Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37

"Ayah... maaf."

— Acacia Tredayorka T.

***

Sedetik setelah dia mengucapkan kata-kata itu, Sashi langsung menyesalinya. Jef terlihat betul-betul terluka. Telinga laki-laki itu memerah. Wajahnya juga. Dia bungkam, meneguk saliva dengan mata yang menyorotkan sendu sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Sashi sendirian di ruang tengah. Sashi menghela napas, membiarkan badannya jatuh terduduk ke sofa. Dia menggigit bibir, lalu berdeham, berusaha melegakan sesak yang tiba-tiba melanda.

Maaf.

Tapi lidah Sashi terlalu kelu untuk menyuarakannya. Gadis itu justru bangkit untuk mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan dan memasukkannya ke tempat sampah di dapur, diikuti mengeluarkan alat penyedot debu dan membersihkan kotoran yang masih tersisa di atas karpet pelapis lantai. Sebetulnya, rumah mereka tidak seberantakan itu. Selain sampah bekas makanan yang alpa diletakkan di tempat yang seharusnya dan beberapa piring kotor yang bisa dihitung jari, rumah dalam keadaan baik-baik saja. Saat Sashi pulang tadi, awak media yang berkeliaran di sekitar rumahnya sudah tidak ada. Mungkin mereka terlalu lelah mengejar Jef atau pengamanan ketat dari sejumlah bodyguard kiriman Pakdhe Yono berhasil bikin nyali dan semangat mereka ciut.

Sashi jadi bingung, apa yang mesti dia kerjakan setelah merapikan sampah-sampah bekas makanan Jef yang berserakan. Kembali ke rumah sakit bisa saja jadi pilihan, tapi entah kenapa, setelah apa yang dilontarkannya pada Jef, meninggalkan rumah lagi tanpa bilang apa-apa terasa sangat salah. Jef bukan orang paling menyenangkan yang Sashi kenal. Ada kalanya, lelaki itu bikin Sashi sangat kesal. Namun, Sashi mencoba untuk paham.

Jef tidak pernah meniatkan diri menjadi seorang ayah, apalagi menjalani peran itu secara tiba-tiba. Tapi lelaki itu jelas menyayangi Sashi. Dia kehilangan perhatian dari orang-orang di sekelilingnya, hampir tidak punya lagi teman bicara. Sepertinya, dia juga cemburu pada Jo. Terkesan sangat childish, memang. Sashi tidak bisa mengatakan itu benar, tapi itu tak lantas jadi pembenaran buatnya untuk membalas perlakuan Jef dengan kata-kata menyakitkan.

Bagaimana jika kemudian Jef benar-benar menghilang?

Sashi menggeleng, tidak ingin memikirkan kemungkinan itu.

Sashi melamun sebentar, menimbang berbagai kemungkinan hingga dia memutuskan untuk mandi lebih dulu. Usai mandi dan berganti pakaian ke setelan piyama marunnya, gadis itu mengendap-endap menuju kamar tidur Jef. Pintunya tertutup rapat. Hampir tidak ada suara yang terdengar.

Sashi menelan ludah, tangan tertahan di udara, ragu apakah dia harus mengetuk atau tidak. Tapi akhirnya dia melakukannya.

Tok... tok... tok...

"Dad?"

Tidak ada jawaban. Sashi menghela napas, mencoba mengetuk lagi.

Tok... tok... tok...

Masih nihil, tak ada suara.

"Ayah..." Sashi berbisik pada kenop pintu, dalam suara lirih yang tidak akan bisa didengar siapa-siapa selain dirinya sendiri. "Maaf."

Kesunyian adalah jawaban yang tidak Sashi inginkan, tapi malah dia dapatkan.

Sashi menelan kecewa, bertanya-tanya, apa Jef semarah itu padanya?

Mungkin cuma butuh waktu... Sashi berpikir sambil melangkah mundur dan menjauh, kembali ke ruang tengah.

Tanpa adanya Jo dan Jef yang mengurung diri di kamarnya, Sashi merasa benar-benar kesepian. Rumah ini tiba-tiba terasa terlalu besar dan kosong untuknya. Sesuatu yang aneh, sebab luas rumah Keluarga Tirtasana pun tidak kalah dengan rumah ini. Tapi rumah itu hangat. Setidaknya, sampai Tris tidak ada lagi.

Sashi menjatuhkan tubuhnya yang lelah di sofa, memandang nanar ke langit-langit.

Tiba-tiba saja, Sashi teringat pada suatu kali ketika dia menemani Tris menghadiri pemakaman salah satu sahabatnya di masa sekolah. Hari itu, Tris menangis lama sekali. Bahkan dalam perjalanan pulang di mobil yang dikemudikan supir mereka, Tris masih terisak. Sashi bingung, sebab itu kali pertama dia berkenalan dengan sesuatu yang lekat pada kematian.

"Mi..."

Tris langsung menghapus jejak basah di pipinya, menoleh dan menatap anak perempuannya sambil memaksakan senyum. "Iya, Sayang?"

"Orang-orang yang udah meninggal itu... mereka pergi kemana?"

Tris menghela napas, mengerjap beberapa kali sebelum menjawab. "Ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Ke Rumah Bapa."

"Rumah Bapa itu di mana?" Sashi masih saja mendesak.

"Di Surga."

"Jadi... semua orang yang mati itu pergi ke sana?"

Tris mengangguk.

"Rumah Bapa rame dong kalau gitu?"

Tris tersenyum sedikit, merasa geli sendiri. "Iya."

"Rumahnya gede?"

"Jauh lebih gede dari yang bisa kita bayangkan."

"Kalau gitu, Mami harusnya nggak perlu sedih."

"Mmm... kenapa?"

"Soalnya, teman Mami nggak pergi ke tempat yang jauh." Sashi menukas. "Papi pernah bilang, katanya Tuhan itu tinggal di dalam hati kita. Teman Mami nggak pergi jauh, dia masih ada di sini... di dalam hati."

Tris tidak menjawab, malah menariknya dalam dekap.

Kini, Sashi bertanya pada dirinya sendiri; apakah yang dia katakan bertahun-tahun lalu itu memang benar? Bahwa Tuhan bertempat tinggal dalam hati hamba-Nya. Bahwa mereka yang pergi tidak pernah benar-benar jauh, akan selalu dekat, berada di dalam hati. Dan jika begitu... jika dia bicara sekarang... akankah Tris mendengarnya? Sashi tidak tahu, tetapi dia tetap bergumam dalam benak.

Mami, aku nakal hari ini. Aku nyakitin hati Da—Ayah. Aku tahu aku nggak seharusnya begitu, tapi aku kesal. Terus sekarang, aku menyesal.

Mi, kalau omongan itu betul adalah doa... apa Tuhan masih akan mengabulkan doa yang buruk?

*

You ruined everything, Jeffrey Gouw.

Selepas membasuh wajahnya, Jef menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Jujur saja, dia terlihat kacau dan menyedihkan. Dia tahu, dia tidak seharusnya membiarkan emosi mengambil alih akal sehatnya. Telah terbukti sekian kali, itu tidak pernah berakhir baik. Namun, Jef tidak bisa menahan diri, membuat penyesalan kian bertumpuk membebani pundaknya.

Dipikir lagi, dia memang kekanakan. Dia tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Sashi. Siapa yang tahu, beban berat apa yang telah gadis itu hadapi seharian ini—entah itu yang berhubungan dengan urusan sekolah, kekhawatirannya akan Jo dan masih harus ditambah berdebat dengan Jef.

Mungkin, gue emang nggak akan pernah bisa jadi ayah yang baik, Jef bergumam sedih dalam hati sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari, meremasnya frustrasi. Sisa air yang masih melekat membuat rambutnya lembab. Jef tidak peduli. Dia mundur beberapa langkah, duduk begitu saja di atas toilet yang tertutup.

Sejak hari di mana dia mengetahui eksistensi seorang Acacia Tredayorka sebagai anak perempuannya, Jef tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Kenapa Tris tidak memberitahunya? Kenapa perempuan itu memilih menyimpan segalanya sendiri selama hampir dua puluh tahun? Jef membayangkan hari-hari yang Tris lewati tanpanya. Bagaimana dia menghadapi morning sick sendirian. Berjuang diantara hidup dan mati juga sendirian—oke, mungkin dia memiliki Jo di sisinya... tapi bukankah seharusnya Jef yang ada di sana?

Namun kini, sepertinya Jef bisa mengerti.

Tris tidak memberitahunya soal Sashi hingga menjelang akhir napasnya, sebab perempuan itu tahu, Jef tidak akan pernah bisa jadi sebagaimana ayah yang seharusnya.

Jef tidak bakal mampu menjadi ayah yang baik.

Karenanya, Tris lebih memilih seorang Joshua Tirtasana—dan pilihannya tepat, sejauh ini, Jo sudah membuktikan jika dia bisa jadi ayah yang lebih baik buat Sashi.

Fakta itu menusuk Jef lebih dalam dari yang seharusnya.

Dari awal, gue lebih banyak bikin dia nangis, bikin dia sakit hati, bikin dia kesal, daripada bikin dia senang. Jadi itu sebabnya. Jadi itu sebabnya Tris nggak pernah tergerak ngasih tau gue... karena dia nggak cukup percaya sama gue.

Well done, Tricy. You made right decision.

I'm not a good father for her.

Mungkin dari awal, sebaiknya gue memang nggak pernah ada dalam hidupnya.

Jef menghela napas dalam-dalam, merasa dadanya tiba-tiba sesak oleh sebab yang tak mampu dia maknai. Lelaki itu beranjak, keluar dari kamar mandi hanya untuk disambut sepi. Malam telah kian larut, namun matanya tidak dihampiri kantuk. Justru, terasa sesuatu yang mengganjal. Berpikir sebentar, Jef sempat ragu walau akhirnya dia tetap berjalan keluar kamar. Tadinya, dia ingin bergerak menuju kamar Sashi—mengecek apa gadis itu masih di rumah atau sudah kembali ke rumah sakit. Tapi Jef justru disambut oleh sosoknya yang terbaring separuh meringkuk di atas sofa. Jelas, dia ketiduran. Tangannya menjuntai ke karpet, tempat di mana ponselnya tergeletak.

Jef mendekat, berlutut satu kaki di dekat anak perempuannya yang terlelap. Lelaki itu menarik napas panjang saat menyadari ada jejak sembab di pipi Sashi. Tampaknya, gadis itu sempat menangis beberapa lama.

"Maaf..." Jef berbisik, menyentuh pipi Sashi yang dingin dengan telapak tangannya.

Sashi tidak merespon, telah tenggelam terlalu jauh dalam mimpinya. Jef memandang wajah Sashi yang tertidur sejenak, lantas meraup tubuh gadis itu, menggendongnya ke kamarnya. Sashi terasa lebih ringan dari yang terakhir kali Jef ingat. Mungkin berat badannya turun. Apa karena kurang makan? Atau stress? Jef tidak tahu pasti, tapi dia sudah memutuskan dia bakal chat Dery, meminta anak itu memastikan Sashi makan dengan lebih baik mulai besok.

Malam itu, selain cicak di dinding, tidak ada yang tahu bagaimana Jef terdiam lama sekali di samping tempat tidur Sashi sebelum akhirnya dia beranjak dan menutup hari dengan menjatuhkan sebuah ciuman di dahi anak perempuannya.

*

Keesokan paginya, Sashi bangun hanya untuk mendapati rumah yang kosong. Dia diam sebentar, meraba sekelilingnya dengan kedua tangan dan merasa heran sendiri. Seingatnya, semalam dia ketiduran di sofa—setelah menghabiskan berjam-jam over thinking sambil diserang rasa bersalah. Keningnya berlipat. Sudah pasti tidak ada penjelasan yang lebih baik selain Jef karena Sashi tidak percaya ada hantu di rumah ini dan juga, dia tidak punya kebiasaan berjalan saat tidur.

Lantai yang mencumbu kakinya terasa dingin saat Sashi turun dari kasur, bikin dia sempat berjengit sedikit. Suasana rumah sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain dirinya. Sembari mengucek salah satu matanya, Sashi melangkah menuju kamar Jef.

Pintu kamar itu tertutup. Sashi memberanikan diri mengetuknya, tapi masih tidak ada jawaban. Gadis itu masih ragu menemui Jef, apalagi setiap teringat pada kata-kata menyakitkan yang diucapkannya semalam. Tapi Sashi juga tahu, mereka tidak bisa terus-menerus seperti itu. Membuang jauh seluruh gengsi dan mengumpulkan segenap nyali, Sashi meraih kenop pintu—ternyata pintunya tidak dikunci.

"Dad?"

Masih saja sunyi.

Kamar itu rapi dan kosong, meski sisa parfum Jef tertinggal di sepreinya, bisa Sashi hirup jelas ketika dia duduk di tepi ranjang. Di atas nakas, ada sebuah pot mungil berisi sukulen, juga bingkai mungil yang memuat sebuah foto. Sashi tersekat, meraihnya dan mengembuskan napas pelan. Itu foto Jef bersama Tris, pasti diambil ketika mereka masih sangat muda. Rambut Tris tergerai panjang sampai ke punggung. Perempuan itu tersenyum manis, memandang kamera sementara Jef merangkulnya dengan mata tertuju hanya pada perempuan di sebelahnya.

Mereka terlihat... cocok.

Ah, entah kenapa Sashi merasa kata itu terlalu dangkal buat menggambarkan keduanya.

Bukannya Sashi tidak mensyukuri kehadiran Jo dalam hidupnya, namun foto itu bikin dia jadi berpikir, seandainya saja segalanya berbeda... seandainya saja semuanya tidak serumit yang sudah terjadi... apakah mereka bisa jadi keluarga yang bahagia—maksudnya, Tris, Jef dan Sashi. Apa Sashi dan Jef akan tetap bertengkar sesering sekarang karena sebab sepele dan kesalahpahaman? Atau... mereka punya kesempatan memiliki hubungan layaknya ayah dan anak yang normal? Iya, hubungan normal tanpa gejolak emosi yang berujung pada penyesalan atau kecemburuan yang kekanakan.

Sashi masih termenung saat dia mendengar suara seseorang dari bagian depan rumah memanggilnya.

"Pakeeeeeeeeettttttt!"

Sashi mengangkat alis, tapi beranjak dan tergopoh menuju pintu depan, hanya untuk mendapati Dery berdiri di depan pintunya sambil tersenyum manis.

"Bokap lo miskin mendadak ya sampe lo jadi tukang paket?"

Dery mengabaikan tanya sarkastik Sashi, justru tersenyum kian lebar. "Morning! Wait—" cowok itu menjatuhkan plastik berisi entah apa yang dia pegang untuk menangkup kedua sisi wajah Sashi menggunakan kedua telapak tangan. "Lo abis nangisin apa sih? Sampe cantik begini."

"Gue nggak—" Sashi menahan napas, lupa pada apa yang mau dia katakan saat menyadari sedekat apa wajah Dery dengan wajahnya sekarang.

"Nggak nangis? Bohong. Nangis kenapa? Berantem lagi sama Om Jeffrey ya?"

"Nggak!" Sashi berusaha menyingkirkan tangan Dery dari wajahnya. "Lo ngapain ke sini pagi-pagi begini?!"

"Mau liat lo."

Sashi tersedak. "Tolong ya..."

"Namanya juga usaha." Dery nyengir, meraih kantung plastik yang tadi dia letakkan di lantai dan mengikuti Sashi masuk ke dalam rumah. "Siapa tahu, bisa lebih cepat realisasinya."

"Realisasi apaan?"

"Realisasi rencana lo untuk naksir sama gue."

"Dasar pria. Dikasih hati, mintanya jantung."

"Loh, emangnya lo udah ngasih hati lo ke gue?"

"Drol!"

Dery tertawa, sementara Sashi mati-matian menahan diri supaya tetap kelihatan galak—meski sebetulnya dia ingin tersenyum geli. Selama sebentar, Sashi lupa pada masalahnya dan Jef, juga keberadaan lelaki itu yang kini entah di mana. "Kalau mau ketawa, ketawa aja. Nggak usah ditahan!"

Sashi memutar bola mata. "Jawab yang bener, ngapain lo ke sini?!"

"Disuruh bokap lo."

"Papi?"

"Om Jeffrey. Nelepon subuh tadi. Nggak tahu waktu banget kalau nelepon tapi nggak apa-apalah, daripada dia neleponnya ke Ojun, mending ke gue." Dery berdecak. "Suruh gue dateng ke sini. Temenin lo. Bikin lo seneng. Anter lo kemanapun yang lo mau."

"Terus lo mau?"

"Yoi."

"Buset, jadi laki nggak ada harga dirinya banget dah!"

"Buat lo, sekedar harga diri doang mah kecil. Kalau bisa, seluruh lautan di dunia beserta isinya gue kasih buat lo." Dery langsung gombal.

"Aduh, kuping gue berdarah dengernya." Sashi mencibir. "Terus lo tau nggak bokap gue yang itu kemana?"

"Nggak."

"Ck."

"Eh tapi ini rahasia loh ya. Jangan sampe Om Jeffrey tau kalau lo tau kalau gue diminta kesini buat nemenin lo—kok jadi pusing gini ya bahasanya tapi intinya begitu deh!" Dery menjelaskan. "Hari ini lo mau kemana? Kita masih nggak apa-apa banget nggak ke sekolah, kok. Urusan itu udah bokap gue yang handle. Tenang aja."

"Rumah sakit?"

"Bokap lo kayaknya bakal banyak tamu hari ini. Terus kakek-nenek lo udah di sana. Papa gue bilang, katanya rombongan bapak-bapak WhatsApp mau ngejemput—bahkan Om Sehun yang lagi di Shanghai pun langsung pulang kemaren, soalnya katanya udah lama nggak ngomongin orang bareng bokap gue dan anggota perserikatan bapak-bapak ghibah lainnya."

"Dih, enak aja! Bokap gu nggak ikut-ikutan yang kayak gitu!"

"Tetap aja, namanya juga satu circle." Dery menyergah. "Lo tetap mau ke rumah sakit hari ini? Yah, kalau lo mau jadi bahan candaan para bapak-bapak sih nggak apa-apa. Sekalian bisa nampang di vlog bokap gue kan."

Gagasan itu bikin Sashi bergidik tanpa sadar. Dia tahu Jo bukan orang yang suka gosip, namun dia tahu benar seperti apa kelakuan Tedra.

"Yaudah, di sini aja deh."

"Tepat. Mending quality time sama gue, ya kan?"

"Quality time muatamu."

"Atau mau adu lambe aja sekalian biar enak?"

"Adu lambe?"

"Your lips on my lips dengan kearifan lokal."

"Lo mau gue tabok pake teflon ya?"

Dery hanya nyengir, kemudian bergerak menuju dapur. "Gue bikinin sarapan deh. Lo mandi aja dulu. Nggak boleh bantah, ini perintah sebagai perpanjangan titah dari bokap lo nomor dua!"

Sashi memutar bola mata, namun tidak bisa lagi menahan senyum. Dia menurut dan kembali ke kamarnya, menyempatkan diri untuk mengirim chat ke Jef sebelum mandi. Usai mandi, dengan setelan piyama baru melekat di badan dan rambut dibekap handuk, Sashi meraih ponselnya. Ternyata sudah ada chat balasan dari Jef.

To: Wong Gendheng
Dmn?

From: Wong Gendheng
Ngilang.

Pesan balasan itu berhasil bikin lidah Sashi kelu sejenak, seiring dengan rasa bersalah yang menonjoknya tepat di ulu hati.

To: Wong Gendheng
Masih marah?

From: Wong Gendheng
G.

To: Wong Gendheng

Oh, masih marah.

From: Wong Gendheng
Lo bilang ngga akan nyari gue. Be true to your own words.

Sashi baru saja mengetikkan 'Ayah, aku minta maaf'' ketika pesan baru Jef berikutnya masuk.

From: Wong Gendheng
Gue pergi. Jalan-jalan. Bukan untuk menghilang buat dicari.
Gue cuma perlu waktu buat diri gue sendiri.

To: Wong Gendheng
Dad.
Read.

Sashi memberanikan diri mengirim pesan berikutnya.

To: Wong Gendheng
Ayah.
Aku minta maaf.

Tapi berbeda dengan pesan sebelumnya, pesan itu terkirim pun tidak.

*

Sehabis sarapan, Sashi mencoba untuk menelepon nomor ponsel Jef, tapi nomor ponselnya tidak aktif. Sashi jadi cemas, apalagi setelah dia menghubungi Jennie dan Jennie berkata dia tidak tahu-menahu soal keberadaan Jef. Jennie justru mengomel, bertanya kesalahan macam apa lagi yang sudah Jef lakukan pada Sashi dan mungkin sudah melontarkan serenteng kata-kata pisuhan kalau Sashi tidak segera menenangkannya, berkata dia hanya sedang khawatir. Dari suaranya, Jennie agak terkejut, namun dia berjanji dia akan ikut berusaha menghubungi Jef dan bertanya pada teman-teman mereka—siapa tahu ada yang sedang bersama lelaki itu.

"Nggak usah terlalu dipikirin, Bol. Om Jeffrey kan bukan anak-anak lagi." Dery mendekat sembari mengulurkan secangkir teh herbal yang baru dia buat pada Sashi. Sashi menghela napas, menerimanya dan menyesap isinya perlahan. Entah dia terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri atau mulai terbiasa dengan Dery yang akhir-akhir ini selalu berada sedekat itu, Sashi yang tengah berdiri membiarkan saja Dery duduk di depannya, menggenggam tangannya yang tidak memegang cangkir teh.

"Justru itu, bokap gue yang satu itu bisa lebih tolol dari anak-anak dalam situasi tertentu. Dan posisinya, sekarang dia marah sama gue."

"Emang ini pertama kalinya kalian berantem?"

Sashi meringis pada pertanyaan Dery. "Bukan pertama kalinya... tapi... gue merasa sangat salah. Kata-kata gue pasti bikin dia sakit hati."

"Kalian tuh kalau lagi berantem sama aja, mulutnya sama-sama sampah. Dia nyakitin lo, lo nyakitin dia. Udah kayak drama Korea aja."

Sashi merengut. "But still—"

"Nanti juga kalau perasaannya udah lebih baik, Om Jeffrey bakal pulang. Ketika dia udah pulang, lo bisa minta maaf. Gue bukannya bermaksud menggurui, tapi gue rasa kalian berdua perlu ngomong dari hati ke hati deh, Bol. Omongin apa yang lo nggak suka dari Om Jeffrey, yang Om Jeffrey nggak suka dari lo, apa yang Om Jeffrey mau dari lo dan apa yang lo mau dari Om Jeffrey. Komunikasi. Jangan salah paham, terus saling marah, abis itu sama-sama nyesal."

"Lo... udah kayak penasehat cinta aja."

"Cuma ngasih saran berdasar pengalaman gue."

"Emangnya lo punya bokap dua?"

"Nggak. Tapi apa di dunia ini ada yang sanggup punya bokap kayak Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana selain gue?"

"Hm, benar juga sih." Sashi manggut-manggut.

"Wajar kok kalau lo merasa kesal dengan apa yang orang tua lo lakukan. Namanya juga hubungan dengan manusia. Manusia tuh ya Bol, dimana-mana selalu punya kekurangan dan kelebihan. Selalu punya sifat jelek dan sifat bagus. Sifat jelek lo sama Om Jeffrey mungkin nggak jauh berbeda. Emosional, suka ngomong asal kalau udah marah, tapi itu bukan berarti kalian nggak bisa bareng-bareng. Apalagi kalian keluarga. Mau sejelek apa pun dia, dia tetap bokap lo. Mau sejelek apa pun lo, lo tetap anak dia." Dery tersenyum tipis. "Kadang, gue suka mikir, kenapa ya gue nggak punya bokap yang kalem aja, yang bisa gue curhatin tanpa takut curhatan gue bakal jadi konten vlog, atau nyokap yang lembut dan baik hati kayak Tante Patricia, tapi ya, dipikir lagi, rumput tetangga selalu lebih hijau. Setiap orang punya kekurangan. Gue juga. Kalau orang tua gue bisa menerima gue dengan semua kekurangan gue dan tetap sayang sama gue, kenapa gue nggak juga berusaha memahami mereka dan nerima kekurangan mereka."

Sashi tercengang, meletakkan cangkir tehnya di atas meja, lalu menempelkan tangannya ke dahi Dery. "Nggak panas. Tapi kenapa lo kedengeran kayak lagi ngigo ya?"

Dery tertawa. "Sebenarnya, gue ini cukup dewasa."

"Sulit dipercaya. Soalnya tingkah-laku lo kayak Sule."

"Tapi bisa bikin lo ketawa, kan?"

"... iya, sih. Coba deh lo sering-sering bijak begini, lebih keren aja."

"Gue nggak ingin jadi keren." Dery terkekeh seraya meraih tangan Sashi yang melekat di keningnya, menggenggam jemari Sashi diantara jari-jarinya. "Gue ingin jadi orang yang bisa bikin lo ketawa."

Pipi Sashi menghangat, namun dia memekik kaget ketika Dery menariknya, membuatnya membungkuk hingga wajah mereka jadi begitu dekat. Sashi menelan ludah tatkala Dery mencondongkan badan ke depan, perlahan menutup jarak diantara mereka.

"Mandala Deryaspati."

"Mm-hm, Acacia Tredayorka?"

"Gue punya dua bokap."

Dery tertawa, malah makin mendekat. "I know."

"Dua bokap yang akan bereaksi keras kalau lo melakukan apa pun yang sekarang terlintas di pikiran lo ke gue."

Dery berhenti ketika dahinya dan dahi Sashi bersentuhan, dengan bibir mereka yang hanya berjarak sekian sentimeter. Cowok itu tersenyum di depan bibir Sashi, memandang Sashi dengan sorot mata jahil. "For you, I'll take the risk."

Lantas begitu saja, Sashi memejamkan matanya. Ada yang meledak dalam dadanya, berbanding terbalik dengan sesuatu yang serasa meleleh di bibirnya. Apa yang melingkupinya berikutnya adalah campuran dari beragam sensasi, manis, hangat, lega, lembut, yang tidak pernah Sashi kira bisa dia rasakan pada saat yang sama. Lalu ketika tangan Dery terangkat untuk memegang salah satu pipinya, menariknya kian dekat, Sashi tidak percaya bahwa ada satu masa bersama Dery di mana dia ingin waktu berhenti sepenuhnya.

*

Sashi dibangunkan dari tidur siang yang tidak diniatkan oleh getar ponsel yang bertubi-tubi. Gadis itu mengerjap, kemudian tersipu sendiri saat dia sadar dimana kini dia berada—di atas sofa, dalam rangkulan Dery yang masih terlelap. Mereka nggak ngapa-ngapain, kalau itu yang bikin khalayak ramai bertanya-tanya. Cuma saling memeluk sampai ketiduran.

Gerakan Sashi tampaknya membuat Dery ikut terjaga. Cowok itu mengedipkan kedua matanya beberapa kali, diikuti gumam dalam suara berat khas orang baru bangun tidur. "No... don't go anywhere..." katanya sambil mengeratkan rengkuhan lengannya pada pinggang Sashi.

"Bentar... HP gue getar..." Sashi bilang seraya mengeluarkan ponselnya, mengernyit saat melihat nomor yang terpampang di layar adalah nomor ponsel Felix. Tanpa pikir panjang, Sashi menjawabnya. "Iya, Felix? Whatno—Dad nggak di rumah. Nggak tahu pergi kemana dan pergi jam berapa, waktu aku bangun, orangnya udah nggak ada—what—bentar—aku nggak ngerti maksud kamu apa—hah?"

Dery merasa suasananya jadi serius tiba-tiba, jadi dia menukar posisi berbaringnya dengan posisi duduk, langsung menegakkan punggung. Wajah Sashi digelayuti kebingungan, tapi yang pasti, sisa kantuk mulai terbasuh habis dari airmukanya. Felix masih bicara lagi sebelum menyudahi telepon begitu saja.

"Kenapa?" Dery memburu.

Sashi menggeleng. "Nggak tahu... Felix tadi bilang soal... kapal ferry... gue nggak ngerti—" Kata-kata Sashi diputus oleh bunyi pelan dari notifikasi chat yang baru masuk. Sashi membukanya. Dari Felix, yang ternyata mengiriminya tautan sebuah berita yang diunggah ke salah satu portal media online terpercaya. Judul yang tertera dalam huruf kapital membuatnya makin tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Dia menarik napas, berusaha tenang dan membaca kata demi kata yang dituliskan...

Kapal ferry... hilang kontak... diduga tenggelam... manifest penumpang...

Ada sebuah daftar berisi nama-nama orang dan mata Sashi berhenti pada sebuah nama yang tampaknya memang menjadi salah satu fokus pemberitaan karena nama itu tidak disandang oleh orang biasa.

Jeffrey Gouw.

Dunia Sashi seperti runtuh, menjatuhinya.



Bonus -1-

Dulu, dua minggu sebelum melamar Joice, Tedra sempat sakit tipus. Bukan karena dia salah makan, soalnya ya berhubung dari kecil sering diisi sampah, maka sudah jelas perut Tedra memiliki kekebalan di atas rata-rata populasi homo sapiens. Tapi lebih karena lelah, soalnya demi menikahi sang pujaan hati dan membuktikan pada Keluarga Maharadjasa kalau dia serius dengan anak perempuan mereka, Tedra sampai melakoni beberapa pekerjaan sekaligus. Seperti di pagi hari, dia jadi kuli angkut yang bantuin ibu-ibu angkatin belanjaan mereka dari toko-toko di pasar ke becak atau mobil. Di siang hari, dia jadi tukang parkir. Di sore hari, dia jadi joko three in one. Di malam hari, dia dagang bajigur dan bandrek di terminal.

Akhirnya tumbang, kan.

Joice datang ke kosannya—tentu sembunyi-sembunyi dong, karena kalau sampai ketahuan Keluarga Maharadjasa, Tedra sama Joice pasti bakal jadi kayak Romeo dan Juliet dadakan yang dipaksa dipisahkan—bedanya, cuma Keluarga Maharadjasa saja yang jadi antagonisnya.

"Kowe eroh ora jenenge nduablek iku opo? Yo kowe iki." Joice nyerocos dalam bahasa Jawa sambil nyuapin Tedra bubur, sementara yang disuapin hanya bisa mengerjap tidak mengerti. Waktu itu, Tedra belum jago ngomong bahasa Jawa. Tapi soal bahasa cinta untuk Joice Maharadjasa, sudah pasti Tedra guru besarnya.

"Iya, Sayang. Iya."

"Aku tuh barusan ngata-ngatain kamu."

"Tau, kok."

"Nek eroh kok isih sayang-sayangan?"

"Karena kalau udah sama kamu, aku cuma paham menyayangi, nggak paham memarahi, apalagi mengata-ngatai."

"Oalah, guombal."

"Tapi kamu seneng, kan?"

"Iyo sih." Joice nyengir, lanjut menyuapi Tedra.

Saat Tedra akhirnya sembuh, cowok itu mengajak Joice makan di warteg langganannya. Niatnya, mau sekalian melamar Joice, kan. Gayanya kayak bule-bule di tv, dimana cincinnya dimasukkannya ke dalam segelas wine dan baru ketahuan setelah winenya habis. Setelahnya, baru deh Tedra bakal berlutut sambil bilang 'will you marry me?'

Tapi berhuhung anggaran terbatas, akhirnya tempatnya di warteg dan winenya diganti es teh. Jadilah, Tedra membawa Joice ke warteg langganannya. Langsung pesen makanan sama es teh kan.

"Walah, Mas, gelas'e entek ik, nggo plastik mau pora?"

Tedra berpikir sejenak. "Gelasnya abis beneran?"

"Iya, masih pada kepake ik."

"Yaudah, es tehnya pake plastik juga nggak apa-apa."

Nggak elit banget, Tedra tahu. Tapi mari percaya pada kekuatan cinta.

Mereka makan tuh di warteg. Banyak para pengunjung warteg yang salah fokus sama Joice ya kayak ngapain nih Tuan Putri kok malah makan sama tukang kudanya pangeran. Namun Joice santai saja. Usai makan, es tehnya belum habis, jadi Joice bawa tuh es teh sementara dia dan Tedra jalan keliling taman.

Tedra menunggu dengan sabar, tapi sempat meleng dikit karena tidak sengaja ketemu sama salah satu temannya—yang lagi ngamen di taman kota. Et pas memperhatikan Joice lagi, kok plastik esnya udah nggak ada.

"Es kamu mana, Sayang?"

"Udah abis. Jadi tak buang. Kenapa? Kamu haus?"

Tedra melotot. "DIBUANG DI MANA?"

"Di sono tadi, tempat sampah dekat comberan."

"HAH?!"

"Kenapa sih emangnya?" Joice heran, sementara Tedra langsung melesat menuju tempat sampah yang dimaksud. Joice mengikuti, lipatan di dahinya makin dalam ketika dilihatnya Tedra mengais-ngais tempat sampah.

"Ted, kamu ini kenapa?"

"Sek."

"Kalau haus, nanti aku beliin minum deh—hei, stop, diliatin orang-orang loh ini—"

Tedra mengabaikan Joice, terus mencari tanpa peduli tangannya kotor. Akhirnya, dia menemukan plastik bekas es yang dia maksud, masih berisi beberapa bongkah es batu yang menyamarkan keberadaan cincin di dalamnya. Tedra mengembuskan napas lega.

"Ted, kamu ini kenapa sih?!"

Tedra berbalik, menunjukkan plastik bekas es berisi cincin di tangannya sambil tersenyum lebar.

"Iku opo?"

"Jangan dipegang! Kotor!"

"Terus kenapa kamu pegang?!"

"Ini cincin."

"Hah?"

"Joice Maharadjasa," Tedra berlutut, menunjukkan kantung plastik di tangannya hingga cincin di dalamnya bisa terlihat jelas. "Rabi yuk?"

Semuanya terjadi di depan tempat sampah.



Bonus -2-

"Jadi gimana rasanya?"

Jef langsung memberondong Tris dengan tanya sesaat setelah gadis itu menelan gigitan brownies cokelat pertamanya. Hari ini, sepulang dari sekolah, Tris main ke rumah Jef. Kedua orang tua Jef sedang tidak ada. Katanya sih, mereka ada keperluan pekerjaan di luar kota. Keduanya sengaja mampir ke pasar swalayan untuk membeli bahan-bahan kue karena Jef bilang, dia baru saja menciptakan resep brownies a la dirinya sendiri yang dijamin lebih enak daripada brownies di toko kue.

Tris akui, Jef tidak bohong soal itu.

"Enak."

"Enak aja apa enak banget?" Jef menatap Tris dengan mata melebar penuh rasa antusias.

"Enak banget."

"I said so!" Jef berseru bangga, tertawa hingga matanya lenyap, berbeda dengan lesung pipi yang justru muncul di wajahnya. Lalu dia mengulurkan tangan untuk menghapus sisa noda cokelat di sudut bibir Tris. "Sampai belepotan gitu makannya."

Tris tersipu. "Tapi emang beneran enak. Kayaknya bakat turunan ya?"

"No, I'll be a greater chef more than my father." Jef berujar, agak sedikit sombong.

Pandangan mata Tris melembut. "I know. I believe that will happen someday."

"Dan saat hari itu tiba, aku harap kamu akan ada di sana. Di samping aku." Jef berkata sungguh-sungguh. "Jadi nggak sabar kuliah. Tapi di saat yang sama, juga nggak mau ninggalin kamu."

Mereka sempat bicara soal rencana Jef meneruskan studinya ke Australia, dan itu berarti, dia dan Tris akan terpisah jarak yang jauh.

"Cuma setahun, kok."

"Cuma setahun?"

"Kan tahun depannya, aku nyusul Kak Jeffrey."

"Janji ya?"

"Janji!"

Jef menatap Tris lekat, ada pemujaan yang kentara di matanya. "You know, Tricy, sama kamu... aku selalu merasa sesenang ini."

"Me too, Kak Jeffrey. Me too."

"Tau nggak, tadinya aku nggak pernah terpiir aku akan bilang begini... tapi sekarang... selain kuliah dan jadi tukang masak yang jago, aku rasa aku punya mimpi lainnya."

"Mm... apa?"

"Jadi ayah dari anak-anak kamu."

Pipi Tris serasa terbakar. "Kita masih muda, Kak Jeffrey. Jalan ke sana kan masih jauh."

"Papaku punya aku waktu dia masih muda, kok. Lagian, jadi ayah muda kedengeran... menyenangkan?" Jef terkekeh. "Kalau kamu punya anak, kamu lebih suka anak perempuan atau anak laki-laki?"

"Apa pun yang dikasih Tuhan, aku akan tetap sayang."

"Aku juga sih, tapi nggak tahu kenapa, aku lebih suka anak perempuan." Jef meraih tangan Tris, menggambar pola lingkaran di telapak tangan gadis itu. "Apalagi kalau mirip kamu. Emang berat, karena itu artinya aku harus jaga dua perempuan sekaligus. Tapi aku bakal berusaha jadi ayah yang baik. Aku harap, aku bisa jadi laki-laki pertama di dunia ini yang nggak pernah bikin dia menangis, kecuali untuk satu waktu."

"Satu waktu... maksudnya?"

"Saat aku meninggal lebih dulu dari dia." 





to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

hayoloh. 

apakah dia akan menghilang? 

atau dia menjadi mermed? 

mari kita lihat ntar 

(tadinya mau dikasih bonus ale-felix-riu mam baso italiano tapi gajadi lah disimpen buat GoTG aja wkwkwk btw GoTG enaknya kapan ni) 

dah sekian dan terimakasih sampai ketemu lagi di chapter berikutnya 



bonus kedua orang tua sashi

Nowhere, March 28th 2020 

16.45

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro