41
"Ayah kamu bukan pendongeng."
"Emang, Ayah aku kan chef."
—S to J
***
(tobatnya jepri bertepatan dengan bulan ramadhan masha Allah)
Tiga hari sebelumnya.
Seberapa jauh jarak yang harus ditempuh seseorang untuk pulang?
Tidak pernah ada ukuran pasti. Pulang dapat berarti berkendara kurang dari setengah jam menggunakan sepeda motor, antre di terminal dan berdesakan dalam bus antar kota-antar propinsi atau terjebak dalam penerbangan mengitari setengah Bumi. Namun buat seorang Jeffrey Gouw, pulang adalah sebatas membuka mata pasca tawar-menawar dengan malaikat maut, meminta diberi waktu sekali lagi, bukan untuk diirnya, bukan pula karena dia takut menghadapi apa yang nantinya akan dia hadapi di dunia yang lain tapi untuk membayar bilangan tahun yang telah tersia-siakan.
Semuanya untuk seseorang penyandang sebuah nama; Acacia Tredayorka.
Jef terbangunkan dengan tubuh lemas tanpa tenaga, dengan sakit menggerayangi setiap inchi tubuhnya. Ruangan tempatnya berada jauh lebih bagus daripada yang dia duga. Tempat itu kering, dan dia tengah terbaring di atas kasur berlapis seprei lembut berwarna maroon. Nyeri memilin ototnya, enggan kompromi, namun dari detak di dadanya, dari setiap hela napas yang dia hirup, Jef tahu dia masih hidup.
Ini bertolak belakang dengan ingatannya tentang apa yang terjadi sebelum air mengepungnya dari segala penjuru, ombak besar menghempasnya tanpa permisi, lalu semuanya gelap sebelum sosok Tris hadir tiba-tiba, kuasa mengusir senyap. Tempat tersebut jelas bukan rumah sakit. Alih-alih bau antiseptik yang khas, Jef justru menghirup aroma familiar minuman beralkohol yang dia kenal.
Pintu logam ruangan terbuka hanya beberapa detik kemudian, menampilkan seorang pemuda berkulit kuning dengan mata sipit. Pemuda itu mengangkat alis, buru-buru meninggalkannya dan kembali lagi dengan seorang lelaki setengah baya berperut buncit. Dia mengenakan ikat pinggang kulit dan jam tangan yang Jef tahu tidak murah harganya. Mereka jelas bukan orang-orang biasa.
Lelaki itu mengajaknya bicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Mandarin yang kental. Dia menanyakan nama Jef, memberitahunya tentang Jef yang dia temukan telah kehilangan kesadaran, terombang-ambing di lautan dalam balutan jaket penyelamat berwarna jingga, diteruskan fakta jika Jef telah tidak sadarkan diri selama dua hari seraya sesumbar bahwa Jef pasti sudah mampus sekiranya bukan karena dia. Jef mengernyit, balas mengucapkan terimakasih, dan bertanya, bisakah dia dibantu untuk pulang.
"Saya tidak bisa janji soal itu."
"Tidak bisa janji?"
Lalu meluncur lah penjelasan bahwa kapal tempat Jef berada sekarang adalah kapal penyelundup minuman keras dari Singapura yang baru saja menyelesaikan urusan bisnis mereka di Batam—dan sekarang tengah bermaksud menuju Jakarta. Membiarkan Jef kembali tanpa jaminan apa-apa adalah tindakan tolol, menurutnya. Bagaimana jika Jef berkoar soal penyelundupan yang dia lakukan? Itu hanya akan mencipta masalah yang tidak perlu.
"Saya harus pulang." Jef ngotot, uratnya mulai menegang. "I have a daughter waiting for me. Bisa saja dia sedang sangat khawatir sekarang."
"What's your name again?"
"Jeffrey Gouw."
Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, mengetikkan sederetan huruf di kolom pencarian Google dan menunjukkan hasilnya pada Jef. "Kamu belum menikah, apalagi punya anak. Nice try."
Jef membuang napas frustrasi, mengabaikan denyut dari luka yang ada di wajahnya. Dia belum bercermin tapi dari rasa sakitnya, jelas luka itu bukan luka ringan. Mungkin tergores atau terbentur ketika dia melompat dari dek sesaat sebelum kapal yang ditumpanginya kandas. "Can I call a friend?"
"No."
"Terus apa yang mau kamu lakukan?"
"Masih belum tahu." Lelaki itu mengedikkan bahu. "Kami harus memastikan segalanya aman lebih dahulu. Jika kamu tidak bisa tutup mulut, well—"
"Itu akan memakan waktu yang terlalu lama, sedangkan saya harus pulang secepatnya." Jef berujar penuh penekanan. "I want to call my friend."
"No."
Mata Jef tertuju pada senjata api yang terselip di pinggang lelaki itu. "Kalau begitu, tembak saja saya di sini sekarang. Tertahan di sini terlalu lama sama halnya dengan tidak selamat dalam kecelakaan kapal yang kandas itu. Saya bilang, saya harus pulang untuk anak perempuan saya. But remember, you know what my last name is. Gouw. Kill me, and you'll be a dead meat."
Lelaki itu terdiam—sadar membantah pun tidak ada gunanya sebab dari hasil pencarian yang dia temukan, terpampang jelas dengan siapa saja Jef bertalian darah, atau setidaknya berbagi nama belakang yang sama. Yohannes Gouw. Jessica Gouw. Talitha Gouw. Mereka semua orang-orang powerful yang dapat mencarinya sampai ke ujung dunia jika dia melakukan tindakan yang gegabah.
"Siapa yang ingin kamu telepon?"
Jef sempat terpikir ingin menelepon Yohannes Gouw, tapi dengan sikap selurus dan sekaku bambu seperti itu, mustahil Yohannes Gouw akan merelakan harga dirinya terinjak demi bekerja sama dengan para kriminal penyelundup minuman keras. Jef tidak peduli tentang prinsip anti kriminal atau keadilan harus ditegakkan dan segala macamnya. Dia hanya ingin pulang. Dia perlu memastikan anak perempuannya baik-baik saja, sekaligus meminta maaf untuk semua kesalahan yang telah dia lakukan. Maka Jef menyebut satu nama lain.
"Jeanneth Kartadinata. Teman saya. Dia bisa dipercaya. Kamu bisa menemukan profilnya di Google, jika masih ragu."
Lelaki itu mengernyit, berpaling pada anak buahnya yang lebih muda dan berdiskusi dalam bahasa Mandarin. Jef berlagak tidak mengerti, ketika sebenarnya dia paham betul mereka sedang mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Dia bukan penutur bahasa Mandarin yang lancar, namun setidaknya pemahamannya cukup baik.
Mereka akhirnya setuju.
Pening membebani kepala Jef ketika salah satu dari orang-orang itu memberinya ponsel. Tangannya gemetar. Mungkin karena dia lama terbaring di tempat tidur, atau tubuhnya masih dibebani shock pasca peristiwa yang dia alami. Jef mendial nomor ponsel Jennie yang telah dihapalnya di luar kepala. Bergumam please berkali-kali dalam hati saat nada tunggu terdengar lebih panjang dari yang semestinya, lalu mengembuskan napas lega saat dia mendengar suara Jennie di seberang sana.
"Halo?"
"Jeanneth." Ada deru dalam napas Jef ketika dia bicara. "It's me."
"What—"
"It's Jeffrey."
*
Jujur, sepanjang tiga puluh enam tahun masa hidupnya, Jennie belum pernah merasa selelah ini. Bukan hanya menjadi orang utama dari sisi Keluarga Gouw yang dikontak untuk menerima update berita terbaru soal pencarian, Jennie masih harus berusaha terlihat baik-baik saja dan menenangkan kedua orang tua Jeffrey yang mulai kehilangan harap—perlahan-lahan ditelan bulat-bulat oleh rasa takut dan stress yang menggunung.
Dia juga menyempatkan dirinya berkunjung ke rumah sakit untuk menemui Sashi. Bukan berarti dia tidak mempercayai Dery, Tedra atau bahkan Jo, hanya saja, dia adalah figur perempuan terdekat dengan Sashi setelah anak itu kehilangan ibunya.Tidak membantu sama sekali. Jennie justru merasa bebannya kian berat. Dia tidak bisa berlama-lama melihat Sashi larut dalam kesedihannya, menonton anak itu menghabiskan waktu memandang kosong tembok rumah sakit yang pucat hanya membuatnya kian frustrasi.
Benar apa yang mereka katakan tentang orang-orang yang selalu terlihat lebih kuat dari yang lain; mereka tampak sekokoh karang, mampu diandalkan namun bukan berarti untuk selamanya. Ada masanya orang-orang paling tegar sekalipun butuh bahu buat bersandar.
"Tante Wina mau balik ke hotel sama aku?"
Ashwina Gouw hanya menggeleng, duduk dengan punggung tegang di kursi ruang tunggu rumah sakit sembari memilin jari-jarinya. "Nanti saja."
"Acacia bakal baik-baik aja, Tante. Aku yakin itu. Dia cuma... terkejut." Jennie menghela napas, meremas pelan bahu perempuan di sebelahnya. "Kalau aku dapat kabar soal Jeffrey, aku bakal langsung kasih tahu Tante Wina. Jangan terlalu dipikirin, oke? Tante Wina juga butuh istirahat."
Dia mengangguk. "Jeanneth, makasih ya."
Jennie berusaha tersenyum. "Tante mau aku panggilin Om?"
"Ndak usah. Nanti juga orangnya kesini. Kamu pulang saja. Istirahat."
Jennie mengiakan, berpamitan sebelum berjalan menuju lift rumah sakit. Tempat itu milik Tedra, jadi tidak sembarang orang bisa masuk dan Tedra bisa menutup rumah sakitnya kapan pun dia mau—sesuatu yang Jennie syukuri, sebab setidaknya Keluarga Gouw tak perlu dipusingkan oleh bidikan kamera awak media yang mengejar cerita kesedihan mereka untuk ditukar dengan berita yang menjaring klik dan komentar publik.
Perjalanan dari rumah sakit menuju apartemennya begitu hening. Jennie mengemudi sambil melamun, memandang jalan yang mulai lengang karena malam yang sudah kian larut. Dia melirik bayangannya pada rear-view mirror. Matanya jelas sekali menunjukkan gejala kurang tidur, juga beban psikis yang terlampau besar.
Damn it, Gouw, Jennie meninju roda kemudi seraya menggigit bibir kuat-kuat. This is not funny at all. Where are you now? Gue bisa menerima kalau lo pergi tanpa pamit ke gue... tapi nggak ke anak itu. Nggak ke anak lo sendiri...
Jennie menyeka wajahnya dengan kasar tatkala dia menyadari ada air mata yang meleleh di pipinya. Dia menghela napas, menepikan mobil dan berusaha meredakan deru dalam dada. Ketika itu lah, dia mendengar ponselnya berdering. Nomor yang terpampang di layar adalah nomor asing yang tidak ada dalam penyimpanan kontak di ponselnya. Jennie tidak pernah menjawab telepon sejenis itu, menganggapnya sebatas panggilan dari orang iseng. Namun sekarang, dia tidak tahu kenapa jarinya bergerak mengusap layar ponsel tanpa pikir panjang.
"Halo?"
"Jeanneth," Napas Jennie serasa terhenti di tenggorokan ketika dia mengenali suara itu. "It's me."
"What—" Jennie membeku, khawatir dirinya sedang berhalusinasi.
"It's Jeffrey."
Air mata Jennie menetes lai tanpa bisa dia tahan. "Gouw?"
"Yes. It's me."
"You alive?"
"I think I am."
Rasanya Jennie ingin meninju Jef sekarang, tapi di saat yang sama, kelegaan membasuhnya. "Then where are you, dumb ass?"
"It's quite complicated." Jennie bisa mendengar Jef menghela napas. "Gue butuh bantuan lo. Tapi lo harus janji, ini semua rahasia. Nggak boleh ada orang lain yang tahu selain lo. Nggak sepupu-sepupu gue. Nggak orang tua gue. Even, jangan kasih tahu... Acacia." Suara Jef bertambah pelan di akhir ucapannya.
"Jeffrey, maksud lo—"
"Ini penting. Jangan ada siapa pun yang tahu, apalagi polisi."
"Tapi—"
"Trust me. Please."
Jennie mengalah. "Lo mau gue melakukan apa?"
*
(abies kelelep)
Jika ditanya, apakah ada seseorang yang mampu membuat seorang Jeanneth Liora Kartadinata mengemudi meninggalkan ibukota pada pagi-pagi buta, sendirian, menuju sebuah tempat yang tak pernah sekalipun dia ketahui ada di peta, maka jawabannya hanya satu; ada, dan dia adalah seseorang bernama Jeffrey Gouw.
Sesuai permintaan Jef, Jennie tidak memberitahu siapapun. Tapi bukan berarti dia tanpa persiapan. Dia telah meninggalkan catatan untuk resepsionis lobi apartemennya—untuk menghubungi kedua orang tuanya juga pihak yang berwajib jika sampai dalam 1 x 24 jam, dia tidak memberi kabar apa pun kepada resepsionis tersebut. Dia juga membawa senjata api yang telah lama tersimpan di dasar laci lemarinya yang selalu terkunci—di masa remaja, Jennie punya hobi menembak yang dia ikuti dari ayahnya dan menilik latar belakang keluarganya, mengurus lisensi untuk kepemilikan benda itu bukan sesuatu yang sulit.
Kebanyakan orang tentu tidak percaya jika Jennie Kartadinata yang kerjanya hanya memanggang kue bertabur gula dengan warna-warni cantik mampu membidik sasaran dan menarik pelatuk tanpa bimbang—tapi yah, kalau seorang Tedra Sunggana saja bisa mendapatkan lisensi kepemilikan senjata apinya sendiri, mengapa Jennie yang jelas-jelas lebih waras tidak bisa?
Tempat yang harus Jennie datangi—menurut Jeffrey, atas kesepakatan dengan entah siapa pun orang yang sedang menahannya—adalah sebuah pelabuhan tikus di kawasan pelabuhan nelayan yang terletak di Bojonegoro, daerah pesisir Kota Cilegon di provinsi Banten yang teknisnya bertetangga dengan daerah ibukota. Jennie tidak berprasangka banyak, namun semakin dia mendekati wilayah tersebut, semakin dia tersadar jika daerah itu memang daerah yang mencurigakan.
Rumah-rumah semi permanen berdinding papan dan beratapkan seng berkarat berderet di sepanjang jalan. Setengah bagian rumah umumnya menjorok ke arah laut, ditopang dengan kayu-kayu kurus. Ombak menjilati kayu itu dengan malas, membawa sampah dan asin laut yang tidak sedap baunya. Beberapa orang melongok dari jendela waktu mobil Jennie lewat. Jennie mengabaikan mereka, fokus menatap ke depan dengan sepasang mata dinaungi oleh sunglasses hitam.
Jennie tiba di pelabuhan kecil tak resmi itu saat matahari sudah mulai menghangat. Dia tidak langsung turun, tetap tinggal di dalam mobil dengan peluru-peluru yang siap ditembakkan dalam senjata apinya. Perempuan itu menurunkan sunglassesnya sedikit, mengamati situasi. Mudah menerka jika pelabuhan tikus itu kerap digunakan untuk penyelundupan barang-barang terlarang, entah itu senjata, narkoba atau minuman keras.
Tak sampai sepuluh menit kemudian, sebuah mobil sedan hitam berkaca gelap muncul dari arah dermaga. Mobil itu berhenti beberapa meter di depan Jennie, disusul ponsel miliknya yang tiba-tiba berdering. Jennie langsung menjawabnya.
"Halo?"
"Lo nggak memberitahu siapa-siapa kan?"
Jennie tertawa sumbang. "You asked me to trust you yet you don't trust me, Gouw?"
"Better safe than sorry." Jef menyahut. "Did you bring Charlie with you?"
Jennie mengangkat alis pada istilah yang Jef gunakan. Dia paham apa artinya itu. Jef menanyakan apakah dia membawa senjata. "Yes."
"Good girl."
"Shut up, I'm not your girl." Jennie mendelik meski Jef tidak bisa melihatnya. "Jadi, sekarang apa?"
"Turun."
Jennie menyudahi sambungan telepon, namun menurut. Dia turun, memamerkan stiletto merah yang dia kenakan. Jef akan menyindirnya, berkata itu bukan sepatu yang bagus dipakai ke tempat seperti ini, tapi tentu saja Jennie tidak akan peduli. Sekalipun dia harus mati hari ini, dia akan memilih mati dalam keadaan cantik.
Pintu mobil sedan gelap itu ikut terbuka. Jef turun bersama beberapa orang bertampang oriental, dan tiga lainnya berkulit legam khas pribumi. Jennie membuka kacamata hitamnya, sementara salah satu pria oriental yang mengenakan jam tangan Rolex menyapanya. Lelaki itu bicara dalam bahasa Inggris yang terkesan kaku, menerangkan situasinya pada Jennie dan kekhawatiran mereka jika mereka membiarkan Jef pergi begitu saja.
"Kami perlu jaminan."
"Dalam bentuk uang?" Jennie mengernyit.
"Uang tidak ada artinya untuk orang-orang seperti kalian." Lelaki itu mendengus. "Kami butuh kepastian kalau kalian tidak akan buka mulut soal ini kepada pihak yang berwajib."
"Jika begitu, kenapa kamu menyelamatkannya?"
"I don't know, I just did." Lelaki itu mengedikkan bahu.
"Jadi kalian hanya butuh itu? Jaminan?"
"Hanya itu."
"Fine." Jennie merogoh ke balik punggungnya, mengeluarkan pistol yang langsung membuat Jef tersedak. Para lelaki yang mengelilingi Jef langsung melotot, mereka ikut mencabut pisau dan senjata yang mereka bawa.
"Jeanneth—"
"Chill, gentlemen." Jennie sengaja mengosongkan pistol itu dari peluru sebelum akhirnya melemparkannya pada lelaki berjam mahal yang tampaknya pimpinan mereka. Lelaki itu tangkas menangkapnya. "Senjata itu terbatas. Dijual mahal di pasar gelap, iya. Tapi di negara ini, hanya lima orang yang punya lisensi resmi untuk senjata itu. Senjata itu terdaftar atas nama saya, Jeanneth Liora Kartadinata. Jika kalian ditangkap karena kami tidak bisa jaga rahasia, keberadaan senjata itu akan merembet pada penyelidikan terhadap saya. There it is, jaminan yang kamu inginkan."
"Kamu yakin? Bagaimana kalau—"
"Suatu hari nanti kalian tertangkap bukan karena saya dan senjata itu membuat polisi melakukan penyelidikan yang akan membawa mereka pada saya? Well, kalian sebaiknya berharap itu tidak terjadi, karena saya akan memastikan hidup kalian tidak akan tenang. Lagipula, apa yang dinamakan jaminan, harus disimpan dengan sebaik-baiknya di tempat yang aman, iya kan?"
Lelaki itu berpikir sejenak, berdiskusi dengan orang-orangnya, sebelum akhirnya mengangguk dan melepaskan tali yang mengikat kedua tangan Jef. Jef tidak langsung pergi, malah berbalik dan menatap mereka lantas menggumamkan ucapan terimakasih dalam bahasa Mandarin.
Lelaki berjam mahal itu dibuat kaget bukan kepalang. "... kenapa kamu mengucapkan terimakasih pada penjahat?"
"Sebab sudah menyelamatkan saya." Jef tersenyum tipis. "Tanpa ini, saya mungkin tidak akan pernah bisa bertemu anak saya lagi. Jadi, terima kasih."
Lelaki itu terbengong, akhirnya hanya mampu mengangguk, menonton punggung Jef ketika lelaki itu melangkah menghampiri Jennie. Jennie tetap diam di tempat, memasang wajah layaknya patung batu tanpa ekspresi meski kini, ada sesuatu yang tengah meledak dalam hatinya. Dia ingin memeluk Jef, menangis di bahu lelaki itu, merutukinya sekaligus bersyukur karena dia telah pulang—meski dengan wajah penuh luka, meski dengan mata yang pucat dan buram oleh lelah.
Jef berhenti tepat di depan Jennie dengan senyum lebar—di wajahnya yang jauh lebih pucat dari biasanya. "As expected, Jeanneth Kartadinata memang selalu bisa diandalkan."
"Dimanfaatkan, bukan diandalkan." Jennie mengoreksi.
"Red lips. Red nails. And those Valentino shoes." Jef bergumam. "Lo memang sudah benar-benar siap perang ya?"
"Gue sulit percaya sama orang."
"Well, I am here." Lesung pipi itu tercetak dengan dalam seiring dengan senyum Jef yang makin lebar. "Don't you think I deserve a hug?" ujarnya, kali ini sambil merentangkan kedua tangan.
Jennie membuang napas pendek, kemudian melangkah maju dan mendekap Jef. Lelaki itu balik memeluknya erat, hanya untuk bikin Jennie tersentak kaget.
"Lo demam?!"
Jef tidak menjawab, malah merengkuh Jennie kian erat sebelum kesadaran terbang pergi meninggalkannya.
*
(i am going so lo lo lo lo lo lo)
Jef pernah membaca legenda tentang Icarus yang terbang terlalu dekat dengan matahari. Icarus telah diperingatkan oleh Daedalus, ayahnya, untuk tidak terbang mendekati matahari namun mengabaikannya atas nama ego dan kesombongan. Pada akhirnya, lilin yang menjalin sayapnya jadi satu meleleh, membuatnya jatuh, tenggelam dan tewas. Tidak persis sama, tapi Jef rasa, ego-nya yang terlampau besar adalah apa yang menempatkannya berada dalam situasinya sekarang. Ego yang menghalanginya mencari Tris. Ego yang membuatnya menahan diri untuk berterus-terang pada Sashi. Ego yang membuatnya nyaris pergi dengan penyesalan, namun berbeda dengan Icarus, Jef diberikan kesempatan kedua.
Sewaktu lelaki itu membuka mata, cahaya terang dan tembok pucat adalah apa yang menyambutnya pertama kali, disusul suara Jennie.
"You awake?"
Jef menoleh, merasa masih ada nyeri tersisa di tubuhnya. Jennie duduk di sisi tempatnya berbaring, terlihat capek dengan rambut digelung asal. Lipstik merah tidak lagi memulas bibirnya. Perempuan itu terlihat sesederhana waktu Jef bertemu dengannya pertama kali—rambut yang diikat, chef jacket dan senyum gugup waktu dia meminjamkan knife kitnya pada Jef.
"I think I am."
"Tidur lo lama. Mimpi apa?"
"Nggak tahu, lupa."
"Maybe you dreamt about her."
"Her?"
"Your daughter." Jennie mengedikkan bahu. "Lo nggak berhenti memanggil namanya, bahkan waktu Tante Wina ada di sini."
"Ah ya, Acacia," Jef menyentuh dahinya dengan tangan yang tersemati infus. "Gue mau ketemu dia."
"Lo dan dia sama-sama lagi nggak cukup sehat buat saling ketemu."
Jef tersentak. "Maksud lo apa?"
"Pertama, luka-luka di badan lo perlu dipulihkan lebih dulu, seenggaknya sampai memarnya nggak sakit lagi. Entah lo terbentur atau terempas ombak, yang jelas ada luka gores di wajah lo—yang untungnya, kemungkinan nggak akan berbekas. Jadi wajah lo—selaku aset utama lo untuk mencari makan—tetap aman." Jennie mencerca. "Kedua, lo dehidrasi dan kurang fit. Itu kenapa lo pingsan dan lama nggak bangun-bangun. Gue nggak tahu apa yang sudah lo lakukan, tapi beruntung lagi, para penjahat itu mau bantu. Gue nggak bakal kuat gotong badan lo yang gede ini masuk ke mobil. Ketiga, jangan khawatir karena sekarang kita lagi di rumah sakitnya Tedra Sunggana, privasi kita terjaga. Nyokap lo sudah lega. Bokap lo nggak banyak bertanya. Keempat, lo berhutang paket liburan mewah ke Eropa untuk gue karena gue sudah menjemput lo dari tempat itu, bawa lo ke rumah sakit dan mengarang alasan yang cukup masuk akal untuk orang-orang Basarnas."
"Kelima?"
"Nggak ada yang kelima."
"Lo bilang anak gue sakit. Dia sakit apa?"
"Sakit hati."
"Jennie!"
"Gue serius!" Jennie menyeringai, puas bisa meledek Jef setelah lelaki itu bikin jantungnya jumpalitan tanpa henti selama beberapa hari terakhir. "Emang beneran sakit hati. Siapa yang nggak sakit hati kalau kelakuan bapaknya kayak lo?"
"What happened to her?"
"Kalau gue cerita sejujurnya, mungkin lo nggak akan bisa tidur."
"I don't care. I need to know."
"She had panic attack. Menolak makan. Menolak ditemui siapapun. Ceroboh sampai melukai dirinya sendiri. Nggak mau diajak bicara. Oh, apa gue harus menambahkan gimana dia nangis saban hari sampai matanya bengkak seukuran bola kasti."
Jef menelan saliva, kentara sekali merasa bersalah. "I want to see her."
"Not yet, Jeffrey. Begitu lo ketemu dia, lo akan menolak meninggalkan sisi tempat tidurnya, dan harus gue katakan, itu nggak bijak karena lo juga belom sepenuhnya sehat. Berlaku juga sebaliknya."
Jef membuang napas pendek.
"Nggak usah mengeluh. Kalau ada yang boleh mengeluh sekarang, itu gue orangnya!" Jennie berseru jutek. "Sekarang, giliran lo. Apa yang terjadi?"
"Kapalnya tenggelam."
"Gue tahu itu. Maksud gue, lo mau kemana?"
"Gue sendiri nggak tahu. Karimunjawa crossed my mind. Tapi ya nggak pasti juga kesana. Alasan kenapa gue naik kapal? Karena gue belum pernah coba dari Jakarta ke Jawa naik kapal. As simple as that."
"Impulsif dan ceroboh."
"Gue tahu." Jef tersenyum getir.
"Terus?"
"Salah satu awak kapal tau siapa gue. Dia memberi gue jaket penyelamat. Semuanya berjalan begitu cepat, yang gue ingat adalah ada air dimana-mana. Lalu gelap dan—" Jef tersekat.
"—dan?"
Suara Jef memelan. "I saw her."
"Her?"
"Patricia."
Ah, saingan abadi Jennie yang bahkan dalam kematiannya, tetap tidak bisa Jennie ungguli. Perempuan itu menghela udara dalam-dalam. "And then?"
"We talked. Mostly, tentang kesalah-pahaman masa lalu. Rasa takutnya yang bikin dia nggak memberitahu gue soal—lo tau, Acacia. Dia takut itu bakal membebani masa depan gue. Dia takut gue nggak akan mengakui anak gue sendiri, yang sebenarnya sangat konyol. Then... there was a lot of... what ifs."
"What ifs?"
"Terlalu banyak seandainya. Apa yang mungkin akan terjadi kalau saja semuanya nggak kayak sekarang. Seandainya Tris ngasih tahu gue. Seandainya gue memberanikan diri mencari dia, ngotot menemuinya sebelum gue berangkat ke Australia. Waktu-waktu yang bisa gue miliki seandainya gue melakukan segala seandainya itu. Momen-momen dalam hidup Acacia tanpa gue di dalamnya, yang sampai sekarang cuma bisa gue sesali."
"Apa itu masuk kategori pengalaman diantara hidup dan mati?"
"Mungkin." Jef mengangkat bahu. "Tapi apa yang sudah lewat ya lewat. Nggak bisa diputar balik, mau selama apa pun gue berlutut, nggak peduli sekeras apa pun gue memohon. Gue hanya bisa menerima kenyataan. Seenggaknya sekarang, setelah ngerasa hidup gue nggak ada tujuan, gue punya tujuan baru."
"Dan tujuan baru itu apa?"
"To become a better father for my daughter. That's all."
"..."
"Karenanya, gue mau minta maaf sama lo."
"Minta maaf?"
"Hari itu di kafe lantai dasar apartemen lo, gue memutuskan menggenggam tangan lo, menginginkan lo untuk ada di hidup gue—" Jef menyadari perubahan ekspresi wajah Jennie. "don't get me wrong, Jeanneth. I like you, a lot, more than you can imagine. Tapi untuk sekarang, gue rasa, hubungan seperti itu nggak jadi prioritas gue."
"Apa ini karena cewek yang dijodohin nyokap lo itu?" Jennie memburu, merasa ada retakan mulai menjalari hatinya dan hanya menunggu waktu hingga hatinya pecah dalam kepingan.
"Nah, Leni deserves better too. I will talk to my Mother. She'll understand." Jef tersenyum lembut. "Berapa lama lo mengenal gue, Jeanneth Kartadinata? Bukan cuma lima atau sepuluh tahun. Gue baru dua puluh ketika gue ketemu lo. Itu berarti, udah enam belas tahun lebih kita saling kenal. Waktu yang lama. Dan selama itu, gue menghabiskan hidup gue mencari sesuatu di tempat yang salah. Lari dari komitmen, memandang pernikahan apalagi punya anak sebagai sesuatu yang bukan untuk gue, berpura-pura itu karena kebebasan adalah segalanya buat gue. Ketika sebenarnya, gue justru bingung, tersesat dan nggak tahu mau pulang kemana setelah seseorang yang kehadirannya gue anggap rumah menghilang gitu aja."
Jennie tidak tahu dia harus menanggapi ucapan Jef dengan kalimat seperti apa.
"Tapi sekarang, gue menemukan rumah itu. Tempat untuk gue pulang. Cuma Acacia. Nggak ada yang lain. Gue sadar, gue berbuat banyak kesalahan. Gue nggak pernah benar-benar berusaha jadi ayah yang baik buat dia. Dan waktu-waktu bareng dia yang seharusnya gue punya, yang udah hilang karena gue terlalu egois, gue mau merebutnya kembali. Gue mau memiliki waktu-waktu itu." Jef menjelaskan. "Untuk sekarang, atau dalam waktu dekat ini, gue rasa gue nggak bisa bersama dengan siapapun. Gue mau fokus sama anak gue. I'm so sorry for that."
Jennie ingin menangis. Sebagian karena itu berarti, untuk saat ini, dia tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih dari Jeffrey. Sebagian lainnya adalah karena, selama hampir tujuh belas tahun Jennie mengenal seorang Jeffrey Gouw, ini kali pertama Jef terdengar sangat bertanggung jawab, seperti sebagaimana pria yang bisa diandalkan harus bersikap.
"Jangan minta maaf untuk sesuatu yang memang seharusnya lo lakukan."
"Gue masih mau bersahabat dengan lo."
"Dan gue nggak bilang, gue nggak mau lagi bersahabat dengan lo." Jennie beranjak dari duduk, memaksakan senyum seraya memandang Jef. "Lo masih berhutang paket liburan mewah ke Eropa."
"Mau bareng sama gue liburannya?"
"Nggak. Gue mau sendiri."
"Alright. Kasih gue rencana perjalanan lo dan negara mana yang mau lo kunjungi."
"I will. Ditunggu aja."
"Ah ya, boleh gue nanya soal sesuatu yang lain?"
"Apa?"
"Gimana dengan J's Pantry?"
"Gue nggak bisa jadi partner lo di sana. Sori."
Jef mengangguk paham. "Gue ngerti."
"Gue mau nanya juga, soal sesuatu yang lain."
"Apa?"
"Ini berarti, gue bebas mau jalan dengan siapapun kan?"
"Iya."
Jennie tersenyum pahit, lalu katanya. "Noted."
*
Satu hari berikutnya Jef lewati dalam kejenuhan, meski dia juga menerima banyak kunjungan. Sudah pasti, ibunya yang galak namun bisa jadi sangat cengeng itu selalu berlama-lama di sisinya. Jef sudah bicara soal keinginannya dan meski terlihat tidak puas, Ashwina Gouw mencoba menghargai keinginan anak laki-lakinya. Sepupu-sepupu Jef berkunjung—bahkan Brisia yang anti pulang pun mau repot-repot terbang dari San Fransisco untuk membesuknya. Kamar perawatannya jadi sangat ramai. Sesuatu yang langka, mengingat keenam anggota Keluarga Gouw yang segenerasi jarang terlihat di satu tempat yang sama pada waktu yang sama pula. Hubungan antara Jef dengan kelima sepupunya mungkin tak sepenuhnya manis, namun kehadiran mereka menunjukkan bahwa mereka tetap saling peduli, sebab mereka semua adalah keluarga.
"Paklik kelihatannya wes sehat. Kapan mau bertemu Mbakyuku?" Felix bertanya sambil memeluk toples bening berisi kerupuk jablay. Talitha sudah menyerah melarang, membiarkan Felix berlaku semaunya.
"Mbakyumu?"
"Mbakyu Sashi. Dia kan Mbakyuku." Felix cuek saja. "Kemarin aku sempat curhat padanya, tapi terus setelah itu, dia tidak mau menemuiku lagi. Padahal kan aku mau memberi update soal gadis anak angkot itu."
"Anak angkot?"
"Mas Felix sedang jatuh cinta pada orang biasa." Tamara memberitahu.
"Tidak!" Felix membantah. "Itu semua hoax. Aku hanya penasaran. Itu saja."
"Bagus, Felix. Jangan sampai kamu end-up dengan orang biasa." Pakdhe Yono menyela, sementara Brisia senyam-senyum saja, dia sudah tahu pemberontakan yang Elmira lakukan dengan kabur bersama Dri di hari pernikahannya.
"Besok."
"Kenapa harus besok?"
"Tanyain sama Eyang Putri Gouw Nomor Dua."
"Raine paklikmu isih bonyok, isih elek. Ditunggu cakep dulu, ben Mbakyumu ora shock."
"Oiya, betul juga." Felix manggut-manggut.
"BUK!"
"Lha wong faktane ngono."
Jef memutar bola matanya, jelas tidak puas namun dia memutuskan untuk menurut. Keputusan itu bukannya tidak beralasan. Jef harus memaksa dirinya sendiri untuk tetap sadar waktu menghampiri Jennie ketika mereka berada di pelabuhan. Jika dia sampai semaput di depan Sashi, itu hanya akan membikin Sashi khawatir. Jef tidak mau itu terjadi.
Jo berkunjung beberapa kali, seringnya bersama Tedra, tapi mereka tidak pernah membicarakan sesuatu yang serius—Jo hanya menanyakan kabar Jef, lalu pergi. Sayang sekali, karena Jef rasa, dia perlu bicara dengan Jo. Bicara seperti orang dewasa, tanpa emosi, apalagi rasa iri.
Jef mencoba bersabar, tetapi entah kenapa malam ini, dia tidak bisa menahan dirinya lagi. Lelaki itu memutuskan meninggalkan kamarnya menjelang tengah malam, menyusuri koridor yang sepi menuju kamar yang nomornya sudah dia hapal baik-baik. Dery berada di depannya, duduk dengan terkantuk-kantuk. Jujur, Jef mulai kagum akan kengototan cowok itu dalam menyayangi anak perempuannya. Dia mungkin tidak pergi ke sekolah hanya untuk menemani Sashi. Sangat tolol, tapi Jef bisa memahami alasannya.
"Om Jeffrey—"
Jef menempatkan jari telunjuknya di depan bibir. "Dia tidur?"
"... kayaknya iya."
"Then it will be okay for me to see her. Besok juga gue udah bakal kesini."
Dery mengangguk dan begitu saja, Jef melangkah masuk. Kamar itu senyap, hingga Jef bisa mendengar suara debar jantungnya sendiri. Ada yang bergemuruh dalam dadanya seiring dengan langkahnya yang kian dekat, disusul sedih yang menyelinap dalam benaknya tatkala dia menyadari bagaimana Sashi terlihat pucat dan tidak tenang dalam tidurnya. Ada plester luka dan kasa tertempel pada sejumlah titik di lengannya, membuat Jef tidak berani menyentuhnya—khawatir itu akan menimbulkan rasa sakit.
Jef tidak mengira, dia bisa merindukan seseorang dengan teramat sangat, seperti bagaimana dia merindukan anak perempuannya.
Kemudian tiba-tiba, gadis itu tersentak. Napasnya tertahan, disusul matanya yang terbuka, lalu menatap sayu para jendela yang diselubungi gorden tipis. Dia menelan ludah, menghela napas dan menoleh ke arah Jef. Mata mereka saling terkunci, membuat jantung Jef serasa terhenti.
Gadis itu menatapnya lekat, disusul hampa yang pecah di matanya. Jef balik memandangnya dengan mata yang panas.
"Aku... mimpiin Mami."
Jef hanya mampu mengangguk.
"Mami senyum ke aku dan bilang..." kata-katanya terjeda, sebelum disambung dengan pahit. "... aku... lupa."
Jef menarik senyum, air mata kian banyak menggenang di matanya.
"Ayah..."
Waktu serasa berhenti buat Jef. Kekagetan menyelimutinya, disusul perasaan asing yang mendorong air mata menetes di pipinya tanpa dia sadari. Ini kali pertama Jef mendengar Sashi memanggilnya seperti itu. Bukan Om Jeffrey. Bukan Dad.
Ayah.
"Ayah... maaf..." Sashi berbisik, nada suaranya sarat permohonan. "Tolong pulang... aku janji, aku nggak akan nakal lagi. Jadi jangan pergi..." Gadis itu jelas menahan tangis. "Pulang ke aku..." ujarnya sambil tangannya terulur ke arah Jef.
Jef meraih tangan anak perempuannya, menggenggamnya erat.
Sashi terlihat ragu, membuat Jef menebak, gadis itu mengira hadirnya hanya sebatas fatamorgana. "Ayah?"
Jef menarik napas panjang, mencium ruas jari Sashi, membiarkan air matanya menetes ke kulit gadis itu. "Iya?"
Sashi langsung beranjak, menarik Jef dalam pelukan erat. Gadis itu memejamkan mata, sementara tangannya melingkari tubuh Jef. Air mata menyapa pipinya yang sembab. Jantungnya berdebar cepat, sebelum tangis sunyinya berkembang jadi isak. Jef mengusap punggung Sashi, berusaha menenangkannya, lantas dia merunduk, berbisik samar di telinga gadis itu.
"Ayah di sini." Katanya, tangannya yang lain terbenam di rambut Sashi. "Ayah di sini, Acacia."
Sashi masih saja menangis keras hingga kedua bahunya terguncang, dan itu membuat Jef khawatir. Dia bermaksud melepaskan dekapan mereka untuk meyakinkan kalau dia memang benar-benar ada di sana, tapi Sashi menolak.
"Acacia—"
Sashi menggeleng keras-keras, memejamkan matanya makin rapat dan kedua tangannya memeluk Jef seakan-akan hidupnya tergantung di sana.
"Acacia, baby girl, I wanna see you—"
Sashi masih menggeleng, menolak melepaskan Jef.
"Sashi—"
Sashi menjawab dengan suara yang bergetar oleh tangis. "Kalau aku lepas, nanti Ayah hilang lagi. Aku nggak mau. Aku nggak bisa."
"Ayah janji nggak akan hilang lagi."
Sashi tetap menggelengkan kepala, malah mempererat rengkuhannya. Jef akhirnya mengalah, membiarkan Sashi memeluknya seperti itu. Dia mengusap punggung Sashi sambil tak henti berbisik, meyakinkan gadis itu jika dia memang betul-betul ada di sana, menghujani puncak kepalanya dengan kecupan. Setelah lebih tenang, barulah Sashi melonggarkan pelukannya dan melepaskan Jef.
"Geez, look at you," Jef menempatkan kedua telapak tangannya di kanan-kiri wajah Sashi, ibu jarinya menghapus bekas basah di wajah anak perempuannya—yang sebetulnya tidak banyak berguna karena Sashi masih belum berhenti menangis. "Nangisin siapa sampai jadi kayak gini?"
Sashi tidak menjawab, malah sesenggukan.
"Hei, hei, kok malah nangis lagi?"
Tangis Sashi bukannya mereda, malah bertambah keras. Begitu kerasnya, hingga dia tidak bisa bicara. Setiap kata yang hendak terlontar keluar dari mulutnya telah lebih dulu terinterupsi oleh isak.
"My poor baby." Jef berbisik, kembali memeluk Sashi dan membiarkan gadis itu membikin bagian depan pakaiannya basah. "I'm so sorry. I will never leave you again. I'm so sorry."
Perlu setidaknya seperempat jam bagi Sashi untuk menenangkan dirinya. Waktu Jef menatapnya lagi, matanya telah sangat bengkak, membuatnya terlihat seperti garis. Hidungnya merah dan pipinya sembab.
"Aku—"
"Kita bisa omongin semuanya besok, oke?"
"Tapi—"
"Acacia,"
Sashi menyerah, tidak lanjut membantah. "Besok."
"Iya. Besok." Jef mengiakan. "Sekarang, waktunya kembali tidur."
"Nggak mau."
"Kenapa?"
"Kalau aku tidur, nanti begitu aku bangun, Ayah pergi."
"Nggak akan."
"Aku nggak percaya."
"So stubborn." Jef mengeluh.
"Aku nggak mau tidur."
"Tidur."
"Nggak."
"I promise I'll hold your hand." Jef berkata. "Kamu bisa kunci pintunya, buang kuncinya ke luar jendela. Ayah nggak akan pergi."
"I'll hold your hand."
"That's my good girl." Jef menarik selimut saat Sashi sudah kembali berbaring, lalu membungkuk dan mencium kening gadis itu. Sashi refleks memejamkan mata, membuat Jef mampu dengan mudah menanamkan dua kecupan lainnya ke kelopak matanya yang tertutup. "Here, hold my hand."
Sashi menggenggam tangan Jef, dan Jef membungkus tangan gadis itu dengan tangannya yang lain, menjalarkan kehangatan yang merembet dari ujung-ujung jari Sashi hingga ke dadanya, lalu berhenti di sana.
"Tidur."
"Nggak."
"Tidur, anak Ayah."
Sashi tersedak. "Nggak bisa."
"Merem."
"Tell me a bedtime story first."
"Ayah kamu bukan pendongeng."
"Emang. Ayah aku kan chef."
Jef menarik napas, lagi-lagi mengalah. "Oke. Tapi setelah ini, kamu harus tidur."
"Janji. Perlu cantelan nggak?"
Ada senyum pahit bermain di bibir Jef ketika ucapan Sashi membuatnya teringat pada apa yang dia saksikan dalam gelap. "Boleh."
Sashi mengaitkan jari kelingking mereka. "Now, tell me."
"Dulu, waktu Jeffrey Gouw masih sangat muda, ketika dia kelas tiga SMA, dia pernah berandai-andai. Tebak, dia berandai-andai tentang apa?"
"Tentang dirinya sendiri, pake chef jacket dan tersenyum bangga waktu restoran ke-12 nya dianugerahi tiga bintang Michelin."
"Salah."
"Terus apa?"
"Jeffrey Gouw pernah berandai-andai jadi seorang Ayah."
"Masa?"
Jef mengangguk. "Saat itu, Jeffrey Gouw cerita ke pacarnya, salah satu wanita paling cantik yang pernah ada di dunia, kalau seandainya dia punya anak, dia mau punya anak perempuan dulu."
"Kenapa anak perempuan?"
"Nggak tahu kenapa. Saking antusiasnya, Jeffrey Gouw udah nyiapin nama sendiri, kelak kalau dia punya anak perempuan mau dia namain apa."
"Apa?"
Jef menatap Sashi lekat, perlahan tersenyum. "Acacia."
Sashi menggigit bibir, lagi-lagi harus berusaha keras menahan tangis. "Tapi... Mami bilang, namaku itu dari Papi. Papi juga bilang gitu."
"Ada rahasia kecil tentang Acacia antara Jeffrey dan Patricia."
"Mm... apa?"
"Saat Patricia datang nonton Jeffrey tanding basket buat pertama kalinya—dan tim Jeffrey, as expected menang dalam pertandingan itu, dia bawa buket bunga acacia."
"..."
"Dan itu ada artinya?"
"Chaste and concealed love." Jef menjawab. "Karena saat itu, Patricia suka sama Jeffrey diam-diam."
"Mami... bisa bucin juga ternyata."
"Jelas, kan yang dibucinin kayak Jeffrey."
"Dih."
Jef tertawa, menyentuh ujung hidung Sashi dengan jarinya. "Acacia. A-sas-shi-ya. Itu nama yang Jeffrey mau jadi nama anak perempuannya, sebagai pengingat pada apa yang bikin Jeffrey bisa sama-sama dengan Patricia. Acacia, yang berarti menandakan cinta, yang mungkin nggak bisa dilihat oleh semua orang, tapi tetap ada."
Sashi terdiam.
"Acacia, yang harus tahu, kalau reinkarnasi itu memang ada, di kehidupan berikutnya, Jeffrey Gouw tetap mau terlahir sebagai ayahnya."
Sashi tersenyum, bersamaan dengan setetes air mata yang untuk kesekian kalinya, kembali jatuh di pipinya.
"Acacia, anak Ayah, yang harus berhenti nangis dan pergi tidur sekarang."
"Ayah,"
"Mm-hm?"
"I love you. I really do."
"I love you too, more than you do."
Bonus
Dery lagi sibuk minum kopi di samping Jeffrey yang sedang mengeluarkan ponsel. Lelaki itu menggulirkan layar ponselnya beberapa lama, berhenti waktu menemukan nomor yang dia cari dan langsung meneleponnya.
"Halo, Mas Yono? Nggak. Mau minta tolong aja, CCTV di rumahku kayaknya udah lama nggak di-cek. Mau diganti baru aja deh, soalnya CCTV itu udah lumayan tua dan baru difungsikan akhir-akhir ini. Iya, dicek terus diganti. Rekamannya disimpan aja dulu. Sapa tau ada penampakan terekam kan lumayan dijual ke Lambe Turah. Oke. Makasih, Mas Yono."
Dery keselek, teringat pada apa yang dia lakukan di ruang tamu rumah Sashi tempo hari.
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
hamdallah kita bisa menyambut bulan ramadhan ini tanpa tumbal dari DDO
karena kesian juga kalo jef mati ya yaudah deh lagian dia yang rese ini mayan bisa membuat hidup sashi berwarna
kalian pada kasian gitu sama papi jo ya hm jangan khawatir, nanti jef akan bicara dengan jo tentang... seswatu
jadi gimana neh mohon maap ya penuh dengan tangisan wkwk tapi kalo kelen mau lawak-lawakan, bisa cek Get on The Gouws ya
btw, pada masih ingin melihat perjalanan cinta papi jo, ayah jef dan sas di bangku universitas ngga? kalo mau, nanti akan diceritakan di Get on The Gouws.
GoTG tuh apa ya sebenernya kaya cerita perdramaan keluarga gouw kan, ngga di sini karena ini kan judulnya daddy's day out.
dah itu aja sih ini paling tinggal dua chapter lagi sama epilog, apaka siap.
oiya selamat puasa buat yang menjalankan. tahun ini pasti agak beda, tapi gapapa ya. karena ngga selamanya kan hidup itu bisa sesuai keinginan kita. sedih dulu gapapa, berarti abis ini ada bahagia. kalo berhasil survive, berarti naik kelas dan nantinya bisa lebih menghargai waktu acie bisa aje gua
buat yang ngga menjalankan, sebenernya puasa tuh sehat buat diet lho kan ada yang namanya intermitten fasting tuh yang dia mengistirahatkan organ pencernaan wkwk tapi pas buka puasa jangan berlebihan coy kalo ga kan samjubong alias sama juga boong
kira-kira akan seperti apa nasib badrol di tangan papa-papa
1 comment 1 pray for leher badrol
sekian dah.
ciao.
ayah dan anaknya.
Di Bumi Tuhan YME, April 26th 2020
00.25
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro