Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42

 "Oh, sekarang aku tahu kenapa aku nggak pernah ikutan olimpiade."
"Kenapa?"
"Otaknya turunan Ayah soalnya."
"GUA PINTER YA! GUA LULUSAN OSTRALI!"
"Tapi nggak pernah ikutan olimpiade kan?"
"Iya... sih..."
—S & J

***

(ngadem dulu shay)

Waktu bangun di pagi-pagi, habis membuka mata, Sashi langsung diserang panik luar biasa. Bukan tanpa alasan, soalnya sisi ranjangnya kosong. Tidak ada kursi di sana. Suasananya sepi. Pintu ruangannya juga tertutup rapat.

Bagaimana jika apa yang dilihatnya semalam itu mimpi?

Sashi buru-buru turun dari kasur, mengernyit ketika lantai yang dingin menciumi telapak kakinya. Dia menggerutu sedikit ketika gerakannya terhambat oleh kabel infus yang masih tersemat di salah satu tangannya. Tergesa, gadis itu berjalan menuju pintu. Dia hampir terpeleset karena bergerak membabi-buta, bertepatan dengan pintu yang dibuka dari luar.

Sashi tersekat, mengira dia akan jatuh bergedebuk menghantam lantai dengan wajah lebih dulu. Tapi ternyata tidak. Sepasang lengan kokoh menahannya dan saat Sashi bisa memetakan kondisi sekelilingnya dengan sempurna, dia tersadar separuh wajahnya telah terbenam di salah satu lengan itu. Wangi parfum yang familiar tercium, membuat hatinya dibanjiri oleh rasa lega.

"Wow, wow, careful, you're going to hurt yourself!" Jef mengangkat alis waktu dia tidak mendengar Sashi menjawab. "Acacia, you okay, right?"

Sashi malah menyembunyikan wajahnya di dada Jef, menarik napas dalam-dalam dan menyahut meski suaranya agak teredam. "Ternyata bukan mimpi..."

"Bukan mimpi ap—oh." Jef tertawa jumawa. "I don't know that you love me that much. Really."

Jawaban Jef yang sarat oleh kesombongan mencipta kerutan di dahi Sashi, membuatnya menarik diri dari Jef dan memandang lelaki itu masam. "What?"

"Nggak apa-apa, tadi ada babi terbang lewat dekat jendela."

"Nggak lucu!"

"Ya siapa juga yang ngelucu, anakku?"

Sashi keselek.

"Ini lo mau ngegelendot terus sama gue sampe maghrib?"

Oiya... dibilang begitu... Sashi baru nyadar kalau teknisnya dia memang betulan lagi menggelendot ke lengan Jef sekarang. Nggak apa-apa sih harusnya, soalnya ganteng-ganteng goblok gitu ya tetap bapaknya. Cuma tengsin banget coy ketahuan kalau Sashi setakut itu sekiranya apa yang dilihatnya semalam hanya sebatas mimpi.

Dia melepaskan tangannya dari Jef, sempat berdiri seraya menggaruk belakang lehernya dengan salah tingkah sebelum bergerak kembali menuju ranjangnya. Jef mengikuti, menarik kursi yang ternyata telah bergeser ke samping sofa ruangan, lalu mengambil tempat tepat di samping Sashi yang duduk di atas kasur.

"Look at you," Jef berdecak. "Gue yang kecelakaan, tapi malah lo yang harus terjebak di sini dengan infus di tangan. Kenapa nggak mau makan?"

"Are you really going back on using that lo-gue with me?" Sashi protes.

"Nggak suka?"

"Nevermind."

"Kalau nggak suka, ya nanti diganti." Jef berdeham. "Ayah yang kecelakaan, tapi malah kamu yang harus terjebak di sini dengan infus di tangan. Kenapa nggak mau makan?"

Sashi bergidik horor, menggulung kedua lengan bajunya dan menunjukkan bulu halus lengannya yang telah meremang kompak seperti baru dikomando. "Ngeri banget. Sumpah."

"Loh, piye toh? Nganggo lo-gue salah, ora nganggo isih salah. Puyeng aku dadi bapakmu."

"Iya tapi nggak pantes aja gitu."

"Terus maunya apa?"

"Balik ke lo-gue aja deh, Ayah nggak pantes ngomong aku-kamu. Terlalu halus buat kelakuan Ayah yang bar-bar."

"Heh jangan salah, ini gue lagi dalam perjalanan menuju jalan yang lurus!"

"Kalau kelurusan ntarnya nabrak."

"Jawab terus ya kalau ngomong sama orang tua." Jef berdecak. "Mau sarapan apa?"

"Sarapannya nanti aja. Sekarang Ayah berhutang penjelasan sama aku."

"Berhutang, emangnya lo Pegadaian?!"

"Tidak usah banyak bicara, Jeffrey!" Sashi memotong. "Cepat jelaskan!"

"KOK NGELUNJAK????"

"Kan mirip bapaknya."

Jef memutar bola matanya. "Gitu."

"Gitu apanya?"

"Gue naik kapal. Kapalnya tenggelam. Gue kebawa ombak. Ada yang nolongin."

"Terus?"

"Tamat."

"Sinopsis yang mantap sekali, gan! Sekarang mari kita pelajari kisah detailnya."

"Kenapa juga harus tahu sih?" Jef bertanya.

"Kenapa juga nggak boleh tahu?"

"Panjang ceritanya. Nanti nggak kelar-kelar."

"Aku bisa nunggu."

"Perut lo nggak bisa nunggu."

"Ayah!"

"Geez, this child!" Jef terlihat sewot, tapi akhirnya mengalah dan menghela napas. "But well, that's what happened. Ada banyak yang terjadi. Ada yang penting, dan ada yang nggak penting."

"Contoh kejadian yang nggak penting kayak gimana?"

"Gue nyemplung ke laut."

"Aw, asin dong."

"Mau denger ceritanya apa nggak?!" Jef mendelik.

"Maaf, Kisanak. Silakan diteruskan." Sashi langsung memasang wajah yang dibuat agar terlihat takzim.

"Gue nyemplung ke laut, terus nggak sadar, terus ada yang nolongin. Turned out, yang nolonginnya bukan orang biasa."

"Aquaman ya?"

"Bukan. Kapal penyelundup minuman keras."

Sashi ternganga sejenak, lantas katanya. "No wonder, soalnya Ayah juga hidupnya suka neko-neko, jadi yang nolonginnya juga orang neko-neko."

"Itu lah. Makanya lama. Mereka takut kalau ngelepasin gue gitu aja, nanti gue lapor polisi. Padahal ya ngapain juga? Gue nggak suka beli minuman selundupan dan anak gue nggak minum-minum."

"Oke, nanti aku minum-minum."

"Kalau sama gue, nggak apa-apa."

"Terus bagian pentingnya?"

Jef menatap Sashi sejenak, lalu sorot matanya melembut. Dia menghela napas, mengulurkan tangan untuk menyingkirkan anak rambut yang menempel di tepi wajah Sashi. Kata-katanya selanjutnya terucap diiringi oleh senyum yang membuat kedua lesung pipinya tercetak dalam. "I met your Mom."

Sashi merasa seperti ada seseorang yang baru saja menonjok ulu hatinya. Dadanya sesak oleh iri, juga rindu. Telah berbulan lewat sejak terakhir kali dia melihat Tris. Telah nyaris dua tahun sejak terakhir kali mereka bisa hidup secara normal, tanpa dibayangi oleh ketakutan akan waktu yang semakin menipis dan hari yang berganti hanya untuk mempersingkat jarak mereka menuju sesuatu yang dinamakan perpisahan.

"Itu..."

"Semakin lama gue melihat lo, semakin gue sadar... lo memang semirip itu dengannya." Jef mendesah pelan. "You don't know what I'd give to have that life, Acacia. To hold you in my arms as soon as you take your first breath in this world. Masa-masa penting dalam hidup anak gue yang nggak bisa gue miliki..." Jef beralih memainkan jari-jari Sashi, berakhir dengan telunjuknya menggambar pola lingkaran di telapak tangan gadis itu seiring dengan kepalanya yang tertunduk. "Ayah minta maaf untuk itu. Maaf."

"..."

"Tapi sesal nggak akan bisa mengubah apa yang sudah lewat." Jef mengangkat wajah, tersenyum pada anak perempuannya meski dengan mata yang sesak oleh sendu. "Waktu adalah sesuatu yang nggak akan pernah jadi milik kita, yang nggak bisa ditukar dengan uang sebanyak apa pun."

"... aku boleh nanya nggak?"

"Anything. You can ask me anything."

"Mami... bilang apa?"

"She told me she'll always love me."

Ada senang bercampur perih yang membaur jadi satu dalam benak Sashi. Di satu sisi, dia menyadari bahwa kedua orang tua biologisnya memiliki koneksi sekuat itu—yang tak pernah putus meski telah hampir dua puluh tahun mereka tidak saling berada dalam hidup satu sama lain. Dari cara Jef bicara soal Tris, Sashi tidak meragukan perasaan lelaki itu. Dari cara Tris bercerita tentang orang misterius yang katanya adalah cinta pertamanya—yang dimulai bahkan sebelum Sashi paham cinta itu apa—Sashi tahu, ibunya juga memiliki perasaan yang serupa.

Namun di sisi lain, Sashi tahu itu tidak adil untuk Jo.

"Aku tahu cukup banyak tentang Mami dan Papi, selain... fakta kalau aku bukan anak kandung Papi. Aku tahu kenapa Papi selalu memainkan lagu yang nyaris sama tiap dia main piano. Soalnya, itu lagu favorit Mami. Aku tahu di mana mereka pertama kali ketemu, kenapa Papi sayang sama Mami dan... I'm so sorry to say this, but I think Mami loved Papi too... in her own way. Not in the same way like she did to you, I know... but—"

"It's okay, little doll. You can keep going." Jef memotong, menenangkan Sashi.

"—tapi aku nggak tahu apa-apa soal Mami dan Ayah."

"Mau tahu?"

Sashi mengangguk.

"Gopek dulu."

Sashi langsung mengerucutkan bibir, melempar Jef pakai bantal. Cekatan, Jef menangkap bantal itu sambil tertawa puas. Matanya bertransformasi jadi cekungan. Lesung pipinya tertampil makin jelas. Tawanya yang keras memenuhi ruangan, memecah keheningan pagi.

"ELAH, UDAH SERIUS JUGA!!"

Jef masih saja tertawa.

"AYAH, KALAU MASIH KETAWA TERUS AKU MARRRRRAH BENERAN NIH!!"

"Lagian, serius banget, sih." Jef terkekeh sambil menyeka air yang entah sejak kapan telah mengambang di pelupuk matanya, semua gara-gara tawanya yang terlampau dijiwai. "Mmm... pertama ketemu ya? Versi gue... pas dia kelas satu dan gue kelas dua. Hari pertama masuk sekolah. Dia dimarahin senior karena lupa pakai dasi ketika upacara."

"Terus Ayah langsung naksir."

"Iya lah."

"Kok bisa?"

"Cakep soalnya."

"DANGKAL BANGET!"

"Namanya juga first impression!" Jef membela diri. "Nggak mungkin kan gue bilang 'oh, gue suka karena dia rajin, suka menabung, pandai merangkai bunga dan keibuan'. Kenal aja belom. Mana gue tahu kalau dia rajin, suka menabung, pandai merangkai bunga dan bisa jadi ibu yang baik?"

"Terus?"

"Dia sempat ikut ekstrakurikuler PMR, walau nggak lama. Soalnya pintar, jadi sama sekolah diarahin buat ikutan olimpiade gitu."

"Oh, sekarang aku tahu kenapa aku nggak pernah ikutan olimpiade."

"Kenapa?"

"Otaknya turunan Ayah soalnya."

"GUA PINTER YA! GUA LULUSAN OSTRALI!"

"Tapi nggak pernah ikutan olimpiade kan?"

"Iya... sih..."

"YAUDAH GAUSAH NGE-GAS!" Sashi melotot. "Terus gimana?"

"Waktu masih ikutan PMR, kalau upacara tuh anak-anak PMR suka jaga kan di belakang barisan, sama anak-anak Paskibra dan OSIS. Ngawasin, kalau ada yang becanda pas upacara, atau ada yang jongkok di belakang, atau kalau ada yang sakit."

"Terus?"

"Gue pernah iseng manggil dia dari barisan." Jef tertawa kecil, teringat pada kenangan masa lalu. "Terus dia dateng menghampiri barisan gue. Kebanyakan anak kelas gue tuh kalau nggak ikut basket, ikut voli. Bayangin aja, badannya pada tinggi-tinggi berisi kayak pohon kelapa."

"Kenapa perumpamaannya harus pohon kelapa?"

"Kalau pohon pisang, nggak cocok. Letoy." Jef membalas santai. "Dia nyamperin barisan sendirian. Udah dari dulu, mungil. Dikelilingi cowok-cowok tinggi, jadi rada tenggelam gitu. Teman-teman gue udah pada nyengir, suit-suit diam-diam. Biasalah, namanya cowok kalau dideketin cewek cakep bakal gimana."

"Sekolahan Ayah anak-anaknya alay."

"Cowok pasti gitu, anakku."

"Dery nggak gitu!"

"Halah, dia mah cuma pura-pura jinak, padahal buas juga dalemnya."

"Hng..."

"Kok hng doang?" Jef justru jadi curiga.

"Nggak bisa ngomong banyak soal itu. Hehe."

Jef menyipitkan mata, lalu melotot lebar-lebar. "WAH, TANDA-TANDA NIH! NGAKU LO UDAH DIAPAIN AJA SAMA DIA?!"

Sashi jadi ciut, teringat pada apa yang dilakukannya bersama Dery di ruang tengah rumah pagi itu. Namun dia berusaha menutupinya. "Udah kayak kang elpiji aja nge-gas melulu ih buruan lanjutin ceritanya!!"

"Lo kalau sampai ngapa-ngapain sama dia ya—" Jef menggerakkan telunjuknya dari ujung leher yang satu ke ujung leher yang lain. "—nggak ada ampun."

"Iye, bawel, lanjutin ceritanya!"

"Oiya—jadi kan Tris ngedeket tuh ya ke barisan gue. Nyamperin gue dong soalnya kan gue yang manggil. Mukanya tenang banget. Terus dia nanya, 'ada yang sakit, kak?'. Terus gue jawab dong 'ada. Ini kenapa ya gue tiap liat lo bawaannya deg-deg-an melulu. Kayanya sih butuh kenalan biar lebih mendingan'. Gitu."

"JIJIK!"

"Alah, lo digituin sama bocah ambyar juga langsung klepek-klepek!" Jef menukas dengan seruan menohok. "Dari sana, kita kenalan. Tris naksir gue."

"Ayah duluan kali yang naksir Mami?"

"Emang iya."

"Oh." Sashi manggut-manggut.

"Masih ada yang mau ditanyain?"

"Banyak, malah. Tapi aku tahu, waktunya nggak bakal cukup. Jadi... satu pertanyaan lagi. Boleh nggak?"

"Apa?"

"Jangan marah ya?"

"Nggak, paling kalap dikit."

"Ayah, serius!"

"Iya, nggak akan marah!"

"Kenapa... Ayah ninggalin Mami?"

Jef langsung terdiam sesaat setelah dia mendengar tanya itu terlontar dari Sashi. Senyap menjalari ruangan. Sunyi yang terus bertahan hingga beberapa jenak berikutnya kontan membikin Sashi merasa bersalah.

"Kalau Ayah nggak mau jawab—"

"Gue nggak pernah meninggalkan. Dia yang pergi tanpa bilang apa-apa ke gue."

Sashi sudah pernah mendengar Jef bicara sekilas tentang itu sebelumnya—lebih seperti keceplosan, sebetulnya. Namun dipikir sesering apa pun, bagi Sashi, itu tidak masuk akal. Bertahun-tahun, saat Jo tidak ada di rumah, Sashi mendengar Tris bercerita tentang seseorang yang dia sebut cinta pertamanya. Seseorang yang menyukai sukulen. Seseorang yang menjadikan putih sebagai warna favoritnya. Seseorang yang lebih suka rambut panjang daripada rambut pendek. Seseorang yang bermain basket. Juga kliping-kliping koran dan artikel majalah yang memuat Jeffrey Gouw—Sashi tidak pernah tahu kalau cinta pertama ibunya dan Jeffrey Gouw adalah orang yang sama. Hanya saja, saat dia bertanya kenapa Tris mengumpulkan kliping koran dan artikel majalah itu, jawabannya selalu sederhana.

"Soalnya Mami nge-fans sama dia, Acacia."

Dengan cinta sebesar itu, mungkinkah Tris yang justru meninggalkan?

"Aku..." Sashi meneguk saliva. "Sulit bagiku untuk percaya."

"Kenapa gitu?"

"Dari aku kecil, Mami sering cerita tentang seseorang yang katanya cinta pertamanya."

"Oh ya?"

"Iya." Sashi mengangguk. "Cinta pertama Mami jago main basket. Dia tinggi. Dia suka sukulen. Dia suka warna putih. Dia lebih pintar bikin kue daripada Mami. Dia—" Sashi menggaruk lehernya, agak salah tingkah. "—aku nggak ngerti, kenapa Mami meninggalkan orang yang dia cinta sebegitu dalamnya? Bukannya lawan dari mencintai itu... adalah meninggalkan?"

"Mungkin dia punya alasan sendiri? Satu yang jelas, gue nggak pernah meninggalkan. Gue bahkan nggak tahu kalau lo ada... sampai beberapa bulan lalu." Jef tersenyum pahit. "Tris selalu setenang danau yang dalam. Penyeimbang untuk banyak aspek dalam hidup gue. Orang yang mengingatkan gue buat selalu ingat Tuhan. Orang yang bisa menenangkan gue ketika gue marah. The sound of her name silenced my demons. Gue berbagi banyak hal dengannya, soal mimpi, masa depan dan cita-cita gue. Ketika tiba-tiba dia pergi dan seakan menghilang, gue berpikir... mungkin apa yang gue lakukan itu adalah sebuah kesalahan."

"What did you do?"

Jef berhenti memainkan jari Sashi, lalu tersenyum sedikit seraya merendahkan suaranya. "I slept with her."

"..."

"Sorry."

"Don't be. Kalau nggak gitu juga aku nggak akan terproses kali, Yah."

"Untuk ukuran anak perempuan, kata-kata lo ini beneran nggak tersaring ya?"

"Dih, itu normal kali! Aku udah mau lulus SMA! Bentar lagi jadi anak kuliah! Yakali aku nggak paham teori dalam bereproduksi!"

"AWAS AJA KALAU LO PRAKTEK SEBELUM WAKTUNYA!"

"Sori, Kisanak. Aku bukan dirimu!"

Wajah Jef memerah. "Intinya... gue salah mengira, karena well, di agama mana pun, seks sebelum menikah itu dosa. Gue menganggap dia benci sama gue. Gue mencoba menelepon, mendatanginya, tapi hasilnya nihil. Sementara itu, gue juga udah harus siap-siap buat lanjut kuliah ke luar negeri."

"Terus?"

"Setelahnya, gue nggak mencari dia... karena gue takut. Takut akan penolakan. Takut akan kepastian. Takut dia bilang dia membenci gue dan nggak menginginkan gue lagi." Jef mengembuskan napas lelah. "Di saat yang sama, sepertinya dia juga takut kalau gue menolak dan menganggapnya berbohong."

"Jadi... itu semua salah paham." Sashi terlihat sudah lebih mengerti. "Oke, pertanyaan terakhir."

"Tadi katanya itu yang terakhir!"

"Bonusin satu sih Yah, jangan pelit-pelit sama anak sendiri!"

"Konsisten dong!"

"Yaudah kalau nggak mau jawab!!"

"Yang bilang nggak mau jawab itu siapa?!"

Yha... jadi malah saling teriak-teriak.

"Oke, satu pertanyaan terakhir!" Sashi berseru penuh penetapan. "Kalau Ayah tahu... soal aku... dari awal... apa Ayah bakal nolak aku?"

Lagi-lagi, ada jeda.

"Sekedar bocoran, kalau jawabannya bakal bikin aku sakit hati, Ayah nggak harus jawab, kok."

"Kalau Ayah tahu soal kamu dari awal?" Jef meninggalkan lo-gue yang sedari tadi digunakannya secara tiba-tiba. Dia mengulurkan lengan, menempatkan telapak tangan salah satu sisi wajah Sashi dan menggambar pola lingkaran di pipi gadis itu. "Then you'll have my name. You'll live as Acacia Gouw, not Acacia Tirtasana."

"Tapi aku bukan anak yang diharapkan—"

"Tidak terduga, iya. Tidak diharapkan? Not really. I love you with all my heart, more than anything in this world, Acacia. Kalau kamu tanya apa yang bakal Ayah beri untuk mendapatkan masa-masa itu kembali, Ayah akan bilang, segalanya."

"..."

"No—not with that face—no—please, for God's sake, don't cry again."

"EMANGNYA AKU KELIATAN KAYAK MAU NANGIS, HA?!" Sashi kesal karena perasaannya didramatisir.

"Lo kelihatan seperti siap bikin banjir seisi kota."

"HIEH TERSERAH JEFFREY AJA DAH!"

"LANGUAGE!"

"Kan nama Ayah emang Jeffrey, gimana sih?!"

"Capek ribut gue lama-lama!" Jef memutar bola matanya. "Ayo sarapan!"

"Loh, nggak dianterin kesini sarapannya?"

"Si Konted udah bikin prasmanan lengkap dengan air mancur cokelat di kafetaria rumah sakit. Katanya khusus buat calon mantunya. Ge-er bener, padahal belom juga gue restui. Bokap lo ada di sana juga. Bareng sama si bocah ambyar. Mending sarapan di sana."

"Bokap?"

"Bokap lo kan ada dua biji. Masa amnesia?!"

"Bentar... Ayah mengakui... Papi?"

"Iye."

"WAUW."

"Setelah lo balik, kita bakal diskusi ulang soal tempat tinggal lo dan gimana nanti saat lo kuliah."

"WAUW PART DUA."

"Gue sadar, gitu-gitu, dia masih bokap lo. Dia juga udah mewakili gue melakukan sesuatu yang dulu nggak bisa gue lakukan. Kalau gue ada di posisinya, gue bakal sedih banget seandainya lo dibawa pergi gitu aja. Jadi..."

"IH AKU JADI TAKUT."

"Takut kenapa?"

"Ayah tiba-tiba tobat, takut tau-tau besok mati."

"..."

"AYAH, JANGAN MATI DULU!!"

"Nggak lah, nanti keenakan si bocah ambyar kalau gue mati dalam waktu dekat ini. Jalannya mendapat restu jadi makin mulus." Jef membalas asal. "Eh ya, waktu pagi gue pergi, gue minta bocah ambyar ke rumah. Lo nggak ngapa-ngapain sama dia kan?"

"Hng... nggak."

"Yaudah, bagus."

"Kok percaya?"

"Sebenarnya nggak, tapi gue udah minta Mas Yono buat ganti sekalian cek semua CCTV yang ada di rumah. Jadi—"

Sashi tersedak. "RUMAH KITA ADA CCTV-NYA?!"

"Ada lah, kan rumah orang kaya."

Sashi langsung deg-deg-an. Dia bukan mengkhawatirkan dirinya. Dia mengkhawatirkan nasib leher Dery.

"Oiya, satu lagi, sebelum lo terlanjur nanyain."

"Apa?"

"Gue putus sama Jennie."

"PIYE THE FUCK????!!!"

*

(np: armada - pemilik hati)

Sejujurnya, selama beberapa hari ini, Jo merasa agak kehilangan Sashi. Namun dia mengerti. Semua yang terjadi begitu tiba-tiba. Jelas tidak mungkin ada seseorang yang bisa siap menghadapi rentetan demi rentetan kejadian mengagetkan seperti itu. Setidaknya, kepulangan Jef membuat Sashi kembali bersemangat. Bagi Jo, melihat anak perempuannya tersenyum dan tidak lagi mengurung diri di kamar dengan kepala dipenuhi pikiran buruk sudah lebih dari cukup.

Waktu sarapan tadi, Jo sempat bicara sedikit dengan Jef. Entah apa yang sudah terjadi dan kejadian macam apa yang menimpanya, namun Jo merasa Jef jadi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Lelaki itu jadi terlihat seperti seseorang yang punya akal sehat. Dia mampu bicara dengan Jo tanpa nada menohok atau gerutuan masam.

"Kita harus ngomongin soal Acacia."

"Ngomongin apa?"

"Gue yakin, lo nggak akan mau tinggal sama gue selamanya."

"Correct." Jo membenarkan. "Kamu terlalu berantakan untuk tinggal serumah sama saya."

"Justru harusnya bagus. Gue yang berantakin, lo yang beresin. Itu yang dinamakan saling melengkapi, iya kan?"

Jo langsung bergidik. "Amit-amit..."

Jef justru terkekeh, tampak sekali dia menikmati reaksi Jo. "But for real, about Acacia, we need to talk it out."

"Kenapa kamu se-persistent ini?"

"Sebab ini penting buat Acacia. Tris udah nggak ada. Kita adalah figur orang tua yang dia punya sekarang."

"Stop it, it sounds so gay." Jo protes.

"Gue kalau mau belok juga pilih-pilih kali." Jef mencibir. "Tapi itu memang fakta. Lo bapaknya. Gue bapaknya. Gue sayang sama dia. Dia anak gue. Alasan kenapa gue mau pulang. Di saat yang sama, dia juga anak lo. Lo ada buat dia sejak dia masih kecil. Lo bikin dia ngerasa disayangi, hadir sebagai bapak buat dia ketika gue nggak bisa. Bakal nggak adil kalau gue merampas dia dari lo."

Jo rasa, kepala Jef agaknya telah terbentur cukup keras.

"Intinya, kita harus ngomongin itu lagi. Juga soal rencana studi dia. Nggak lama lagi, dia akan lulus SMA dan mesti kuliah."

Jo setuju karena memang, itu adalah sesuatu yang penting.

Dalam agenda sarapan pagi ini, Tedra benar-benar all out memamerkan harta benda miliknya. Dia bahkan sampai menggelar red carpet penuh taburan mawar buat Sashi—Dery mendampingi di sampingnya. Jef sempat protes, namun Tedra dengan telak membungkamnya.

"Iki omah sakit punyaku. Duit juga duitku. Nek kowe ora setuju, silakan kowe minggat dari sini."

Jef pun tidak bisa berkata banyak. Gimana ya, soalnya setajir-tajirnya Keluarga Gouw, mereka cuma punya stasiun televisi, nggak punya rumah sakit.

Keadaan berangsur kembali normal dan tampaknya, Sashi sudah boleh pulang ke rumah besok.

Usai sarapan, mereka kembali ke kamar masing-masing. Berhubung rumah sakitnya punya Tedra, jadi rumah sakit itu berasa hotel saja. Karyawan rumah sakit sih tidak keberatan. Soalnya kapan lagi mereka bisa makan wagyu, lobster hingga menikmati bergelas-gelas champagne bersama caviar dan truffle secara gratisan?

Kini, ketika hari telah beranjak dari siang menuju sore, Jo terduduk sendirian di kafetaria, menghadapi segelas kopi yang tinggal terisi setengah. Rumah sakit tak lagi jadi tempat asing baginya. Selama setahun sejak vonis dokter tentang penyakit Tris mencipta badai di rumah mereka yang damai, Jo tidak pernah absen menemani Tris untuk mencari kesembuhan—meski pada akhirnya, mereka harus menyerah pada rencana Tuhan.

Lalu dia dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

Jo menoleh ke samping, mendapati Sashi tengah melingkarkan kedua lengan di sekeliling bahunya. Dagu gadis itu ditumpangkan ke pundaknya.

"What's wrong, sweetheart?"

Sashi menggeleng, malah menyembunyikan wajah kian dalam di pundak Jo.

"Acacia, kenapa?"

"Nggak apa-apa." Sashi tersenyum. "Masa aku nggak boleh peluk papiku sendiri?"

Jo membawa salah tangannya untuk menyentuh lengan Sashi yang masih mendekapnya. "Don't get me wrong. Papi suka dipeluk sama kamu. Tapi tumben aja."

"Pi,"

"Mm-hm?"

"Maafin aku ya."

"Maaf untuk?"

"Maaf karena udah nyuekin Papi selama beberapa hari ini."

"Nggak ada yang harus dimaafkan." Sashi melepaskan dekapannya, kemudian menarik kursi dan duduk di samping Jo. "Kemarin-kemarin pasti berat untuk kamu."

"Tapi sekarang udah nggak."

Jo tersenyum. "Papi senang."

"Papi selalu setulus ini. Nggak pernah banyak bicara. Cuma mau orang-orang yang Papi sayang bahagia." Sashi meraih tangan Jo yang jauh lebih besar darinya, membungkus telapak tangan laki-laki itu dengan kedua tangannya. "Coba deh, sekali aja, Papi egois. Nggak apa-apa. Papi juga berhak bahagia."

"Papi udah bahagia. Papi kan punya kamu."

Sashi mengangguk. "Papi akan selalu punya aku. Sampai kapanpun. Aku akan terus jadi anak Papi. Nggak akan pernah pergi."

"Papi tahu, Acacia. Papi tahu."

"Tapi tetap, mulai dari sekarang, kalau Papi mau egois untuk kebahagiaan Papi sendiri, aku nggak akan keberatan." Sashi mengeratkan genggamannya seraya menatap Jo dengan penuh kesungguhan. "Dalam hidup ini, kita nggak harus selalu memberi, Pi. Ada saatnya kita menerima. Dan itu nggak apa-apa."

Jo tertawa. "Ternyata anak Papi udah dewasa."

"Iya! Dan karena sekarang Papi udah tahu, kalau ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Ngomong aja sama aku. Oke?"

"Great. Now, promise we'll be happy for a very very long time, yes?"

"We'll be happy for a very very long time, Acacia. I promise you that."

*

Sebelum kembali ke rumah sakit untuk menjemput Sashi yang telah diizinkan pulang, Jef sengaja mampir sebentar ke apartemennya yang telah cukup lama ditinggalkan sejak dia tinggal di rumah masa kecilnya.

Apartemennya masih terawat, sebab tetap rutin dibersihkan setiap minggu. Barang-barangnya berada di tempat yang tepat, tersusun rapi seperti ruangan dalam kumpulan portofolio sebuah biro arsitek ternama. Tadinya, Jef ingin mengambil beberapa helai baju tidur dan sepatu yang dia tinggalkan, namun tatapannya justru jatuh secara tak sengaja pada kotak yang dibiarkan tergeletak di samping nakas yang berada di sisi tempat tidurnya.

Kotak yang Jo berikan padanya di hari pemakaman Tris.

Jef belum sempat—atau lebih tepatnya, belum memiliki keberanian untuk melihat semuanya kala itu. Dia baru membaca beberapa artikel dan kliping koran yang memuat berita tentang perjalanan karirnya, resep makanan favorit Sashi dan sejenisnya. Ada banyak bagian yang belum tersentuh, termasuk flashdisk berisi entah apa.

Lelaki itu mematung sejenak. Dia meneguk ludah, lantas memberanikan diri untuk mengambil kotak itu.

Ternyata, selain kumpulan artikel, kliping koran, resep makanan, ada banyak lembar lainnya yang Jef sesali baru dia lihat sekarang. Foto-foto Sashi dari kecil hingga remaja. Ada cukup banyak, lengkap dengan negatif film-nya. Kartu-kartu buatan sendiri yang diwarnai menggunakan krayon dan digurati tulisan cakar ayam. Itu jelas tulisan Sashi. Jef lagi-lagi diserang melankoli ketika menatapnya. Ada juga gambar-gambar yang sudah pasti juga dibuat oleh Sashi. Surat-surat Sashi buat Tris di Hari Ibu. Puisi yang dia karang untuk Jo. Sesaat, Jef ditusuk dengki. Ada juga catatan singkat tentang makanan yang tidak bisa Sashi makan karena dia alergi.

Tangan Jef berhenti sewaktu dia menemukan gambar lain yang berada di dasar kotak. Gambar itu masih hasil karya Sashi, diwarnai menggunakan spidol dan memuat seorang laki-laki berambut hitam yang mengenakan celana panjang putih dengan kemeja bergaris hitam-merah muda. Harusnya bukan sesuatu yang mengagetkan, jika saja Jef tidak merasa kemeja itu... tampak tidak asing.

Dia membalik gambar itu, mendapati ada tulisan di belakangnya;

Acacia's Hero.

Kenapa es krim vanilla lebih enak?

Karena warnanya putih.

Napas Jef tertahan di tenggorokan. Kata-kata itu... dia ingat dia pernah mengatakannya... belasan tahun lalu, pada seseorang di Queen Victoria Gardens.

"Gue kasih lo yang rasa vanilla. Jadi sekarang, berhenti nangis."

"Kenapa gitu?"

"Karena es krim vanilla itu lebih enak dari es krim lainnya."

"Kenapa?"

"Karena warnanya putih."

Ada gemuruh tercipta dalam dada Jef.

Dia melepaskan gambar itu dari tangannya, menyimpannya lagi ke dalam kotak. Jef menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dalam upaya mencari distraksi, dia justru meraih flashdisk, yang pada akhirnya membuatnya tergerak mengambil laptop lainnya yang dia simpan di lemari. Tak butuh waktu lama menghidupkan laptop itu dan masuk ke desktop. Sempat berpikir sejenak, Jef akhirnya bergumam 'sekarang atau nggak sama sekali' sebelum mencolokkan flashdisk pada port yang tersedia.

Ada file video di sana, tanpa thumbnail, hanya hitam.

Satu diberi judul; For Jeffrey.

Dan ternyata, ada satu lainnya di folder berbeda dengan judul; For Jo.

Jelas, itu sesuatu yang Tris tinggalkan buat mereka berdua.



Bonus

"DROL, BOKAP GUE BILANG DI RUMAH ADA CCTV!!!"

"Iya, gue juga tau!"

"KALO TAU KOK MASIH DIEM?!"

"Terus gue harus ngapain?"

"BERGERAK LAH! BUAT APA PUNYA BOKAP KAYA MONYET—EH MAKSUDNYA KAYA RAYA! LO MAU LEHER LO DI-PEDANG AMA BOKAP GUE?!!"

Asli, percakapan antara Dery dan Sashi barusan bikin Dery pusing tujuh keliling. Hari ini, Sashi bakal pulang dari rumah sakit. Itu artinya, mereka akan segera kembali ke rumah dan besar kemungkinan, bukan hanya Jef, Jo juga akan turut mengecek rekaman CCTV kalau-kalau Jef ribut menemukan sesuatu yang mencurigakan.

Kalau sudah begitu, rasa-rasanya Dery tinggal bilang nihao, akherat.

Lama berpikir, Dery sadar jika satu-satunya jalan keluar dari kerumitan ini adalah dengan mengandalkan kekuatan agung Yang Mulia Tedra Sunggana. Makanya, habis dari rumah sakit, Dery langsung pulang. Namun begitu sampai di rumah, Tedra tidak terlihat dimana pun. Cuma Joice yang tengah sibuk minum jus jeruk sambil maskeran pake sheetmask SK-II di ruang tengah.

"Mam, Papa mana?"

"Di kebun belakang."

"Ngapain?"

"Wes ora usah diganggu, de'e lagi berduka."

"Berduka gimana?"

"Lord yang Papa puja setengah mati wes mangkat."

"Maksud Mama... Lord Didi?"

"Lord yang mana lagi?!"

"YA AMPUN!!!"

"Papa sempat nangis tadi, katanya kok Lord Didi wes mangkat duluan, padahal kan belum diundang buat pesta 40 hari 40 malam nikahan kamu."

"..."

"Aku tetap mau ketemu Papa."

"Ora iso, Le. Papamu lagi sibuk nangis."

"Ma,"

"Opo?"

"Nek aku ora ketemu Papa as soon as possible, sesuk aku seng nyusul mangkat, Ma.






to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

akhirnya dilanjut juga ya cuy 

gimana, apakah penantiannya menyiksa? atau justru tidak terasa? 

masih ada satu chapter lagi sama epilog kayanya. 

untuk ke depannya nasib asmara jo dan perkuliahan sas-dery gimana ntar bisa diliat di Get on The Gouws ye biar ga melengsong ini topiknya 

buat yang berpuasa, gimana, apakah puasanya lancar??? moga setelah lebaran keadaan udah membaik ya huhu soalnya sad juga hidup jadi begini :( 

terus apa lagi ya hm akhir-akhir ini gue lagi mabok nana sumpah ga boong kangen banget sama nana :'( apalagi pas dia update bubble pake 'i cant sleep please dont scold me' tau ngga kebayangnya kaya 'aku gabisa bobo plis jangan marahin aku'

kelyan di ridin paling oleng sama siapa? wkwkwk tapi mantep banget euy mv-nya tema-tema penjara mana naik motor :' 

dah kayanya itu aja deh. 

semangat selalu ya semuanya, sampai ketemu di chapter selanjutnya 

ciaooooowwww



bonus calon pelamar 

Home Suhweet Home, May 5th 2020 

23.00

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro