Dua Wali Satu Anak
aduuuuh... udah pada kelaparan ya nungguin sarapan? hiksss... maafkan aku ya... 😂😂😂
hehehhe...
btw. part ini ga terlalu panjang sih, tapi lumayanlah dari pada kelaparan... 🤣🤣🤣
===========================================================================
Ilona, sekretaris Abraham yang sudah memasuki usia paruh bayanya tampak menunggu dengan tenang di ruang kerja Abraham. Pria itu kembali melihat ponselnya. Dahinya berkerut dan lalu mengembuskan napas panjang.
"Pak," kata Ilona kemudian, "saya bisa menangani rapat ini."
Abraham tergugu. "Ti-Tidak, Bu. Saya akan datang."
Ilona tersenyum dengan lembut. "Bukannya Bapak ingin ke sekolah Claressa?" tanyanya.
Abraham tak menjawab.
Rapat Bapak bisa diwakilkan sekretaris, tapi apa masa kecil Nona bisa diwakilkan oleh orang lain?
Ucapan itu terngiang di benaknya dan ia mengangkat wajah. Menatap wajah Ilona dan mendapati tatapan pengertian darinya.
"Sampaikan salam saya untuk Claressa."
*
Abraham memarkirkan mobilnya dengan terburu-buru, terutama ketika menyadari bahwa area sekolah telah sepi dikarenakan para undangan sudah memasuki aula sekolah.
"Selamat pagi, Pak. Saya Bu Sekar. Ada yang bisa dibantu?"
Seorang guru menyapa Abraham dan pria itu berkata.
"Saya Abraham Rhodes, orang tua Claressa Rhodes."
Ibu guru tersebut melihat buku di tangannya. "Sepertinya wali Claressa tadi sudah datang."
Abraham mengerutkan dahi. "Saya ayahnya," kata Abraham seraya mengeluarkan dompet dan memberikan KTP pada guru tersebut.
Bu Sekar melihat KTP tersebut dan menyadari nama belakang mereka yang sama.
"Siapa yang datang sebagai wali Claressa?" tanyanya kemudian.
Bu Sekar membaca di buku tamu dan menjawab. "Elena, Pak. Elena Anindya." Bu Sekar menatap Abraham. "Bapak kenal?"
Abraham mengangguk. "Saya kenal. Mungkin dia pikir saya tidak akan datang," katanya. "Jadi, apa saya boleh masuk?"
"Silakan. Tapi, KTP Bapak saya pegang dulu ya. Untuk jaga-jaga, nanti bisa diambil lagi kalau acara selesai."
Abraham menyetujui hal itu.
Bu Sekar mengantar Abraham ke ambang pintu aula dan menunjuk satu titik di depan panggung. Di mana ada kursi kosong di sana.
"Itu kursi untuk wali Claressa," kata Bu Sekar. "Di sebelah cewek rambut panjang yang mengenakan dress warna magenta."
Abraham mengangguk sekilas sebelum melangkahkan kakinya.
Dari belakang tampak rambut sepunggung gadis itu tergerai lepas. Tanpa jepit atau pun sanggul seperti biasanya. Ia terlihat mengangkat tangan dan melambai. Terdengar suara teriakannya.
"Ganbatte ne, Essa!"
Dahi Abraham berkerut. Sejak kapan nama panggilan Claressa berubah jadi Essa?
Dari tempatnya, ia pun bisa melihat Claressa tersenyum lebar membalas lambaian tangan Elena.
Semakin dekat jarak antara ia dan Elena, ia bisa melihat bagaimana pengasuh putrinya itu terlihat begitu berbeda dengan dress tanpa lengan yang ia kenakan. Sekilas Abraham bisa menilai bahwa itu bukan dress rancangan ternama. Pun sepatu dengan hak lima sentimeter bertali yang terlihat sederhana. Secara keseluruhan, penampilan Elena biasa saja. Tapi, gadis itu terlihat begitu nyaman dan tersenyum lebar pada putrinya.
Abraham menghentikan langkah kakinya. Melihat sejenak kursi kosong yang kebetulan sekali berada di pinggir barisan. Ketika ia mengangkat wajahnya dan menatap ke panggung, pandangannya tertangkap oleh Claressa.
Putrinya membelalakkan mata. Mengucek sekali matanya dan terkesiap tak percaya melihat kehadiran Abraham.
Claressa melambai dengan penuh semangat. Membuat Abraham, entah sadar atau tidak, tersenyum padanya.
Tangan Abraham meraih punggung kursi. Sedikit menariknya dan duduk.
"Apa sudah dimulai?" tanya Abraham dengan harapan bahwa suaranya bisa terdengar lebih santai seperti biasanya.
Beberapa saat Abraham menunggu, tapi tak ada jawaban. Ia menoleh dan melihat iris Elena yang bening menatap padanya dengan keterkejutan di sana.
"Dramanya sudah dimulai?" tanya Abraham lagi.
Elena tergugu. Mengerjap dan berkata dengan tergagap.
"Be-Be-Belum, Pak."
Dahi Abraham mengerut. Matanya berkedip. "Ada apa?"
Dada Elena bergerak dramatis ketika menarik napas. "Sa-Saya pikir Bapak nggak bakal datang."
Abraham membawa duduknya kembali lurus ke arah panggung. Bersandar dengan nyaman dan berkata lirih.
"Saya ada sekretaris."
Mata Elena mengerjap.
Oh, Tuhan...
Tangan Elena naik ke depan dada. Rasa-rasanya ia mendadak merasa gagal jantung.
Glek.
"Pak..." Suara Elena terdengar bergetar. Tapi, ia perlu memastikan ini. "Karena Bapak sudah datang dan saya ehm..." Otak Elena berpikir dengan cepat menemukan kata-kata yang tepat. "...ingat bahwa Bapak tidak ingin melihat saya." Elena menggigit bibirnya, dia benar-benar tidak ingin dipecat. "Apa saya harus pulang sekarang?"
Dari samping, Elena bisa melihat bagaimana jakun Abraham naik turun.
Tunggu!
Sejak kapan jakun bisa terlihat seseksi ini?
Sepertinya efek pepaya kemaren masih belum hilang.
Abraham menoleh. Tanpa kedip ia menatap Elena. "Tadi kamu bilang ke panitia kalau kamu wali Claressa?"
Ragu-ragu, tapi Elena mengangguk.
Abraham kembali menghadap ke panggung dan bersidekap. "Anggap saja kamu wali Claressa kalau di luar rumah."
Mata Elena berkedip-kedip ketika berpikir. Apa itu artinya larangan tak terlihat hanya berlaku di rumah? Tidak termasuk di luar rumah?
*
"Benar kan apa yang aku bilang? Daddy aku tuh ganteng. Iya kan iya?"
"Aku nggak bohong ya waktu bilang Daddy aku cakep. Tuh kalian liat sendiri buktinya."
"Bintang film kalah ganteng kan dengan Daddy aku?"
Abraham terbatuk-batuk di tempatnya berdiri.
Beberapa teman Claressa berdiri tak jauh dari mereka dan Claressa masih dengan bangga memamerkan Abraham pada teman-temannya.
"Iya kan?" tanya Claressa pada mereka. "Cakep kan?"
Elena yang berdiri di belakang Abraham mau tak mau tersenyum geli.
"Wah!"
"Halo, Om."
Abraham mengangguk sekali. Teman-teman Claressa mendatanginya dan bersalaman dengannya dengan sopan. Beberapa dari wali murid yang datang juga tampak saling menyapa satu sama lain, begitu pun dengan Abraham.
Senyum geli di bibir Elena seketika menghilang tatkala ia melihat Bu Ratna tampak juga bergabung untuk berkenalan dengan Abraham. Dari tempatnya berdiri, Elena menyipitkan matanya pada Bu Ratna.
"Ayahnya Claressa ya?"
Abraham mengangguk. Menyambut sekilas uluran tangan Bu Ratna. "Ya, Bu."
"Saya Ibu Tasya," katanya.
Claressa di sebelah Abraham berkata. "Itu Tasya yang narik jepit rambut aku kemaren, Dad. Terus yang ngomong ke guru kalau aku duluan yang ngajak berantem."
"Huk!"
Elena sekuat tenaga menahan tawanya melihat Bu Ratna yang seketika terbatuk.
Bu Ratna terlihat salah tingkah, tapi ia berusaha untuk terlihat santai. Ia membelai sedikit kepala Claressa yang masih mengenakan kostum bunga matahari.
"Maafin Tasya ya, Sa..."
Claressa manyun, tapi tetap mengangguk.
Setelahnya terlihat dari wali murid memanfaatkan momen itu untuk berfoto dengan anak mereka. Claressa dengan penuh harap menengadahkan kepalanya.
"Dad..., bisa kita foto?"
Mata polos Claressa menatap Abraham hingga membuat pria itu merasakan sulit menarik udara.
"Tentu, Sa."
Abraham menoleh. Itu bukan dirinya yang menjawab, melainkan Elena di belakangnya.
Elena menarik tangan Claressa dan mengajaknya ke atas panggung. Mau tak mau, Abraham turut naik.
Elena membiarkan Claressa dan Abraham mengambil posisi untuk kemudian merasa jengkel sendiri dan akhirnya turut membantu mereka menemukan pose yang tepat.
Abraham berjongkok seraya merangkul Claressa.
"Wah! Neomu neumo kawaii desu!"
Elena bahkan tak sadar ikut tersenyum ketika kamera ponselnya mengabadikan momen bahagia Claressa hari itu. Claressa, persis seperti kostum yang ia kenakan, tersenyum lebar dan bercahaya layaknya bunga matahari.
Setelah berpuas berfoto dengan Abraham, Claressa meraih tangan Elena. "Len, kamu nggak mau foto dengan aku?"
Mata Elena mengerjap-ngerjap tak enak. Ia menggeleng pelan. "Nggak usah, Sa."
"Udah sini!" kata Claressa tak peduli dengan penolakan Elena. Ia menarik tangan Elena dan berganti posisi dengan Abraham tadi. "Dad, tolong foto sekali aja ya?"
Suasana di sana ramai dan beberapa orang dengan terang-terangan memandang ke arah mereka. Mungkin karena Abraham yang pertama kali hadir di acara sekolah yang membuat mereka terlihat seperti pusat perhatian.
Mengamati situasi di sekelilingnya, Abraham lantas mengangguk dan mengeluarkan ponselnya. Ia sedikit mengambil langkah mundur dan menunggu hingga Claressa dan Elena siap.
"Cekleeek!"
Foto diambil.
Abraham mendesah kecil. Menyadari bahwa akhirnya galeri ponselnya berisi foto juga.
Claressa mendekat dan melongok melihat foto itu. Ia tersenyum dan menunjukkan hasilnya pada Elena.
"Kita cantik kan?"
Elena mengangguk. "Kamu yang cantik, Sa."
"Pasti!" kata Claressa tersenyum lebar.
Lalu, terdengar suara panitia di sisi panggung.
"Untuk wali murid dan murid yang ingin berfoto, bisa ke luar aula. Ada fotografer dan tempat yang sudah disediakan."
"Wah!"
Claressa berseru dengan keras. Dan tanpa aba-aba, kedua tangannya langsung bergerak. Meraih dua tangan yang berbeda dan kembali berseru.
"Buruan, Dad! Nanti orang antri!"
Abraham dan Elena sontak saling memandang satu sama lain. Tapi, tak bisa berbuat apa-apa ketika Claressa telah berlari seraya menarik kedua tangan mereka.
Elena meneguk ludahnya, lalu berkata di dalam hati. Aku wali Claressa, loh...
*
tbc...
oh iya guys, buat yang nanyai cerita on going aku lainnya yang belum aku lanjutin, maaf ya... aku mah emang gitu... ga bisa nulis barengan banyak cerita... mesti satu satu diselesaikan dulu... hahahhaha... takut salah ketik nama aku ntar 🤣🤣🤣
pkl 10.00 WIB...
Bengkulu, 2020.03.31...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro