Di Luar Kendali
Selamat siang semuanya...
yuk mari kita nikmati hidangan makan siang kita dengan part 16 dari Elena... 🤣🤣🤣
haahaha...
semoga kenyang... 🤗🤗🤗
===========================================================================
"Lihat, Ab! Pengasuh itu benar-benar nggak baik untuk Claressa. Bagaimana bisa dia justru membiarkan Claressa yang imut-imut berkelahi di sekolah?"
Abraham melintasi ruang tamu dan tetap berjalan, tak menghiraukan Dania yang bicara padanya.
"Kamu nggak bakal tahu soal ini kalau aku nggak ngasih tahu, Ab."
Langkah Abraham terhenti. Ia berbalik. "Terus kamu tahu dari mana?"
"Kebetulan Pak Ridwan sudah punya nomor ponsel aku. Tadi Pak Ridwan nyuruh aku ke sekolah, tapi ada klien penting. Jadi, aku nggak sempat ke sekolah."
Abraham mengangguk.
"Bentar!" Dania menyipitkan matanya. Telinganya mendengar deru mobil di luar. "Itu pasti mereka sudah pulang."
Abraham dan Dania melihat bagaimana Elena dan Claressa masuk seraya bersendau gurau. Mereka tertawa sambil berjalan bersisian dengan tangan saling menggenggam. Ketika menyadari keberadaan Abraham dan Dania, langkah mereka seketika berhenti.
"Lihat siapa yang baru datang?" Dania beranjak dan mendekati Claressa. "Kamu berantem lagi di sekolah, Sayang?"
Claressa diam. Tak menjawab pertanyaan itu.
"Kamu ini sebenarnya pengasuh macam apa? Bagaimana bisa kamu membiarkan Claressa berkelahi seperti anak kampungan?!"
Teringat dengan janjinya, Claressa maju dan bertindak seolah melindungi Elena di belakangnya.
"Elena pengasuh terbaik yang pernah aku punya!"
Dania membelalakkan matanya. Ia mengusap dahinya. "Astaga, Ab! Aku udah bilang kan. Pengasuh ini ngasih pengaruh buruk untuk Claressa. Pecat aja dia!"
"Sembarangan mau mecat Elena, emangnya kamu siapa?!"
"Claressa!" seru Abraham.
Dania mendengus. "Lihat! Anak kamu semakin nggak tahu aturan. Berani membentak dan berkelahi. Ckckckck."
Elena menggigit bibirnya.
Abraham mendesah. Lalu, tatapannya beradu dengan Elena. Sedetik kemudian, ia membalikkan badan. Membuat Elena sontak menggertakkan rahang karena kesal.
Wah! Dia benar-benar nggak mau ngeliat aku.
"Kamu mau ke mana, Ab?"
"Ke atas."
Dania beralih pada Elena dan Claressa. "Lihat! Kalian berdua berhasil membuat Abraham pusing!"
Elena menghela napas panjang. Lalu, ia berseru. "Tolong berhenti di sana, Pak!"
Mata Dania melotot. "Ka-Kamu?"
"Elena...," lirih Claressa.
Tapi, Abraham tetap melangkah. Dan itu membuat Elena semakin merasakan dorongan emosi yang tak terkontrol.
"Pantas saja Claressa semakin nakal! Semakin suka berantem di sekolah! Itu semua karena pengasuhnya yang kayak preman pasar!"
Elena tak menghiraukan perkataan Dania, melainkan semakin berseru. "Berenti, Bapak Tirex!"
Jangankan langkah kaki Abraham, angin pun mendadak berhenti mendengar seruan Elena.
Mata Dania dan Claressa sama-sama membulat besar pada Elena yang tak berkedip memandang Abraham.
"Bapak nggak perlu balik badan, karena saya tahu Bapak nggak mau ngeliat saya. Cukup Bapak berdiri di sana dan dengarkan apa yang saya katakan."
Dania beranjak ke depan Elena. "Kamu berani-beraninya berkata seperti itu pada Abraham?! Dasar nggak tahu sopan santun!" bentak Dania.
Elena menatap Dania dengan tajam. "Memangnya kenapa dengan Bapak Tirex itu? Ah! Karena dia yang menggaji saya? Ck. Sebenarnya saya benar-benar nggak mau melakukan ini, tapi kalian berdua memang keterlaluan!"
"Ini nggak bisa dibiarkan. Claressa bakal semakin nakal kalau diasuh dengan wanita seperti ini!"
Mata Elena menyipit. "Hati-hati kalau bicara, Nona. Terakhir kali ada yang ngomong Claressa anak nakal," kata Elena seraya membuat gestur memotong leher, "saya udah mempermalukan mereka di depan kepala sekolah dan guru Claressa."
Napas Dania terdengar menderu karena perkataan Elena. "Kamu berani mengancam saya?"
"Saya bukan mengancam Nona. Tapi, saya memberi peringatan pada Nona dan Tuan. Jangan sembarangan ngomong Claressa anak nakal. Dia sama sekali bukan anak nakal."
"Wah! Kalau bukan anak nakal terus apa namanya? Berantem di kelas bukan anak nakal?"
"Itu namanya membela diri!" tukas Elena. "Memangnya Nona dan Tuan selama ini ada yang tahu mengapa Claressa berantem?! Ada?!"
Dania mengerjap.
"Kalian selalu saja mengatakan Claressa nakal, tapi apa kalian tahu kenapa Claressa menjadi seperti ini?!" tanya Elena dengan nada tinggi. "Anak Bapak ini dirundung di sekolah! Dia diejek teman-temannya karena tidak memiliki orang tua yang peduli dengannya! Dan karena itu dia mempertahankan dirinya!"
"Len..."
Elena merasakan Claressa menarik baju seragam yang ia kenakan.
"Dan kamu, Nona," kata Elena pada Dania. "Kamu selalu ngomong mau jadi mommy buat Claressa. Hahaha. Bagaimana bisa kamu menjadi ibu buat Claressa kalau kamu nggak bisa percaya padanya? Bagaimana bisa kalian lebih percaya pada orang lain ketimbang anak polos yang berusaha membela dirinya sendiri?"
"Ka-Kamu..."
"Kalian berdua benar-benar keterlaluan. Claressa harus menerima perundungan dan kalian tidak ada yang peduli. Kalian mau melihat Claressa diam saja dan berakhir menjadi berita di televisi?!"
Dania terhenyak mendengar perkataan Elena. "Kamu... omongan kamu..."
"Apa yang saya katakan benar!" tantang Elena. "Memangnya selama kamu di sini dan koar-koar bakal jadi ibu Claressa, kamu berhasil menemukan alasan kenapa Claressa berantem? Nggak kan? Ck." Elena mendengus. "Terbukti kan siapa yang nggak berpendidikan di sini? Orang yang berpendidikan jelas akan melihat sumber api sebelum menyalahkan asap!"
Elena beralih pada Abraham yang tak bergerak di posisinya dari tadi. Dalam hati Elena berharap setiap kata-kata yang ia ucapkan bisa tertancap kuat di benak pria itu.
"Mulai sekarang, siapa pun orangnya jangan berani-berani ngomong Claressa nakal dan saya nggak berpendidikan," gerutu Elena kemudian. Ia lantas meraih tangan Claressa. "Ayoh, Non. Kita ke atas, nonton Barbie aja."
Claressa mengangguk.
Dan ketika mereka melintasi Abraham, dengan sengaja Elena mendesis tajam.
"Dasar, Baka!"
*
Claressa melihat Elena dengan mengulum senyum geli. Ia berusaha untuk tidak mengusik pengasuhnya itu.
Di hadapannya, Elena tampak mengunyah sepotong pepaya dengan kesal. Seraya sesekali menghirup napas panjang, ia kemudian meraih potongan pepaya lainnya.
Dengan pelan, Claressa turun dari kasur dan turut duduk di lantai bersama Elena. Ia bertopang dagu dengan kedua tangan di atas meja lantai.
"Kamu kelaparan, Len?"
Elena menggeram, namun tetap mengunyah. "Saya benar-benar kelaparan, Non."
"Gara-gara seharian ini marah-marah?"
Ia mengangguk. "Gara-gara seharian ini marah-marah." Elena kembali menggeram. "Argh! Karena itu saya selalu berusaha menghindari masalah dan menekan emosi saya setiap berhadapan dengan orang-orang. Karena kalau saya udah marah-marah, saya nggak bakal berenti dan akhirnya saya kelaparan gara-gara kehabisan energi."
Claressa terkikik melihat Elena.
"Saya benar-benar tidak suka keributan, Non. Tapi, entah kenapa kadang ada aja orang-orang yang nganggap saya itu kayak manusia yang nggak bisa balik melawan. Saya sudah berusaha merendahkan diri, tapi mereka masih aja ngotot." Elena geleng-geleng kepala dan menusukkan garpunya pada pepaya lainnya. "Seperti di sekolah tadi, coba saja kalau ibu-ibu itu bisa diajak kerja sama, saya kan nggak bakal sampai marah-marah."
Claressa mengangguk. "Yang sama Dania dan Daddy tadi juga."
Kunyahan Elena berhenti. Seolah baru sadar dengan apa yang telah terjadi. "Nona?" tanyanya dengan suara lirih. "Kira-kira saya bakal dipecat nggak?"
Dan tawa Claressa meledak.
*
Anak Bapak ini dirundung di sekolah! Dia diejek teman-temannya karena tidak memiliki orang tua yang peduli dengannya! Dan karena itu dia mempertahankan dirinya!
Bagaimana bisa kalian lebih percaya pada orang lain ketimbang anak polos yang berusaha membela dirinya sendiri?
Claressa harus menerima perundungan dan kalian tidak ada yang peduli. Kalian mau melihat Claressa diam saja dan berakhir menjadi berita di televisi?!
Abraham menyandarkan punggungnya ke kursi sembari menghela napas panjang. Walau bagaimana ia berusaha, tapi perkataan demi perkataan yang Elena ucapkan tadi siang seolah terputar otomatis di benaknya. Lengkap dengan intonasi tingginya.
Rahang Abraham mengeras. Entah karena rasa kesal karena gadis itu berani-beraninya membentak dirinya atau justru karena fakta yang tersaji di hadapannya.
Abraham membawa tangannya ke pelipis, lalu beranjak memijat tempat di antara kedua matanya. Ia mendesah panjang. Merasa lelah dengan pertengkaran tadi siang, terutama ketika ia harus meladeni Dania yang lagi-lagi meminta agar Abraham memecat Elena. Pria itu meringis. Spontan menghitung hari dan menyadari bahwa Elena sudah mengasuh putrinya selama lima hari. Waktu terlama untuk bulan ini. Dan mengingat bagaimana Claressa yang tampak bahagia dengan Elena, bagaimana bisa ia memecat Elena?
Ia menggelengkan kepala.
Memangnya sebanyak apa wanita yang ingin mempertaruhkan nyawa mengasuh Claressa? Terbukti, tak ada yang tahan lama mengasuh putri semata wayangnya itu. Kali ini Abraham walau dengan berat hati harus mengakui, Elena tidak mungkin ia pecat.
Sejurus kemudian, ia bangkit dari kursinya. Ia memutuskan untuk ke kamarnya dan tidur.
Tangan Abraham menekan pintu ruang kerjanya. Dengan perlahan menarik pintu itu membuka. Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, ia merasakan sesuatu menghalangi pandangan matanya.
Satu tangan menutup matanya.
Lantas ia merasakan ada tangan lainnya yang menahan tangannya yang bebas.
Abraham terdiam di tempatnya berdiri.
Terutama ketika hidungnya menghirup aroma lembut bertepatan dengan suara seorang wanita yang tak kalah lembutnya.
"Maaf, Pak," lirih suara itu. "Menurut ultimatum Bapak, selama Bapak nggak melihat saya, itu artinya saya nggak melanggar perkataan Bapak. Jadi, saya harap Bapak bisa memejamkan mata sejenak."
Abraham diam untuk beberapa detik sebelum lidahnya berucap. "Elena..."
*
Elena yakin ada yang salah dengan pepaya yang ia makan. Mungkin pepaya tadi produksi dari varietas gagal. Terjadi mutasi di gennya. Atau justru terlalu banyak disemprot pestisida. Argh! Apa pun itu, yang pasti Elena merasa karena pepaya itu sehingga ia berpikir dan bertindak di luar kelogisan.
Glek.
Elena meneguk ludahnya. Tadi, ketika ia memutuskan untuk bicara dengan Abraham, ia teringat akan perintah pria itu. Abraham tidak ingin melihat dirinya. Bahkan kalau dipikir-pikir lagi, dua kali pertemuan mereka setelah insiden di dapur kala itu, mereka hanya sempat beradu pandang untuk sedetik. Lalu, Abraham pasti putar badan.
Jadi, Elena melakukan hal yang tepat kan dengan menutup mata Abraham dengan satu telapak tangannya? Sedang demi mencegah kemungkinan pria itu beranjak, Elena pun menahan tangan Abraham yang bebas.
Aku pasti sudah gila!
"Elena..."
Elena menarik napas panjang sekali ketika mendengar Abraham menyebut namanya dengan suaranya yang terdengar begitu berat dan dalam. Sontak membuat ia gelagapan mengatur oksigen di dalam paru-parunya.
"Maaf, Pak. Mungkin Bapak marah dengan tindakan saya," kata Elena. "Tapi, saya sungguh-sungguh minta maaf karena telah membentak Bapak. Ini bukan karena saya takut dipecat..." Elena mengerjap. "Mungkin memang karena sedikit takut dipecat sih." Ia meringis. "Tapi, saya khawatir kalau saya pun sudah bertindak keterlaluan dalam mencampuri hubungan Bapak dan Nona Claressa."
Abraham terdiam. Merasakan bagaimana napas Elena terasa membelai dadanya. Jarak mereka yang dekat membuat pria itu bahkan bisa mendengar tarikan napas Elena. Termasuk kegugupannya.
"Jadi," kata Abraham kemudian. "Apa mau kamu?"
Elena menengadahkan kepala. Menatap wajah Abraham yang tertutup sebagian tangannya. Dan Elena menggigit bibirnya ketika ia merasakan telapak tangannya menyentuh puncak hidung Abraham.
Astaga!
"Saya cuma mau Bapak mempertimbangkan untuk datang ke sekolah."
"Saya sibuk dan---"
"Bapak ada rapat," potong Elena. "Saya tahu itu. Nona sudah mengatakannya." Elena kembali menarik napas panjang. Sedikit mencoba agar tangannya mampu bertahan lebih lama. Terutama karena tubuh tinggi Abraham jelas membuat tangannya pegal. "Tapi, apa Bapak sadar bahwa Nona tidak selamanya berusia sepuluh tahun?"
Di balik telapak tangan Elena, mata Abraham mengerjap.
"Nona hanya berusia sepuluh tahun selama tiga ratus enam puluh lima hari, Pak. Nona nggak berusia sepuluh tahun selamanya," lanjut Elena. "Tahun depan, Nona akan berusia sebelas tahun. Dan itu artinya Bapak hanya memiliki sedikit waktu di usia Nona yang kesepuluh ini."
Mulut Abraham bergerak, tapi tak mengeluarkan satu kata pun.
"Apa Bapak ingin membiarkan usia kesepuluh Nona berlalu begitu saja?" tanya Elena. "Tahun depan Nona berusia sebelas, lalu dua belas. Dan nggak lama lagi, posisi Bapak akan tergantikan oleh cowok kapten basket sekolah yang akan mengisi masa-masa remaja Nona."
Abraham menarik napas dalam-dalam mendengar perkataan Elena.
"Saya memang nggak tahu apa pun tentang keluarga Bapak, tapi saya tahu bahwa Nona sangat menyayangi Bapak dan berharap Bapak akan datang."
Seandainya pun ingin, Abraham justru tak menemukan kata-kata yang tepat untuk membalas perkataan Elena.
"Terlepas dari semua yang terjadi, bagaimana kalau Bapak melihat Nona sebagai gadis kecil yang pantas untuk mendapatkan kasih sayang Bapak?" tanya Elena lagi. "Rapat Bapak bisa diwakilkan sekretaris, tapi apa masa kecil Nona bisa diwakilkan oleh orang lain?"
*
tbc...
aku jadi ngebayangin adegan tutup-tutup mata gitu... ehm, kok rada nuansa 18++ ya? hahahaha 😂😂😂
pkl 13.38 WIB...
Bengkulu, 2020.03.30...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro