Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ada Yang Akan Menanti, Ada Yang Akan Kembali

Selamat siang semuanya... 👋🏻👋🏻👋🏻

ehm... gimana puasanya siang ini? semoga lancar ya... 😁😁😁

nah, kali ini aku mau up part 48... 😘😘😘

semoga aja membaca part ini ga bikin batal puasa yaaa... hehhehe... 😂😂😂

jangan lupa vote dan komennya guys... 🤗🤗🤗

===========================================================================

"Walau aku cinta, tapi itu tidak menjadi jaminan untuk aku menerima lamaran kamu sekarang kan? Jadi, sekarang yang terpikir di benakku adalah menolak lamaran kamu."

"Kalau saya menerima lamaran putra kalian sekarang, semua orang yang berada di ruangan ini akan mempertanyakan cinta saya. Hubungan kami."

"Aku tahu kamu nggak peduli, tapi aku peduli. Satu-satunya bukti bahwa aku benar-benar mencintai kamu adalah dengan melepaskan kamu sekarang."

"Saya ingin suatu saat nanti Abraham bisa memandang dunia dengan penuh rasa bangga akan wanita yang ia pilih."

Kalimat itu terngiang-ngiang di benak Abraham. Ia tak peduli dengan apa yang benar-benar akan dilakukan oleh wanita itu, yang pasti adalah bahwa ia percaya.

Ia tahu Elena akan melakukan hal yang tepat. Ia percaya itu.

Ketika Abraham keluar dari ruang kerjanya, yang ada di benaknya hanya satu. Yaitu, menemukan Elena. Tapi, ketika kakinya akan menuruni tangga, ia mendapati pintu kamar Claressa yang terbuka. Tubuhnya sontak menegang.

Claressa...

Abraham bergegas masuk ke sana dan langsung mendapati wajah Claressa yang berurai air mata. Mata itu menatapnya dengan kesedihan.

"Daddy bilang Elena akan tinggal di sini selamanya! Daddy bohong!"

Elena memeluk Claressa. "Sssst, Nona..."

Claressa berontak dalam pelukan Elena. Ia berdiri di kasurnya dan menghadapi Abraham. "Daddy bohong! Elena mau pergi, Dad!"

Abraham tertegun. Pelan-pelan, ia meraih tangan Claressa. Tapi, putrinya itu justru memukul dadanya dan terus meracau.

"Elena mau pergi, Dad!"

Jadi Abraham memeluk gadis kecil itu. Di pelukannya, Claressa meronta-ronta.

"Daddy janji ke aku, Dad. Kata Daddy Elena akan tinggal dengan kita selamanya!" jerit Claressa sambil menangis. "Daddy bohong!"

Abraham berusaha menahan rontaan Claressa, tapi semua orang tahu bagaimana anak itu kalau sudah mengamuk. Jadi, Elena turut mencoba menenangkan Claressa.

"Aku nggak nakal loh, Len," kata Claressa terisak. "Aku nggak nakal. Katanya kalau aku nurut kamu nggak bakal pergi."

Mungkin Elena harus berpikir sebelumnya. Meninggalkan Claressa mungkin lebih susah dari pada yang ia bayangkan sebelumnya.

"Nona nggak nakal..."

"Terus kenapa kamu mau pergi?" tanya gadis kecil itu. "Daddy yang nakal?" Claressa berpaling pada Abraham. Ia memukul Abraham. "Daddy marahin Elena! Daddy jahat!"

"Ssst... Sa..." Sebisa mungkin Abraham mencoba menenangkan putrinya. "Elena pergi karena keinginannya."

"Tapi, aku sayang Elena, Dad. Aku nggak mau dia pergi!"

Elena tertegun.

Rasa bersalah menggerogoti hatinya. Ia mendekat dan membelai kepala Claressa. Diperlukan bujukan yang lebih keras dari yang pernah Elena bayangkan sebelum akhirnya Claressa ingin berpindah padanya.

"Kamu yakin?" tanya Abraham.

Elena mengangguk. "Kamu tunggu di luar saja. Biar aku dan Nona bicara dulu."

Tangan Abraham membelai Claressa sekali sebelum ia beranjak keluar dari kamar itu dan menutup rapat pintunya.

Di dalam, Elena mendudukkan Claressa di atas kasur. Lalu membawa anak itu bersandar padanya. Ketika Elena mengusap kepala Claressa, anak itu menjeritkan tangisnya.

"Kenapa orang dewasa selalu bohong?" jeritnya terisak. "Kalau aku bohong dimarah! Tapi, kamu bohong, Len. Kamu kan janji!"

"Sssst... Sssst..." Elena mengusap air mata Claressa. "Saya nggak bohong, Non."

"Tapi, kamu mau pergi!"

Elena menarik napas dalam-dalam.

"Kalau kamu pergi, siapa lagi yang bela aku kalau anak-anak nakal itu ngangguin aku?" tanya Claressa. "Terus siapa yang bakal nyisir rambut aku? Yang ngajak aku nonton Barbie?"

Mata Elena mulai mengabur oleh air mata. Ia berusaha untuk tetap tersenyum seraya membelai gadis kecil itu.

"Aku nggak bakal jalan-jalan ke mall beli jepit rambut lagi...," lirih Claressa. "Kita juga nggak bisa belanja baju bareng lagi. Pake piyama kembar."

Ya Tuhan.

Sungguh rasanya hati Elena begitu tidak tega melihat Claressa yang mengiba padanya. Tapi, ia bisa apa?

"Nggak ada yang ngajari aku tiap malam. Nggak ada yang ngajak aku ketawa lagi. Aku jadi sendirian lagi." Claressa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku nggak suka sendirian."

Mendengar itu, Elena sontak memeluk Claressa. Tangan Claressa mengait dengan erat di balik punggung Elena. Ia menangis terisak-isak.

"Aku kan nggak nakal lagi, Len. Terus kenapa kamu mau pergi?"

Susah payah Elena menarik udara ke paru-parunya. Mungkin waktu kebersamaannya dengan Claressa memang belum sampai enam bulan, tapi entah mengapa Elena sendiri merasa nyeri ketika memberitahu Claressa bahwa ia akan pergi.

"Saya juga nggak mau pergi ninggalin Nona."

"Aku sayang kamu, Len." Claressa memejamkan mata dan air matanya menetes kembali. "Aku kan anak baik, jadi kamu jangan pergi ya?"

Elena menggeleng. "Tapi, saya harus pergi, Non."

"Jangan pergi... Aku nggak nakal..."

"Saya pergi bukan karena Nona nakal. Nona anak baik." Elena menangkup wajah Claressa. "Nona adalah anak paling cantik, paling pintar, paling baik, paling lincah, dan paling hebat yang pernah saya temui."

Claressa menatap Elena dengan mata kelabunya yang berlinang air mata.

"Terus kenapa mau pergi? Daddy yang nyuruh kamu pergi?"

Elena tersenyum seraya menggeleng dalam air matanya. "Nggak, Non. Tuan nggak nyuruh saya pergi."

"Terus?"

"Saya pergi karena saya harus pergi, Non. Saya harus menyelesaikan urusan saya dulu," kata Elena pelan-pelan. "Setelah itu saya akan pulang lagi."

Mata Claressa menatap Elena dengan resah. Mencari-cari di mata Elena, seolah ingin melihat kejujuran gadis itu.

"Tapi, kamu bohong. Katanya kamu nggak pergi, tapi kamu pergi. Kalau kamu pergi, kamu pasti nggak akan pulang lagi." Bibir Claressa seketika manyun dan menangis kembali. "Kamu bohong. Daddy juga bohong. Daddy bilang kalau aku ngizinkan kamu jadi babysitter Daddy, kamu bakal tinggal di sini terus."

Elena sejenak menganga dengan perkataan Claressa.

"Tapi, Daddy juga bohong!" jerit Claressa. "Padahal Daddy bilang Daddy sayang kamu, tapi kenapa nyuruh kamu pergi?"

Kata-kata dari mulut Claressa membuat Elena tertegun untuk beberapa saat. Ia nyaris tertawa mendengar perkataan itu. Hingga membuat Claressa bingung.

"Kenapa, Len?"

"Nona mau melakukan sesuatu? Kalau iya, saya bisa pastikan kalau saya akan kembali lagi ke sini."

"Kamu mau bohongi aku lagi?"

Elena menggeleng. "Saya selalu menuruti apa pun yang Nona mau kan asal Nona jadi anak baik?"

Claressa mengusap air matanya dan sesegukan. "Apa?"

"Ini janji kita sebagai sesama perempuan ya?" tanya Elena sebelum kembali berkata. "Nona harus janji bakal jaga Daddy baik-baik."

Mata Claressa mengerjap-ngerjap.

"Jangan biarin cewek mana pun deket-deket dengan Daddy. Dengan begitu, nanti saya pasti balik ke sini lagi."

"Kamu bakal balik lagi kalau Daddy nggak diganggu cewek lain?"

Elena mengangguk.

"Kenapa gitu, Len?"

Elena tersenyum dan mengusap air mata terakhir Claressa. "Karena saya juga sayang sama Daddy."

Mata Claressa membesar. Tubuhnya sedikit beranjak. "Kamu sayang Daddy?" tanyanya.

Elena kaget dengan reaksi Claressa. Khawatir gadis kecil itu mendadak tidak suka karena pernyataannya.

"Terus?" tanya Claressa lagi. "Kalau aku, Len? Kamu sayang aku juga kan?"

Tawa Elena meledak. Ia membawa Claressa ke dalam pelukannya. Mencium kepala Claressa berkali-kali. Matanya kembali menghangat.

"Mana mungkin saya nggak sayang Nona? Tentu saja saya sayang Nona. Jadi, biarkan saya pergi ya, Non?"

"Tapi, kamu bakal balik lagi kan?"

Elena mengangguk di puncak kepala Claressa. "Asal Nona selalu jadi anak yang baik. Jangan buat rumah berantakan. Apalagi di dapur."

Claressa tertawa.

"Terus juga... ehm, bagaimana kalau Nona manggil orang yang lebih tua dengan panggilan yang lebih sopan? Mbak Lola, Mbak Intan, Mas Doni..."

Claressa mengerjap-ngerjap. Lalu, mengangguk.

"Terus... Jadi anak baik dan penurut dengan Daddy. Jangan buat Daddy marah-marah. Datangi Daddy dan bilang kalau Nona sayang Daddy. Cium pipi Daddy, peluk Daddy." Elena menghirup napas dalam-dalam. "Sesekali ajak Daddy nonton Barbie." Elena tertawa kecil hingga air matanya jatuh di dagu. "Daddy pasti mau kok nemeni Nona nonton Barbie."

Claressa mengangguk berulang kali. Lalu, ia menengadah.

"Terus, Len..," lirihnya pelan. "Aku harus manggil kamu apa?"

"Apa, Non?"

"Aku manggil Mbak Lola, Mbak Intan, Mas Doni... Daddy..." Claressa menatap Elena. "Kalau kamu harus aku panggil apa?"

Elena tersenyum. "Terserah, Nona. Mbak boleh, Kakak boleh---"

"Mommy?"

Lidah Elena seketika kelu. Napasnya seolah terhenti di panggal tenggorokan. Lalu, air matanya mendobrak keluar dengan deras.

"Boleh?" tanya Claressa dengan tatapan yang begitu polos. Membuat hati Elena tersentuh dengan teramat sangat.

Elena mengangguk. Berulang kali. Memeluk Claressa dengan erat. Dan Claressa membalas dengan sama eratnya.

"Mommy bakal pulang kan ya?"

Kepala Elena terus mengangguk. "Tentu, Sayang," jawab. "Mommy pasti pulang, Essa."

*

Abraham mengusap dahi Claressa saat putrinya itu tengah tertidur. Malam sebenarnya belum larut. Baru saja jam tujuh. Tapi, mungkin karena seharian ini ia bermain-main dan sorenya ia justru menangis histeris, akhirnya tubuhnya terasa letih.

Satu tangan hinggap di pundak Abraham, meremasnya dengan pelan. Abraham menoleh.

"Bagaimana dia?"

Abraham menghela napas. "Ternyata dia bisa menerima lebih baik dari yang aku bayangkan, Mom."

Ayuhdia tersenyum. "Dia pasti sayang sekali dengan Elena."

"Tentu," kata Abraham. "Karena hanya Elena yang berani melindungi dia dari kemarahan aku." Bibir pria itu tersenyum geli. Ia membuang napas panjang. "Aku melakukan hal yang benar kan, Mom? Membiarkan dia pergi."

"Dia pergi karena keinginannya, Ab."

Abraham melirik. "Nggak mau merasa bersalah? Memangnya siapa yang membuat ia terpojok seperti itu?"

"Kamu tahu kalau dia sudah membuat keputusannya sendiri," kata Ayuhdia. "Kalaupun tadi kita tidak akan berkumpul, apa menurut kamu dia akan dengan begitu saja menerima lamaran kamu?"

Abraham terdiam.

"Dia memiliki keinginannya sendiri, Ab. Dan kamu hanya harus percaya padanya kalau ia melakukan ini demi orang-orang yang ia cintai. Dia wanita yang hebat. Dan belajarlah untuk menerima kalau wanita yang hebat tidak pernah bisa dikekang," kata Ayuhdia penuh hikmat. "Juga, hanya pria yang hebat yang bisa mendapatkan wanita seperti itu. Dia akan menjadi istri dan ibu yang baik."

Abraham menyambut tangan Ayuhdia yang mengusap-usap bahunya.

"Kamu melakukan hal yang tepat, Nak," bisik Ayuhdia. "Dan pastikan bahwa ia kelak benar-benar menjadi menantu Mommy."

Abraham tersenyum.

*

Elena menarik napas dalam-dalam dan mengamati barang-barangnya yang telah selesai ia kemas. Ketika ia mengedarkan pandangannya, tak terasa ia merasa sedikit kehampaan. Bagaimana pun juga, beberapa bulan telah ia habiskan di kamar itu. Dan ini adalah malam terakhir ia tidur di sana.

"Tok! Tok! Tok!"

Suara ketukan halus membuyarkan lamunan Elena. Dengan santai ia membuka pintu dan langsung terkesiap tatkala mendapati Abraham yang berdiri di depan sana.

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Elena setengah berbisik seraya celingak-celinguk. Khawatir ada orang yang melihat.

"Aku mau ngeliat kamu."

Mata Elena melotot. "Ngeliat?" tanyanya tak percaya. "Kamu bodoh atau tolol? Kalau ada yang ngeliat kamu gimana?"

"Makanya itu! Biarkan aku masuk! Sebelum ada yang ngeliat aku berdiri di depan pintu kamar kamu kayak gini!" geram Abraham.

Pilihan yang sulit, tapi Abraham memutuskan untuk menerobos masuk ke kamar Elena dan langsung menutup pintu itu.

Abraham tertegun melihat barang-barang Elena.

"Sudah semua?" tanyanya menunjuk barang Elena.

Elena meremas kedua tangannya dan mengangguk. "Iya, sudah. Jadi besok pagi aku langsung pergi."

"Kalau begitu biar aku antar."

Elena langsung menggeleng. "Aku hargai niat kamu, tapi tolong. Bantu aku. Kalau aku mengulur-ngulur waktu buat berpisah, aku rasanya bakal nggak bisa pergi beneran."

Abraham menarik napas dalam-dalam. Membenarkan perkataan Elena. Jadi, ia mengangguk menyetujui permintaan Elena.

Lalu, Elena merasakan tangan Abraham meraih satu tangannya. Ia melihat dan mendapati bagaimana Abraham mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

Elena tercekat mendapati Abraham memasangkan cincin di jarinya.

"Mungkin Mommy sudah ada firasat," katanya pelan dengan suara bergetar. "Ini cincin yang Daddy berikan ketika mengajak Mommy berkencan untuk pertama kali."

"Abraham..." Suara Elena terdengar tercekat. Ia tak pernah menduga bahwa Abraham akan melakukan hal seperti itu. Tapi, ketika Elena melihat cincin yang melingkar di jarinya, ia tak bisa menahan kesiapnya. "Cincin ini..." Elena meneguk ludahnya. "Aku melihat cincin ini dipakai."

Abraham tersenyum. "Tak pernah dilepaskan oleh Mommy. Ini adalah hadiah pertama yang Daddy berikan."

"Apa aku boleh mengenakannya?"

"Mommy yang menyuruhku," kata Abraham. "Apa kamu nggak suka?"

Elena takjub melihat bagaiman perhiasan berbentuk lingkaran itu berada di jarinya.

"Memang bukan cincin yang mahal, a---"

"Ini cantik," kata Elena tanpa berpura-pura. Ia mengagumi cincin itu dan menatapnya tak berkedip.

Cincin emas berpotongan sederhana. Tanpa ada batu permata sedikit pun di sana. Layaknya 2 tali yang disimpul dan saling mengikat.

Abraham membawa jemari Elena ke bibirnya. Mengecup dengan pelan. "Aku nggak tahu apa cincin ini bisa membuat aku tenang saat membiarkan kamu pergi. Ini hanya cincin."

Hati Elena begitu tersentuh dengan ucapan Abraham. "Satu-satunya cincin yang aku pakai."

Abraham menatap Elena dengan lembut. "Kamu beneran nggak mau ngasih tahu kamu mau ke mana?"

Elena menggeleng.

"Berapa lama?"

Elena menggeleng. "Aku bahkan nggak tahu bakal pergi berapa lama."

"Tapi, kamu akan kembali kan?"

Elena spontan terkekeh. Mengapa ia dan Claressa begitu mirip?

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Abraham sedikit tersinggung. "Aku serius. Aku nggak tahu kamu ke mana dan berapa lama, jadi wajar kan aku nanya begitu?"

Elena mengangguk. "Wajar sekali." Ia balas menatap Abraham. "Aku pasti akan kembali lagi."

Abraham mengembuskan napas panjang.

"Asalkan kamu berjanji."

"Janji apa?"

Elena melangkah mendekati Abraham. Menengadahkan wajah saat menatap pria itu. Beberapa saat ia hanya bisa diam menatap kedua mata kelabu Abraham. Mengamati dengan heran, entah bagaimana awalnya ia bisa mencintai pria itu. Yang ia tahu, bahwa rasa cinta yang ia rasakan untuk Abraham sudah teramat dalam. Hingga ia tak bisa mengungkapkan semua isi di dalam hatinya.

"Janji untuk selalu menjaga kesehatan kamu..."

Abraham balas menatap gadis itu. "Elena..."

Elena menarik napas dalam-dalam. "Kalau aku pergi, nggak ada lagi yang bakal nemui kamu dalam keadaan akan jatuh pingsan. Jadi, jaga kesehatan. Makan yang teratur dan istirahat yang cukup."

Tangan Abraham perlahan bergerak membelai pipi Elena.

"Jangan sakit. Karena nggak akan ada yang bakal ngerawat kamu dengan minyak bawang andalan aku," kata Elena menggigit bibirnya. "Jangan terlalu banyak bekerja."

Abraham mengangguk sekali.

"Jadi Daddy yang baik dan keren untuk Claressa. Jangan buat dia menunggu kamu. Datangi dia dan bilang kalau kamu sayang dia. Bacakan dongeng untuk dia. Rapikan selimutnya. Cium dahinya dan peluk dia." Elena kembali menghirup napas dalam-dalam. "Sesekali coba kamu temani Claressa nonton Barbie." Elena tertawa kecil hingga air matanya jatuh. "Dan jangan lupa untuk selalu mendampingi dia di mana pun. Acara sekolahnya atau mungkin ajak dia belanja di mall."

Abraham tak kuasa melihat wajah Elena yang seketika basah oleh air mata. Kedua tangannya sontak menarik Elena ke dalam pelukannya. Mendaratkan kepalanya di bahu Elena dan memeluknya erat-erat.

"Dan kamu harus tau satu hal."

"Apa itu?" tanya Abraham dengan suara serak.

"Selama ini nggak ada yang bisa mendekati Claressa---"

Abraham tertawa lirih di telinga Elena. Dramatis, tapi ia benar-benar tertawa di sela tangis.

"--- Dia itu anak yang keras kepala. Susah untuk dekat dengan orang lain yang tidak ia suka. Dan kalau ia sudah benci sesuatu, ia akan mengacau semua hal."

Abraham terkekeh. "Iya, itu Claressa."

"Jadi, jangan pernah berpikir untuk mencari wanita lain," kata Elena. "Claressa nggak akan menyukai wanita itu."

Air mata Abraham semakin menderas. Matanya memerah dan ia semakin kesulitan bernapas. "Nggak bakal. Nggak bakal."

Elena tersenyum lebar. Membiarkan air matanya jatuh berkali-kali membasahi kaos yang dikenakan Abraham.

"Dan kamu juga harus ingat sesuatu, Elena," kata Abraham seraya mengurai pelukan mereka. "Di dunia ini nggak ada pria lain yang bisa memiliki putri yang begitu menakjubkan seperti Claressa. Hanya ada satu pria yang memiliki putri lincah, cantik, dan pintar seperti Claressa."

Elena tak yakin bahwa yang di hadapannya adalah Abraham mengingat pandangannya yang semakin mengabur karena air mata. Tapi, ia terkekeh. Tersenyum lebar. Mengangguk berulang kali.

"Itu aku..."

Elena mengangguk lagi. "Ya. Itu kamu."

Jadi, Abraham tersenyum begitu lebar dan mendaratkan senyuman itu di bibir Elena. Menahannya beberapa saat untuk membuktikan pada gadis itu bahwa ia benar-benar mencintainya.

Rasanya seperti seluruh tubuhnya menjeritkan nama Elena. Seakan ia tak bisa hidup tanpa gadis itu selama-lamanya.

"Kamu benar-benar akan kembali kan?" tanya Abraham seraya menyatukan dahi mereka.

Elena mengangguk. "Dan kamu benar-benar akan menunggu aku kan?"

"Aku sudah menunggu wanita yang tepat selama 34 tahun," lirih Abraham geli. "Menunggu beberapa tahun lagi nggak bakal jadi masalah."

Elena terkekeh.

Membiarkan napas mereka bersatu di jarak antara mereka yang tak seberapa. Hingga mereka yakin tak ada lagi kata-kata yang perlu mereka ucapkan. Tak ada perdebatan, tak ada keraguan. Yang ada hanya kepercayaan.

Serta ciuman panjang yang menjadi satu-satunya kenangan akan malam itu.

*

tbc...

jadi, sampai di sini puasa kalian ga batal kan ya? hahahaha... 🤣🤣🤣

btw. part ini menandakan bahwa cerita ini tinggal menyisakan 2 part lagi guys... siap-siap berpisah kita yaaa... 😂😂😂

pkl 13.40 WIB...

Bengkulu, 2020.04.30...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro