

Seorang anak cowok tampak menyapa mereka.

"Ini Claressa nggak mau ikut, Ed."

Edward menoleh. "Kamu nggak mau ikut? Yah, padahal aku mau main sama kamu, Sa."

"Aku belum izin sama Daddy."

"Bentaran doang," bujuk Edward.

Claressa semakin mantap. "Kalau Daddy marah, ntar Mommy nggak balik-balik."

Teman-teman Claressa saling pandang. Lalu mendadak tergelak. Claressa sontak mengerutkan dahi.

"Kenapa?"

"Kamu kan memang nggak punya ibu, Sa."

Claressa mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

"Semua orang juga tau kalau kamu nggak punya ibu."

"Sembarangan!" seru Claressa merasa tersinggung. "Aku punya Mommy."

"Kalau gitu kenapa kami nggak pernah ketemu?"

Mulut Claressa terkatup. Tangannya meremas tali tas ransel yang ia kenakan. "Mommy aku sedang pergi. Nanti dia bakal balik lagi."

"Iya apa?"

Dagu Claressa terangkat. "Tentu saja. Nanti kalau Mommy aku pulang, kalian bakal kagum ngeliat dia," kata Claressa. "Dia cantik, pintar, dan pemberani."

Teman-teman Claressa tertawa. Sedang Claressa hanya mendengus. Diam-diam tangan Claressa mengepal. Jauh di dalam hatinya, ia merasa tersinggung dengan perkataan teman-temannya.

Kalau aku mukul mereka, Daddy marah nggak ya? Mereka kan ngolok-ngolok aku.

Claressa benar-benar berniat untuk memukul mereka ketika mendadak telinganya mendengar satu suara memanggil namanya.

"Essa..!"

Tangan Claressa yang terkepal sontak membuka. Jantungnya terasa tak berdetak.

"Essa...?" tanya Claressa pada dirinya sendiri.

Dengan kaku, Claressa membalikkan badan dan tertegun melihat satu sosok wanita di depan gerbang.

Terpisah jarak yang tak seberapa, wanita itu berdiri dengan begitu anggun. Sepasang stiletto bewarna peach menopang kaki jenjangnya yang berbalut celana dasar bewarna perak. Tubuhnya yang ramping tertutupi dengan paduan yang sempurna dalaman bewarna putih dan blazer berkancing satu bewarna senada dengan celananya. Rambutnya tersisir dengan gaya updo. Satu tas tangan mengait di sikunya. Penampilan rapinya itu sama dengan yang pernah Claressa lihat dulu. Ia tak berubah setelah beberapa tahun. Dan ia melambai pada Claressa.

Kaki Claressa sontak bergerak berlari.

"Mommy!!!"

Elena tertawa menyambut Claressa yang menghambur memeluk dirinya. Gadis itu mengusap kepala Claressa yang mendarat di perutnya.

"Mommy pulang," kata Claressa seraya melepas pelukannya. "Mommy pulang."

Kedua tangan Elena menangkup wajah Claressa. Tak mampu menahan untuk tidak mencium pipi Claressa.

"Kan Mommy udah janji bakal pulang."

Claressa tertawa dan tanpa sadar turut mengeluarkan air mata. "Mommy pergi lama banget."

"Yang penting Mommy tetap pulang." Elena menatap Claressa. "Kamu udah gede gini, Sa."

Claressa membiarkan tangan Elena memegang dirinya dan kemudian menyadari bahwa teman-temannya telah menyusulnya.

"Siapa, Sayang?"

Claressa menjawab. "Teman-teman aku, Mom."

Elena tersenyum dan anak-anak itu berkenalan dengan Elena. Elena tersenyum pada mereka dan bertanya.

"Anak-anak, kalian tau kalau orang yang harus kalian hormati pertama kali itu adalah orang tua?"

Anak-anak itu saling berpandangan, lalu mengangguk.

"Jadi," lanjut Elena, "kalau kalian ingin pergi atau ke mana pun atau melakukan apa pun, jangan lupa untuk minta izin orang tua."

Wajah anak-anak itu seketika membeku. Dan Claressa terheran-heran.

"Orang tua kalian kerja biar kalian bisa sekolah dengan baik dan benar. Main boleh, tapi izin dulu. Jangan ngebuat mereka khawatir," katanya tersenyum. "Paham?"

"Iya, Tante."

Elena tersenyum. "Oh, satu hal lagi. Jangan bilang Claressa nggak punya Mommy."

Claressa menatap teman-temannya. "Kan udah aku bilang Mommy aku cantik."

Teman-temannya Claressa hanya bisa saling pandang dengan rasa tak nyaman. Lalu, Elena menunduk dan menatap Claressa.

"Kita pulang?"

Claressa mengangguk.

Ketika mereka keluar dari gerbang, Claressa berkata. "Mommy sudah lama ya tadi?"

"Ehm... cukup lama untuk ngeliat mereka bersusah payah untuk membujuk kamu," kata Elena seraya membawa Claressa berjalan di sisinya. "Oh, iya. Mommy pikir Edward itu nggak cakep."

Claressa melirik. "Menurut Mommy gitu?"

"Iya."

"Sama, Mom. Aku juga nggak suka dengan Edward."

"O-oh." Elena melirik Claressa dengan mata yang menyipit. "Claressa Rhodes... Mommy pikir kamu ada menyukai cowok lain."

Claressa tertawa. "Rahasia."

*

Hampir tiga setengah tahun Elena tidak menginjakkan kaki di rumah itu. Tapi, ketika ia datang semua terasa masih begitu familiar. Kehangatan rumah itu seolah menyambutnya dengan suka cita.

"Elena!"

Jeritan itu langsung menyambutnya ketika ia datang ke dapur dan tebak! Ternyata ada beberapa hal yang tidak akan berubah seiring waktu. Termasuk kebiasaan beberapa orang.

Bu Siti, Intan, dan Lola seketika langsung menghambur memeluk Elena yang masuk ke dapur bersama Claressa.

Elena tergelak.

"Kamu udah lama nggak ada kabar!"

"Pergi ke mana kamu coba?"

"Tapi, kamu keliatan tambah cantik."

Elena mengangguk-angguk. "Untunglah kalau aku tambah cantik," katanya geli.

Lantas mereka bercengkerama. Bu Siti menyiapkan dua cangkir teh untuk Elena dan juga Claressa. Mereka pun menikmati camilan yang sudah dimasak Bu Siti.

"Jadi gimana ceritanya?" tanya Intan antusias. "Apa di Amerika sana kamu ketemu cowok cakep?"

Lola histeris. "Bener itu. Yang bisa diajak ke pelaminan gitu."

"Mbak...," kata Claressa melirih dengan wajah yang tertekuk. "Jangan nanya yang aneh-aneh ya."

"Loh? Anehnya di mana?"

"Mana mungkin Mommy bakal nyari cowok lain di Amerika sono."

Mereka bertiga sontak saling pandang dengan dahi berkerut-kerut. Seakan mencerna perkataan Claressa. Hingga kemudian gadis yang telah beranjak remaja itu berkata dengan penuh keyakinan.

"Elena ini akan segera menjadi Mommy aku." Ia melirik pada Elena. "Bener kan?"

Elena salah tingkah dan berkata pelan. "Tergantung Daddy kamu, Sa."

Kehebohan sontak pecah di dapur. Lalu percakapan bertukar dengan hal-hal lain. Tentang hari-hari mereka. Tentang keseharian mereka setelah kepergian Elena.

"Tapi, yang penting nggak pernah ada peperangan lagi di dapur," kata Bu Siti senang.

Elena melirik Claressa yang tersipu.

"Nona dan Tuan juga akur. Nggak pernah ribut lagi," tambah Intan.

Lola mengangguk. "Rumah ini berasa kayak dulu lagi. Istana yang damai sentosa."

"Hanya kurang Ratu-nya saja kan?" tanya Claressa dengan penuh semangat.

Elena tidak bisa merasakan wajahnya lebih memanas lagi karena pertanyaan dari Claressa. Terutama ketika Bu Siti, Intan, dan Lola yang semakin menggoda mereka. Butuh perjuangan bagi Elena untuk bisa keluar dari situasi itu. Dan ketika Elena telah berada di kamar Claressa, gadis itu membaringkan tubuhnya di kasur. Merasa perlu sedikit beristirahat.

Setelah berganti pakaian, Claressa mendekat. "Daddy pasti pulang sebentar lagi."

Elena menoleh, tersenyum.

Di benaknya ribuan imajinasi bermain-main. Terutama karena ia sudah terlalu lama tidak melihat atau pun mendengar kabar tentang pria itu. Ia penasaran akan seperti apakah pertemuan mereka nanti.

Lalu...

"Itu kayaknya Daddy udah pulang," kata Claressa. Ia dengan segera meraih tangan Elena. "Hayo, Len."

Elena berusaha sekuat tenaga menahan debar di dadanya. Ketika ia dan Claressa sudah keluar, berencana untuk menuju tangga, mereka mendengar suara percakapan dari bawah.

"Ehm, Pak. Untuk pertemuan malam minggu besok apa saya datang ke rumah Bapak saja dulu?"

"Maksud kamu? Kita bisa ketemu langsung di restoran. Kamu tidak perlu datang ke sini. Buang-buang waktu."

Mendengar pertanyaan itu, Elena dan Claressa mengendap-ngendap mengintip dari atas.

"O-Oh..."

Elena menoleh. "Itu siapa, Sa?"

"Oma Ilona udah nggak kerja lagi, Mom. Terus akhir tahun Daddy nyari sekretaris baru."

Mata Elena memicing. "Itu sekretarisnya?"

Claressa mengangguk pelan-pelan, ketakutan. "Tapi, aku beneran jaga Daddy loh, Mom. Daddy nggak ada suka sama cewek itu."

Elena mendehem pelan. Kembali berkonsentrasi dengan percakapan di lantai bawah.

"Tapi, bukankah lebih bagus kalau kita pergi bersama, Pak?"

"Saya nggak melihat itu sebagai hal yang menguntungkan."

"Kita bisa pergi sambil membicarakan banyak hal, Pak."

"Ehm..."

Elena mengepalkan tangannya mendengar deheman Abraham. Pertanda pria itu tengah berpikir. Elena melirik ke guci yang ada di pangkal tangga. Claressa seketika bergidik. Ini bukan seperti Mommy akan melempar guci itu ke bawah kan?

"Mungkin kamu bisa pergi dengan Ricardo," kata Abraham kemudian.

Claressa mengembuskan napas lega.

"Pastikan dia tidak terlambat ataupun salah tempat," kata Abraham. "Kita perlu dia untuk bertemu dengan Tuan Kim."

"Saya sudah me---"

"Ehem!"

Suara deheman yang jelas-jelas disengaja agar terdengar lebih keras memutus ucapan itu. Baik Abraham maupun wanita itu kompak menoleh ke arah tangga, di mana suara itu berasal.

Abraham memang telah menghabiskan banyak film Barbie bersama Claressa. Setiap menonton Barbie, Abraham selalu tergelak ketika mendapati adegan di mana Pangeran yang tercengang akan kedatangan Barbie. Itu terlihat begitu konyol. Bagaimana bisa seorang pria melakukan hal seperti itu? Akal Abraham tak habis pikir ketika memikirkannya. Tapi, sekarang... Ehm, sepertinya Abraham tau bahwa hal itu memang bisa terjadi.

Abraham tercengang.

Ia nyaris menganga melihat bagaimana kedua kaki jenjang itu perlahan melangkah menuruni tiap anak tangga dengan anggunan yang bisa membuat stiletto yang ia kenakan menjadi begitu bangga. Wanita itu menegapkan punggungnya, mengangkat dagunya dengan kesan yang pas, dan tersenyum tipis.

Tiap langkah yang diambil Elena untuk semakin dekat, membuat jantung Abraham semakin ribut di tempatnya. Seolah ada pasukan pawai yang sedang memainkan beberapa alat musik di dalam sana.

Elena terlihat cantik. Dan bukankah ia memang akan selalu terlihat cantik di mata Abraham?

Susah payah Abraham menarik napas. Bibirnya menyunggingkan senyum keterpanaan. Benar-benar tampak kehabisan kata-kata mendapati kehadiran Elena.

"Elena..."

Elena tersenyum. Berhenti di jarak yang tepat dan dekat di sisi Abraham. Satu tangannya dengan menggoda bergerak mengatur untaian rambutnya yang terbebas ke balik telinga. Lalu, ia berkata dengan penuh kelembutan yang membuat Claressa di atas sana justru semakin ketakutan.

"Halo, Abangku Tersayang..."

Abraham terkesiap. Kaget dan terheran-heran mendengar Elena memanggil dirinya seperti itu. Tapi, sebelum ia sempat berpikir, ia merasakan Elena mendekat. Tangan gadis itu memegang tangannya. Dan Elena membutuhkan lebih dari stiletto setinggi tujuh sentimeter sehingga ia pun menjinjit. Satu kecupan ia berikan pada pipi pria itu.

Di atas, Claressa menganga.

Di bawah, Abraham tak bisa berkata apa-apa.

"Astaga..."

Suara terkesiap itu membuat Elena menarik ciumannya. Seolah ia baru saja menyadari kehadiran orang lain di sana, Elena malah bertanya pada Abraham dengan raut berpura-pura terkejut.

"Oh! Ini siapa, Sayang?"

Abraham tak bisa lagi menahan senyumannya. Ia menjawab dan matanya tak sekalipun beralih dari Elena. "Dia Henni. Sekretaris baru aku."

"Henni," jawab wanita itu dengan suara bergetar mengulurkan tangan. "Dan kamu?

Elena menyambut uluran itu singkat. "Aku siapa, Ab?"

"Dia Elena, Hen," jawab Abraham. "Dia adalah pawang Bapak dan Anak Tirex."

Elena melirik dan Abraham balas menatap.

*

"Well well well... Ternyata begitu ya kerjaan kamu selama aku nggak ada."

Elena tergelak.

"Serius? Dengan cewek seperti itu? Hahaha."

Kali ini kaki Elena bergerak mondar-mandir.

"Coba dong kamu nyari sekretaris itu yang paling nggak juga bisa bahasa lain selain Inggris. Bahasa Inggris itu udah kayak bahasa kedua di tiap negara. Nggak keren sama sekali kalau cuma bisa bahasa Inggris padahal kerjaan sebagai sekretaris pengusaha semacam kamu."

Tangan Elena berkacak.

"Kayak yang di Indonesia ini kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas aja."

Selanjutnya, Elena mendengus.

"Apalagi dengan kepribadiannya itu. Gara-gara perilaku yang seperti itu orang selalu saja mencap sekretaris sebagai profesi cewek penggoda bos."

Elena geleng-geleng kepala.

"Padahal kan nggak kayak gitu. Ah, pokoknya aku nggak habis pikir. Ternyata gara-gara aku tinggal kamu jadi gini."

Dari tadi, tanpa Elena sadari, Abraham yang tengah bersandar di tepi meja kerjanya mati-matian untuk menahan senyum gelinya. Ia mengusap dagunya dan geleng-geleng kepala.

"Tadi dia bilang apa? Kita bisa pergi sambil membicarakan banyak hal, Pak?" Elena tergelak mencemooh. "Membicarakan banyak hal dengkulku."

Kali ini Abraham tak mampu lagi menahan diri.

"Bisa-bisanya ia ber---"

Di detik yang tepat, Abraham kemudian menarik satu tangan Elena. Membuat ucapan gadis itu terputus, tergantikan oleh kesiap kaget. Namun, kesiap pun lenyap di detik selanjutnya. Ketika satu tangan Abraham lainnya yang bebas menahan tekuk Elena, saat itu pula bibir Abraham membungkam semua celotehan kesal Elena.

Dada Elena sontak mengempis di detik-detik terakhir sebelum napasnya terenggut dalam ciuman Abraham. Kedua tangannya mendarat di dada bidang Abraham dan merasakan debar pria itu.

Bibir Abraham melumat bibir Elena dengan penuh kelembutan. Berlama-lama saat memanggut. Memuaskan hasrat kerinduannya yang ia pendam selama ini.

Napas keduanya terdengar menderu saat Abraham menarik ciumannya. Di atas bibir Elena, Abraham tersenyum.

"Ternyata cara ini tetap menjadi cara yang paling efektif untuk membungkam mulut kamu."

Elena tersenyum tipis. "Aku nggak tahu kalau kamu nyari sekretaris seperti itu. Apa karena aku tinggal makanya otak kamu jadi gini?"

Abraham mengangguk. "Jadi, jangan pergi lagi."

"Ehm... Itu mungkin perlu sedikit kompromi."

Abraham menciptakan sedikit jarak untuk bisa menatap Elena. "Maksud kamu?"

"Ini berkaitan dengan kerjaan aku."

Abraham tersenyum. Tangannya perlahan turun memegang pinggang Elena di saat gadis itu yang semula menggunakan tangannya untuk mengelus pelan dada Abraham justru perlahan naik dan mengalung pada lehernya.

"Ada apa dengan kerjaan kamu?" tanyanya. "Ceritakan ke aku. Ehm... mungkin dari awal?"

Elena menikmati bagaimana kedua tangan Abraham di pinggangnya. "Aku selama ini pergi ke Amerika."

Abraham tersenyum, seakan tak tau apa-apa. "Kamu ngapain ke sana?"

"Melanjutkan sekolah aku. Di Michigan State University," kata Elena. "Aku mengambil mayor tentang Toksikologi Lingkungan-Kehutanan. Dan aku sudah memiliki sertifikasi di bidang toksikologi lingkungan."

"Dan itu untuk?"

"Sebagai bukti bahwa aku memiliki kualifikasi di bidang itu. Jadi, ketika ada pengusaha atau pabrik ingin membuka lahan atau keperluan lainnya, mereka bisa menghubungi aku."

"Semacam konsultan?"

"Tepat sekali," kata Elena. "Tapi, itu hanya sampingan. Karena nggak tiap saat orang butuh konsultan lingkungan."

"Yang pokok?

"Ada Perusahaan Sawit yang menginginkan aku memimpin Departemen Pelestarian Lingkungan," jawab Elena. "Perkebunan sawit selalu memiliki hambatan dengan pelestarian lingkungan. Beberapa pihak mengatakan bahwa perkebunan sawit menyebabkan residu berlebih untuk lingkungan. Dan karena itu, mungkin sesekali aku perlu berkeliling Indonesia. Dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Hanya sesekali, karena posisi aku tetap di pusat. Di sini." Elena menatap Abraham. "Bagaimana? Apa kamu keberatan?"

Mata kelabu Abraham menyusuri tiap sudut wajah Elena. Ia menatap gadis itu dengan binar di matanya. "Apa aku pernah bilang kalau aku benar-benar kagum dengan kamu?"

Elena tersipu.

"Kamu benar-benar menakjubkan," lirih Abraham. "Ya Tuhan. Aku nggak percaya aku bisa memiliki wanita seperti kamu."

Kali ini Elena memutar bola matanya. "Belum memiliki, Tuan. Sampai cincin di jari aku berganti menjadi cincin kawin."

Abraham tergelak. "Well, Nona Anindya... apakah libur Claressa semester ini adalah waktu yang tepat?"

Elena mendaratkan satu ciuman di bibir Abraham.

"Aku nggak tahu kalau ada waktu lain yang lebih tepat dari itu."

*

Hidup memang tidak menjanjikan kebahagiaan setiap saat. Ada tikungan, tanjakan, dan jalan terjal yang kerap membuat kita ingin menggugat Tuhan. Manusiawi bila kita merasa lelah, tapi bukan berarti semua itu harus diakhiri dengan menyerah.

Tegapkan punggungmu, angkat wajahmu, dan tersenyumlah. Pelan-pelan melangkah, nanti semua ini akan terlewati. Nanti ketika kau berdiri di titik baru, kau akan menoleh ke belakang dan kemudian menyukuri setiap hal buruk yang telah terjadi.

Ada kalanya kita akan mensyukuri nasib buruk yang kita lalui.

Lalu, nasib buruk itu akan tergantikan oleh nasib baik.

Seperti yang Elena dapatkan hari ini, yang kemudian ia ceritakan pada Claressa hingga gadis remaja itu menjerit histeris dan seketika memeluk Elena.

"Sungguh, Mom?" tanya Claressa tak percaya.

Elena mengangguk.

"Kira-kira perempuan atau laki-laki?" tanya Claressa. "Oh. Mau dia perempuan atau laki-laki, dia pasti akan menjadi anak yang baik kan?"

Elena tergelak. "Kita berdoa saja agar dia tidak nakal seperti kakaknya."

"Hahaha." Claressa mencium pipi Elena. "Apa Daddy sudah tau, Mom?"

Elena mengulum senyum. "Mungkin malam ini Mommy akan memberitahu Daddy."

"Daddy pasti senang."

"Apa kamu juga senang?"

Claressa menatap Elena dengan mata kelabunya yang berbinar-binar. "Aku punya Mommy yang hebat dan sekarang aku akan punya adek, mana mungkin aku nggak senang, Mom?"

Elena dan Claressa berpelukan dengan begitu erat. Dan Claressa memang begitu senang. Dalam hati ia berkali-kali bersyukur karena memiliki Elena.

"Terima kasih, Mom," katanya kemudian. "Untuk semua kebahagiaan yang Mommy berikan. Untuk selalu sayang aku dan Daddy."

Elena mengecup kepala Claressa. "Terima kasih juga karena menjadi anak yang baik. Juga karena selalu sayang Mom dan Dad." Elena mengangkat wajah Claressa. "Kamu pasti akan menjadi kakak yang hebat untuk adik kamu."

Claressa mengangguk dengan mantap. Dalam hati berjanji, ia akan menjaga adiknya dengan sebaik mungkin.

Dan malam itu, Abraham sedikit terlambat ketika pulang sehingga melewatkan makan malam bersama Elena dan Claressa. Tak heran bila ia tak mendapati Elena di kamar mengingat istrinya itu selalu menyempatkan waktu membantu Claressa belajar di kamarnya.

Ehm...

Istri...

Abraham akhirnya benar-benar memastikan bahwa Elena sah menjadi miliknya, baik secara agama maupun negara. Ia mengucapkan janji sucinya. Disatukan oleh Tuhan, di hadapan pemuka agama, di depan para sakti, dan direstui oleh orang tua mereka. Dan itu terasa begitu... tepat.

Baru saja empat bulan yang lalu mereka bepergian ke Paris, menikmati bulan madu yang manis di kota yang romantis. Dalam waktu yang masih terbilang baru, Abraham justru merasa rasa cintanya semakin tumbuh setiap hari.

Pria itu baru saja selesai mandi dan mengenakan piyama ketika Elena masuk ke kamar. Dilihatnya wajah Elena yang terlihat begitu sumringah. Istrinya itu mendekatinya seraya tersenyum.

Abraham menyambutnya. Memberikan satu kecupan di bibirnya, lalu bertanya. "Kamu keliatan senang banget. Ada apa?"

Mata Elena berkedip-kedip. "Mau tau?"

Abraham mengangguk. Lalu ia menyadari bagaimana satu tangan Elena merogoh masuk ke saku piyama yang ia kenakan. Mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Abraham.

Abraham merasa udara di sekitarnya telah direnggut. Atau ia memang sedang tidak bisa menarik napas?

Dengan tangan gemetar, Abraham meraih benda itu dan melihat dua garis merah di sana.

Elena berbisik padanya. "Aku hamil."

Tanpa penjelasan pun Abraham tau bahwa Elena hamil.

Istriku hamil, pikirnya.

Ya Tuhan.

Itu terasa bagai semua kebahagiaan orang di Bumi berpindah padanya. Abraham kehilangan kata-kata. Jadi, ia hanya menatap Elena dengan mata yang berbinar-binar.

Elena tergelak. Meraih wajah Abraham. Mengecup bibirnya.

"Aku tau," kata Elena. "Nggak bisa ngomong apa-apa kan?"

Namun, detik kemudian Abraham mampu mengeluarkan satu kata.

"Elena..."

Pria itu menyebut nama Elena dengan penuh perasaan. Membawa istrinya ke dalam pelukan eratnya. Menghirup aromanya. Lalu mengucapkan syukur dan terima kasih.

"Aku cinta kamu, Elena," lirih Abraham putus asa. "Ya Tuhan. Dada aku rasanya mau meledak."

Elena tergelak dalam pandangannya yang berkabut. Begitu terharu dengan reaksi Abraham.

"Aku juga cinta kamu."

Jadi, mereka melakukan sesuatu yang mampu mewakili sedikit dari perasaan yang membuncah di antara keduanya.

Dan oh, cara itu selalu mampu membuat Elena meleleh dalam pelukan Abraham.

Tak pernah berubah.

Cara yang digunakan Abraham tatkala merengkuh tubuh Elena dengan sentuhan yang membuat wanita itu bergetar atau ketika Abraham membaringkannya di atas tempat tidur dengan penuh hikmat, itu selalu membuat jantung Elena berlomba-lomba. Hingga membuat ia kesulitan bernapas.

Oh, ia nyaris kekurangan udara.

Dan Abraham selalu mengerti hal itu. Jadi, dengan penuh keintiman, Abraham memastikan Elena untuk tetap mendapatkan udaranya. Memberikannya dengan cara yang teramat sensual ketika lidahnya membuka bibir Elena. Memasuki rongga mulutnya yang hangat. Mencecap setiap rasa yang tertinggal di sana. Lalu, memberikan rasa miliknya sebagai gantinya.

Elena merasa mabuk. Terlalu bahagia dengan sensasi tangan Abraham yang menjelajahi tubuhnya. Memastikan tak ada selembar benang pun yang mampu menghalangi mereka untuk saling memuja.

Ya Tuhan.

Abraham memperlakukannya hingga membuat ia merasa menjadi wanita yang paling cantik di dunia. Setiap kecupan yang mendarat basah di sepanjang kulitnya, membuat Elena tak mampu berkata-kata. Hanya mampu mendesahkan nama pria itu dengan begitu menggoda. Membuat Abraham tak berdaya dalam keinginan untuk mencicipi tubuh istrinya. Memberikan semua bentuk pemujaan yang mampu ia berikan... yang pantas untuk didapatkan Elena.

Mereka berdua bersatu dalam ritme yang paling syahdu. Bergerak seirama sehingga membuat Dewa Cinta pun bisa iri karenanya.

Bibir mereka saling memanggut. Meredam setiap erangan kenikmatan yang mendesak untuk dilontarkan.

Tangan mereka saling menggenggam. Meremas. Hingga yakin bahwa mereka begitu erat dan melekat.

Napas yang menderu. Keringat yang memercik. Geraman yang terucap. Bagai puisi cinta terindah yang pernah tercipta.

Saling memberi dan menerima. Saling mencecap dan merasa. Saling menggeram dan mendesahkan nama. Tiba di penghujung malam, tak ada lagi yang mampu mereka rasakan selain kenyamanan berada dalam pelukan satu sama lain.

Hingga ketika pagi menjelang, saat kesadaran mulai menyapa, hal terindah yang pertama ditemui adalah wajah orang yang tercinta. Seperti Elena yang menatap Abraham ketika matanya membuka untuk pertama kali. Merasakan betapa nyenyak tidur yang ia dapatkan dan merasa begitu enggan untuk beranjak dari dada bidang suaminya.

Lalu, Elena tak mampu menahan gelak kecilnya tatkala merasakan bagaimana Abraham yang telah sadar justru menggoda dirinya dengan meremas gemas bokongnya di balik selimut.

"Jangan menatapku seperti itu," kata Abraham.

Elena beringsut. Menopang tubuhnya di atas dada Abraham dan menunduk melihat wajah Abraham yang tersipu.

"Ada apa?" tanya Abraham. "Mengapa menatapku dari tadi dengan tatapan seperti itu?"

"Ehm... Nggak apa-apa," kata Elena.

"Oh, aku mulai menangkap nada manja dari suara kamu, Sayang."

Elena tergelak. "Iya, Abang?"

Abraham menyeringai. "Aku pikir kamu memiliki kecenderungan menggunakan 'abang' sebagai bentuk sarkas." Abraham mendesah dan menarik tubuh Elena semakin merapat padanya. "Ketika kamu dipanggil Mom dan waktu Henni datang ke rumah dulu. Sejujurnya, aku jadi merinding setiap kamu memanggil aku 'abang'."

Elena kembali tergelak.

"Apa kali ini aku ada melakukan kesalahan?"

Elena menggeleng. "Aku hanya penasaran." Ia menghela napas. "Kadang-kadang aku penasaran."

"Soal?"

"Ehm... misteri kenapa kamu dan Claressa bisa sama-sama suka aku."

Kali ini Abraham yang terkekeh sehingga dadanya berguncang. "Kalau dipikir-pikir, rasa penasaran kamu benar juga."

"Claressa pernah bilang, kalian sebenarnya memiliki selera yang sama. Apa itu penyebabnya?"

Abraham merasa geli dengan pertanyaan Elena, lalu menghela napas panjang. "Bisa jadi."

Elena menunggu kelanjutan perkataan Abraham dan membiarkan suaminya itu semakin mengeratkan pelukannya hingga dada polos mereka saling menekan.

"Mungkin itu karena kami memiliki mata yang sama," ujar Abraham tersenyum. "Satu-satunya alasan mengapa kami bisa melihat sesuatu dengan cara yang sama dan menyukai hal yang sama."

"Ah... mungkin," kata Elena seraya menatap mata Abraham. "Mungkin memang karena mata cantik ini."

Abraham membiarkan Elena menatapnya lekat-lekat. Sedang Elena memang ingin memandangi mata itu sedikit lebih lama. Seakan ingin menyelami hingga ke lubuk sanubari Abraham. Berusaha mengetahui sebesar dan sebanyak apa cinta yang pria itu berikan untuknya.

Dan... Elena tersesat.

Itu bagai himpunan cinta yang membuat Elena tak bisa menemukan mana ujung mana pangkal atau mana awal mana akhir. Itu seperti lingkaran yang membuat Elena kembali pada titik yang sama. Di titik di mana cinta Abraham benar-benar murni hanya untuk dirinya.

Lalu, lagi-lagi Elena bersyukur. Untuk semua nasib buruk yang ia hadapi hingga menemukan kebahagiaan yang tak terperi seperti ini. Semua yang ia dapatkan melebihi apa yang ia berani harapkan.

Pria yang mampu menghormatinya, memujanya, mencintainya... Tempat ia akan berbagi cerita tentang suka dan duka. Sandaran baginya ketika ia berurai air mata atau berderai tawa.

Pria yang menjadi pusat dunianya.

Hingga ia mendapati bahwa Abraham menatapnya dengan cara yang sama dan bertanya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Tangan Elena membelai sisi wajah Abraham. "Melihat mata kamu."

"Jadi apa yang kamu lihat dari mataku?"

Elena terpana. "Terlalu banyak yang bisa aku lihat dari mata kamu," jawabnya. "Tapi, aku bisa menyimpulkannya dengan satu kata."

"Apa?"

Elena tersenyum hingga membuat Abraham yakin bahwa ia adalah pria yang paling bahagia di dunia. Terutama ketika senyuman itu jatuh di bibirnya dan Elena berkata.

"Cinta."

*End*

Halo, Para Fans Keluarga Tirex... 😘😘😘

Lagi-lagi aku harus mengucapkan terima kasih banyak ke kalian semua. Karena jujur, berkat kalian cerita ini bisa selesai. Fyuh. Walau lebih lama dibandingkan dengan harapan aku, tapi aku senang. Karena sejujurnya aku sangat menikmati ketika menulis cerita ini. 😁😁😁

Sedikit balik ke belakang, cerita ini aku tulis karena dua pertimbangan, yaitu: kekesalan aku ketika menemukan cerita WP yang bercerita tentang kisah cinta dosen-mahasiswa (yang mana itu terlihat kayak enak banget, padahal mereka ga tau gimana ribetnya dunia dosen itu 🙄🙄🙄) dan rasa simpatik aku ketika melihat anak-anak yang tumbuh tanpa kasih sayang ibunya 😖😖😖

Jadi, kalau ada yang penasaran apakah cerita ini tentang aku, dengan berat hati aku bilang: tidak. Walau beberapa adegan di cerita ini memang diambil dari pengalaman aku. Kayak ngurus beasiswa LPDP, terus teguran Komite Etika 😂😂😂, pengalaman dingin di Jepang saat musim semi, dan mungkin ada beberapa hal lainnya. Soalnya bukan apa ya, walaupun nulis fiksi, tapi tetap aja harus realistis. Makanya ntar jangan heran kalau mungkin aku bakal sering nulis tentang dunia dosen, karena aku tau seluk beluknya dengan sangat rinci. Oh, fyi aja... Aku ga bisa 5 bahasa ya... hahahah... kalau percakapan ringan mungkin, tapi ga sampe punya 5 sertifikat bahasa kayak Elena 😂😂😂

Cerita ini ingin aku persembahkan untuk duda-duda yang harus berjuang merawat anaknya seorang diri. Kalian hebat. Kalau pernikahan kalian sebuah kegagalan, semoga kalian bisa menemukan 'Elena' kalian masing-masing. Juga untuk para wanita yang menerima pria dengan anaknya dan mencintai mereka dengan begitu dalam, kalian benar-benar wanita yang menakjubkan. Selamat berbahagia dengan 'Abraham' dan 'Claressa' kalian... 🤗🤗🤗

Aku juga mau ngucapin makasih untuk Yoo Yeon Seok dan Kento Yamazaki yang sudah menghadirkan kiss scene selama aku ngetik ini... hahahaha.. Kento itu spesialis banget untuk kategori ciuman manis. Tapi, Yeon Sok wow... ciumannya benar-benar seksi... Hahaha... cek youtube di Dr. Romantic 2016 guys... 🤣🤣🤣

Ehm, sebelum aku akhiri... tokoh Abraham Rhodes di cerita ini namanya Matthew Trudeau. Dia aktor Hollywood sebenarnya, walau ga booming sih. Cuma aku jatuh cinta pas nonton One Small Hitch. Dia yang jadi dokter di bagian akhir film. Di sana ia keliatan cakep banget. Ya Tuhan... 😍😍😍

Oke, buat kalian semua yang ngikutin cerita ini, makasih banyak. Terutama buat vote dan komennya... jangan lupa untuk follow akun aku, biar dapat notif cerita baru aku yang lainnya. Btw. Maaf sebelumnya, tapi ga ada extra part ya... hanya saja, cerita ini akan aku publish juga di Kwikku. Rencananya nanti di sana ada part tambahan yang ga ada di wattpad.. bukan extra part ya, tapi part selipan. Bukannya apa, karena aku ingin menutup cerita aku dengan semanis mungkin. Toh, kalau ini cerita ini ga selesai, aku ga bisa lanjut ke cerita lain loh... 😅😅😅

Akhir kata... mungkin ada yang mau kalian sampaikan?

Atau ada pesan untuk:

Elena

Abraham

Claressa

Semoga cerita ini bisa berkesan buat kalian ya... Bisa menghibur dan kalau ada yang positif, silakan diambil 😁😁😁 yang pasti, aku harap kalian suka dengan endingnya... Ketika aku mendapat ide untuk cerita ini, aku sudah bertekad tidak akan menulis cerita ala Cinderella versi modern. Cerita serupa mungkin akan berakhir dengan Elena dan Abraham yang langsung nikah, tapi kalau aku nulis gitu aku menjatuhkan karakter kuat wanita aku... Karakter aku harus kuat dan bisa berjuang... Yang aku harapkan, kita sebagai wanita harus bisa seperti itu 😘😘😘

Sampai jumpa di cerita selanjutnya, guys.... 👋🏻👋🏻👋🏻

*

pkl 19.34 WIB...

Bengkulu, 2020.05.01...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro