Anak Tirex Ya Bapaknya Juga Tirex!
selamat pagi menjelang siang guys...
di tempat aku sekarang lagi mendung-mendung syahdu gitu cuacanya... heheheh... kayak yang pas banget dipakai buat guling-guling di dalam selimut... unch 🤗🤗🤗
Oh iya... Sebenarnya di part 1, pas aku baru mulai nulis cerita ini, itu awalannya Abraham pulang dari pesta ya... Dan itu adalah pesta bisnis yang ada di cerita Eva-Mario... jadi, itu aku tulis namanya pas dia lagi ngobrol dengan Mario... 😎😎😎
===========================================================================
Elena menggigit bagian dalam mulutnya. Otaknya terasa bagai katrol yang berputar dengan keadaan tanpa pelumas. Ngit...ngit... Suaranya kurang lebih begitu. Persis seperti bunyi ketika Elena menimba air dari sumur di rumah orang tuanya.
Sepertinya skenarionya tadi melibatkan kata-kata tidak bisa melanjutkan pekerjaan, kematian, sampai surga dunia.
Ah!
Lampu pijar sontak menyala di kepala Elena.
Benar! Surga dunia.
Dan di hadapannya kini benar-benar tengah terpampang surga dunia.
Gleeek...
Ya pantas aja Nona cantik begitu. Nggak serta merta kecantikannya itu karunia dari Tuhan. Tentu saja Tuhan harus punya alasan mengapa bisa memberikan kecantikan itu pada Claressa. Nah, biasanya alasan Tuhan adalah karena orang tuanya pasti juga cakep. Teori pewarisan sifat Mandel memang nggak salah.
".... bicara."
Elena entah sadar entah tidak tersenyum melihat wajah di hadapannya. Dia sudah mengira kalau majikannya memang bule atau sekurang-kurangnya keturunan luar negeri-lah ketika mengetahui bahwa majikannya memiliki nama belakang Rhodes. Seingatnya, di Indonesia sih jarang orang menjunjung pelestarian nama belakang Ayah, kecuali untuk orang-orang tertentu. Suku Batak, misalnya. Ups! Elena bahkan pernah punya keinginan buat mengubah namanya jadi Sitohang. Katanya sih biar samaan dengan Choki Sitohang yang cakep itu.
Dan menilik dari kekaguman Elena terhadap kecantikan Claressa, harusnya Elena bisa menduga seperti apa orang yang mewarisi gen kecakepan itu pada majikannya. God! Kali ini Elena menggigit bibirnya.
Ini mah namanya di atas standar ganteng internasional.
Sosok yang sekarang ada di hadapannya, duduk di atas kursi besar berlapis kulit hitam yang mengkilap. Aduh! Lebih glowing daripada wajah aktor-aktor Korea yang sering buat dia jerit-jerit tengah malam. Itu baru kursinya, guys. Belum orang yang duduk di sana.
Mengenakan kaos hitam body fit, Elena harus berupaya untuk tidak meneguk ludahnya dengan kentara. Ya Tuhan. Ini pasti salah satu ciptaan yang Kau buat dengan sepenuh hati seperti iklan kecap di televisi.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Elena ketemu bule. Seperti yang diketahui bersama, Elena lulusan terbaik IPB dan dia pintar. Beberapa kali ia membantu dosen-dosennya ketika ada kegiatan internasional di kampusnya itu. Berinteraksi dengan orang-orang luar negeri, menjadi tour guide dadakan mereka, ah, itu bukan hal yang biasa lagi. Dan ingat, dia menamatkan pendidikan masternya di Jepang loh. Kurang cakep apa lagi coba cowok di negara itu? Sayang saja dia tidak sempat bertemu dengan Inuyasha waktu itu.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa pengalaman Elena bertemu bule dan cowok cakep sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi... Elena berusaha tetap menarik oksigen untuk memenuhi paru-parunya. Yang ada di hadapan Elena kali ini benar-benar membuat ia sanggup tidak berkedip. Bahkan Elena bertanya-tanya, apa yang membuat wajah tampan di hadapannya ini begitu memesona?
Garis rahangnya yang terlihat begitu memesona? Rambut-rambut halus yang menghiasi rahang tegasnya itu? Atau hidungnya yang tinggi mancung? Atau bibirnya yang terlihat begitu sensual? Atau mungkin... jantung Elena seolah berhenti berdetak... sepasang mata kelabu yang saat ini tengah memandangnya---- gusar?
"Nona?!"
Elena tersentak. Gelagapan ia berusaha menyadarkan pikirannya dari lamunan singkat –atau lumayan lama- beberapa saat yang lalu. Kedua tangannya sontak saling meremas satu sama lain.
"Kamu baik-baik saja?"
Mata Elena mengerjap-ngerjap. "Maaf, Pak?"
"Saya dari tadi bicara tidak kamu perhatikan?"
Aduh, mampus deh.
Elena menarik napas. Tangannya bergerak dan mengusap bagian belakang kepalanya. "Maaf, Pak. Tadi saya terpleset dan rasa-rasanya tadi kepala saya agak berdenyut."
Yakin yang berdenyut kepala kamu, Len? Bukan jantung kamu?
"Apa sakit? Perlu ke dokter?" tanyanya dengan nada cemas.
Duh, Gusti! Udah cakep, perhatian lagi. Kok ya bisa paket komplit gini sih? Tinggal kasih kerupuk aja lagi. Terus... slrup slrup... Ehm, yummy! Ini pasti beruntung banget yang jadi istrinya.
"Nggak sakit lagi kok, Pak."
Ia menghela napas panjang. Lalu tersenyum. Dan itu sejenis senyuman yang membuat kedua lutut Elena lemas seketika. Begitu mempesona.
[Aku beneran nggak sanggup buat nggak nulis note di sini. cekikikan parah aku tiap lihat matanya 😂😂😂... astaga Tuhan... hahaha... Ada yang tau dia siapa?]
"Kalau begitu, sini. Saya perlu bicara dengan kamu."
Elena mengangguk. Dalam hati sempat mempertanyakan apakah kakinya masih kuat melangkah? Ternyata masih, guys! Memang poduk Tuhan bukan kaleng-kaleng.
Elena menarik kursi dan duduk. Mereka hanya terpisahkan oleh meja kayu besar.
"Jadi, kamu pengasuh putri saya yang baru?" tanyanya.
"Iya, Pak."
"Siapa nama kamu?"
Elena menarik napas. Berharap agar namanya terdengar indah di telinga majikannya. "Elena Anindya, Pak."
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali. "Saya Abraham Rhodes dan seperti yang kamu ketahui, kamu mengasuh putri saya, Claressa."
Elena mencatat nama itu di kepalanya.
Ia perlu membawa nama itu ketika berdoa menjelang tidur. Sekadar pemberitahuan, Elena selalu berdoa sebelum tidur. Orang yang taat kan? Tapi, bukan doa tidur sembarang doa tidur. Biasanya ia akan berdoa: Ya Tuhan, karena Kau Maha Kaya, hamba mohon untuk memberikan sedikit saja kekayaan-Mu pada hamba. Nggak bakal dipakai jajan CD-nya BTS kok. Janji deh bakal dipakai ke hal yang lebih penting untuk menyambung hidup hari demi hari. Terus, karena hamba juga belum menikah, tolong dong kasih jodoh yang cakep, pintar, sholeh, bertanggungjawab, setia, nggak belok, nggak merokok, bukan peminum, bukan pecandu, nggak kasar, romantis, dan bisa diandalkan. Oh ya, karena hamba juga nggak tinggi-tinggi amat, tolong dong cari yang tinggi dan mancung, biar bisa memperbaiki keturunan gitu.
Nah, doa tidurnya keterlaluan kan panjangnya? Elena menyadari itu. Lalu khawatir malaikat jadi murka mencatat doanya. Jadi, Elena langsung mendapat ide. Ia akan mengubah sedikit doanya untuk bagian yang jodoh menjadi: Terus, karena hamba juga belum menikah, tolong dong kasih jodoh yang mirip kayak Pak Abraham Rhodes. Selesai kan? Coba deh dicek. Hanya karena satu orang dia bisa menghemat waktu dan tenaga untuk berdoa. Hahaha.
Harusnya sih malaikat mulai malam ini akan lebih lega mendengar doa Elena. Tinggal nyari yang mirip kayak Pak Abraham Rhodes doang kok, Tuhan. Nggak sulit kan? Ehm, walau bagaimana pun, Elena ini benar-benar cewek yang takut Tuhan loh. Karena itu ia berdoa agar dapat duplikat Abraham Rhodes. Dia sama sekali tidak ingin berpikir beralih profesi menjadi pelakor. Daripada itu, Elena justru terpikir untuk mencari waktu agar bisa bertemu dengan ibu Claressa untuk tahu kiat jitu menjerat pria seperti suaminya. Itu lebih terhormat.
"Bagaimana dengan hari pertama kamu? Apa ada kesulitan?"
Pertanyaan itu seketika membuyarkan angan-angan indah di benak Claressa. Benar! Dia mengasuh Claressa. Gadis kecil yang ia juluki anak Tirex! Astaga! Baru sadar sekarang dia ketemu Bapak Tirex-nya!
Elena menimbang sejenak. Bingung harus menjawab apa. Tapi, seketika teringat satu dialog di drama Korea yang pernah ia tonton. I Hear Your Voice, drama yang membuat ia sontak jatuh cinta pada Lee Jong Suk dan bingung harus mendukung Lee Bo Young dengan Ji Sung atau Lee Jong Suk.
Di drama itu ada satu kalimat yang membekas di benaknya. Jika kau bingung apakah akan memberitahunya atau tidak, mengatakan kebenaran adalah jawabannya.
Maka, Elena menjawab.
"Bahkan kata sulit tidak cukup bisa menjabarkan secara detail penderitaan yang saya alami, Pak."
Abraham melongo mendengar jawaban Elena.
"Saya baru sekitar lima jam mengasuh Nona dan saya sudah terpleset di kamar mandi, dimaki-maki, terus disuruh nyari semangka kuning, eh mana mengerjakan tugasnya yang bertumpuk." Elena berkedip-kedip. Di hadapannya Abraham justru tidak berkedip. "Maaf, Pak. Tapi, saya hanya menjawab pertanyaan Bapak. Sejujurnya, saya baru pertama kali ini bertemu dengan putri seperti Nona."
Abraham mengusap wajahnya. "Anak itu memang nakal. Tidak pernah menuruti apa yang dikatakan. Selalu saja berbuat ulah."
Dahi Elena berkerut. Untuk hal itu sih dia sependapat, hanya saja...
"Tidak ada yang pernah betah mengasuh anak itu. Dan kalau tidak dijaga pengasuh, dia akan leluasa berbuat kekacauan di rumah. Entah harus bagaimana lagi mengurus anak itu. Selalu saja buat orang susah."
Dahi Elena semakin berkerut. Sejujurnya ia memang bukan tamatan bidang psikologi atau pun ilmu kedokteran sih, hanya saja...
"Ehm, maaf sebelumnya, Pak," kata Elena canggung. "Apa Bapak dan Ibu sudah pernah mengajak Nona untuk konsultasi ke psikolog?"
Abraham memandang Elena dengan sorot tajam. Seketika membuat Elena berdebar takut. Apa ucapan aku ada yang salah?
"Kamu pikir anak saya gila?!"
Elena mengerjap. Bentakan itu seketika membuat imajinasi sempurna Elena runtuh. "Yang bilang anak Bapak gila siapa?" tanya Elena tak percaya. "Pergi ke psikolog atau psikiater bukan berarti gila kali, Pak. Tapi, konsultasi mungkin bisa menemukan cara pengasuhan yang baik untuk Nona."
"Sama saja!" sentak Abraham. "Kamu tahu, dari sekian banyak pengasuh yang bekerja di sini, baru kamu yang menganjurkan saya membawa Claressa ke psikolog! Anak saya tidak gila."
Elena memutar-mutarkan bola matanya. Menyadari bahwa lagi-lagi ia dibentak. Hukum pewarisan sifat Mandel memang benar. Lah kalau paras cantik Claressa saja diwarisi dari sang ayah, mengapa aku nggak kepikir kalau sifat menyebalkannya itu juga diwarisi oleh bapaknya?
"Pak, memang edukasi tentang hal ini nggak banyak diterima masyarakat Indonesia. Stigma yang mengatakan psikolog dan psikiater itu hanya untuk orang gila udah terlalu melekat di masyarakat Indonesia," lirih Elena mendadak kesal karena dibentak sedemikian rupa. "Tapi, kalau saya perhatikan dari nama belakang Bapak, harusnya Bapak memiliki sedikit saja pikiran terbuka yang biasanya jadi andalan orang-orang Amerika. Yang bilang psikolog dan psikiater hanya untuk orang gila itu keliru, Pak."
Abraham mengatupkan rahangnya.
"Saya akhirnya tahu. Pantas saja Nona memiliki sifat seperti itu. Lah Bapaknya aja model begini. Saya harap istri bapak tidak seperti Bapak. Kasihan Nona kalau punya orang tua kompak yang sama sifatnya."
"Kamu..."
"Oh iya, Pak." Elena bangkit dari kursinya. Beberapa saat yang lalu, ketika ia terpesona oleh wajah tampan dan senyum menawan Abraham, Elena sempat menimbang kembali keputusannya untuk mengundurkan diri. Tapi, dengan fakta yang tersaji di hadapannya. Elena tahu, bukan hanya Claressa yang bermasalah. Ayahnya pun begitu. Bagaimana bisa ia bekerja di keluarga yang penuh toxic? "Saya cuma mau ngomong, memiliki pengasuh untuk anak bukan serta merta membuat orang tua bisa lepas dari tanggungjawabnya. Percuma aja ada pengasuh dan rumah segede ini, kalau orang tua nggak bisa merawat anak sendiri. Pakai acara ngomong anaknya sendiri nakal, lah Bapak nggak bisa becermin? Perkataan Bapak ke saya barusan itu sama halnya dengan ejekan yang saya dapatkan dari Nona." Elena menarik rambutnya ke balik telinga. "Anak itu butuh kasih sayang, bukan hanya kasih uang."
Mata Abraham melotot. "Jaga ucapan kamu."
"Lah Bapak aja nggak bisa menjaga ucapan Bapak, terus nuntut saya untuk menjaga ucapan saya?"
Abraham bangkit dan menekan meja dengan kedua tangan. "Kamu sudah keterlaluan. Mengait-ngaitkan kenakalan Claressa dengan saya! Mana ada orang tua yang ingin anaknya nakal huh?!"
"Memang nggak ada, Pak. Tapi, dikit banyak tingkah Bapak dan Ibu pasti akan membentuk karakter Nona. Sekarang coba Bapak tanyakan ke diri Bapak dan Ibu, gimana tingkah laku kalian selama ini di depan Nona?"
Rahangnya Abraham mengatup dengan keras. Kuat. Hingga Elena yakin sempat mendengar suara gigi yang gemelatukan. Sekilas ia menutup mata dan lalu menatap Elena garang.
Elena mempersiapkan beberapa kemungkinan.
"Kamu benar-benar sudah kelewatan."
Elena menantang. "Iya, Pak. Saya kelewatan. Tapi, Bapak dan Putri Bapak juga kelewatan. Saya sih masih mikir wajar kalau Nona nakal, tapi ketika Bapak membentak saya, orang baru yang bahkan kita ketemu belum ada lima belas menit. Oh oh oh. Saya paham, anak Tirex pasti berasal dari Bapak Tirex." Kedua tangan Elena naik ke atas. Bagai penjahat yang menyerah. "I'm done, Pak. Saya nggak bakal lanjut lagi dan biarkan saya mencetak rekor sebagai pengasuh tercepat yang mengundurkan diri kurang dari enam jam."
"Baik! Silakan besok kamu pergi dari rumah ini! Saya bisa mencari pengganti kamu secepatnya!"
Elena mencibir seraya bersidekap. Tak merasa perlu lagi untuk menjaga sikap pada orang yang telah menjadi mantan bosnya.
"Terima kasih banyak, Pak." Elena tersenyum lebar. "Semoga Bapak dan Ibu mendapatkan pengasuh lain yang lebih tahan banting untuk mengasuh Nona dan menghadapi sifat-sifat aneh keluarga ini!"
Tatapan mata Abraham itu semakin menajam. "Silakan kamu pergi. Dan untuk kamu ingat. Jangan pernah mengatakan soal ibu Claressa di hadapanku! Wanita itu sudah pergi dari kehidupan kami sejak lama."
Ups!
Elena kaget.
*
tbc...
okey guys... part 5 ini lumayan panjang ya... semoga bisa mengisi hari-harinya...
silakan tunggu part selanjutnya... mungkin malam ntar 🤣🤣🤣
pkl 10.40 WIB...
Bengkulu, 2020.03.18...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro