Hari Penuh Warna
Selamat Malam Minggu semuanyaaaa...
Maaf sebelumnya karena terlambat up... Di sini lagi hujan lebat+badai, jadi sinyal tadi lemot... ini aja masih hujan lebatnya... 😁😁😁
ehm... jadi, part malam ini lumayan panjang ya. di word aku 3.000++ kata loh... semoga aja kalian puas bacanya... 😚😚😚
sekalian menghitung mundur part-part terakhir... hehehhe... 🤣🤣🤣
selamat menikmati... 🤗🤗🤗
=======================================================================
Elena memanjatkan puja-puji syukur pada Tuhan Semesta Alam.
Wajahnya terlihat begitu tak berdaya. Dahinya mengerut. Tatapan matanya mengiba. Tapi, di depannya Claressa tersenyum dengan penuh percaya diri.
"Tenang, Len, tenang," kata Claressa dengan penuh keyakinan. "Aku sangat pintar berdandan."
Glek.
Kalimat itu justru semakin membuat Elena ketakutan.
"Yang bener, Non?" tanya Elena ngeri.
Claressa memegang satu kotak berisi peralatan make up di tangan, kembali mengangguk. "Percaya deh ke aku."
Glek.
Percaya nggak percaya juga aku nggak bisa kabur.
Lalu, ia beranjak mendekati telinga Elena. "Kalau ada acara gini jangan manggil aku Nona, Len."
"Ah...," lirih Elena. "Oke, Essa."
"Dan tenang," kata Claressa kemudian. "Aku bakal buat kamu cantik. Gimana?"
Akhirnya, Elena hanya bisa mengangguk pasrah. Toh, ia memang tidak bisa mundur sekarang. Apalagi saat ini ia sudah duduk di hadapan Claressa. Dengan penuh kepasrahan menyiapkan mental ketika menyerahkan wajahnya pada Claressa.
"Lomba pertama kita adalah," kata Bu Sekar seraya mengelilingi peserta yang sudah bersiap untuk berlomba. Ia mengitari ketigapuluh pasang murid beserta ibu masing-masing yang sudah bersiap. "... Ibuku Cantik."
"Yeee!!!"
"Wah!!!"
Sorak-sorai seketika pecah ke udara. Guru-guru lainnya beserta para ayah tampak dengan antusias mengelilingi para peserta seraya memberi semangat pada anak masing-masing.
"Jadi, waktunya cuma sepuluh menit ya. Anak-anak harus merias ibunya sampai cantik."
Abraham berusaha menahan gelinya melihat wajah tak berdaya Elena. Gadis itu terlihat begitu pasrah membiarkan Claressa yang langsung sigap bergerak ketika Bu Sekar menyerukan angka satu sebagai tanda perlombaan dimulai.
Tiap murid, baik itu cewek atau pun cowok dengan peralatan yang telah disediakan oleh panitia, dengan segera langsung merias wajah ibunya masing-masing. Yah dalam hal ini, Claressa dengan senang hati mendandani Elena.
"Essa," kata Elena dengan mata terpejam rapat. "Saya bener-bener nggak cocok pake lipstik merah loh ya."
"Heh? Bener?"
Elena mengangguk. Dan lantas ia merasakan sapuan kuas di kelopak matanya bergeser.
"Yah! Jangan begerak dong, Len!" geram Claressa. "Diem!"
Elena meremas kedua tangannya.
Melihat hal itu, mau tak mau Abraham tertawa. Ia sebisa mungkin mengangkat tangan demi menutupi mulutnya. Berusaha agar yang lain tak melihat ia tertawa. Tapi, mungkin sulit.
Tangan kecil Claressa menepuk spon bedak ke pipi Elena. Berulang kali hingga ia merasa sudah cukup.
"Pake lipstik warna apa ya?" gumam Claressa. "Merah..."
Glek.
"Oranye..."
Astaga.
"Ehm... Atau coklat?"
Sudahlah, pikir Elena. Yang penting aku masih hidup aja sudah syukur.
Claressa mengulum senyum geli melihat wajah Elena. Kemudian ia memilih warna peach. Memulasnya dengan pelan ke bibir Elena.
"Ayoh! Waktunya tinggal tiga menit lagi!"
Elena pelan-pelan berusaha bicara. "Gimana, Sa? Udah?"
"Tenang. Bentar lagi," kata Claressa. "Aku mau makein kamu..." Dahinya berkerut. "Apa itu, Len, namanya? Yang ada oon-nya itu."
"Eh? Apa, Sa?" tanya Elena bingung. "Masa mau makein saya oon? Ehm... Oon apa, Sa?"
"Itu loh yang merah-merah di pipi. Yang namanya oon gitu."
Elena berdecak. "Blush on, Sa, blush on. Bukan oon."
Claressa tertawa. "Hahaha."
"Jangan buat kayak blush on-nya Jeng Kelin ya, Sa," ujar Elena ngeri. "Walau Jeng Kelin itu idola saya, tapi saya nggak mau didandani kayak dia."
Claressa menelengkan kepalanya. "Siapa Jeng Kelin, Len?"
Rasa-rasanya Elena mau menepuk dahinya. Ya wajar anak seusia Claressa tidak mengenal Jeng Kelin.
Bu Sekar kemudian kembali menyerukan waktu yang tersisa. Tak lama kemudian, ia menghitung mundur.
"Tiga... Dua... Satu...! Selesai ya! Nggak ada lagi yang boleh merias ibunya."
Elena membuka mata. Secepat kilat meraih cermin tangan untuk melihat wajahnya.
Wajah Claressa timbul dari balik cermin itu. Dia mengedip-ngedipkan matanya pada Elena.
"Gimana, Len? Cantik kan?"
Elena menilai pantulan wajahnya di cermin. Riasan Claressa sama sekali tidak rapi. Khas jari-jari anak yang masih berusia sepuluh tahun. Tapi...
"Setidaknya ini nggak jelek," kata Elena tersenyum.
"Kamu jadi cantik kan?"
Elena mengangguk. "Makasih."
Bu Sekar dan dua orang guru lainnya mengitari setiap peserta dan melakukan penilaian. Claressa harap-harap cemas ketika mereka mendatangi Elena dan Claressa.
"Semoga aja kita menang ya, Len."
Elena meraih tangan Claressa. "Tenang aja, Sa. Kamu pasti menang."
"Mudah-mudahan."
Selanjutnya, para guru tampak berkumpul. Pak Ridwam meraih pengeras suara dan berkata.
"Tim juri sudah melakukan penilaian untuk lomba Ibuku Cantik."
Claressa menggenggam tangan Elena dengan kuat. Di belakang mereka, Abraham tak bersuara perlahan mendekati. Terhalang oleh orang tua lainnya.
"Juara Ketiga adalah Sandra dan ibunya!"
Tepuk tangan terdengar.
"Juara Kedua adalah Toni dan ibunya!"
Kali ini ada suara tawa yang menyelip di antara tepuk tangan. Anak cowok itu terlihat tersipu ketika digoda teman-temannya.
"Dan juara pertama adalah..." Pak Ridwan tersenyum dan mengitari pandangannya mengelilingi semua peserta. "Claressa dan..." Dahi Pak Ridwan mengerut. Masa aku ngomong pengasuhnya? Pak Ridwan bingung untuk beberapa detik. "Mbak Elena!" Akhirnya Pak Ridwan langsung menyebut nama gadis itu. Sejenak membuat semua orang bingung.
Apa Kepala Sekolah hapal nama setiap orang tua siswanya?
Pak Ridwan tersenyum kaku. "Beri tepuk tangan yang meriah!"
"Plok! Plok! Plok!"
"Yes!
Claressa melompat kegirangan. Mereka berdua spontan melakukan tos.
"Aku sudah bilang kamu cantik, Len!" seru Claressa tergelak.
Gadis kecil itu maju bersama dua orang temannya yang lain. Kepala Sekolah mengalungkan mereka medali. Dengan sumringah, Claressa memamerkannya pada Elena.
"Lomba pertama ini aku sukses," kata Claressa.
"Selamat, Sa!" Elena mengusap kepala Claressa, memberinya selamat. "Kamu memang hebat!"
Claressa memicingkan matanya. "Benar kan aku hebat?"
Elena mengangguk.
"Sekarang tinggal empat lomba lagi dan aku harus menang semua."
"Eh? Mau menang semua lomba?"
Claressa mengangguk. "Pokoknya tahun ini aku ingin jadi juara satunya, Len."
Elena menatap Claressa, melihat kebulatan tekad gadis kecil itu.
"Nanti masih banyak permainan lainnya. Dan aku harus bisa menang. Soalnya, pertama kalinya aku pergi ke sini bareng Daddy," tutur Claressa. "Daddy harus ngeliat aku menang." Ia mengepalkan tinju tangannya. "Harus!"
Elena menarik napas dalam-dalam. Tak menghiraukan keriuhan di sekitar mereka. "Jadi, Sa..," lirih Elena kemudian, "Sebenarnya ini acara apa?"
Jadi, sebenarnya acara Piknik semesteran itu selalu diadakan demi meningkatkan hubungan antara anak dan orang tuanya. Mengetahui bahwa mayoritas orang tua muridnya adalah para pebisnis dan pejabat yang memiliki jam kerja tinggi, mendorong pihak sekolah setidaknya mengadakan acara pengakraban. Terutama agar orang tua juga turut mengenal para guru yang mengajar anak mereka.
Dengan waktu yang terbatas, pihak sekolah menyelenggarakan beberapa permainan. Setidaknya ada lima permainan yang terdiri dari: Ibuku Cantik, Ayahku Hebat, Langkah Bersama Orang Tua, Suapan Kasih Sayang, dan Genggaman Kebersamaan.
"Nah! Yang banyak menang itu akan jadi Juara Favorit, Len. Dan selama ini, jangankan jadi Juara Favorit, bahkan aku nggak bisa ikut lomba apa pun."
Elena mengangguk-angguk kepala. Sepenuhnya mengerti dengan motivasi Claressa hingga ingin memenangkan semua perlombaan. Mendadak ia merasa ikut bersemangat. "Tenang, Sa. Saya akan membantu sekuat tenaga agar kamu bisa menang."
Claressa meraih kedua tangan Elena. Wajahnya menunjukkan keseriusan dan pengharapan secara bersamaan.
"Janji?"
Elena telah bertekad. Entah itu sampai mendadak Pulau Jawa dan Pulau Bali menyatu lagi, ia tak akan mundur.
"Saya janji, Sa."
Abraham mendadak muncul dan tergelak. "Kalian kenapa?"
Dua wanita itu kompak menoleh.
"Ini urusan cewek, Pak."
"Ini urusan cewek, Dad."
Kedua wanita itu menatap padanya dengan sorot yang tak terbantahkan. Untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, Abraham meneguk ludahnya dengan ketakutan.
"Tapi, Len," lirih Claressa kemudian. "Ini berarti kita juga harus bisa nyuruh Daddy buat berusaha, loh."
Elena memicingkan matanya.
"Karena empat lomba yang tersisa itu semuanya ada Daddy."
Elena mengangguk-angguk. Otaknya berpikir dengan cepat. Bagaimana caranya menyuruh pria itu untuk serius di lombanya nanti?
Dan jangankan untuk serius, Abraham nyaris ingin mundur dari perlombaan itu. Ikut andil dalam acara semacam itu jelas tidak pernah terbayangkan oleh Abraham sebelumnya. Dirinya yang biasa bersikap teratur harus berlari-lari dan memasukkan bola ke ember? Tunggu saja sampai es di Antartika mencair.
"No!"
Claressa cemberut. "Daddy nggak mau?"
"Wah... Sama anak sendiri tega benar ya, Bapak ini." Elena bersidekap, geleng-geleng kepala.
Abraham mengusap wajahnya.
"Ck. Udah, Sa. Mau gimana lagi. Bukan salah kamu juga kalau punya Bapak kayak gini."
Wajah Abraham menoleh. "Maksud kamu apa?"
"Ya maksud saya ya..." Kedua tangan Elena bergerak random tak tentu arah. "Begitulah. Ayah-ayah yang lain pada semangat, eh... yang di sini malah ciut duluan."
Abraham berkacak pinggang, menghadapi Elena. "Kamu pikir saya takut ikutan lomba gituan?"
"Memang dasarnya takut ya, Pak?"
"Saya? Takut?"
"Kalau bukan takut, apa namanya?"
"Serius kamu ngomongin saya takut?"
"Ya serius dong. Sama seriusnya dengan Bapak yang memang ketakutan sampe-sampe nggak mau ikut lomba itu."
"Ck. Kalau saya nggak mau ikut dalam lomba itu, bukan berarti saya takut. Tapi, itu bukan gaya saya."
"Alasannya... Yah, cowok memang punya banyak alasan."
"Itu bukan alasan."
"Di mata saya, itu alasan, Pak. Sudah, Pak. Kalau Bapak takut, jujur saja. Jujur itu lebih baik."
"Saya nggak takut."
"Oh ya?"
Abraham mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Elena menatapnya tak berkedip. Satu berkacak pinggang dengan sikap defensif, satu lagu bersidekap menantang. Di antara mereka, satu wajah anak kecil mendongak. Tak disadari mereka kalau kepala Claressa bergantian menoleh pada Abraham dan Elena berulang kali ketika mereka beradu pendapat.
Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Hingga kemudian Claressa berkata.
"Ehm, Dad... Jadi, Daddy mau ikut nggak?"
Elena menarik sedikit sudut bibirnya. Menyeringai menantang pada Abraham.
Seraya menggertakkan giginya, Abraham menggeram rendah dan membuka jaket tebal yang sedari tadi ia kenakan. Menyisakan satu kemeja lengan pendek di dalamnya.
Elena terhenyak ketika Abraham mendorong jaket itu dengan kesal padanya.
"Iya! Daddy ikut!"
Pria itu membalikkan badan dan meraih tangan Claressa. Beranjak menuju arena perlombaan.
Elena hanya bisa mengulum senyum di tempatnya berdiri.
*
Sebenarnya, ini termasuk momen langka. Elena jarang bisa melihat tangan Abraham. Ehm... mungkin lebih tepatnya Elena saja yang kurang memiliki waktu untuk bisa mengalaminya. Nyatanya ia memang tidak sering bertemu dengan Abraham. Ingat ya, dia itu pengasuh Claressa, bukannya pengasuh Abraham. Jadi wajar dong mereka jarang bertemu.
Dan melihat Abraham seolah terekspos mengenakan kemeja bergaris-garis warna biru gelap dengan celana jeans, merupakan pemandangan langka yang bisa Elena lihat.
Wah, ini benar-benar wujud nyata dari duda keren imajinasi para wanita, lirih hati Elena.
Abraham terlihat kesal ketika berjalan menuju tempat permainan. Kali ini ia dan Claressa akan mengikuti lomba yang diberi judul oleh para gurunya Ayahku Hebat. Lomba ini sebenarnya mudah. Hanya melemparkan bola ke ember. Tapi, jaraknya sih lumayan jauh. Yang menarik adalah bola tersebut digantung berantai. Total ada dua puluh bola yang tergantung. Setiap anak bertugas untuk mengambil bola tersebut. Dan di sanalah kerjasama mereka diperlukan. Semakin tinggi bola, maka ayah tidak memiliki pilihan lain selain menggendong anak mereka agar bisa menggapai bola tersebut.
Setelah bola didapat, ayah akan melemparkan bola itu ke ember. Sang anak menunggu di ember tersebut. Mereka tidak bisa mengambil bola yang baru apabila bola sebelumnya tidak masuk ke ember. Pemenangnya adalah mereka yang terbanyak memasukkan bola ke ember selama sepuluh menit.
Elena bersiap di pinggir arena. Seraya memegang jaket Abraham, ia melihat bagaimana ayah dan anak itu mengambil posisi tepat di bawah rangkaian bola gantung bersama peserta lainnya.
Seorang Pak Guru tampak memberikan intruksi. Lalu, permainan dimulai.
Sorak-sorai pecah. Setiap ibu-ibu memberikan semangat pada anak dan suami mereka masing-masing. Elena dengan semangat meneriakkan nama Claressa dari pinggir lapangan.
Bola pertama didapat dengan mudah, karena jelas bola masih dalam jangkauan Claressa. Ia memberikannya pada Abraham dan berlari menuju embernya. Claressa menunggu Abraham melempar bola itu.
Abraham dengan lesu meraihnya. Melempar bola itu. Dan...
"Eh?"
Elena tercengang.
Bola menggelinding, tidak masuk ke ember. Claressa dengan sigap mengambilnya dan memberikannya lagi pada Abraham. Lalu, pria itu melemparnya lagi. Dan gagal lagi.
Claressa dengan penuh semangat kembali mengambil bola itu dan memberikannya pada Abraham. Elena yang berada di pinggir lapangan sontak saja merasa kesal.
"Ya Tuhan!" serunya. "Pak! Nggak kasian itu ngeliat Essa mondar-mandir ngambil bola? Coba ngelemparnya yang bener!"
Ibu-ibu kompak menoleh pada Elena. Gadis itu mengatupkan mulut menahan jengkel saat Abraham menatapnya dengan dahi berkerut dan bibir berkedut.
Berani-beraninya dia ngomong teriak gitu di depan orang banyak?
Abraham berkacak satu pinggang. Tapi, sebelum ia sempat membalas, Elena keburu kembali berseru.
"Apa mau tukeran dengan saya, Pak? Biar saya aja yang ngegantiin Bapak lomba itu. Ah, geregetan juga lama-lama!"
Mendengar seruan Elena, beberapa peserta tampak kebingungan dan tak yakin untuk meneruskan perlombaan. Mereka sama khawatir akan jadi pertumpahan darah satu keluarga.
Abraham mendengus. "Mau gantiin saya?"
"Iya! Ah, bener-bener deh. Masukin bola aja nggak bener!" kata Elena. "Apalagi masukin yang lain."
Lidah Abraham kelu. Ehm, otaknya justru berusaha menebak 'yang lain' itu yang mana. Sontak dada Abraham terasa ingin meledak. Wah! Dia ngeremehin aku?
Elena menggigit bibir bawahnya. Menyadari kalau ia kembali keliru menggunakan kata-kata. Menoleh ke kanan kiri, ia berusaha nyengir.
"Ha-ha."
Sial, pikir gadis itu.
"Pokoknya," lanjut Elena kemudian memutuskan bahwa lebih baik segera memutus fokus orang banyak dengan hal lainnya. "Kalau Bapak emang nggak bisa masukin, udah. Mundur aja."
Jari telunjuk Abraham mengajung pada Elena. "Hati-hati ya kalau ngomong. Enak aja ngomong kalau saya nggak bisa masukin." Mata Abraham menajam. "Jangankan bola, yang lain pun saya lebih ahli."
Mata Elena mengerjap-ngerjap.
Abraham membuang muka dan mengambil bola yang diberikan Claressa. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Abraham menatap ember yang berjarak tiga meter darinya. Mengambil posisi. Ia melompat sedikit seraya melempar bola itu.
"Hup!"
Claressa tercengang. Satu bola masuk.
Abraham menoleh pada Elena. Lalu mengangkat dagunya, tapi tak mengatakan apa-apa lagi.
Detik selanjutnya, mereka kembali berlari menuju gantungan bola dan lantas, bola kedua masuk ke ember.
"Ayo! Ayo! Ayo!" Elena kembali berseru memberi semangat.
Pada menit ke delapan, Claressa dan Abraham berhasil memasukkan bola ke delapan belas. Melihat itu, Elena semangat bersemangat. Karena merekalah yang sampai saat ini memasukkan bola terbanyak.
"Ayo, Sa!" Abraham berjongkok. "Naik ke pundak Daddy."
"Eh? Nggak apa-apa, Dad?"
Abraham menoleh. "Buruan. Nanti keburu yang lain masukin bolanya."
Claressa beranjak. Abraham membantunya untuk naik ke pundaknya. Lalu, Claressa merasa menjadi anak tertinggi di dunia.
Kedua tangannya meraih bola. Dan dengan aman Abraham mendaratkan lagi putrinya. Elena tersenyum melihatnya.
"Ayo! Waktu semakin menipis semuanya!"
"Sampai saat ini Claressa dan Ayah sudah mengumpulkan sembilan belas bola! Ayo, Bapak-Bapak yang lain! Semangat!"
Abraham menyeringai sekilas melihat lawan-lawannya yang harus melempar berkali-kali baru berhasil memasukkan satu bola.
"Siap yang terakhir?" tanya Abraham seraya kembali berjongkok.
"Siap, Dad!"
Bola terakhir berhasil Claressa ambil dengan baik. Ia berlari ke embernya. Lalu, berteriak.
"Ayo, Dad! Satu bola lagi!"
Abraham melompat dan kembali melempar.
"Yeee!!!"
Claressa berteriak seraya mengambil bola terakhirnya. Ia berlari pada Abraham. Menghambur dalam pelukan pria itu.
"Kita menang, Dad, kita menang!"
Abraham tertawa. Spontan mengangkat Claressa dan memutar-mutar tubuh putrinya itu.
Tangan Claressa melingkar kuat di leher Abraham. Ketika Abraham berhenti memutarnya, ia menatap Elena dari kejauhan dan melambai.
Elena balas tersenyum.
Mendadak hatinya terasa bagai diremas.
*
Claressa dengan bangga memamerkan dua medali di lehernya pada Elena. Elena pun tergelak melihat wajah majikannya itu. Ketika Abraham bergabung dengan mereka kembali setelah dari toilet, Elena segera menyodorkan jaket pria itu.
"Wah! Bapak benar-benar hebat!"
Abraham cemberut seraya meraih jaketnya. Lalu mengenakannya. Elena menduga pria itu masih jengkel dengannya. Jadi, ia hanya mengulum senyum geli.
"Setelah ini ada lomba apa lagi, Sa?"
Mendengar pertanyaan Elena, mau tak mau Abraham penasaran. Ia menoleh pada putrinya. Dalam hati ia berdoa bahwa kali ini lomba itu tidak melibatkan dirinya. Tapi, ia kecele.
Claressa tersenyum saat menjawab. "Lomba yang ini mudah kok. Cuma lomba bakiak."
Abraham dan Elena sontak saling memandang.
Gadis kecil itu menoleh bergantian pada Abraham dan Elena.
"Jadi, siapa yang mau di depan?"
Abraham dan Elena sama-sama merasa nyawa telah meninggalkan badan masing-masing.
"Kamu yang di depan," kata Abraham cepat.
"Eh?" Elena tergugu. "Kenapa saya? Bapak aja yang di depan."
"Lebih bagus kalau kamu yang di depan. Claressa di tengah dan saya di belakang."
"Ckckck. Bapak ini nggak ada jiwa lakinya ya."
"A-Apa?" tanya Abraham tak percaya.
"Ya kali, Pak. Masa saya yang di depan?"
"Kalau saya di depan, kamu nggak bisa ngeliat jalan di depan."
"Bapak mau ngomong saya pendek?"
"Terserah gimana kamu mau menanggapinya."
"Pokoknya, Bapak yang di depan. Cowok harus jadi pemimpin."
"Selalu saja wanita menggunakan standar ganda. Katanya emansipasi."
Mata Elena mengerjap-ngerjap.
"Giliran ada yang susah, sok-sok jadi makhluk lemah tak berdaya."
Elena bersidekap. "Well... Wanita selalu benar."
Abraham menggeram.
Dari kejauhan terdengar suara peluit. Mengisyaratkan pada mereka untuk berkumpul.
Claressa yang berdiri di antara mereka menarik baju keduanya bersamaan. "Jadi...," lirihnya geleng-geleng kepala. "Siapa yang di depan?"
Abraham menggeram. Merasa benar-benar tengah dikerjai dua wanita itu.
"Oke! Daddy yang di depan."
"Yes!" Claressa berseru pelan.
Selanjutnya, mereka bertiga sama-sama mengambil posisi. Elena memastikan kaos kaki Claressa tebal agar kaki majikannya itu tidak lecet.
"Dad, pokoknya kita harus menang ya!"
Abraham menoleh ke belakang. Ia baru akan mengatakan sesuatu, namun didahului oleh Elena.
"Tenang, Non. Tuan kan tinggi, kakinya panjang. Harusnya sih kita bisa menang cepat. Soalnya Tuan pasti malulah kalau sampai kalah sama bapak perut buncit itu."
Claressa dan Abraham sontak menoleh kepada pria yang dijadikan objek percontohan Elena.
"Ka-Kamu ngebandingkan saya dengan bapak-bapak seperti itu?" tanya Abraham tak percaya. "Mata kamu minus berapa? Atau kamu ngeliat pake mata kaki sekarang?"
Elena mencebikkan mulut. Abraham mendengus kesal.
"Tinggal buktiin aja kalau Bapak lebih hebat dari dia."
Serasa langit sekarang sedang runtuh.
"Daddy hebat kok, Len," kata Claressa.
Elena hanya senyum-senyum.
Abraham menatap Elena tajam. Sepertinya gara-gara aku berkata tidak akan menyerang dia, gadis ini jadi semakin besar kepala ya.
Elena balas menatap Abraham. Apa sekarang Bapak Tirex merasa lebih termotivasi untuk mengikuti lomba ini dengan serius?
Claressa bingung melihat keduanya.
"Oke." Abraham mengangguk. "Daddy bakal ngasih intruksi ya, Sa. Ikuti apa yang Daddy bilang. Kalau Daddy bilang kanan, kaki kanan yang maju. Kalau Daddy bilang kiri, kaki kiri yang maju. Dan sebagai awal, kita mulai pake kaki kanan. Paham?"
Claressa mengangguk. "Paham, Dad."
"Eh, Ekor Bakiak!" kata Abraham.
Mata Elena membola. "Eh?"
"Paham belum?"
Dia manggil aku ekor bakiak? Elena tak bisa berkata apa-apa saking syoknya.
"Oke, saya anggap paham." Abraham kembali memutar tubuh dan mengambil posisinya.
Panitia berkeliling seraya memberikan intruksi.
Tiap peserta wajib berjalan bolak-balik sebanyak tiga kali sebelum kemudian melintasi lintasan terakhir untuk bisa menang. Dua orang guru nantinya akan memosisikan diri memegang pita merah sebagai tanda finish.
"Siap! Tiga, dua, satu!"
"Mulai!"
Abraham dengan sigap memberikan komando ketika peluit berbunyi.
"Kanan!"
"Kiri!"
"Kanan!"
"Kiri"
Di belakangnya, Elena mendadak ngeri mendapati kenyataan betapa cepatnya Abraham melangkahkan kakinya. Seolah lupa bahwa penumpang bakiaknya adalah dua orang perempuan. Sebisa mungkin Elena dan Claressa mengimbangi langkah kaki Abraham.
"Pak, pelan-pelan dikit!" seru Elena.
Claressa berseru. "Jangan, Dad! Kita harus menang."
"Astaga..." Elena meneguk ludahnya.
Di depan, Abraham pun tampak tak bergeming.
"Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri."
Ketika berbelok, Claressa dan Elena sontak limbung sejenak. Kedua perempuan itu refleks memegang tubuh Abraham. Tapi, layaknya robot, Abraham terus melaju.
"Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri."
Elena menarik napas panjang. Seraya harus mengimbangi langkah kaki Abraham, ia pun sibuk dengan tugas lainnya. Mendamaikan jantungnya yang ikut-ikutan berlomba dengan waktu!
Sial!
Abraham menggertakkan rahangnya. Berusaha untuk tetap fokus memberi komando dengan sepasang tangan wanita yang meremas pinggangnya.
Oke, ini harus diselesaikan secepat mungkin.
"Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri."
Elena dan Claressa nyaris tak bisa bernapas ketika langkah Abraham semakin cepat.
"Wah! Keluarga Claressa sedang melintasi lintasan terakhir!"
Suara panitia memberikan suntikan energi tambahan pada Abraham. Pria itu semakin bersemangat.
"Kanan. Kiri. Kanan. Kiri. Kanan. Kiri."
Dan akhirnya dada Abraham menyentuh garis finish.
Bakiak berhenti bergerak. Panitia bersorak menyebutkan pemenang pertama perlombaan tersebut.
Abraham tersenyum lebar, lalu menoleh ke belakang.
"Kita me---"
Claressa dan Elena jatuh tanpa tenaga di atas rumput.
"---nang..."
*
Panitia memberikan waktu istirahat. Membiarkan Claressa yang berkeliling dengan teman-temannya, Elena memilih selonjoran di atas rumput. Ia meneguk air mineral berulang kali. Merasa benar-benar letih.
"Ck. Ternyata cuma segitu kemampuan kamu."
Elena langsung memasang tatapan tajam ketika mendapati Abraham mengambil tempat di sebelahnya.
"Ya kali, Pak. Itu tadi kalau ada polisi kita pasti udah ditilang. Itu kecepatan di atas rata-rata peraturan keselamatan berkendara, Pak."
Abraham menyeringai. "Yang nyuruh saya di depan siapa?"
Elena tak bisa menjawab.
"Makanya, lain kali dengarkan apa kata saya."
Elena masih diam.
"Kalau kamu tadi di depan, kamu nggak bakal ngerasa kayak gini kan?"
Elena mendengus. "Bapak sengaja buat masalah ya? Makanya tadi pake bakiak kayak orang ketemu setan di jalan?"
"Yang nyari masalah siapa?" tanya Abraham. "Bukannya kamu?"
"Saya?"
"Ck." Abraham berdecak. "Perasaan saya, dari tadi kamu entah mengapa selalu saja berusaha menyulut emosi saya. Kamu kan yang sengaja nyari masalah dengan saya?"
Elena memandang Abraham tak percaya. "Kayak yang saya kurang kerjaan aja sampai-sampai nyari masalah dengan Bapak."
"Buktinya, dari tadi kamu selalu saja melakukannya. Meneriaki saya di depan orang banyak..."
Ups.
"Mengata-ngatai saya di depan orang banyak..."
Ups lagi.
"Bahkan meragukan jiwa lelaki saya..."
Elena tersenyum kaku. "He-he." Bingung harus mengatakan apa.
"Jujur deh ke saya," kata Abraham menatap Elena lekat-lekat. "Sebenarnya kamu mau nyari masalah ke saya..."
Elena merasa jantungnya berdetak cepat kala ditatap Abraham sedemikian rupa.
"Atau kamu mau nyari perhatian saya?"
Tiiiiit...
Kemudian jantung Elena terindikasi berhenti berdetak.
*
tbc...
nah lo nah lo.. ck... kurang cepet apa lagi coba si Abraham? hahahha... 🤣🤣🤣
kira-kira, apa ya yang terjadi di malam minggu? btw. masih ingat kan ya? acara ini dilakukan di hari Sabtu, jadi otomatis malamnya itu malam Minggu... hehehhe... 😚😚😚
oh iya, kalau ada typo dkk, harap maklum ya... ini nggak sempat dicek dulu soalnya...
pkl 20.50 WIB...
Bengkulu, 2020.04.18...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro