Hal Yang Sama
Ellowww semuanya...
sebelumnya, makasih buat yang masih bertahan dengan cerita ini... juga buat dorongan dan semangatnya... hiihihi... kadang terharu aku tuh... 😘😘😘
jadi, semoga kalian menikmati part ini... 🤗🤗🤗
===========================================================================
Pak Restu membukakan pintu untuk Claressa. Kembali di pagi itu, Abraham mengantar Claressa pergi ke sekolah. Sesuai dengan yang mereka sepakati sebelumnya, mereka benar-benar bangun lebih awal hingga bisa berangkat lebih cepat.
Sepanjang perjalanan, Claressa mencuri-curi pandang pada ayahnya. Pria itu tampak santai seraya membaca sesuatu di ponselnya. Claressa tak peduli itu apa. Yang penting, ada satu yang ia pedulikan pagi ini.
Dengan ragu-ragu, akhirnya Claressa memberanikan diri untuk bersuara. "Dad..."
Abraham mendehem pelan. "Ehm?"
Claressa meneguk ludahnya, kembali berusaha memberanikan diri. "Apa Daddy mau ikut piknik Sabtu besok?"
Abraham menaikkan satu alis matanya. Ia menoleh dan memandang Claressa yang bicara padanya seraya mencubit-cubit rok seragamnya.
"Cu-Cu-Cuma semalam, Dad. Ke Puncak," lanjut Claressa terbata. "Acara sekolah."
"Ah..." Abraham mengangguk paham.
"Daddy sibuk ya?" tanya Claressa mengangkat wajahnya, balas menatap ayahnya. "Sebenarnya aku sudah ngajak Elena sih... Tapi, aku pikir pasti menyenangkan kalau Daddy juga ikut."
"Elena ikut?" tanya Abraham pelan dengan berkedip-kedip.
Claressa mengangguk. "Iya, Dad. Jadi, kalau Daddy nggak mau ikut, ya nggak apa-apa. Biar Elena aja yang nemeni aku."
"Daddy bisa!" kata Abraham cepat.
"Bisa?" tanya Claressa bingung.
"Maksudnya..." Abraham tersenyum seraya menarik napas panjang, "Daddy bisa ikut. Daddy mau ikut."
Claressa tersenyum dan mengangguk-angguk. "Nanti aku bilang ke guru. Dadah Dad."
Abraham membalas lambaian tangan Claressa ketika putrinya itu beranjak ke sekolah. Antara sadar atau tidak, bibir Abraham melengkung tersenyum.
*
Glek.
"Non, sepertinya kalau Tuan pergi ke puncak, mendingan saya yang nggak pergi deh, Non."
"Kenapa?"
Elena meneguk ludahnya. Saat ini mereka tengah berkemas untuk kepergian piknik semalam ke Puncak besok. Elena membantu mempersiapkan semua keperluan Claressa dan ketika itulah Claressa memberitahukan dirinya kalau Abraham akan turut serta.
"Kamu nggak suka Daddy?"
Elena menggeleng. "Ya bukan gitu juga kali, Non."
"Nah!" Mata Claressa membulat. "Berarti kamu suka Daddy ya, Len?"
"Hukkk!"
Mendadak bernapas bisa membuat Elena terbatuk, Pemirsa!
Claressa tersenyum seraya meraih satu boneka beruang bewarna krem, lalu memeluknya.
"Kamu suka apa dari Daddy, Len?" tanya Claressa lagi.
"Ha-ha." Elena berusaha menjauh dari Claressa. Beralih pada lemari dan mengambil handuk yang akan dibawa.
"Terus kalau kamu suka kenapa kamu nggak mau ikut kalau Daddy ikut?"
Elena kembali mengabaikan pertanyaan itu.
"Kenapa kamu nggak mau ikut? Kan kamu udah bilang mau ikut, Len."
"Iya sih..," jawab Elena sedikit merasa bersalah. Ia sadar bahwa ia memang berjanji akan ikut, tapi untuk menemani Claressa. Tidak sepaket dengan bapaknya.
"Kita udah beli piyama kembar loh, Len. Masa Daddy yang pake sih?"
Ya tidak mungkin juga Abraham mengenakan piyama bewarna ungu muda bermotif bunga-bunga.
Otak Elena secara spontan membayangkan Abraham mengenakan piyama itu. Ia bergidik mengusir bayang mengerikan itu.
"Daddy ada nakal ke kamu ya, Len?"
"Eh?" Elena tergugu menatap mata polos Claressa. "Nakal? Ha-ha. Nakal apa, Non? Nggak nakal kok."
"Daddy anak yang baik kan?"
"Ha-ha. Iya, Non, iya." Elena mengipasi wajahnya. Mendadak ia merasa panas. Ini kenapa dia jadi nanya-nanya yang aneh terus sih?
"Jadi nggak ada alasan kamu nggak ikut ke Puncak kan?"
"Ha-ha. Iya, Non, iya."
Elena meneguk ludahnya. Menyerah. Daripada harus meladeni berbagai pertanyaan aneh Claressa hari ini.
Dan ya salam. Kali ini Elena tak yakin, harus mewaspadai Abraham atau justru dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Claressa dengan penuh semangat bangun pagi. Ia begitu antusias. Elena membantunya untuk bersiap. Sebelum mereka berangkat ke sekolah, Elena ke dapur terlebih dahulu untuk mengambil bekal selama perjalanan mereka nanti.
"Wah! Nama kamu pasti benar-benar diberkahi para malaikat," kata Intan tanpa merasa perlu menutupi nada iri dalam ucapannya. "Selama kerja di sini bertahun-tahun, Bu Siti aja belum pernah diajak piknik bareng cuma dengan Tuan."
Bu Siti memukul Intan. "Kenapa jadi aku yang dibawa-bawa?"
"Intan iri, Bu. Biasa." Lola tertawa. "Mungkin nanti kalau aku punya anak bisa aku kasih nama Elena. Biar beruntung kayak kamu."
"Ha-ha." Akhir-akhir ini tawa Elena memang kaku. "Siapa yang bilang aku beruntung? Nggak tahu betapa malangnya nasib aku sepanjang tahun ini."
"Ah? Yang bener?"
"Masa?"
"Kok nggak percaya."
Elena memutar-mutar bola matanya. Lalu meraih bekal yang sudah tersusun rapi di dalam satu eco bag besar.
"Dah! Sampai bertemu besok."
Elena berlalu dari sana.
"Dia benar-benar beruntung."
"Tapi, bukannya memang kontrak kerjanya seperti itu ya?"
"Ough. Iya! Liburan termasuk dalam kontrak kerja dia."
"Jadi, wajar juga sih ngeliat Elena pergi ke Puncak."
"Ehm... Menyenangkan..."
"Tapi, ngeliat dia pergi ke Puncak pake sweater, celana jeans, dan sepatu kets... ehm, dia benar-benar tidak terlihat seperti babysitter."
"Benar benar. Melihat Tuan yang duda juga ikut liburan, itu malah seperti ngeliat Elena sedang liburan bareng Tuan ke sana."
"Ckckckck. Dia benar-benar beruntung."
Dengang-dengung itu masih sempat terdengar di telinga Elena hingga kemudian tak ada lagi suara mereka yang mampu telinganya dengar.
Beruntung? Ah, beruntung apanya. Seumur hidup tahun 2019 inilah tahun paling buruk yang pernah aku dapatkan.
"Sudah semua?"
Elena mengangguk untuk pertanyaan Abraham.
Barang-barang mereka sudah dimasukkan ke dalam mobil. Elena membantu Claressa untuk duduk dengan nyaman di kursinya. Lantas, mereka bersama menuju ke sekolah.
Sekolah menyediakan satu bus untuk para murid dan guru. Sedang untuk orang tua, tidak.
"Eh?" Elena mendekati Bu Ida. Guru yang paling ia ingat karena insiden beberapa bulan yang lalu. "Jadi, bus hanya untuk murid dan guru ya, Bu? Kalau walinya gimana?"
Bu Ida menatap Elena dengan bingung. "Kan memang biasanya orang tua ikut dengan mengendarai kendaraan masing-masing, Mbak."
Oke. Aku nggak tau yang biasanya kali!
Elena meneguk ludahnya. Lalu memutar tubuh. Sekilas melihat Claressa yang melambai-lambai di dalam bus. Lalu sedikit memutar ke arah lainnya... Glek!
Ya kali berjam-jam berdua saja dengan Abraham dalam perjalanan. Bisa-bisa aku khilaf, Tuhan!
Kalau dulu ia pernah berani menutup mata pria itu, lalu ia mengusap punggungnya, entah nanti apa lagi yang akan ia lakukan pada Abraham.
Astaga, Tuhan! Semoga aku bisa mengendalikan diri.
*
Abraham melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ternyata sudah empat puluh lima menit perjalanan berlalu tanpa ada suara sedikit pun. Ini seperti Abraham sedang mengendarai mobil jenazah. Hening. Tapi, kenapa harus lengkap beraura mencekam?
"Saya ada melakukan salah?"
"Eh?" Elena menoleh.
Pandangan Abraham tetap lurus ke depan. "Kamu masih bisa bicara kan?"
"Iya dong, Pak."
"Terus kenapa diam saja?"
"Bingung mau ngomong apa, Pak," jawab Elena sekenanya.
"Biasanya kamu selalu punya stok bahan yang bisa dibicarakan."
"Kan biasanya, Pak."
"Berarti ini nggak biasa?"
"Er--- itu..."
Abraham menoleh. "Kenapa?"
Elena berusaha untuk tetap bernapas ketika melihat kedua bola mata Abraham menahan tatapannya untuk beberapa detik sebelum kembali memfokuskan tatapannya pada jalanan kembali.
"Kamu nggak nyaman bareng saya?"
"Eng... nggak kok, Pak."
"Berarti kamu nyaman sama saya?"
Mata Elena berkedip-kedip. Lantas mamandang horor pada Abraham. Ini kenapa berasa de javu? Seperti ada seseorang yang pernah mengatakan hal semacam itu sebelumnya.
Lalu ia menyadari sesuatu. Ternyata Nona benar-benar anak Tuan.
"Kalau kamu nyaman," lanjut Abraham, "kenapa diam saja dari tadi?"
"Ehm..." Elena bergumam. "Sebenarnya, saya bingung tadi. Saya kira wali juga akan naik bus, Pak."
Abraham mengangguk sekali. "Memangnya sebanyak apa wali murid yang ingin naik bus ke Puncak? Mereka tentu lebih nyaman dengan kendaraan masing-masing."
"Ah... Karena itu Bapak yang mengendarai, bukan Pak Restu."
Kembali, Abraham mengangguk. "Pak Restu rentan dengan udara dingin. Sebenarnya saya bisa saja menyuruh Doni, tapi saya nggak biasa disopiri orang lain selain Pak Restu."
Elena mendehem rendah.
"Berarti sebenarnya kamu memang nggak nyaman semobil dengan saya ya? Lebih tepatnya, berdua saja dengan saya di mobil?"
Elena menarik napas panjang. Menyadari bahwa memang tingkat kedewasaan benar-benar mempengaruhi cara bicara seseorang. Lihat saja. Pria ini bahkan berbicara tanpa tedeng aling-aling. Tepat sasaran.
"Bukannya saya nggak nyaman dengan Bapak," kata Elena pelan. "Benar deh, Pak. Walau sebenarnya Bapak memang bukan tipe orang yang benar-benar friendly, tapi ya standarlah untuk kategori kenyamanan."
Abraham menghirup napas panjang. Dia benar-benar mengatakan seperti itu?
"Hanya saja..."
"Kenapa?" tanya Abraham mendadak sedikit kesal dengan perkataan Elena barusan. "Kamu takut saya cium seperti di mobil dulu?"
Elena tak ingin menunjukkan respon yang berlebihan, tapi spontan saja ia menarik diri. Beringsut menempel pada pintu mobil.
Abraham menyeringai dan geleng-geleng kepala. "Tenang. Saya nggak bakal nyerang kamu kayak gitu lagi."
Elena meneguk ludahnya. Khawatirnya malah saya yang nyerang Bapak.
"Kamu sudah buktikan," lanjut Abraham mengabaikan rona merah jambu di pipi Elena.
Ya Bapak emang sudah membuktikan betapa gentle-nya Bapak sebagai pria. Tapi, sekarang yang saya takutkan saya tidak sefeminim yang saya kira.
"Jadi... berhenti merasa takut dengan saya."
Elena tak berdaya. Saya justru takut dengan diri saya sendiri, Pak.
Dan ugh! Membayangkan ia benar-benar akan menghabiskan banyak waktu dengan pria itu, sesuatu membuat alarm di kepalanya berbunyi.
Astaga!
*
tbc...
untuk para pembaca yang ingin menyalurkan imajinasi terliarnya, silakan komen yaaa... hahahha... kira-kira apa yang bakal terjadi di Puncak ntar? 😂😂😂
oh iya, hari ini ada orang yang minta dibuatkan kue... doakan aja biar aku ga tepar yaa... hahahha... terakhir kali aku buat kue kemaren aku jadi off 3 hari... 🤣🤣🤣
Pkl 09. 49 WIB...
Bengkulu, 2020.04.17...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro