Euforia Semata
Selamat berjumpa lagi di lapak yang satu ini...
Gimana kabarnya, Guys? Semoga selalu sehat ya... juga, semoga yang menjalankan ibadah puasa tetap semangat beraktifitas... 😁😁
Oke, guys... setelah berbuka dengan yang manis, mari kita nikmati hidangan yang sedikit pahit... hehehehe... 😅😅😅
btw. update part ini menyadarkan aku kalau sebentar lagi cerita ini bakal selesai... hiks... 🙄🙄🙄
==========================================================================
"Aku cinta kamu, Elena..."
Untuk beberapa saat, Abraham terdiam. Nyaris tak percaya dengan kalimat yang ia katakan. Tentu saja, itu tadi benar-benar ia yang mengatakannya?
Oh, Abraham bukannya ingin bersikap seperti pecundang. Ia memang menyadari bahwa dirinya memiliki ketertarikan terhadap Elena. Tapi, cinta? Ia bahkan tak pernah membayangkan akan benar-benar merasakannya. Dan mengungkapkannya seperti yang baru saja ia lakukan, membuat dadanya seakan terpenuhi oleh berbagai emosi.
Ia merasa seolah ada simpul yang terlepas. Membuat perasaannya bebas. Satu perasaan yang membuat ia benar-benar nyaman. Perasaan yang benar-benar telah ia tunggu selama ini.
Jadi, sejenak mendiamkan diri memang Abraham sengaja. Ia benar-benar ingin meresapi kenyataan itu.
"Aku benar-benar cinta kamu..."
Abraham kemudian menanti. Memberikan waktu untuk Elena merespon pengakuan cintanya. Walau otaknya menyajikan kenyataan betapa Elena juga menyimpan perasaan yang sama untuknya, Abraham berusaha sekeras mungkin untuk menahan senyumnya.
Logikanya berpikir, melihat bagaimana sikap Elena padanya, tak mungkin kan Elena mengatakan hal yang sebaliknya? Tentu saja layaknya kisah cinta, Elena akan mengatakan hal yang serupa pada dirinya. Iya kan?
Sekejap, tapi pasti. Bunga-bunga mulai bermekaran di hati Abraham. Ia layaknya menjadi pria yang paling bahagia di dunia. Ia---
"Terima kasih."
---tunggu!
Kenyataan menarik semua bayangan khayalan dari benak Abraham seketika.
Terima kasih?
Dia ngomong terima kasih?
Mata Abraham terbuka. Dahinya berkerut-kerut. Kebingungan memenuhi pikirannya. Dari sekian banyak ucapan balasan untuk pengakuan cinta, oh--- terima kasih tidak pernah menjadi ucapan yang bagus. Ucapan sopan itu selalu berakhir... buruk!
Abraham merasakan dorongan pada pelukannya.
Kedua tangan Elena yang tertahan di dadanya, mengurai rengkuhannya pada gadis itu. Tapi, Abraham tidak memberikan jarak lebih seperti yang diinginkan Elena. Abraham dengan jelas masih merengkuh pinggang Elena dengan kuat.
"Te-Terima kasih?" tanya Abraham terbata-bata. "Terima kasih?"
Elena menundukkan wajahnya. Ia tampak menghirup napas panjang berulang kali. Lalu, seakan belum cukup membuat Abraham syok dengan ucapan itu, ia kemudian mengangkat wajah dan tersenyum kaku.
"Terima kasih banyak?"
"Hah?" Abraham melongo. "Serius?"
Elena menggigit bibir bawahnya.
"Kamu tahu bukan itu jawaban yang aku harapkan." Abraham menatap Elena lekat-lekat. "Terima kasih? Yang benar saja!"
Elena berusaha menarik diri. Ia seakan berontak dalam rengkuhan Abraham. "Ini sudah malam. Sebaiknya kita tidur."
"Tidak!" tolak Abraham. "Aku nggak bakal ngizinin kamu tidur sebelum kamu jelasin ke aku."
Elena diam.
"Apa maksud terima kasih kamu?"
"Memangnya selain terima kasih, aku harus ngomong apa?"
Abraham melongo. "Kamu serius nanya itu ke aku?" tanya Abraham meringis. "Kamu seharusnya ngomong juga dong perasaan kamu ke aku itu gimana. Dan yang aku tahu, kamu juga memiliki perasaan yang sama dengan aku."
"Perasaan kamu yang mana?"
Mendadak Abraham merasa situasi sekarang bukanlah yang ia harapkan. "Dengan semua yang aku lakukan ke kamu, kamu masih nanya perasaan aku? Dan pengakuan aku tadi apa tidak berarti apa-apa ke kamu? Ya Tuhan." Abraham benar-benar mengembuskan napas panjangnya sekarang. "Aku cinta kamu, Elena."
Elena menggeleng. "Kamu nggak mungkin cinta aku. Kamu---"
Abraham ternganga seketika.
"---nggak mungkin benar-benar cinta aku."
"Pardon?" Pada akhirnya justru Abraham yang melepaskan diri dari Elena. Ia mengambil jarak dan menatap tak percaya pada Elena. "Aku nggak mungkin cinta kamu? What a stupid---"
"Kita baru kenal bentar," potong Elena seraya meneguk ludahnya kuat-kuat. "Bahkan belum sampai setengah tahun. Dengan rentang waktu yang sekejap itu kamu bisa segitu yakinnya kamu cinta aku?"
"Wah!" Abraham geleng-geleng kepala. "Bilang ke aku di mana salahnya kalau memang itu yang terjadi?" tanyanya kesal. "Kamu pikir aku juga mau mendadak begini ngomong cinta ke kamu? Aku bahkan nggak pernah ngira kalau aku bakal jatuh cinta ke babysitter anak aku."
"See? You got the point!" ujar Elena. "Aku babysitter anak kamu. Nggak sepantasnya kamu ngerasa cinta ke aku."
Abraham benar-benar tercengang. "Karena itu?"
Elena berusaha melarikan tatapannya dari mata Abraham. "Ini udah pasti bukan cinta," ujar Elena pelan. "Kamu hanya senang karena melihat ada orang yang bisa membuat Claressa bahagia. Yang bisa membuat Claressa ceria. Kamu senang karena itu dan malah mengira bahwa perasaan itu cinta."
Abraham mendengus tak percaya. Mulutnya menganga dengan ketidakpercayaan akan apa yang telinganya dengar.
"Kamu..." Elena kembali meneguk ludahnya. Jelas menandakan bahwa ia benar-benar merasakan pergolakan di dalam batinnya. "Hanya merasakan euforia semata karena merasa akhirnya ada yang bisa mengerti Claressa dan kamu."
Mendengar perkataan Elena, seketika Abraham maju. Ia dengan kuat memegang kedua lengan atas Elena hingga gadis itu mengernyit karenanya.
"Euforia? Kamu nyebut perasaan aku euforia?"
Elena menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Merasa terintimidasi oleh tatapan tak berkedip Abraham padanya. Wajah tampan itu seketika dipenuhi keringat dan kemarahan mengancam akan segera meledak.
"Berani-beraninya kamu nyebut perasaan aku euforia." Abraham menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tahu sesulit apa aku memahami perasaan yang aku rasa setiap aku bersama kamu? Dan untuk itu semua," pria itu mendengus miris dan mengernyitkan dahinya, "kamu malah ngevonis perasaan aku hanya sekadar euforia semata?"
"Dengar. I---"
"Nggak!" potong Abraham. "Kamu yang harus dengerin aku. Aku sama sekali nggak ngerti kenapa kamu jadi gini. Beberapa saat yang lalu hubungan kita baik-baik saja. kita ngobrol seperti biasa dan sekarang kamu mendadak berubah. Seolah menarik dari ketika aku ngomong kenyataan tentang kita."
"Te-Tentang kita?"
"Kamu mau bohong tentang perasaan kamu ke aku?" Abraham tergelak kecil. Tapi, ini bukan jenis tergelak lucu. Ini adalah gelak ironis yang membuat Abraham semakin miris. "Untuk semua yang terjadi di antara kita? Mustahil kamu nggak ngerasa cinta sama aku."
Elena terdiam. Wajahnya terlihat begitu kaku tanpa ekspresi dengan tiap perkataan Abraham.
"Kamu suka aku, Elena. Dan aku sangat yakin kamu pun merasakan cinta seperti yang aku rasakan ke kamu."
Tapi, wajah cantik itu terlihat begitu tegas. Abraham dapat melihat kekerasan di balik wajah cantik itu.
"Kamu nggak cinta aku," kata Elena.
Dan sekarang, Abraham tak yakin. Kalimat itu Elena tujukan untuk dirinya atau justru untuk meyakini dirinya sendiri.
"Kamu hanya merasakan euforia. Cinta kamu hanya sebatas ilusi dengan perubahan kebahagiaan yang kamu alami akhir-akhir ini. Jadi, aku bakal nganggap kamu nggak ada ngomong apa-apa ke aku."
"Aku benar-benar nggak ngira kamu bisa ngomong seperti itu. Nggak. Kamu nggak berhak untuk menghakimi perasaan aku," tolak Abraham. "Kamu nggak tau bagaimana perasaan ini aku rasakan."
"Kalau aku nggak tau, apa itu artinya kamu tau?" tanya Elena pelan. Namun, anehnya terasa begitu mengusik Abraham. "Apa kamu tahu tentang aku?"
Abraham terdiam.
"Kamu nggak tahu apa-apa tentang aku," lanjut Elena meringis. "Dan bagaimana bisa kamu bilang kamu cinta aku?"
Abraham menatap lekat-lekat pada Elena. Menyadari fakta bahwa dia memang tidak tahu apa-apa tentang Elena.
"Kamu hanya mencintai ilusi aku." Elena melirih begitu pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri. "Hanya ilusi aku. Perasaan kamu nggak nyata."
*
Elena berkali-kali mengusap wajahnya yang basah. Tangannya terasa bergetar tetap menahan ponsel di telinga kirinya.
"Aku nggak bisa gini, Rin," katanya dengan suara tercekat. "Aku nggak boleh gini."
Terdengar helaan panjang napas Rinda di seberang sana. "Itu bukan salah kamu, Len."
"Harusnya aku hanya kerja. Seharusnya aku nggak perlu sampai ikut campur dengan kehidupan mereka berdua," tutur Elena. "Semua itu yang membuat ini terjadi."
"Len... Tenang."
"Padahal aku udah wanti-wanti ke diri aku sendiri. Ini hanya sekadar kerja, jangan libatkan perasaan. Tapi..."
Rinda mengerti. "Claressa terlihat begitu menyedihkan kan? Kamu nggak salah kalau merasa bersimpatik dengan dia dan Abraham."
"Tapi, sepertinya aku bertindak sudah terlalu jauh kan?"
Rinda kembali menarik napas panjang. Berusaha untuk memilih kata-kata yang tepat agar tidak menyudutkan sahabatnya itu.
"Rin," kata Elena menahan isaknya. "Kali ini aku nggak hanya akan jadi bahan perbincangan, tapi aku akan dipermalukan."
"Len, Abraham nggak mungkin melakukan itu. Walaupun aku baru bertemu sekali dengannya, aku bisa yakin kalau dia tidak mungkin melakukan itu sama kamu."
"Mungkin bukan dia, tapi keluarganya! Aku babysitter, Rin. Apa yang akan orang bayangkan ketika aku jatuh cinta pada Abraham? Apa yang akan orang katakan ketika Abraham mencintaiku? Apa?"
Rinda tak menjawab. Pertanyaan Elena tak perlu ia jawab.
Oh, itu sudah pasti pertanyaan yang mudah.
Elena menggoda Abraham.
Bahkan, bila ingin membuat seperti drama di televisi, bisa dipastikan Elena akan dibilang sebagai wanita murahan pengincar harta.
Apa itu jawaban yang salah?
Tidak. Semua orang akan mengatakan itu.
"Biasa, cari muka. Mentang-mentang punya wajah cantik gitu?"
"Semua orang dia goda, nggak peduli tua muda."
"Entah siapa aja yang udah ia jerat."
"Ckckckck. Benar-benar memalukan."
Elena memejamkan matanya. Menggelengkan kepalanya dengan kuat, berusaha mengusir bisikan-bisikan jahat yang mendadak terngiang di benaknya.
"Aku nggak mungkin bisa bertahan di sini, Rin."
Di ujung sana, Rinda terkesiap. "Kamu mau pergi lagi, Len? Dengan semua kebahagiaan yang kamu rasakan sekarang bersama mereka di sana?"
"Kebahagiaan ini nggak bakal bertahan lama, Rin." Elena menahan napasnya beberapa saat di dada. Mencegah air matanya untuk tumpah. "Sama seperti sebelumnya... Aku nggak mungkin bisa bertahan." Elena mengembuskan napasnya hati-hati. "Aku nggak mau bertahan."
*
tbc...
jadi, gimana perasaan kalian guys? 😶😶😶
kalau aku di posisi Elena, jelas...aku bakal mikir gitu...😖😖😖
aku jadi teringat drama What's wrong with secretary Kim... Park Min Young yang sekretaris, cantik, pintar, cekatan, gesit, ya wajar ya kalau bosnya naksir.., tapi orang-orang mikirnya ia menggoda bosnya... percaya ga percaya, begitulah orang-orang yang suka gosip... jadi, kita jangan gitu ya... hehehhe... 🤗🤗🤗
see yaaa di part 43 guys...
pkl 18.35 WIB...
Bengkulu, 2020.04.26...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro