40
"Acacia means chaste and concealed love, right?"
—Jeffrey Gouw
***
We let the waters rise
We drifted to survive
I needed you to stay
But I let you drift away
My love where are you?
My love where are you?
Whenever you're ready, whenever you're ready
Whenever you're ready, whenever you're ready
Can we, can we surrender?
Can we, can we surrender?
I surrender
Jef membatu di tempat, dengan mata yang sesak oleh ragu. Tris menatap lelaki itu dengan seksama selama beberapa saat, lantas tangannya terulur, menyentuh pelan pipi Jef dan membuatnya menghela napas. Iris cokelat gelapnya tampak sendu tatkala dia menatap Tris, berbanding terbalik dengan Tris yang justru tersenyum lembut. Perempuan itu masih sama seperti yang Jef ingat—selalu setenang permukaan telaga yang dalam, jarang beriak, seakan dia tidak akan pernah meledak dalam emosi. Bahkan caranya memandang selalu mampu membuat Jef merasa tenang.
"Kak Jeffrey belum jawab pertanyaanku."
Jef menelan saliva. "Sejujurnya... aku juga nggak tahu apa jawabannya."
"Nggak tahu... jawabannya?"
Jef mengangguk. "Aku nggak tahu aku harus pulang kemana, karena kamu dan Acacia ada di tempat yang berbeda. I do miss her, a lot, but here... with you... this is a place I never want to leave. Aku nggak bisa memilih diantara kalian. Aku mau egois, punya keduanya... tapi itu nggak mungkin, kan?"
"Pertanyaan itu bukan milikku untuk kujawab, Kak Jeffrey."
"Terus aku harus mencari jawaban ke siapa?"
Tris menggelengkan kepala, menarik tangannya yang melekat di pipi Jef dan berjalan menuju satu arah. Jef terperangah sebentar, lalu ragu-ragu, dia mengikuti Tris. Tempat itu sangat luas, seperti tak memiliki batas. Mereka seolah berada dalam ruang yang bukan ruang. Jef tidak tahu kata-kata macam apa yang bisa menggambarkannya.
Apakah tempat itu berwarna? Tidak juga. jika jef harus mendefinisikannya dalam satu kata, dia hanya dapat memilih satu; terang.
Tris berhenti waktu mereka tiba di suatu sisi penuh lilin-lilin yang melayang. Nyala apinya lembut dan pucat. Perempuan itu meraih satu, kemudian memberikannya pada Jef yang meski kelihatan bingung, tetap menerimanya.
"Kamu harus cari jawabannya sendiri."
"..."
"Jangan takut." Tris tersenyum. "Apa pun pilihan kamu, kemana pun kamu pulang, kamu akan selalu jadi yang terbaik buatku, Kak Jeffrey. Selamanya."
Lalu Tris berjinjit untuk memberikan satu kecupan lembut di pipi Jef, mengalirkan hangat yang berhenti di dadanya, terus bertahan di sana hingga akhirnya, apa yang berada di sekeliling Jef perlahan memudar layaknya debu yang ditiup angin. Terang tak lagi ada. Kegelapan mengungkungnya. Dia sendirian, hanya bertemankan pelita yang tergenggam di tangan. Napas Jef tersekat, tetapi dia teringat apa yang diucapkan Tris sesaat sebelumnya.
Jangan takut.
Dia tidak boleh takut.
Penuh bimbang, Jef terus berada dalam kegelapan, mengambil langkah pendek tanpa tahu arah mana yang dia tuju.
Hening bertahan, sampai beberapa lama kemudian, dengan masih dilingkupi oleh kelam minim cahaya, Jef mendengar suara degup jantung disusul seruan seseorang.
"It's a baby girl, Mr. Gouw."
Secara mendadak, hitam pekat yang menyelubungi Jef tergusur oleh cahaya, melempar Jef pada sebuah ruangan putih bersih yang mengingatkannya pada rumah sakit. Dirinya yang lain berada di sana—jelas terlihat jauh lebih muda, berdiri di samping ranjang tempat Tris terbaring. Tangan mereka saling bergenggam, masing-masing jari manis terlingkari cincin. Di dekat mereka, ada seorang dokter berambut pirang yang duduk sembari menjelaskan apa yang tertampil pada layar.
Pemandangan itu mencipta letupan dalam hati Jef, menjalar sampai ke matanya dan membuatnya ingin menangis.
Apa yang tertampil berganti lagi. Kali ini, yang terlihat adalah suatu tempat yang Jef kenali sebagai bagian dapur pada apartemen yang dulu sempat dia tempati bersama Jennie semasa kuliah. Bedanya, bukan Jennie yang berada di sana, melainkan Tris. Angin musim panas berembus masuk ketika Tris membuka jendela. Rambutnya tergerai, sebagian anak rambut yang lebih halus melekat ke lehernya karena keringat. Dia mengenakan terusan summer dress berwarna putih—warna favorit Jef. Dia bertelanjang kaki seraya menghadap ke kompor yang menyala. Perutnya menyembul.
Jef melihat dirinya yang lain muncul dari ruang tengah tanpa suara, berdiri di belakang Tris lantas memeluk pinggang perempuan itu. Tris memekik, terkejut oleh kehadiran Jef yang tiba-tiba, namun lelaki itu malah tertawa. Dia menunduk, membenamkan hidungnya di bahu Tris.
"Morning, sweetheart. How's my Acacia doing inside there?"
Tris berbalik, menatap Jef sambil cemberut. "Oh, yang ditanya Acacia doang? Akunya nggak ya? Hm..."
"Okay, I'm sorry." Gelak Jef makin keras, membuat lesung pipi di wajahnya tercetak kian tegas. Dia menyentuh pucuk hidung Tris dengan jarinya. "Kamu lagi apa?"
"Bikin sarapan."
"Acacia apa kabar?"
"Baik." Tris nyengir ketika Jef menempatkan telapak tangan di atas perutnya. "But seriously, are you really going to name her 'Acacia' though?"
"Kenapa nggak?"
"Kenapa harus Acacia?"
"Kamu inget waktu pertama kali kamu nonton aku tanding basket?" Melihat Tris mengangguk, Jef menyambung ucapannya. "Kamu bawa buket bunga buat aku. Buket acacia."
Tris tersekat. "Kak Jeffrey ingat?"
"Gimana aku bisa lupa?" Jef terkekeh. "To be honest, buket bunga itu adalah alasan kenapa setelahnya... aku berani ngajak kamu jalan."
Tris tersedak oleh napasnya sendiri. "Emang... kenapa?"
"Acacia means chaste and concealed love, right?"
"Itu—"
"Kamu ngasih buket itu ke aku karena diam-diam... kamu suka aku."
Tris berdecak. "Aku nggak ngira Kak Jeffrey paham bahasa bunga."
"Tapi kamu beneran suka aku kan?"
"..."
"Nggak usah dijawab juga nggak apa-apa, soalnya even sebelum kamu kasih buket itu ke aku, aku udah suka kamu duluan." Kedua mata Jef melengkung lagi, lenyap tertelan oleh tawa yang efeknya merambat ke seluruh wajahnya. Tris memandang Jef sebentar, lalu mengulurkan tangan, menyentuh lesung pipi Jef dengan jarinya.
"I want to name her Acacia, but it will be pronounced A-sa-si-ya instead of A-kesh-ya."
"Mmm... kenapa?"
"Karena terdengar mirip seperti nama kamu." Senyum Jef makin melebar. "Pat-ri-si-ya."
"A-sa-si-ya sounds cuter..."
Apa yang Jef saksikan membuat hatinya berdenyut oleh nyeri. Apa yang sebenarnya tengah tertampil di depannya? Potongan dari hidupnya di dunia yang berbeda? Atau... apa yang mungkin saja terjadi jika di masa lalu dia tidak memutuskan jadi pengecut dan memberanikan diri mencari Tris? Jef tak sempat berpikir lebih lama karena apa yang tampak kembali terganti dengan cepat. Bukan lagi di apartemennya, kekuatan tak kasat mata yang tidak dia pahami dari mana asalnya melemparnya ke sebuah tempat yang lain—sebuah ruangan penuh petugas berseragam hijau dengan masker bedah dan penutup kepala.
Suara tangis bayi menyambutnya hanya dalam sepersekian detik, membuat kepala Jef langsung tertoleh pada sumber suara. Matanya beradu dengan sepasang mata bening yang baru saja terbuka, mengerjap beberapa kali, memandangnya seperti tengah meneliti. Bercak darah menodai beberapa bagian kulitnya, tetapi berani sumpah, Jef tidak pernah melihat seseorang yang lebih bercahaya dari anak itu.
"Acacia..." Jef berbisik tanpa suara, bersamaan dengan kekuatan yang meninggalkan kedua kakinya. Dia jatuh berlutut, tertunduk sembari terisak keras sampai kedua bahunya berguncang.
Tapi siapapun yang memperlihatkan potongan-potongan fragmen tersebut pada Jef kelihatannya belum merasa cukup. Dinding ruangan pelan-pelan meleleh serupa kastil pasir yang diguyur air. Air mata masih deras berjatuhan di pipi Jef ketika apa yang sekarang terpampang di depannya adalah pemandangan sebuah kamar. Dirinya ada di sana, dalam balutan piyama, memeluk seorang anak perempuan berambut sebahu dengan poni di dahi.
"Malam ini, kalo Bunda mau culik Ayah, jangan mau ya..." anak itu berceloteh sambil berpegangan kian erat pada lengan Jef.
"Mmm... diculik gimana, Acacia?"
"Aku tahu Bunda suka culik Ayah kalau aku udah bobo. Jadinya Ayah malah bobo sama Bunda..." Dia menggeleng. "Pokoknya, Ayah harus di sini... bobonya sama aku sampai pagi..."
"Iya, Ayah tidurnya di sini."
"Janji ya kalau Bunda mau culik, Ayah jangan mau?"
"Janji!"
"Cantelan dulu!"
"Aye, aye, Captain!"
Apa yang terjadi di depan matanya membuat tangis Jef kian keras. Lelaki itu meletakkan lilin yang tadi diberikan Tris ke lantai, mengepalkan tangan dan memukul dadanya perlahan berkali-kali, berharap itu bisa menghilangkan sesak yang kini menghimpit. Namun segalanya tak kunjung tersudahi, malah berganti ke tempat yang lain lagi...
Sashi kecil tengah duduk di atas kursi rotan, menghadapi kue ulang tahun berlapis krim putih dengan lilin merah berbentuk angka 3 tertancap di atasnya, mendampingi dua buah ceri yang juga merah. Jef tahu, dia yang membuatnya. Sayangnya, Sashi tidak terlihat senang. Mata anak itu justru sembab tanda habis menangis.
"Bunda mana?! Aku mau ulang tahun sama Bunda!"
"Bunda baru pulang ke sini besok. Nggak apa-apa ya? Tiup lilinnya sama Ayah dulu..."
"Nggak mau! Maunya Bunda!"
"Beneran nggak mau? Kalau nggak mau, kuenya Ayah aja yang makan kalau gitu..."
"Nggak mau!"
"Yaudah." Dengan santainya, Jef meraih sendok plastik, menyendok krim dari salah satu sisi kue dan bermaksud menyuapkannya ke mulut. "Aaam... Ayah makan beneran nih yaaa?"
"Yaudah! Aku juga ikutan makan!" Sashi mencolek krim dari sisi kue yang lain dengan dua jarinya, menatap Jef dengan mata menyisakan basah. "Tapi besok Ayah bikin kue lagi ya, buat aku sama Bunda?! Iya nggak?"
"Iya, Acacia."
Fragmen itu berakhir... terganti oleh fragmen lainnya...
"Nggak mau! Udah kenyang!"
"Acacia, nggak boleh gitu. Kalau makan, harus dihabisin..." Tris berujar dengan sendok berisi makanan di tangan. "Makan ya? Tinggal dikit lagi nih..."
"Nggak mau!" Sashi menolak, mulai menunjukkan tanda-tanda hendak menangis.
"Acacia, kalau makan harus dihabisin, nanti banyak yang sedih." Jef ikut berujar. "Pak petani yang tanam berasnya sedih. Tukang sapi yang ngegedein sapinya sedih. Ayah yang masakkin makanannya buat kamu juga sedih kalau makanannya dibuang-buang..."
Sashi malah menyembunyikan wajahnya ke dada Tris.
"Kalau kamu habisin, nanti sore waktu kita jalan-jalan, Ayah bakal gendong kamu terus."
Sashi menoleh pada Jef. "Janji?"
"Janji!"
"Cantelan dulu!"
"Aye, aye, Captain!"
Hari itu, Jef melihat dirinya sendiri, menggendong bocah berponi yang tidak pernah dia lihat sebelumnya kecuali melalui foto sepanjang sore, bahkan hingga bocah itu tertidur...
Jef menggigit bibir, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, bertanya dalam hati... inikah yang dia lewatkan? Inikah kenyataan yang tidak bisa dia dapat akibat tindakan pengecut yang dia pilih? Bilangan tahun yang terbuang sia-sia dalam kegamangan... kesendirian... kesepian yang semestinya tidak perlu... Bilangan tahun yang Sashi lewati tanpa dirinya...
"It's enough... please... it's enough..." Jef memohon, namun sepertinya tidak ada yang mendengarkan karena fragmen selanjutnya tetap muncul...
Jef mengenali tempat itu sebagai dapur dari rumah masa kecilnya, rumah tempatnya menghabiskan masa kecil dan masa remaja, rumah yang penuh dengan kenangannya akan Tris. Ada pot-pot sukulen berjajar di kusen jendela dapur yang besar. Sashi yang telah tumbuh lebih tinggi, dengan rambut yang tidak lagi berponi, duduk di kursi makan sementara Jef membuatkan segelas susu dalam cangkir yang lalu dia letakkan di samping mangkuk sup anak itu.
"Ayah, aku mau kasih sesuatu tapi Ayah harus tutup mata dulu..."
"Mau kasih apa?" Jef mengangkat alis.
"Tutup mata dulu!"
"Oke, Ayah tutup mata." Jef menurut, menutup matanya sementara Sashi mengeluarkan selembar kertas yang telah lama dia duduki. Kertas itu berisi gambar buatan tangan.
"Ayah, sekarang boleh buka mata!"
Jef melihat dirinya yang lain membuka kedua matanya, tersekat saat melihat gambar apa yang Sashi tunjukkan. Lucu, sebab baik Jef maupun dirinya yang lain menunjukkan respon yang sama; napas mereka tertahan sejenak. Lalu jef yang berada di depan Sashi menerima gambar itu dengan tangan yang gemetar.
"Selamat Hari Ayah buat ayahnya Acacia Tredayorka Gouw!" Sashi berseru ceria. "Makasih Ayah, karena udah mau jadi ayah aku. Makasih udah beberapa kali kepangin rambut aku waktu aku mau berangkat sekolah dan Bunda nggak sempat, walau jujur ya, hasil kepangan rambut Ayah tuh berantakan banget. Makasih udah bikinin aku cookies malam-malam. Makasih udah bikinin aku susu tiap pagi. Makasih udah siramin sukulen aku pas aku lupa. Hm... apa lagi yah... oiya, makasih udah kasih aku pinjem HP Ayah buat liat Elmo... makasih udah hng—Ayah? Kok nangis?" Sashi tercengang, membeku sambil memegang cangkir susunya yang isinya tinggal setengah. Jef berbalik sembari melangkah menjauh dengan gambar di tangan. Dia menengadah dengan tangan menyentuh pucuk hidung, berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. "Ayah, kok nangis sih? Gambar aku sejelek itu ya? Maafin, nanti aku bikinin lagi, deh yang lebih bagus! Ayah! Ih Ayah, kok malah pergi sih?!"
Kilasan yang Jef lihat terhenti. Sekarang dia lagi-lagi terpenjara dalam senyap, hanya ditemani oleh lilin pemberian Tris yang masih menyala. Bibirnya sakit. Mungkin berdarah karena dia gigit terlampau kuat. Lututnya kian lemas, sementara air matanya masih terus mengalir.
Seandainya... seandainya... seandainya...
Jika dia bisa memutar ulang waktu, sekiranya dia mengambil keputusan yang berbeda, mungkinkah semua apa yang baru dia saksikan telah jadi bagian nyata dari hidupnya?
Jef membenci dirinya sendiri karena telah melewatkan kesempatan itu...
Jef masih tidak tahu dia harus pulang kemana, tapi dia tahu apa yang dia inginkan.
Dia mau mendengar Sashi memanggilnya dengan kata itu, meski hanya satu kali.
Dia mau mendengar Sashi memanggilnya 'Ayah'.
*
No one will win this time
I just want you back
I'm running to your side
Flying my white flag, my white flag
My love where are you?
My love where are you?
Malam menjelang dan Sashi kembali terjebak dalam kesendirian. Perasaannya memang sempat membaik ketika Felix disusul Tamara dan Erina mengunjunginya, tapi setelah mereka pulang, kesunyian kembali membuat pikirannya melayang pada Jef. Dia masih menolak ditemani Jo, juga Dery. Mereka mengerti keinginannya dan Sashi tahu, keduanya—kemungkinan ditambah Tedra—pasti setia berjaga di depan kamar tempatnya berada. Seharusnya, Jo sudah bisa pulang. Tapi lelaki itu memilih tetap berada di rumah sakit untuk Sashi. Membawa Sashi pulang dalam suasana seperti sekarang kelihatannya bukan pilihan tepat, sebab secara psikis, gadis itu tidak tergolong berada dalam kondisi stabil. Eyang Putri Gouw tidak menghubungi Sashi sama sekali seharian ini, bisa jadi karena beliau juga lelah memikirkan anak laki-laki semata wayangnya yang kini menghilang.
Sashi sudah terlalu lelah menangis. Kesedihan masih menghinggapinya, namun air matanya tidak bisa lagi keluar. Dia sengaja tidak ingin bercermin, sebab wajahnya pasti sangat jelek sekarang. Bahkan tanpa melihatnya di kaca, Sashi tahu matanya pasti telah sangat bengkak. Dia tidak peduli. Satu-satunya yang dia inginkan saat ini adalah Jef kembali. Tapi sedihnya, itu terasa seperti angan yang terlampau muluk jadi kenyataan.
Sashi menghela napas, merasa agak direpotkan oleh infus yang tersemat ke salah satu tangannya sewaktu dia turun dari tempat tidur, berniat ke kamar mandi. Tanpa sengaja, kabel infusnya menyenggol gelas berisi air di atas nakas, membuatnya terjatuh ke lantai tanpa bisa dicegah. Suaranya memecah keheningan. Sashi meringis, menunggu pintu kamarnya dibuka, namun suasana tetap sepi. Sepertinya, entah Dery, Jo atau Tedra tidak sedang berada di depan. Baguslah. Sashi tidak menginginkan kehebohan yang tidak perlu.
Gadis itu mengabaikan sisa pecahan beling dan air yang menggenang di lantai, memutuskan langsung ke toilet. Dia membasuh wajahnya yang lelah di sana, merasa agak pusing karena nyaris tidak makan apa-apa seharian, tapi memilih tidak memedulikannya. Selesai dengan urusannya di toilet, Sashi berniat kembali naik ke atas tempat tidur. Dia berharap, tidur lebih awal bisa membawa pergi malam, membuatnya lupa pada apa yang dia alami hari ini—syukur-syukur segalanya hanya mimpi buruk yang akan tersudahi begitu dia bangun dan Jef berada di dekatnya, tidak pernah pergi apalagi jadi orang hilang karena kandasnya kapal ferry.
Namun tampaknya pusing yang mendera kepalanya membuat Sashi agak kurang fokus. Saat mendekati tempat tidur, tanpa sengaja kakinya berpijak di bagian yang basah akibat genangan dari air dalam gelas yang tumpah dan meluber, menjangkau bagian ubin lebih luas. Gadis itu memekik tertahan sewaktu dia kehilangan keseimbangan dan terpeleset. Tanpa sengaja, tangannya mencari tumpuan ke lantai, malah mendarat di atas pecahan gelas yang belum dibereskan.
Sashi mengerjap kesakitan, melihat darah menetes dari luka-luka di tangannya. Nyeri menyerang, berdenyut seiring dengan degup jantungnya yang serasa dipercepat. Gadis itu terkejut, tapi entah kenapa, yang lebih dominan menyerang benaknya adalah sebentuk perasaan déjà vu. Dia terlempar pada hari itu lagi, ketika hujan turun deras hingga pohon tumbang menimpa salah satu bagian rumahnya, tempat di mana akuarium penuh ikan ditempatkan. Dia ingat dia juga terpeleset dan terjatuh di atas pecahan kaca akuarium. Lalu Jef muncul entah dari mana, dengan rambut yang lembab dan baju yang setengah basah. Laki-laki itu memandangnya panik, berlari ke arahnya, mengangkatnya dari tempatnya jatuh sebelum dia sadar apa yang tengah terjadi.
"Sashi?!"
Sashi tersekat, menoleh ke pintu dan merasa hatinya hancur hingga jadi kepingan saat dia sadar, yang muncul hanya Dery dan Jo. Mata mereka membulat panik. Dery langsung berlari menghampirinya, mengangkatnya dan menempatkannya dengan hati-hati di tempat tidur sementara Jo memanggil dokter.
Sashi menggigit bibir, air mata mulai bertetesan membentuk anak sungai di wajahnya.
"Sakit ya? Tunggu sebentar, oke? Om Jo nanti balik ke sini sama dokter..." Dery berusaha menenangkan, memasang wajah kesakitan seakan-akan dia yang baru saja terlukai oleh banyak pecahan gelas, bukannya Sashi.
"Kenapa lo, Dery?" Sashi berbisik dengan suara parau.
"Lo bilang apa?"
"Kenapa lo yang muncul... bukannya dia?"
"..."
"Kenapa dia nggak muncul seperti waktu kejadian itu... di rumah gue? Kenapa?"
"Acacia—" Dery menghela napas, merasa ada gumpalan yang mengganjal di tenggorokannya, membuatnya sulit bernapas sekaligus ingin menangis di waktu yang sama. Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Sashi, namun justru terkejut kala menyadari tingginya suhu tubuh gadis itu. "—lo panas banget! Lo sakit ya?"
"Dia... bokap gue... apa dia nggak akan pernah kesini lagi? Apa dia nggak akan pernah muncul lagi sekalipun gue memohon? Apa dia semarah itu sama gue? Apa dia nggak mau lagi jadi bokap gue, makanya dia memilih buat hilang aja terus selamanya?"
"Don't think too much. Please." Dery memohon.
Sashi menunduk, air matanya menetes makin deras. Isaknya kini telah lebih kuat, membuat bahunya berguncang.
"Bokap gue benci sama gue, makanya dia ninggalin gue."
"Bukan gitu—"
Ucapan Dery belum lagi dia selesaikan tatkala Jo dan Tedra muncul di pintu yang terbuka, ditemani oleh dokter berjas putih. Kelihatan sekali, mereka baru saja berlari karena napas ketiganya terengah-engah. Dery menelan ludah, perasaannya terlalu terluka untuk bicara. Seumur hidupnya, sepanjang dia mengenal Sashi, dia tidak pernah melihat Sashi sehancur itu. Bahkan di hari kematian Tris, Sashi masih terlihat jauh lebih waras daripada sekarang.
Sashi diam saja, hanya menatap pada tembok pucat saat dokter memeriksa suhu tubuhnya. Dia tidak menjawab panggilan Jo, apalagi menanggapi sewaktu lelaki itu mengajaknya bicara. Dia juga tetap membisu ketika dokter merawat lukanya, mencabut pecahan kaca berukuran lebih kecil yang masih tertinggal. Matanya memandang kosong, begitu redup hingga membuat Dery takut.
*
Whenever you're ready, whenever you're ready
Whenever you're ready, whenever you're ready
Can we, can we surrender?
Can we, can we surrender?
I surrender
I surrender
Selepas hari itu, Sashi makin banyak diam. Dia menolak dikunjungi siapapun, bahkan Felix. Ada saatnya, Jo atau Dery bergantian masuk ke ruangan tempat Sashi berada. Semula, mereka masih mengajak Sashi bicara, namun karena Sashi tidak menjawab dan lebih sering mengunci mulutnya rapat-rapat, keduanya akhirnya ikut-ikutan diam. Walau demikian, mereka tetap memastikan ada yang mengawasi Sashi, menunjukkan padanya kalau dia tidak sendirian. Dery jelas sangat khawatir, namun dia tahu, dia perlu memberi Sashi waktu. Rentetan peristiwa yang terjadi begitu beruntun. Semua orang lelah oleh apa yang mesti mereka hadapi berkaitan dengan insiden yang menimpa Jef, sudah pasti segalanya dua kali lipat lebih berat untuk Sashi.
Sashi berhenti mengecek ponsel. Dia banyak menghabiskan waktunya hanya untuk melamun, atau tidur. Dia tidak lagi menghitung tanggal, tak paham hari apa sekarang. Satu-satunya yang jadi penanda adalah langit di luar jendela kamarnya. Langit akan kian menerang, kemudian perlahan meredup dan digantikan oleh malam. Malam tidak berlangsung selamanya, berangsur-angsur memudar menuju fajar sebelum digantikan lagi oleh terang. Siklus alami yang tidak terhenti, berlangsung terus-menerus.
Kepergian Tris mengajari Sashi bahwa duka bisa datang dengan begitu mengagetkan, apa yang terjadi pada Jef membuat Sashi mengerti bahwa ketiadaan bisa mencipta nyeri yang bahkan waktu pun tidak mampu sembuhkan.
Selama bermalam-malam, tidur Sashi bersih dari mimpi. Dia hanya melihat gelap yang sepi. Atau mungkin, dia bermimpi, tapi terlalu lelah untuk mengingatnya setelah dia bangun.
Namun, malam ini berbeda. Dia melihat Tris mendatanginya, mengenakan kardigan dengan warna favorit perempuan itu—setahu Sashi, sejak dulu Tris selalu suka mengenakan warna putih, untuk alasan yang tak diketahui siapapun, sebab Jo berkata, warna favorit Tris adalah ungu. Tris tersenyum padanya, menyentuh tangannya, lalu berbisik lembut.
"For all the hands my hands have held, the best by far, is yours."
Sashi tersentak dan sebelum dia sempat menjawab, dunia nyata telah lebih dulu menariknya, membuat napasnya tertahan bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka.
Suasana benar-benar sepi dan dari warna langit di luar jendela yang dapat Sashi lihat melalui selubung gorden tipis, sekarang sepertinya sudah tengah malam. Sashi meneguk saliva, merasa tubuhnya benar-benar kaku. Dia menghela napas, membiarkan bau antiseptik mencumbu indra penciumannya. Kemudian, dia menoleh ke sampingnya dan tersekat tatkala mengenali seraut wajah milik seseorang yang duduk di kursi, tepat di sisi tempat tidurnya.
Itu Jef.
Oke, dia mulai berhalusinasi.
Jef kelihatan lelah dan Sashi melihat, ada bekas goresan di salah satu sisi wajahnya, memanjang dari pipi hingga ke rahang. Goresan itu mulai mengering. Bukan luka yang serius. Jef menatapnya tanpa bilang apa-apa. Matanya berkaca-kaca, seperti bisa luruh jadi tetesan sewaktu-waktu.
Sashi berbisik, hampir tak bersuara. "Aku... mimpiin Mami."
Jef tidak menyahut, hanya mengangguk. Sudah pasti. Apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya bagian dari halusinasi Sashi.
"Mami senyum ke aku dan bilang..." Sashi tersekat. "... aku... lupa."
Rasanya aneh melihat Jef tersenyum dengan sepasang mata yang sarat oleh air mata.
Sashi menggigit bibir, menahan tangis dan itu bikin suaranya bergetar ketika dia kembali bergumam lirih. "Ayah..."
Ada keterkejutan membayang di mata Jef, disusul setetes air mata yang meluncur jatuh di pipinya.
"Ayah... maaf..." Sashi berbisik lagi. "Tolong pulang... aku janji, aku nggak akan nakal lagi. Jadi jangan pergi..." Sashi menekan bibirnya ke dalam garis lurus yang kaku, berusaha menguatkan diri untuk menyambung kata-katanya. "Pulang ke aku..." ujarnya, kali ini seraya mengulurkan tangannya ke arah Jef.
Di luar dugaan, lelaki itu balas meraih tangannya, menggenggamnya erat dan tindakannya berhasil membuat Sashi tersekat.
Ilusi tidak akan terasa seperti ini...
Imaji tak mungkin senyata ini...
Takut-takut, Sashi memanggil. "Ayah?"
Jef menghela napas panjang, menunduk dan mencium buku jemari Sashi. Air matanya terasa hangat di atas kulit gadis itu. "Iya?"
Ini semua nyata.
Mengerahkan sisa tenaganya, Sashi beranjak dari posisi berbaringnya, ganti duduk di atas ranjang. Dia menarik Jef ke dalam dekapan, merengkuhnya dengan begitu erat seakan takut Jef akan menghilang ditelan udara. Gadis itu membenamkan wajahnya di pundak Jef, menangis sekencang yang dia bisa. Tangannya memeluk Jef makin kuat, enggan melepaskannya.
"Ayah di sini." Jef berujar pelan di telinga Sashi, satu tangannya berada di belakang kepala anak perempuannya, jemarinya tenggelam diantara helai rambut Sashi. "Ayah di sini, Acacia."
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yak, jadi gimana?
aku tau kalian pasti bertanya-tanya.
sabar bru, semua akan dijelaskan di chapter berikutnya wkwkwk
tadinya aku mau bikin sedih sekalian cuma berhubung saya sudah cukup jahat di DLP, jadi yaudah aku kembalikan si rese.
terus ya, apa yang diliat jef adalah parallel universe, seandainya dia nyari tris atau tris jujur sama dia... begitulah kehidupan mereka wkkwkwwkwkw
tapi ya kan itu seandainya ;P
dah ah sekian dulu dariku.
sampai ketemu di chapter selanjutnya.
ciao.
bonus mami ciom sashi
Kampuang Nan Jauh di Mato, April 17th 2020
23.30
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro