Ghibah Tentang Pria
hahahaha... judulnya judulnya...
kira-kira Elena ghibahin apa nih? hahahha 😂😂😂
jadi, guys... kalau menurut rencana, sebenarnya cerita ini sih harusnya selesai sekitar sepuluh part lagi... aduh, mudah-mudahan aja bisa ya.... lagi nggak mau nulis yang panjang-panjang... masih stress otak aku dipake nulis Rehug yang sepanjang jalan kenangan itu 😅😅😅
===========================================================================
"Nggak ada kabar selama ini... ehm, kamu masih hidup kan ya, Len?"
Tawa Elena berderai. "Aku udah mati dan kini lagi gentayangan di Bumi."
"Semacam jadi roh penasaran karena ninggal sebelum nikah? Hahaha."
Tawa Elena lenyap tergantikan cemberutan. "Omongan kamu, Rin. Sekalinya nelepon malah nyakitin hati."
Rinda terkekeh di seberang sana. Suara berisik turut memeriahkan tawanya. Terlalu kentara untuk menjadi bukti bahwa Rinda masih belum pulang dari kerja.
"Jadi," kata Rinda. "Gimana pekerjaan kamu? Sejujurnya beberapa hari ini aku nunggu kalau-kalau kamu muncul lagi di kos---"
Elena kembali tergelak.
"--- tapi, ternyata sampai sekarang kamu nggak muncul-muncul juga. Betah kamu kerja di sana? Nggak lagi menakutkan?"
"Ehm... Gimana ya? Sebenarnya sejauh ini aman terkendali." Elena angguk-angguk kepala seraya mengusap dagunya. "Sebenarnya dibilang nggak menakutkan sih salah. Masih menakutkan, tapi masih bisa aku tangani."
"Ck," decak Rinda. "Berarti nggak terlalu menakutkan dong."
Elena mendehem seraya mengerutkan dahi ketika berpikir. "Menakutkan sebenarnya, Rin. Kamu tahu? Baru seminggu aku di sini, aku udah berapa kali terlibat masalah."
"Eh?! Masalah apa?"
Helaan napas Elena terdengar lebih panjang sebelum ia menjawab. "Aku udah ribut-ribut dengan tiga wali murid teman Claressa, kepala sekolah, dan gurunya. Aku juga udah adu mulut dengan Dania, cewek yang ngaku-ngaku bakal jadi mommy buat Claressa. Dan aku kemaren gara-gara aku nekat nyapa pebisnis dari Jepang, aku diinterogasi sama satu keluarga Rhodes."
"Kok bisa?" tanya Rinda penasaran.
Lalu, mengalirlah cerita itu dari mulut Elena. Ia menceritakan dengan sangat detail bagaimana ia terlibat adu mulut ketika membela Claressa di sekolah. Begitupun dengan insiden dengan Dania ketika cewek itu memberi cap anak nakal pada Claressa. Termasuk dengan bagian di mana ia yang kebablasan menyapa rekan bisnis Abraham dari Jepang yang kemudian berakhir dengan menjadi penerjemah dadakan untuk pria itu.
"Well... kayaknya kamu makin dekat dengan keluarga itu."
"Dekat dengan cara yang aneh," ujar Elena.
"Terus gimana dengan Abrahamnya? Masih menakutkan kayak kemaren?"
Bola mata Elena berputar. "Itu mah jangan ditanya. Dia aja nggak bakal mau ngeliat aku lebih dari sedetik. Langsung putar badan dia kalau ngeliat aku."
Rinda tertawa.
"Jadi kan gara-gara insiden aku yang bentak-bentak Pak Abraham malam itu, dia ngasih ultimatum kalau dia nggak mau ngeliat aku lagi kalau di rumah. Ya pokoknya kalau di rumah aku bener-bener nggak boleh sampai dilihat dia. Kalau semisalnya dia ada, langsung deh aku birit-birit kabur."
"Segitunya?"
"Segitunya," kata Elena lesu. "Dan ngomongi soal cowok itu malah buat aku teringat sesuatu. Dari semua masalah yang aku buat, ya masalah dengan cowok itu yang paling buat aku ketakutan. Hiks. Apalagi kalau aku ingat gimana nekatnya aku waktu ngebujuk dia biar datang ke pentas seni Claressa." Elena menarik napas panjang, sama sekali tidak ingin menceritakan detailnya pada Rinda. "Tapi, beneran. Aku nggak mau nyari masalah lagi dengan dia. Soalnya aku benar-benar nggak mau kehilangan pekerjaan ini."
Rinda kembali tertawa. "Kalau begitu, ya tabah-tabahin hati aja. Menghadapi tingkah anak dan bapaknya."
"Sebenarnya, Rin," kata Elena seraya memperbaiki duduknya. "Claressa itu anak yang baik. Dia pintar dan penurut. Walau memang sifat penurutnya itu memang perlu dipancing dulu dengan hal yang menguntungkan bagi dia. Tapi, sejauh ini aku perhatikan dia normal seperti anak-anak yang lain."
"Kamu kemaren ngeluh waktu dikerjai bocah itu, Len."
"Bener, tapi setelah beberapa hari aku pikir anak ini tu cuma lagi cari perhatian. Aku rasa dia begini tuh gara-gara si bapaknya yang keras kepala." Elena geleng-geleng kepala. "Dibandingkan dengan Claressa, si bapaknya menurut aku jauh lebih merepotkan deh. Masa udah tahu dia single parent, tapi malah nyuruh orang lain buat datang ke pentas seni anaknya. Memang nggak ada otak itu cowok."
"Hahahaha. Walau nggak ada otak, tapi ganteng kan?"
"Itu dia!" tukas Elena. "Untung ganteng. Tapi, sayang. Ganteng-ganteng kayaknya si bapak nggak pernah nonton Jejepangan, Rin. Masa ya kan? Aku ada ngumpatin dia, eh dianya diem aja. Hahahaha. Pas kemaren ada tamu dari Jepang dan dia kewalahan, aku baru nyadar kalau dia memang nggak ngerti bahasa Jepang."
"Hahaha. Emang kamu ngomong apa, Len?"
"Baka!" Lalu, Elena kembali tergelak. "Kayaknya aku punya ide buat ngumpatin dia di depan muka dia pake bahasa Thailand lain kali. Hahaha. Awas aja ya. Tiap dia bikin aku kesal nanti, aku umpatin langsung di depan mukanya."
"Hahaha. Parah euy kamu, Len."
"Tapi," lanjut Elena kemudian, "sebenarnya aku rada syok sih waktu memikirkan kemungkinan kalau dia nggak paham Jejepangan gitu." Elena mendadak tersenyum geli. "Masa ada cowok yang nggak paham Jejepangan sih?" Lantas, ia terkikik. "Kok kayak yang polos gitu?"
Rinda tertawa besar di seberang sana. "Hahahaha. Polos-polos gitu dia udah ada anak kali."
"Yah, mungkin dia bukan tipe Jejepangan kali ya. Lebih suka tipe western kali."
"Hahaha. Dasar gila!" kata Rinda di sela-sela tawanya. "Daripada kamu penasaran, gimana kalau kamu tanya dia langsung?"
Elena seketika bergidik ngeri. "Udah nanya gitu, pasti langsung tewas aku, Rin. Digigit dan ditelannya hidup-hidup."
"Hahahaha."
"Untuk yang satu ini aku beneran jujur, Rin. Dia memang menakutkan banget kalau lagi ngamuk. Waktu aku ngeliat dia marahi Claressa..., wih! Merinding seluruh badan aku dibuatnya."
Rinda mencoba menghentikan tawanya. "Lebih ngeri dari dompet kosong di akhir bulan?"
"Sama mengerikannya. Dan karena itulah aku juga memutuskan untuk tidak berhubungan dengan dia. Memang sih dia cakep dan bisa jadi bahan khayalan aku tiap malam, tapi sifatnya bener-bener nggak bisa tertolong lagi."
"Beberapa cowok memang terlahir dengan sifat menyebalkan dan cakep sebagai paket komplit."
"Tapi, dia benar-benar menyebalkan. Dan tiap berurusan dengan dia, stok tenaga aku pasti langsung habis. Ya mau gimana lagi ya. Aku udah capek ngurus anaknya, masa harus sibuk-sibuk ngurus tingkah bapaknya? Maksud aku ya, Rin. Itu anak dia loh. Aku ini cuma pengasuh, harusnya dia lebih care terhadap keseharian Claressa. Harusnya ya kalau ada acara sekolah, dia datang. Kalau lagi makan mbok ya ditanyain 'gimana sekolahnya, Sa?'. Kan enak. Kadang tuh ya, sedih aku ngeliat Claressa. Anak mana sih yang nggak mau diperhatiin sama orang tuanya? Kamu nggak tahu aja, Rin, gimana hebohnya Claressa waktu si bapak datang pas pentas seninya. Itu Abraham dipamerin ke semua temen-temennya. Lihat kan? Dia tuh ya sama kayak anak-anak lainnya. Pengen nunjukin ke dunia kalau dia ada orang tua yang sayang dia. Jadi kesel sendiri aku kalau ingat tingkah dia itu."
Rinda menghela napas panjang. Membiarkan Elena untuk terus berceloteh menceritakan hal-hal yang ia alami selama seminggu bekerja di sana. Dari keseharian yang diawali bangun tidur hingga malam menjelang tidur.
Dan ketika telepon itu akhirnya selesai, yang mana karena sebenarnya itu disebabkan oleh menit istirahat Rinda telah berakhir dan Elena pun yakin bahwa Claressa sudah selesai menyantap makan malamnya, Elena pun kemudian beranjak keluar dari kamarnya seraya menenteng laptopnya. Berniat menuju ke kamar Claressa.
Tapi, ketika ia baru ingin menaiki anak tangga pertama, langkahnya terhenti sejenak ketika melihat kedatangan Dania.
Elena berniat untuk langsung pergi, tapi Dania berkata.
"Mau ke mana bawa-bawa laptop?"
Kaki Elena berhenti melangkah. "Untuk nonton anime bareng Nona di atas." Elena memutuskan bahwa Claressa jangan sampai mengikuti jejak Abraham yang tidak paham tentang Jejepangan.
"Ckckckck. Harusnya kamu itu bantuin dia belajar, bukannya malah ngajak nonton."
Elena geleng-geleng kepala. "Kami bakal nonton setelah ngerjain tugas. Yang mana sebenarnya setelah belajar otak sangat perlu mendapat rileksasi. Jangan sampai stress."
"Ck." Dania bersidekap. "Ini pasti karena kamu kemaren datang ke pentas seni Claressa dan jadi penerjemah Abraham, makanya mulut kamu jadi berani ngomong gini."
"Wah! Nona, dari dulu saya memang berani ngomong. Udah ah, saya mau ke atas aja daripada nemenin Nona ngoceh di sini," kata Elena seraya meraih railing tangga. Tapi, kemudian ia teringat sesuatu. "Oh, iya, Non. Ada satu hal yang ingin saya bilang. Kemaren waktu Nona ngomong acara pentas seni Nona Claressa itu nggak penting..." Elena geleng-geleng kepala. "Nona nggak seharusnya ngomong gitu di depan bapak anaknya. Cowok mana pun nggak bakalan respect dengan cewek yang nganggap acara putrinya itu nggak penting." Bola mata Elena memutar. "Ya kalau cowoknya waras sih."
Mata Dania melebar.
Tak menunggu tanggapan Dania, Elena memutuskan untuk kembali menaiki tangga. Dan ketika langkahnya baru saja setengah perjalanan, matanya menangkap satu sosok pria di lantai atas yang tengah memandang ke bawah.
Astaga! pikir Elena panik. Dia dengar nggak ya apa yang aku omong tadi?
*
"Oke. Malam ini selesai sampai di sini, Non," kata Elena seraya membereskan laptop dari atas kasur setelah memadamkannya terlebih dahulu. "Ini udah hampir jam sebelas malam dan sudah waktunya tidur."
Claressa menguap. "Coba saja tadi nontonnya lebih cepat, Len. Kan jadinya nggak kemalaman aku tidurnya."
Elena mengantarkan Claressa ke kamar mandi. Menemaninya untuk sikat gigi dan mencuci kaki tangannya.
"Itu karena siapa coba? Kalau Nona lebih cepat ngerjain tugas Bahasa Inggris tadi, kita bisa lebih cepat nontonnya."
Claressa membiarkan Elena untuk mengelap kaki dan tangannya dengan handuk. "Harusnya kita nonton dulu baru ngerjain tugas."
"Kalau begitu bisa-bisa tugasnya nggak selesai."
Claressa cemberut sembari naik ke atas kasur. "Besok kita nonton apa, Len?"
"Saya rekomendasikan Barbie 12 Penari, Non," kata Elena. "Itu favorit saya."
"Ada pangerannya?"
"Ehm, sebenarnya cowoknya pembuat sepatu. Tapi, dia ganteng, ramah, dan baik."
"Ah!" Claressa tersenyum ketika berbaring. "Kayak Daddy?"
"Uhuk!" Elena terbatuk.
Claressa menggeleng. "Ah, Daddy kan nggak ramah."
Elena menaikkan selimut hingga ke dada Claressa. "Walau nggak ramah kan yang penting Daddy sayang Nona."
"Menurut kamu gitu, Len?"
"Ehm..." Beberapa saat Elena mendehem sebelum akhirnya mengangguk. "Saya bisa lihat kok kalau Daddy sebenarnya sayang Nona."
"Buktinya?"
"Ehm..." Elena mendehem lagi seraya berpikir. "Daddy datang ke pentas seni kemaren kan?"
"Itu kan karena kamu, Len."
"Ehm..." Elena kembali mendehem beberapa saat. "Daddy nggak ada marahin Nona lagi kan?"
"Itu kan juga karena kamu, Len."
Bola mata Elena berputar-putar.
"Ah! Jadi sebenarnya Daddy sayang aku atau kamu, Len?"
"Eh?!"
Claressa menguap. Dan layaknya anak polos tanpa dosa, setelah sukses membuat Elena menganga, ia malah berkata. "Kemaren aja Daddy minjem kamu dari aku."
Elena meringis. "Itu karena Tuan butuh penerjemah."
Claressa angguk-angguk kepala. "Nanti tolong kembalikan KTP Daddy ya, Len. Tadi bu guru ngasih. Katanya kemaren Daddy lupa ngambil dan tadi aku yang lupa ngasih. Aku benar-benar ngantuk sekarang."
Elena mengusap dahi Claressa beberapa kali sebelum akhirnya memastikan bahwa gadis kecil itu telah terlelap. Ia beranjak meraih KTP Abraham di atas meja, memadamkan lampu utama, dan menutup pintu kamar itu dari luar.
Dari tempatnya berdiri, Elena melihat melalui celah di bawah pintu ruang kerja Abraham. Terlihat gelap. Elena pikir mungkin Abraham sudah tidur.
Elena beranjak ke sana. Berjongkok di depan pintu dan mengulurkan tangannya ke celah pintu. Berniat untuk mendorong masuk KTP Abraham melalui celah itu dan justru mendapati pintu ruangan itu terbuka.
Elena sontak mendongak.
Abraham sontak menunduk.
Mereka terpisah selembar KTP tipis yang tak berdaya.
KTP berkata: Jangan salahkan aku!
*
tbc...
adududududu... 🤣🤣🤣
up lanjutannya kapan-kapan ah... hahahhaha... biar yang baca penasaran 😅😅😅
pkl 11.15 WIB...
Bengkulu, 2020.04.02...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro