38
"Karena aku nggak akan nanya kenapa kamu nangis dan nggak akan bilang kalau muka kamu jelek ketika kamu nangis. Juga karena aku nggak mau kamu sendirian saat kamu nangis."
— Joshua Tirtasana
***
Ini bukan kali pertama.
Kalimat itu bergema dalam kepala Sashi bersamaan dengan ingatannya yang berpetualang jauh ke belakang, pada hari dimana Jo memberitahunya hasil diagnosis penyakit yang diidap Tris. Hanya satu kata, namun berhasil membuat kedua kaki Sashi lemas. Serupa déjà vu, sensasinya kembali menyambangi Sashi hari ini. Lututnya kehilangan kekuatan untuk menopang tubuh, membuatnya jatuh lunglai di sofa dengan tangan gemetar. Tangannya tidak lagi memegang ponsel. Benda itu jatuh ke karpet, tak lama bergetar karena diterjang banyak pesan dan panggilan.
"Sashi—" Dery meraih ponsel, me-reject semua panggilan yang masuk dan beralih melihat apa yang terakhir kali Sashi baca.
Berita itu jelas diketik dengan buru-buru, sebab masih minim informasi. Kecelakaan kapal yang kandas bukan sesuatu yang baru di negara ini, tapi tentu saja nama milik Jeffrey Gouw yang tersemat dalam manifest penumpang membuat segalanya lebih menarik. Berdasar informasi tertulis, kapal ferry itu berangkat menuju Pelabuhan Tanjung Mas dan hilang kontak setelah beberapa jam berlayar.
"Acacia—"
Sashi masih diam, menatap pada udara kosong dengan kedua alis nyaris bertaut.
"Lo tahu Om Jeffrey kemana?"
Sashi menggeleng, menoleh untuk menatap Dery dan matanya telah sesak oleh air mata. "Gue... gue nggak tahu—"
"Mungkin... bukan Om Jeffrey? Cuma orang yang sama."
Suara Sashi bergetar kala dia membantah. "Sekarang gue tanya ke lo, ada berapa orang di negara ini yang namanya Jeffrey Gouw?"
"Sashi—"
"Balikin HP gue!" Sashi berseru, merebut ponsel dari tangan Dery. Dengan jari-jari yang tremor luar biasa, gadis itu membuka kontak ponsel Jef. Dia meneleponnya berkali-kali, hanya untuk disambut kata-kata operator yang menerangkan bahwa nomor yang dia hubungi sedang tidak aktif. Air mata berkejaran turun di pipinya, mengalir, tumpah-ruah layaknya keran yang pecah.
"Acacia, Acacia, look at me—" Dery menggenggam kedua tangan Sashi dengan erat, memaksa gadis itu memandang padanya. "Gue di sini. Semuanya bakal baik-baik aja, oke? Gue bakal minta bantuan bokap gue—hei—hei—" Dery memindahkan kedua telapak tangannya ke sisi wajah Sashi saat gadis itu akan memalingkan muka. Ibu jarinya menyapu jejak basah di pipi Sashi. "Lo percaya sama gue, kan? Nggak ada yang nggak bisa dilakukan bokap gue. Lo tahu sendiri dia kayak gimana. Sekarang, tarik napas dan berusaha tenang, oke? Gue ada di sini. Gue nggak akan kemana-mana."
Sashi mengangguk, tapi air matanya tidak mau berhenti. Apa yang dia katakan pada Jef dalam pertengkaran mereka semalam kembali terngiang di telinganya. Dia sudah mengucapkan sesuatu yang jahat. Ekspresi wajah Jef yang jelas terluka oleh seruannya kembali membayang di pandangan, membuat Sashi terisak kian keras.
Dery menghela napas, memeganginya, lalu memeluknya, membiarkan Sashi menangis di bahunya. "It's okay. Everything will be okay. I'll do anything I can to bring your father to you. I promise you that."
Sashi berharap, dia bisa percaya.
*
(aku sang juara, bersama dia yang kalah -dery)
"Nih."
Butuh beberapa lama bagi Dery untuk bisa membuat Sashi lebih tenang. Dia menjawab semua telepon yang masuk, menjelaskan situasinya pada Jo yang masih berada di rumah sakit, bicara dengan kakek-nenek Sashi dari tiga keluarga sekaligus, lalu menghubungi Tedra. Segalanya baru terselesaikan hampir sejam. Untungnya, Sashi sudah berhenti menangis. Gadis itu duduk bersila, membisu dengan pikiran melayang entah kemana. Dery tidak langsung menghampirinya, pergi ke kamar Sashi lebih dulu, membuatkan susu cokelat untuk gadis itu sebelum kembali menyambanginya.
Sashi menoleh pada Dery ketika dia merasa ada selimut yang dilebarkan hingga menyelubungi bahunya. "Ini apa?"
"Lo lagi syok. Jadi gue selimutin dan gue bikinin susu."
"Apa... hubungannya?" Jujur, Sashi rasa dia akan benar-benar jadi sinting seandainya saja Dery tidak ada di sana.
"Nggak tahu sih cuma kalau gue nonton serial film bule, kalau ada yang abis syok gitu, dikasih selimut sama dikasih susu." Dery membalas. "Minum dulu. Soal Om Jeffrey, gue udah bilang bokap gue buat ngecek semuanya. Lo tahu lah, bokap gue adalah lord sesembahan buat orang-orang dalam. Jadi dia pasti bisa dapet info lebih cepat daripada lewat jalur resmi."
"Bokap lo emang beneran professor dalam urusan jalan belakang."
Dery nyengir. "Intinya, banyak jalan menuju Roma."
Sashi membawa tepi gelas susu yang Dery berikan ke bibirnya, menelan beberapa teguk. Dia memandang Dery sebentar, lalu menghela napas. Kekhawatiran itu masih ada, tapi sekarang Sashi sudah bisa lebih tenang. Semua karena ada Dery.
"Drol, boleh nanya nggak?"
"Tumben minta izin."
"Nggak boleh ya?"
"Gue nggak bilang gitu." Dery berdecak. "Maksudnya, selama ini lo kan bar-bar sama gue. Jadi kayak bukan lo banget gitu loh tiba-tiba minta izin. Tapi ya bukan berarti nggak boleh. Mendingan lo nanya daripada lo nangis."
"Lo suka sama gue dari kapan sih?"
Dery terbatuk, tersedak oleh salivanya sendiri. "Piye, piye?"
"Lo suka sama gue lebih dari teman tuh sejak kapan?"
"Harus banget ditanyain?"
"Tuh, berarti nggak boleh nanya."
"Bukan gitu." Dery tertawa dan Sashi bertanya-tanya, bagaimana bisa baru sekarang dia sadar jika Dery punya suara tawa yang enak didengar. "Nih kalau ada pemilihan ikon bucin di sekolah, gue pasti udah keluar sebagai pemenangnya."
"Hah, masa?"
"Nih lo pura-pura nggak tahu atau beneran nggak tahu sih?"
"Beneran nggak tahu..."
"Nggak peka banget. Untung gue sayang."
"Iuh." Sashi mengedikkan bahunya sembari memasang ekspresi jijik. "Sekarang berani banget. Dulu aja, sok-sok senyum setiap gue cerita atau minta tolong lo deketin gue sama Ojun."
"Dulu, gue takut bakal ngerusak persahabatan kita."
"Sekarang nggak lagi?"
"Nggak, soalnya lo udah naksir sama gue."
"Sembarangan!" Sashi melayangkan kepalan tinjunya pada Dery, yang dapat cowok itu tangkap dengan mudah. Sashi terkesiap, memekik lirih ketika Dery menarik tangannya, membuat badannya langsung ikut bergeser ke depan. "Drol—lo—" Sashi tidak bisa meneruskan kata-katanya saat sadar, wajahnya berhenti hanya beberapa senti di depan wajah Dery.
Cowok itu menatapnya, menarik satu ujung bibirnya ke atas untuk mencipta sebuah seringai. "Gue apa?"
Sashi meneguk ludah, merutuki diri sendiri saat matanya jatuh ke bibir Dery.
"Mau dicium lagi?"
Sashi melotot, buru-buru menarik lepas tangannya dari genggaman Dery dengan gugup, sementara yang bersangkutan malah ngakak puas.
"Nggak lucu! Berhenti ketawa! Nggak lucu!" Pipi Sashi memerah.
"Lo harusnya ngaca dan lihat muka lo sekarang!" Dery terus saja meledek. "Jelas lo naksir gue. Muka lo nggak akan merah kayak kebon cabe gitu. Juga, lo nggak akan mau gue cium."
"Kan gue cuma kebawa perasaan."
"Awalnya mungkin iya, tapi setelahnya?"
"SETELAHNYA APA?!!" Sashi berkacak pinggang. "Kita nggak ngapa-ngapain ya! Jangan menggiring fakta menjadi opini!"
"We made out."
"DROL!"
"And you bit my lower lip."
"LO MAU GUE USIR YA?!"
Dery terkekeh, menegakkan punggung dan menyentuh pipi Sashi dengan salah satu telapak tangan, menepuknya pelan. "Feeling better?"
"What?"
"Gue lebih suka lihat lo marah-marah atau cerewet gini daripada lo nangis."
Sashi balik menatap Dery. "Gimana nggak nangis, kalau ada kemungkinan bokap gue bisa aja—"
"Jangan dipikirin. Biar gue aja yang mikirin."
"Kan bokap gue, bukan bokap lo."
"Kan calon mertua gue, bukan calon mertua lo."
"Pede banget ya?"
"Harus." Dery membalas sombong. "Lagian, salahnya Ojun. Cewek kayak lo kok disia-siain. Emang sih, pendek. Emang sih, doyan marah-marah. Emang sih, kadang manja banget. Emang sih, kalau nangis bisa bikin sekecamatan banjir—"
"Lo tuh ngeledek gue kayaknya senang banget ya?"
"—gue belom selesai ngomong, Bol." Dery protes.
"Yaudah, selesain!"
"Tapi cuma yang pendek, doyan marah-marah, manja dan cengeng ini yang bikin gue nggak mau hidup di dunia yang nggak ada dianya."
Sashi menghindari tatapan Dery, menunduk sembari meremas jari-jarinya sendiri. "Semalem... gue berantem sama bokap gue yang nomor dua."
"Tahu, kok. Soalnya lo nangis."
"Bokap gue bilang gitu ke lo?"
"Nggak. Kelihatan aja, pas tadi pagi lo buka pintu, mata lo bengkak."
Sashi mengembuskan napas. "Gue takut... kata-kata yang gue bilang semalem itu... didenger Tuhan. Makanya... sekarang ada kejadian kayak gini."
"Go on, I'm all ears."
Akhirnya, Sashi bercerita pada Dery tentang apa yang terjadi semalam. Soal Jef yang merasa kurang mendapat perhatian. Tentang kecemburuannya yang menurut Sashi sangat tidak beralasan. Lalu pertengkaran yang memanas, hingga Sashi bilang, dia tidak akan pernah mencari Jef sekalipun lelaki itu menghilang.
"Lo berdua tuh emang bener-bener ya..."
"Maaf."
"Minta maafnya jangan ke gue. Ke Om Jeffrey."
"Nggak dibalas. Sekalipun dia lihat, kayaknya dia nggak bakal mau maafin gue."
"Tahu dari mana?"
"Buktinya sekarang kita nggak tahu dia ada di mana dan kondisinya gimana."
Dery menarik napas panjang. "Dia bakal maafin lo, nggak peduli sebesar apa pun kesalahan lo dan nggak peduli semenyakitkan apa pun kata-kata yang lo lontarkan ke dia."
"Kenapa lo seyakin itu?"
"Karena dia bokap lo."
"..."
"Pagi buta tadi, dia nelepon gue, nyuruh gue ke rumah lo begitu langit udah terang. Nyuruh gue nemenin lo. Gue udah nebak, pasti ada yang terjadi. Tapi gue nggak nanya. Lo tahu sendiri lah bokap lo yang nomor dua itu mana bisa dikepoin. Yang ada gue malah di-gas." Dery berdecak. "Balik lagi seperti yang gue bilang sebelumnya, Sashi. Nggak ada orang yang sempurna, termasuk orang tua kita. Anak perempuan yang hubungannya normal dengan ayahnya aja belum tentu bisa deket dan saling ngerti, apalagi yang ribet kayak lo dan Om Jeffrey. Apalagi, kelihatannya Om Jeffrey nggak siap tiba-tiba punya anak. Lo tahu sendiri gaya hidupnya gimana."
"... lo... bener juga sih."
"Walau begitu, dia tetap berusaha untuk jadi ayah buat lo, kan?"
Sashi mengangguk.
"Dia nggak akan melakukan itu kalau dia nggak sayang sama lo."
Sashi terdiam, berpikir.
"Dia caper, nyebelin dan seperti yang lo bilang, cemburu tanpa alasan, tapi yah... dia begitu karena lo berharga buat dia."
"Kok lo kayaknya paham banget isi hati bokap gue sih?"
"Soalnya lo juga berharga buat gue."
Sashi tidak tahu apakah dia boleh melakukannya atau tidak, namun gadis itu tetap memeluk Dery usai mendengar cowok itu bicara.
"Lo juga... berharga buat gue, Dery."
Ada longsor di dada Dery.
*
(mukanya kaya bulan sabit apa kaya arit)
Semula, Sashi mengira situasi tidak bisa jadi lebih buruk, tetapi tampaknya dia salah.
Berjam-jam kemudian, informasi lebih jelas soal kapal ferry yang tiba-tiba hilang kontak telah sampai kepadanya. Belum ada pernyataan resmi, tapi diduga kuat, kapal tersebut telah kandas dan pihak berwenang telah mengerahkan tim-tim khusus untuk menemukan bangkai kapal yang tenggelam sekaligus mengevakuasi penumpang yang dapat mereka temukan. Jujur saja, Sashi sering menganggap remeh seorang Tedra Sunggana, tapi menilik dari harta dan koneksi yang pria itu miliki, wajar saja dia kerap sesumbar dan menyombongkan diri.
Jennie sudah meneleponnya. Suara wanita itu bergetar, namun Sashi paham kalau di saat yang sama, Jennie berusaha tegar. Jennie menenangkan Sashi, berkata Sashi tidak perlu khawatir dan biar semua urusan dengan pihak-pihak yang berkepentingan menjadi tanggung jawabnya—bersama ibu Jef yang langsung bertolak dari Semarang ke Jakarta. Sashi menurut, sebab itu memang urusan orang dewasa. Dia juga tidak merasa mau tahu soal teknis pencarian dan penyelamatan—dia hanya mau, Jef segera pulang. Jadi dia bisa memeluk laki-laki itu dan meminta maaf. Sesederhana itu.
Dari rumah, Dery menemani Sashi menuju rumah sakit karena Jo masih belum diizinkan pulang. Felix, Jansen dan Paklik James sudah berhenti menelepon usai Dery bicara pada mereka, berkata Sashi perlu waktu sendirian. Dan Sashi rasa, itu memang benar. Bukannya dia tidak menghargai perhatian dari para anggota Keluarga Gouw, tapi sekarang... Sashi terlalu lelah untuk berurusan dengan banyak orang.
Akun media sosialnya mulai ramai, bikin Sashi sempat memutuskan untuk menutup akunnya sementara waktu. Namun, jarinya berhenti bergerak kala dia menemukan riwayat direct message dari seseorang yang dia sadari tidak pernah dia hapus.
3cy_2403
Sashi terdiam sejenak, hingga sebuah kesadaran mengoyak paksa pikirannya. Tunggu. Kenapa tiba-tiba saja, username itu terasa lebih familiar dari yang seharusnya? Sashi menahan napas, melihat percakapan mereka sejak awal, terhenti pada bagian kue red velvet. Lalu, seseorang memberinya kue red velvet di hari ulang tahunnya yang telah lalu.
Ini tidak mungkin kebetulan, kan?
Hanya ada tiga orang di dunia ini yang tahu soal rahasia kecil tentang kue red velvet itu. Dia, Tris dan... siapapun pemilik akun Instagram itu.
Sashi menelan ludah.
Ini tidak mungkin akun bodong milik Jef, kan?
Sashi membasahi bibirnya yang tiba-tiba terasa sangat kering. Gadis itu membaca username aneh akun Instagram yang tengah dibukanya beberapa kali. 3cy_2403. Three-cy. Tricy. Patricia. Tidak ada yang memanggil ibunya dengan Tris atau Tricy selain Jef.
Dan angka itu...
2403... maksudnya... 24 Maret?
Selama sedetik, jantung Sashi serasa berhenti berdetak. Telapak tangannya berkeringat dan jarinya gemetar saat dia mengetikkan direct message baru yang ditujukan buat akun Instagram tersebut.
acacia_t: hello.
acacia_t: are you there?
acacia_t: can we talk?
Biasanya, akun itu selalu membalas pesannya dengan cepat. Tidak pernah lebih dari lima menit, paling lama. Sashi menunggu... namun hingga sepuluh menit berlalu, masih tak ada balasan. Dibuka saja pun tidak.
acacia_t: I need to talk to you right now.
acacia_t: please.
Sashi berusaha menyabarkan diri, tapi sepuluh menit lainnya berlalu dan tetap tidak ada balasan. Pandangan mata Sashi mulai berkabut oleh air mata. Makin buram saat dia membaca pesan-pesan terdahulu yang akun itu kirimkan. Ucapan selamat ulang tahunnya. Perhatiannya saat tangan Sashi kena luka bakar gara-gara memegang loyang panas. Kata-katanya saat Sashi bilang Ojun tidak mungkin menyukainya.
Itu ayahnya.
acacia_t: ayah.
acacia_t: I know it's you.
acacia_t: I'm so sorry.
acacia_t: please come home, don't leave me like this.
acacia_t: ayah, pulang. i miss you.
acacia_t: please.
Lima menit... sepuluh menit... setengah jam... satu jam... dua jam...
Waktu berlalu, tapi akun itu tetap membisu.
*
Sesuatu tentang Sashi yang menurut Jo sangat serupa dengan Tris adalah; gadis itu benci menangis di depan banyak orang, meski bisa jadi, alasan mereka enggan menitikkan air mata di depan umum adalah untuk alasan yang berbeda. Sashi tidak mau melakukannya karena menurutnya, menangis membuatnya kelihatan cengeng. Tris lain lagi, menangis sembunyi-sembunyi sebab dia tidak mau membuat orang lain bertanya-tanya apalagi sampai khawatir.
Jo ingat pada suatu waktu, ketika itu Tris masih duduk di sekolah menengah. Waktu itu sedang ada acara kumpul-kumpul keluarga. Tiba-tiba saja, dia menyelinap pergi dari keramaian, menuju tempat yang lebih sepi. Jo mengikutinya, hanya untuk mendapatinya sedang duduk memeluk lutut sambil menghadap ke halaman belakang rumah.
"Patricia?"
Tris tersentak, lalu buru-buru menutup mukanya. "Kak Jo, jangan kesini!"
"Kamu kenapa?"
Suara Tris bergetar, sarat oleh isak. "Jangan kesini!"
Jo menyipitkan mata, tapi tak lama, dia paham. Namun bukannya pergi, Jo justru menghampiri Tris. Dia ikut duduk di lantai sambil menekuk lututnya. Hanya saja, dia tidak menatap Tris. Dia justru memunggungi gadis itu.
"Aku nggak lihat."
Tris tersedak oleh tangisnya sendiri, terbatuk beberapa kali sebelum bergumam lirih. "Hah?"
"Aku nggak lihat." Jo mengulang. "Dan kalaupun kamu mau nangis... dengan bersuara... aku akan pura-pura nggak dengar."
Tris terdiam, tapi dia tak menangis lagi. Dia menyeka air matanya dengan punggung tangan, tertunduk dan diam-diam menarik senyum.
"Nggak diterusin?"
"Udah habis."
"Apanya yang udah habis?" Jo bertanya lagi.
"Air matanya."
"Oh." Jo manggut-manggut. "Wajar, sih. Soalnya ada aku di sini."
Tris jadi geli. "Emang apa hubungannya?"
"Aku kan pawang hujan."
"Pawang hujan?"
"Kalau ada aku, hujan dimanapun pasti berhenti." Jo terkekeh. "Kayak barusan. Hujan di mata kamu juga udahan begitu aku dateng, kan?"
"Katanya Kak Jo nggak dengar!"
"Udah terlanjur dengar." Jo berkata, masih membelakangi Tris dan membiarkan punggung mereka yang saling beradu. "Kenapa?"
"Aku nangis karena—"
"Aku nggak tanya penyebab kamu nangis. Aku tanya, kenapa kamu nangisnya ngumpet-ngumpet?"
"Well, that's new. Biasanya orang tanya kenapa nangis, bukan tanya kenapa nangisnya ngumpet."
"Aku kan bukan orang biasa."
"Oh iya, hampir lupa." Tris tergelak. "Mmm... karena kalau nangis... aku jelek."
"I highly doubt that."
"Kak Jo kan belum pernah lihat muka nangis aku."
"Kalau gitu sekarang aku lihat, boleh nggak?"
"Nggak."
"Oke, aku nggak akan maksa." Jo tertawa lagi. "Cuma karena itu?"
"Nggak sih. Aku malas ditanya kenapa nangis. Padahal ya mungkin... emang lagi perlu nangis aja?"
"Mmm... aku ngerti."
"Berarti Kak Jo orang pertama yang ngerti."
"Next time, kalau mau nangis, bisa kasih tahu aku."
"Kenapa harus gitu?"
"Karena aku nggak akan nanya kenapa kamu nangis dan nggak akan bilang kalau muka kamu jelek ketika kamu nangis." Jo menyahut, lalu menyambung. "Juga karena aku nggak mau kamu sendirian saat kamu nangis."
Sekarang, rasanya semua seperti terulang dalam suasana yang berbeda ketika Jo membuka pintu ruangan tempat Sashi berada.
Gadis itu sedang duduk di atas sofa dengan lutut yang ditekuk. Bahunya bergetar diguncang isak. Dia menghadap tembok. Dery tidak ada, mungkin sedang keluar sebentar untuk membeli sesuatu. Sashi tersentak waktu mendengar suara pintu yang terbuka, tapi dia menolak menunjukkan wajahnya.
"Papi?"
"Iya. Ini, Papi."
"Jangan kesini!"
Jo malah menarik tiang infusnya, melangkah pelan masih dalam balutan pakaian dan sandal rumah sakit. "Kamu kenapa?"
"Jangan kesini!" Sashi mengulang, suaranya lebih keras.
Jo tertawa, terkenang ke masa silam. Indeed, like mother like daughter, lelaki itu membatin sambil mendekati sofa, kemudian duduk di samping Sashi. Bedanya, dia mengharap ke arah yang berlawanan hingga kini, punggungnya yang beradu dengan punggung Sashi.
"Papi nggak lihat."
"Hah?"
"Papi nggak lihat." Jo mengulang kata-katanya. "Papi juga akan pura-pura nggak dengar. Tapi kamu nggak boleh ngusir Papi, karena Papi nggak akan biarin kamu nangis sendirian."
Sashi tersekat, namun tidak lanjut menangis. Dia mengeringkan jejak basah di wajahnya dengan punggung tangan, tapi tidak menghadap Jo. "Papi bohong."
"Mm... bohong apa?"
"Bilangnya nggak lihat dan nggak dengar, tapi Papi tahu aku nangis."
"Yang benar itu, nggak lihat dan pura-pura nggak dengar."
Sashi mendengus, lalu hening sejenak.
"Pi?"
"Yes, baby girl?"
"Papi nggak nanya kenapa aku nangis?"
"Papi nggak akan memaksa kalau kamu nggak mau cerita."
"Soal Om J—soal Ayah." Sashi buru-buru mengoreksi. "Aku... aku takut..."
"Papi ngerti."
"Gimana kalau misalnya—gimana kalau—" Ada gumpalan pahit mengganjal tenggorokan Sashi, membuatnya tidak mampu melanjutkan kata-katanya. "Gimana kalau misalnya dia kenapa-napa? Gimana kalau misalnya dia nggak—"
"Sekarang Papi tanya, kamu maunya dia gimana?"
"Baik-baik aja." Sashi menyahut dengan suara mencicit. "—dan pulang. Secepatnya. Pulang ke rumah. Pulang ke aku."
"Kalau begitu, pertama, kamu harus percaya dulu kalau Tuhan bakal ngejaga dia, bikin dia baik-baik aja dan bawa dia pulang seperti yang kamu mau."
"Tapi—"
"Acacia Tredayorka,"
Rasanya aneh mendengar Jo menyebut nama lengkapnya meski dari Tris, Sashi tahu, Jo yang menyematkan nama itu padaya. "Iya, Pi?"
"Untuk bisa mendapat keajaiban, seseorang harus percaya pada keajaiban."
Sashi mengerjap beberapa kali, lantas dia memutuskan untuk berbalik, menatap Jo yang kini tersenyum penuh pengertian padanya.
"Papi, thankyou."
"Anything." Jo menyentuh pipi Sashi, menghapus sisa basah di kulit gadis itu dengan jari.
"Ah ya, aku belum ngecek!" Sashi ikut mengulurkan tangannya untuk menyentuh dahi Jo. "Nggak demam. Untungnya..."
"Papi nggak demam dan bakal baik-baik aja. Malah kamu yang bakal demam kalau kamu nggak istirahat. Seharian ini, kayaknya kamu banyak stress."
"Nggak mau tidur. Dan nggak bisa tidur."
"Mau Papi temenin?"
"Boleh?" Sashi mengangkat alis. "Tapi di sini aja. Kalau tidur di kasur, aku takut mimpi buruk."
Jo setuju saja, sebab kalaupun Sashi ketiduran, dia bisa minta tolong Dery atau Tedra untuk memindahkan Sashi ke kasur—sesuatu yang tidak bisa dia lakukan sekarang karena punggungnya belum benar-benar pulih.
Jika menarik mundur ke beberapa bulan lalu, Sashi tidak akan mengira bagaimana sekarang, dia bisa berbaring berbantalkan paha Jo tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Rambut kamu udah panjang."
"Iya."
"Jadi inget, dulu Papi terakhir motong rambut kamu, kamu masih kecil banget."
"Loh, pernah?"
"Pernah." Jo terkekeh. "Nanti kalau Papi udah pulang dari rumah sakit, mau dipotongin nggak?"
"... boleh, deh."
"Tapi buat jaga-jaga, sebaiknya kamu beli wig. Takutnya gagal."
"Papi!"
"Papi bercanda."
"Nggak lucu." Sashi merengut, yang justru bikin tawa Jo makin kuat.
Mereka mengobrol lagi hingga sentuhan tangan Jo pada rambut Sashi membuat gadis itu mengantuk. Dia menguap beberapa kali. Lalu kemudian, suaranya makin pelan hingga dia betul-betul tertidur. Jo menghela napas, menatap wajah anak perempuannya sepuas yang dia mau hingga kesunyian ruangan terpatahkan oleh suara pintu yang dibuka.
"Sashi, kamu tahu Dery di—oh wow, apakah ini sebuah skandal?"
"Ssshhh..." Jo memperingatkan Tedra agar merendahkan suaranya, sementara yang bersangkutan berjalan santai saja memasuki ruangan layaknya dia sedang berada di rumahnya sendiri—yah, teknisnya rumah sakit ini memang miliknya sih. Tedra duduk di tepi ranjang Sashi yang kosong, menatap dengan ekspresi tengil.
"Hari ini anakmu cengeng tenan yo."
"Sesuai ekspektasi." Jo membenarkan. "Wajar."
"So, how does it feel?"
"Apanya?"
"To see another woman you love cries for the same person."
Jo menyambut tanya Tedra dengan tawa—sesuatu yang tidak Tedra duga. Laki-laki itu jadi terkenang pada hari dimana Sashi terlahir ke dunia. Sebelum masuk ke ruang operasi, Tris meraih tangannya, meremasnya kuat-kuat dan memintanya berjanji, seandainya terjadi sesuatu pada perempuan itu, dia ingin Jo menjaga Sashi—dan memastikan, Sashi tahu tentang Jef saat tiba waktunya bagi gadis itu buat tahu.
"Gimana rasanya? Bukan sesuatu yang menyenangkan."
"Cemburu memang nggak enak."
"Bukan karena cemburu." Jo membantah. "I no longer get jealous. For Patricia, I know she'll always love him more than she did to me. For Acacia, nothing can't change the fact that he's her father."
"You're her father too."
"Di atas kertas, iya."
"No." Tedra membantah. "The difference between a 'man' and a 'father' is that the former shares his genes, but the latter gives his life. You'd give your life to Acacia, wouldn't you? That makes you her father."
"I know. But Jeffrey Gouw loves her too, like a true father, in his own way." Jo membenarkan. "Waktu Patricia mau ngasih tahu Jeffrey soal Sashi, gue nggak setuju. Nggak bisa. She's my daughter, no one can take her away from me. Tapi sekarang, gue sadar, Acacia bukan barang yang bisa diambil atau dibawa pergi. She loves both of us. Gue nggak seharusnya egois dan nggak mau berbagi. Lagipula, kalau gue berada di posisi Jeffrey Gouw, gue rasa gue juga akan melakukan yang sama."
"Well, somehow agree."
"Walau jelas, dia adalah ayah tersinting yang pernah ada."
"Oh, don't we all?" Tedra terkekeh. "Nggak ada sekolah menjadi orang tua. Kita semua belajar, dan dalam perjalanan melakoni peran orang tua itu sendiri, kita sering bikin kesalahan. Apa yang bisa kita lakukan adalah jadi orang tua yang terbaik buat anak kita, menurut kita. Mungkin nggak menurut anak kita. It's a long process of learning and clearly, nggak semua orang pantas atau siap jadi orang tua."
"It's the toughest job ever, I agree." Jo mengiakan, lalu tatapannya berpindah pada Sashi. "But if I had my life to live over again, I'd still choose to be her father."
"Cheesy tenan, rek."
"Awakmu juga podho toh?" Jo tertawa lagi. "You'd still choose to have Mandala as your son."
"Woyajelas. Dia lebih waras soalnya."
"Syukurnya begitu..."
"Istirahat, Jo. Nanti biar Mandala yang pindahin Sashi ke ranjangnya."
"Thanks, Tedra. I owe you. A lot."
"Restu buat Mandala udah cukup, sebenarnya."
"Untuk yang satu itu... bukan cuma restu dari Joshua Tirtasana yang dibutuhkan."
"Oke, satu helikopter baru kalau begitu."
"Okay."
Tedra tergelak, berjalan menuju pintu dan keluar dari ruangan. Dia baru saja menutup pintu ketika dia disambut oleh sosok Dery yang berdiri kaku beberapa meter di depannya.
"Mandala?"
"..."
"Sejak kapan kamu di situ?"
Dery menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku... aku baru tau..."
"Baru tau opo?"
"... kalau ternyata Papa sesayang itu sama aku..."
"Yojelas toh kowe kan bibitku, nek kowe bibit tetangga yo aku ra sayang!"
Dery menghambur sambil berseru dramatis seperti aktor film Bollywood. "PAPA!"
"Mau ngapain?!"
"Peluk!"
*
(arit lagi)
Keesokan harinya, Sashi tidak pergi ke sekolah.
Dia masih terlalu syok dan Jo memakluminya. Sashi juga enggan menonton berita dan sengaja tidak memegang ponselnya. Untuk mendapat informasi terbaru, dia lebih mengandalkan Dery. Cowok itu juga tidak masuk sekolah, menemaninya di rumah sakit sejak pagi. Mereka sarapan bersama di ruang perawatan Jo. Bagusnya, kondisi Jo selepas prosedur pembedahan sangat baik. Dalam beberapa hari, laki-laki itu sudah bisa pulang. Selain itu, karena masalah pada punggungnya ditangani selagi masih belum terlalu parah dan belum menganggu kemampuan gerak secara signifikan, sepertinya dia tidak akan membutuhkan sesi terapi yang panjang.
Tatkala waktu makan siang tiba, Sashi dan Dery memilih untuk pergi ke sebuah restoran mewah yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Alasannya sederhana, semakin mewah suatu tempat, maka privasi pengunjungnya akan semakin dijaga. Mereka baru duduk, membuka buku menu sementara order taker restoran berdiri di dekat meja mereka, siap mencatat pesanan, saat ponsel Dery bergetar bertubi-tubi. Ada pesan baru yang masuk.
Dery membukanya, dan wajahnya langsung berubah.
"Siapa?"
"Bukan apa-apa."
"Gue percaya sama lo, Dery. Jangan bikin gue nggak percaya lagi." Sashi betul-betul tidak lagi menatap buku menu. "Siapa?"
"Lo nggak akan kenal."
"Oke, kalau begitu, kabar apa yang baru lo dapat?"
"Bisa nggak kita makan dulu?"
"Apa itu kabar tentang bokap gue?"
Dery mengembuskan napas. "Iya."
"Kenapa?"
"..."
"Gue mau lihat HP lo."
"Acacia—"
"Gue anaknya. Gue berhak tahu."
Dery menelan ludah, akhirnya menyerah. Dia beranjak, memosisikan dirinya di samping Sashi yang masih duduk sebelum memberikan ponselnya.
Pesan yang baru masuk adalah pesan WhatsApp dari seseorang—entah siapa, tampaknya orang itu memiliki posisi penting, dilihat dari foto profilnya, seorang bapak-bapak dengan seragam jingga penuh bet dan lencana, juga mengenakan berret cokelat. Ada beberapa catatan yang dia kirimkan soal upaya pencarian sekaligus evakuasi dari kapal yang dipastikan tenggelam. Mereka menemukan beberapa mayat. Sejumlah korban selamat. Lalu daftar nama orang yang masih hilang. Nama Jeffrey Gouw ada pada daftar orang yang masih hilang.
Di bawah semua informasi singkat tersebut, ada foto beberapa barang penumpang yang berhasil ditemukan. Salah satu foto hanya memuat sebuah barang—dompet yang buat Sashi, tidak asing.
Sashi menarik napas sebelum meng-klik pada gambar tersebut untuk memperbesarnya. Dompet itu masih memiliki beberapa barang di dalamnya—beberapa lembar uang yang lembab. Tapi tidak ada tanda pengenal. Lalu tatapan Sashi berpindah pada bagian transparan dompet yang biasa digunakan orang untuk menyimpan foto atau kartu pengenal. Ada foto yang melekat di sana,
"Sashi—"
Itu foto Tris... juga fotonya sendiri.
"Acacia—"
Ponsel Dery terlepas dari tangan Sashi, jatuh ke lantai begitu saja ketika Sashi merasa lehernya seperti tercekik. Sekujur tubuhnya terasa kaku dan dadanya sesak. Jantungnya berdebar kencang tanpa bisa dia kendalikan.
"Acacia!"
Napas gadis itu berubah pendek-pendek, perutnya sakit, seperti seseorang meremasnya dari dalam. Dery meraih ponsel Sashi untuk menelepon nomor Tedra, sementara dia berusaha menenangkan Sashi. Gadis itu mencengkeram lengannya kian kuat, membenamkan kukunya pada kulit Dery hingga cowok itu meringis kesakitan. Setelah memberitahu Tedra, Dery membingkai wajah Sashi dengan kedua telapak tangannya.
"Acacia—Acacia—look at me, take a deep breath, relax... okay? You'll be alright."
Tapi Sashi tidak bisa melakukannya. Kekalutan menguasainya. Dia tidak bisa bicara, tenggelam dalam rasa panik yang tidak berkesudahan hingga dadanya serasa terbakar. Lalu begitu saja, perlahan kedua tangannya lunglai seiring dengan kesadaran yang terbang pergi meninggalkannya.
Bonus -1-
"I won the game!" Jef berseru sambil tersenyum lebar ketika dia berlari menghampiri Tris yang duduk menunggu di tepi lapangan basket. Gadis itu tersenyum, sementara Jef merentangkan tangan, bermaksud menariknya ke dalam pelukan.
"No, wait—" Jef berhenti bergerak tiba-tiba, seperti baru menyadari sesuatu. "Aku masih bau keringat. Mandi dulu deh, baru peluk kamu."
"Tumben nyadar." Tris mencibir. Jef tertawa, lalu mengitari Tris tiga kali hingga membuat gadis itu bertanya penasaran. "Kak Jeffrey ngapain?"
"Bikin lingkaran perlindungan dari para buaya buat kamu." Jef terkekeh. "Tunggu di sini ya? Aku mandi dulu."
"Iya."
Tris menurut, tetap menunggu di sana hingga Jef kembali sekitar dua puluh menit kemudian. Cowok itu tidak lagi mengenakan seragam basketnya, telah ganti memakai kaus basket dan celana training hitam. Dia mengeluarkan hoodie tim basketnya, lalu membungkuk di depan Tris, mengikatkan lengan hoodie miliknya di sekeliling pinggang gadis itu.
"Kamu pake rok pendek. Takut kena angin, nanti kelihatan. Nggak boleh."
"Oh, masa?"
"Iya. Pokoknya next time jangan pake rok pendek ya. Aku nggak suka pacarku digodain abang-abang depan sekolah."
"Iya."
"Good, sekarang sebelum kita jalan pulang—peluk dulu—" Jef merentangkan tangannya untuk memeluk Tris. Wajahnya terbenam di bahu Tris. Tris tertawa dalam dekapan Jef, memekik saat cowok itu merengkuhnya begitu erat hingga mengangkatnya, membuat kakinya hampir tidak menapak tanah. "Kalau udah kayak gini, rasanya jadi males pulang ke rumah. Maunya pulang ke kamu."
"Aku kan bukan bangunan, Kak Jeffrey."
"Secara fisik bukan. Tapi secara apa ya... jiwa... kamu satu-satunya yang bikin aku ngerasa pulang. Kayak... sejauh apa pun aku pergi, aku baliknya ke kamu."
"Maunya Kak Jeffrey kali."
"Iya sih, mauku. Tapi emangnya kamu nggak mau."
"Mau."
"Yaudah, berarti kita bisa jadi rumah untuk masing-masing. Aku pulang ke kamu, kamu pulang ke aku."
Katanya, dalam momen antara hidup dan mati, seseorang akan melihat seberkas cahaya terang disusul memori paling bermakna yang pernah mereka miliki ketika mereka masih hidup. Tapi Jef tidak melihat cahaya terang. Walau dia melihat kenangan suatu sore bersama Tris selepas dia main basket kembali terputar di depannya.
Lalu sebelum kenangan itu, ada apa?
Terlalu sulit bagi Jef menerakannya. Hanya saja, dia melihat hamparan lautan di depannya. Seruan kepanikan orang-orang. Air yang mengalir. Angin berembus. Asin menyesaki mulutnya, menyerbu ke dalam hidungnya, membutakan matanya. Lalu dia terjebak hampa. Ada suara Tris. Suaranya.
Kemudian terang yang tiba-tiba.
Jef mengerjap, tersadar bahwa kini dia berada di tempat yang sangat terang. Pakaiannya tidak lagi basah. Jef mengernyit, menatap kedua tangannya sendiri dan tersadar bagaimana kulitnya jauh lebih pucat dari biasanya.
"Sebenarnya, aku nggak berharap akan ketemu kamu secepat ini."
Jef tersentak, refleks menoleh pada satu arah dan mendapati seraut wajah yang tersenyum menyambutnya. Wajah milik Tris. Ada yang meledak dalam dadanya.
"Tris?"
Tris mendekat, mengulurkan tangannya.
Jef ragu, tapi akhirnya dia menyambut uluran tangan itu dan menyentuhnya. "Kamu... nggak seharusnya di sini."
"Tempatku, memang sebetulnya di sini."
Ini pertama kali mereka saling menautkan tangan seperti di masa silam. Sesaat sebelum Tris meninggal, ketika menemuinya di rumah sakit, Jef tidak menyentuhnya. Mereka terlalu canggung untuk bicara banyak. Lidah Jef terlampau kelu, sebab dia kembali dipertemukan dengan Tris dalam situasi yang tidak dia duga. Tapi sekarang... rasanya... seperti pulang.
"Rasanya... kayak... dulu."
"Ah, sore itu?" Tris tersenyum lembut. "Rumah? Kayak sejauh apa pun kamu pergi, kamu maunya pulang ke aku."
"Atau kamu pulangnya ke aku."
"Kita udah janji bakal jadi rumah untuk satu sama lain, iya kan?"
Jef terdiam sejenak, lalu bertanya terbata. "Kalau gitu... apa ini artinya... sekarang waktunya aku untuk... pulang?"
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yah gajadi mermed ternyata.
hmmmmmm gimana sedi ga sob
belom kelar ni masi pemanasan sob
siap siap ya
sampe ketemu lagi dah mwah
ehehehehe
ciao
Bonus Kang Basket
Koronces Kapan Kelar Si Stress Aing, April 5th 2020
22.00
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro