Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34

"Mau tahu sesuatu soal cowok yang berantem? Mereka nggak peduli mereka bakal menang atau kalah. Satu yang mereka pikirin cuma gimana caranya membela dan menjaga apa yang penting buat mereka."

— Mandala Deryaspati

***

(ayo ribut lah anying)

"Saya perlu ngomong sama Dery. Berdua aja."

Pak Bambang melongo. Joice terdiam. Raisa terperangah. Dery ternganga. Ojun terbungkam. Hanya Tedra yang mampu menghela napas panjang diselingi anggukan khidmat beberapa kali, seperti dia adalah titisan filsuf bijak berumur ribuan tahun yang memahami maksud baik Sashi.

"Penyebab dari semua insiden berdarah ini sudah bicara—"

"Papa!" Dery memotong ucapan Tedra, mendengus kesal sebelum beralih menatap Sashi. "Lo nggak ada urusannya dalam masalah ini."

Tedra hanya bisa memasang wajah: :O

"Nggak usah ngeles, Drol. Lo bukan orang gila yang bakal cari ribut sama orang lain tanpa alasan yang jelas. Kalau bokap lo sih gue nggak heran, tapi kalau lo... apalagi ributnya sama Ojun... pasti gara-gara gue!"

Tedra:

"Wes lah, mari ngono kita make it fast saja urusan iki! Mandala, kowe turuti opo maune Sashi! Wes sono, ngobrol berdua!"

"Sebentar, Pak—kita kan masih berdiskusi soal—" Kata-kata Pak Bambang tidak terteruskan saat Tedra menoleh padanya sembari tersenyum sok kharismatik.

"Menurut saya tidak ada yang perlu dibicarakan atau didiskusikan lagi di sini, Pak. Saya sebagai orang tua Mandala memohon maaf kepada Dek Raisa dan Juanda. Namanya juga anak-anak sedang berjuang demi cinta. Kalau untuk urusan luka-luka, toh dua-duanya sudah sama-sama bonyok. Impas. Bukan begitu, Dek Raisa?"

Raisa melirik Tedra, lalu menghela napas dan mendekati anak laki-lakinya. "Kamu nggak apa-apa, Mas?"

Ojun menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, Bunda."

"Kalau gitu, saya rasa urusannya bisa diselesaikan saja, nggak mesti diperpanjang." Raisa sependapat dengan Tedra, walau dia diam-diam sempat menatap sebentar pada Sashi yang masih menunggu di ambang pintu.

"Baik kalau begitu." Pak Bambang tidak kuasa menolak.

Akhirnya, kasus perkelahian dadakan antara Dery dan Ojun yang sempat jadi trending topic terpanas di sekolah pun selesai lewat jalur kekeluargaan sehingga Hotman Butarbutar tidak perlu dilibatkan.

Tapi tentu saja, ada hal lainnya yang tegang dan itu tidak ada kaitannya dengan dunia perkaretan atau perburungan yang tersembunyi di balik celana dalam, melainkan Joice yang kesal atas keganjenan Tedra pada Raisa serta situasi antara Dery dan Sashi.

Untungnya, Joice masih cukup beradab, jadi dia masih mampu menahan diri dan tidak menghantam kepala Tedra berkali-kali dengan tas Hermes-nya di depan Pak Bambang, Raisa dan Ojun.

Usai diberi kesempatan, tanpa basa-basi, Sashi langsung meraih tangan Dery dan menariknya menuju ruang UKS. Berpasang mata menatap mereka sepanjang mereka berjalan melintasi koridor dalam gerak cepat, tapi Sashi tidak peduli. Bahkan sejak awal berita adu jotos Ojun dan Dery tersebar di sekolah, sebagian besar siswa sudah mengaitkan namanya dengan dua cowok itu. Jadi Sashi tidak merasa bersembunyi atau menjaga jarak dengan Dery bakal berguna untuknya.

"Lo nggak perlu begini—"

Sashi mendelik, memaksa Dery duduk di tepi salah satu ranjang ruang UKS. "Nggak usah banyak bacot dan nurut. Ngerti?"

"Gue nggak—"

"Apa gue kelihatan seperti orang yang bakal mau mendengarkan alasan lo buat apa yang lo lakukan hari ini, Mandala Deryaspati?"

Dery kicep, memilih diam karena jika tidak, boleh jadi dia akan berdarah dua kali hari ini. Sashi tidak bicara lagi, malah sibuk membuka kotak obat dan memilih-milih beberapa botol cairan dari dalam sana. Matanya amat berkonsentrasi, memunculkan kerut diantara kedua alisnya.

"Ini lo ngacak-ngacak kotak obat UKS emang udah dapat izin dari anak PMR?"

"Kalau tahu isinya bakal dipake ngobatin siapa juga nggak cuma anak PMR, kepala sekolah pun nggak bakal berani berkomentar apa-apa." Sashi mendesis, kembali mendekati Dery dengan sejumlah amunisi di tangan.

"Gue bisa sendiri—"

"Gue tahu, tapi hari ini, gue mau lo nurut sama gue."

"Acacia—"

"Diem."

Dery terbungkam lagi, sementara Sashi mengeluarkan tisu basah antiseptik dari kemasannya untuk membersihkan luka-luka di wajah Dery. Dery mencoba untuk tidak terfokus pada Sashi yang kini begitu dekat dengannya, mencari distraksi dengan mengulurkan tangan untuk mengambil sebotol obat merah yang berada di pangkuan Sashi, tergeletak di atas roknya. Tapi dengan cepat, Sashi memukul punggung tangan Dery menggunakan tangannya yang tidak memegang tisu basah.

"Bisa diem nggak?"

"Galak banget." Dery bersungut-sungut.

"Sengaja. Lagian kenapa bisa bonyok banget kayak gini, sih?"

"Argh—sakit—pelan-pelan dong!"

"Tadi aja di depan Pak Bamby sok jago!" Sashi memutar bola mata. "Kalau mau berantem, seenggaknya jangan malu-maluin dong! Kalau lo tahu lo nggak bakal menang, mendingan jangan ngajak berantem orang!"

"Gue nggak peduli gue bakal menang apa nggak ketika gue berantem sama orang."

"Iya, makanya lo babak-belur kayak lemper abis didudukin gajah gini! Kagak ada cakep-cakepnya!"

"Gue cakep atau nggak juga nggak ada ngaruhnya buat lo."

"Nggak ada ngaruhnya gimana?" Sashi beralih membasahi kapas dengan cairan alkohol di dalam botol.

"Mau bonyok atau nggak bonyok, tetap aja perasaan lo bukan gue yang punya."

"Hadeh, udah ajur gini mukanya masih aja bahas perasaan. Dasar anak ambyar!" Sashi berseru pedas. "Kenapa bisa berantem sama Ojun? Kalau gara-gara gue beneran, gue marah loh ya!"

"Gara-gara lo."

"Lo mau lihat gue marah?"

"Nggak. Gue lebih suka lihat lo senang. Ketawa. Senyum. Asal jangan senyum-senyum sendiri nanti disangka gila."

"Ck." Sashi sengaja menekan kapas lebih keras pada bagian wajah Dery yang memar.

Tindakannya kontan bikin Dery mengerang kesakitan. "Sakit, woy!"

"Bodo, suruh siapa lo—"

Kata-kata Sashi terputus saat Dery mendengus sambil tiba-tiba memegang tangannya yang menekankan kapas ke wajah cowok itu. Genggaman tangan Dery pada pergelangan tangan Sashi sangat kuat, berhasil membikin Sashi menahan napas selama sepersekian detik. Dery menatap lurus, tepat ke kedalaman matanya. Sumpah, selama mengenal Dery, Sashi tidak pernah ditatap sampai segitunya. Kedua alis Dery nyaris bertaut, sementara ketegasan menyesaki sorot pandangnya.

"Mau tahu sesuatu soal cowok yang berantem? Mereka nggak peduli mereka bakal menang atau kalah. Satu yang mereka pikirin cuma gimana caranya membela dan menjaga apa yang penting buat mereka."

Sashi menelan ludah.

"Lo penting buat gue. Meski lo nggak balik merasa gue juga penting dalam cara yang sama, gue tetap nggak bisa tinggal diam melihat dia mempermainkan perasaan lo—saat seharusnya dia tahu kalau lo punya rasa sama dia!"

"Gue nggak suka lihat lo berantem sama orang sampai jadi kayak gini."

"Mau gue nggak berantem sampai bonyok? Caranya gampang. Lo nggak perlu ngomel! Lo cukup berhenti jatuh cinta sama orang yang salah! Jangan jatuh cinta sama orang yang bisa gampang megang-megang orang lain dan nggak ngehargain perasaan lo!"

"Lo bilang Ojun itu orang yang salah?"

"Gue ngerasa dia nggak baik buat lo."

"Terus yang nggak salah dan baik buat gue itu siapa? Lo?"

Dery meneguk saliva, membuat jakunnya naik turun sebelum akhirnya dia mengembuskan napas. "Gue nggak akan berani bilang begitu."

"Kenapa?" Sashi menantang.

"Sebab gue hanya bisa sayang sama lo. Perkara apakah gue baik atau nggak buat lo, pantas atau nggak buat lo, bukan gue yang boleh bilang gitu, tapi lo sendiri... dan orang lain yang peduli sama lo."

Sashi berdecak. "Lepasin tangan gue sekarang, bisa? Genggaman lo kuat banget. Tangan gue sakit."

Dery tersentak, refleks melepaskan cengkeraman tangannya pada Sashi. "Maaf."

Sashi mengembuskan napas seraya meletakkan kapas berlumur alkohol di tangannya ke atas kasur. Kemudian dia memindahkan botol dan wadah obat di pangkuannya ke sisinya, membiarkannya tergeletak di atas seprei putih. Lantas, apa yang dilakukan gadis itu berikutnya betul-betul tidak Dery duga.

Sashi bergeser mendekat untuk meraih Dery ke dalam sebuah pelukan.

Dery terperangah, tidak menerka itu akan terjadi sama sekali. Tetapi benar, lengan Sashi melingkari bahunya dengan erat, mengusap punggungnya. Dia bisa merasakan embus hangat napas gadis itu di lehernya. Dery tidak berontak, apalagi mendorong Sashi menjauh. Dia justru mengangkat kedua tangannya untuk balik merengkuh Sashi, memerangkap tubuh mungil gadis itu dalam peluk yang hangat. Matanya terpejam. Selama sebentar, Dery merasa pulang ke rumah terbaik yang pernah ada.

"Janji lo nggak bakal begini lagi, dan gue bakal balik janji sama lo."

"Janji apa?"

"Lo dulu."

Dery menghela napas di rambut Sashi. "Gue usahain, gue nggak akan berantem kayak gini lagi."

"Kok pake usahain?"

"Ya—ya, intinya gue janji gue nggak akan berantem sampe bonyok kayak gini. Sebagai gantinya, lo mau janjiin apa ke gue?"

"Gue bakal berhenti suka sama Ojun."

Dery melotot kaget, sempat bermaksud menarik dirinya lepas dari pelukan Sashi, tapi tangan Sashi masih mendekapnya erat. "Maksud lo apa?"

"Gue mau berhenti suka sama Ojun."

"You know, you don't have to do this."

"I know, but I want to do this."

"Kenapa?"

"Kepingin aja."

"You're unbelievable." Dery mendesah, bisikannya agak teredam karena dia kini menunduk, mengubur separuh wajahnya di bahu Sashi.

"Let's stay like this a bit longer, shall we?"

Dery tidak langsung menjawab, terlebih dahulu mengeratkan kedua tangannya, menarik Sashi kian mendekat. Tubuh gadis itu hampir tenggelam dalam dekap kedua lengannya. Lalu, Sashi mendengar Dery bergumam samar.

"Damn, Acacia, how can you be this warm?"

*

Mau tahu apa yang lebih horor bagi Jef daripada fotonya dan Leni yang entah bagaimana bisa tiba-tiba nampang di akun Instagram minceulamtur? Fakta jika suara dalam toilet di kamar Jennie telah lenyap, terganti oleh keheningan. Perlahan, Jef beranjak dari kasur Jennie yang masih berantakan, mengetuk pintu yang tertutup dengan penuh kehati-hatian.

"Jennie, are you okay?"

"I was."

"Was?"

"Did you check your Instagram, Gouw?"

Mampus, Jef mau mati rasanya.

"No, I didn't. What's wrong, honey?"

Waktu Jennie tidak lagi menjawab, insting survival Jef langsung bekerja. Cepat-cepat, lelaki itu berlari menuju ruangan tempat di mana lemari baju Jennie tersimpan. Dia membuka salah satu pintu, memilih salah satu hoodie yang tergantung—yang mana dari ukurannya, mudah menebak jika sebenarnya hoodie itu miliknya. Bertahun-tahun saling mengenal, telah lumrah bagi Jennie untuk mencuri kaus, jaket atau hoodie milik Jef yang menurutnya nyaman dipakai. Seringnya sih maksud awalnya buat meminjam, tapi lama-lama tidak dikembalikan.

Jef keluar dari ruangan dengan hoodie terpegang di tangan, hanya untuk disambut Jennie yang telah berdiri di depan pintu toilet sembari melipat tangan di dada. Rambutnya tidak lagi tergerai, telah tergelung asal dan ditahan dengan sebuah jedai. Anak-anak rambut terurai membingkai wajahnya, melekat di belakang lehernya. Dari ekspresi wajah yang kini Jennie tunjukkan, Jef tahu Jennie telah melihat postingan minceulamtur berikut komentar yang ditinggalkan oleh ibunya.

"Gue bisa jelasin, Jen. Ini nggak seperti yang lo pikir—"

"Nek everything is not like what I'm thinking right now, your picture won't be there, jingan." Jennie berujar dengan suara rendah, matanya menatap sengit pada Jef yang kini memeluk hoodie ke dadanya yang telanjang, terlalu gentar untuk memasang hoodie tersebut lebih dulu.

"Ini semua salah paham, gue—"

"Nek iki kabeh salah paham like you said, mbokmu ora bakal ngomen koyok ngono nang postingane si minceu, cok."

"Gue nggak tahu apa-apa—"

"Jeffrey Gouw."

"Yes, Jeanneth?"

"Ada kata-kata terakhir?"

Jef melongo, lantas buru-buru bergerak menuju pintu kamar Jennie sambil masih bertelanjang dada. Untungnya, pintunya tidak dikunci. Secepat kilat, dia mengambil alas kaki apa saja yang ditemui di ruang tengah sebelum lanjut berlari menuju pintu depan. Jennie mengejarnya, tidak peduli meski kini dia hanya mengenakan pakaian dalam dan kemeja kebesaran Jef yang melekat pada tubuhnya.

Mereka berlarian di koridor. Jennie berteriak memanggil Jef agar berhenti berusaha kabur, sedangkan Jef masih tidak mau menyerah. Lelaki itu tiba di dekat lift lebih dulu, memencet setiap tombol yang bisa ditekan dengan panik. Matanya terbelalak kala dilihatnya Jennie kian mendekat.

"MRENE KOWE ASU BAJINGAN WEDHUS GEMBEL THE MOST FUCKED UP JANCOKER YOU THINK YOU CAN RUN AWAY FROM ME HAH?!!"

Salah satu lift akhirnya terbuka. Ada seorang perempuan berambut panjang yang mengenakan masker berdiri di dalamnya. Jef tidak peduli, sekalipun dia tahu alis perempuan itu sempat terangkat saat melihat bagaimana dia masih bertelanjang dada dengan kaki yang mengenakan dua jenis alas berbeda. Jef langsung masuk, menekan tombol untuk menutup pintu lift dengan kalap.

Pada akhirnya, lift telah hampir tertutup saat Jennie tiba di depan lift tersebut, menyisakan sedikit celah bagi mata mereka untuk saling menatap.

"I SWEAR I'M GOING TO KILL YOU VERY SOON, BANGSAAAAADDDDDDD!"

"I love you, Jen. I really do."

Pintu lift pun menutup sempurna, menjebak Jef dalam situasi awkward bersama satu penumpang lift lainnya.

"Uh... I'm sorry." Jef berujar canggung dengan wajah terbakar rasa malu, lantas dia memakai hoodie yang sedari tadi ditentengnya sehingga kini, aurat berkotak-kotak di perutnya dapat tertutupi.

"Jeffrey Gouw?"

Jef menelan ludah. "Well, yes. Can you think of this as a secret, please? I will—"

Perempuan itu melepas maskernya dan kini ganti Jef yang terperangah.

"Leni?"

*

Siang ini, sepulang sekolah Sashi menjemput Jo di kantor dengan ditemani Dery. Tadinya, Sashi bersikeras pergi ke rumah sakit hanya berdua dengan Jo, namun Dery memaksa. Dery sudah lama bersahabat dengan gadis itu. Mudah melihat kapan Sashi butuh dukungan emosional, walau dia tidak mengatakannya. Bicara soal rumah sakit dan hasil pemeriksaan Jo yang akan mereka terima hari ini berhasil membuat Sashi mesti mati-matian menahan tangisnya beberapa kali sepanjang perjalanan dari sekolah ke kantor. Kun diam saja, sedangkan Dery berupaya menenangkan Sashi tanpa membuatnya merasa lemah.

Jo telah menunggu di lobi saat Sashi tiba. Senyum lebarnya tertarik, meski Sashi tidak membalas. Gadis itu terlalu khawatir. Di jalan menuju rumah sakit, dia tidak berhenti mengetik pada ponselnya dengan gugup.

"Kamu lagi lihat apa?"

"Nggak apa-apa." Sashi malah berusaha menyembunyikan layar ponselnya dari Jo. "Aku cuma... aku cuma..."

"Cuma?"

"Nggak apa-apa." Sashi tersenyum tipis. "Semuanya akan baik-baik aja karena Papi udah bilang begitu, iya kan?"

Jo mengangguk. "Iya."

Padahal, sebenarnya Sashi tengah sibuk mengetikkan kata-kata yang bunyinya tidak jauh berbeda dari 'risiko bedah ortopedi' dan 'pemulihan pasca bedah ortopedi' di kolom pencarian Google. Jujur, bukannya membuat tenang, Sashi malah makin panik karena kata-kata yang muncul tidak jauh dari; infeksi luka operasi, penggumpalan darah, alergi obat bius, pendarahan, nyeri sendi kronis, kerusakan jaringan saraf.

Benar seperti dugaan Sashi, dokter yang menjabarkan hasil pemeriksaan menganjurkan Jo untuk melakukan bedah ortopedi sesegera mungkin. Jo sempat berniat pulang lebih dahulu, tapi Sashi memaksanya tetap berada di rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut sekaligus persiapan untuk prosedur bedah yang diperlukan. Sashi bilang dia yang akan pulang untuk mengambil barang-barang yang akan Jo butuhkan.

Jujur, Jo tidak sampai hati membiarkan Sashi melakukan itu. Bulan-bulan panjang yang diisinya menemani Tris keluar-masuk rumah sakit dan mengikuti serangkaian prosedur kemoterapi membuatnya paham bahwa mengurusi orang sakit bukan hanya menyebabkan lelah secara mental, namun juga fisik. Sashi juga baru pulang sekolah, belum sempat berganti pakaian, belum lagi dia bisa saja punya tugas yang harus dikerjakan dan besok pagi harus kembali berangkat ke sekolah.

Namun Sashi tetap ngotot. "Aku pulang ambil baju Papi dan lain-lain, terus nanti langsung balik ke sini lagi. Dery bakal jagain Papi di sini selama aku pergi."

"Minta anterin Om Kun." Dery berkata.

Sashi mengangguk, kontan buka mulut kala dilihatnya Jo ingin membantah. "Papi nurut aja! Orang sakit nggak boleh banyak ngajak debat. Sekarang aku pulang, nanti aku ke sini lagi. Malam ini, aku tidur di sini aja kali ya? Besok berangkat sekolahnya dari sini."

"No." Jo membalas tegas tanpa berpikir. "Papi nggak kenapa-napa dan masih cukup sehat buat ditinggal di sini sendirian."

"Itu kan Papi yang ngerasanya gitu!" Nada suara Sashi meninggi, agak membuat Jo tersentak sedikit sebab dia tidak pernah melihat Sashi sengotot itu sebelumnya. Gadis itu lebih bawel dan lebih keras kepala dari Tris, tapi dalam bersikap di depan Jo, tingkah-lakunya sangat terkontrol. Tidak pernah sekalipun dia membantah apalagi berseru pada Jo dengan nada setinggi itu.

"Papi nggak mau kamu tidur di sini. Kamu mau tidur di sofa? Nggak nyaman."

"Aku bisa minta tolong Papa bukain satu kamar lagi buat Sashi, kalau emang dibutuhkan." Dery menukas.

"No, that will be pointless." Sashi membantah tegas. "Aku mau di sini buat jagain Papi. Kalau aku di kamar terpisah sama juga bohong namanya!"

"Jawaban Papi tetap nggak." Jo tidak kalah ngotot. "Malam ini kamu pulang. Tidur di rumah!"

"Segitunya Papi nggak mau ditemenin sama aku ya?"

"Iya."

Sashi mengerjap, tidak menduga Jo bakal mengiakan pertanyaannya yang maksudnya sarkastik. Gadis itu terdiam selama sepersekian detik dan meski hanya sejenak, dari tatapan matanya, Jo tahu dia sudah membuat Sashi terluka.

"I didn't mean it that way, Acacia—maksud Papi—"

"Nevermind." Sashi memotong seraya memaksakan senyum. "Nggak apa-apa kalau Papi nggak mau ditemenin aku. Tapi tetap harus ada yang nemenin. Mungkin kalau Tante Jennie nggak keberatan atau Dery bisa minta tolong salah satu suster di sini—" Sashi menelan ludah dengan susah-payah. "—aku pulang dulu ambil apa-apa yang dibutuhin. Papi tetap di sini. Nanti kalau ada yang mau dibawain, chat aku aja."

"Acacia—"

"Drol, gue titip bokap gue ya?"

"Yo."

Sashi tidak bicara lagi, langsung berjalan keluar dari ruangan diikuti helaan napas berat Jo. Lelaki itu mengacak rambutnya pelan, menatap muram pada Dery yang hanya bisa terdiam di tempatnya berdiri. "I hurt her, did I?"

"Unfortunately, Om, I think so."

*

(selamat meninggal)

"Holy shit, not this time..."

Sashi tidak bisa menahan diri untuk tak memaki kala mobil yang dikemudikan Kun menuju rumahnya tertahan oleh keramaian mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan. Gadis itu merunduk sedikit, melihat baik-baik mobil-mobil tersebut dan tersadar mereka semua berasal dari redaksi majalah dan stasiun televisi swasta yang tengah memburu berita. Entah masalah apa lagi yang telah diperbuat oleh ayahnya yang nomor dua, tapi yang jelas itu membuat Sashi tidak bisa turun bebas di depan rumahnya sendiri.

"Om, nanti agak muter ke bagian belakang rumah aja. Ada pintu kecil di sana. Cuma jalannya rada sempit jadi paling setelahnya aku harus jalan kaki. Nanti Om tunggu aja di mobil ya, nggak usah turun soalnya takut ada wartawan yang lihat." Sashi akhirnya memberi instruksi pada Kun.

Kun mengangguk, meski dia otomatis berkomentar saat mobil yang mereka tumpangi telah memutar ke bagian belakang rumah. Jalannya memang sempit dan tidak bisa dilalui mobil. Jarak dari tempat mobil terparkir menuju pintu belakang kecil yang Sashi maksud juga cukup jauh.

Kun akhirnya bertanya. "Betulan mau jalan ke sana? Soalnya lumayan juga tuh jaraknya."

"Nggak apa-apa, Om. Sekalian olahraga."

Dusta besar, soalnya Sashi tengah merasa lelah yang amat sangat. Pikirannya telah terkuras. Dia juga belum sempat menghela napas barang sejenak setelah pulang dari sekolah. Tapi Sashi tahu, dia mesti melakukannya. Menggunakan jasa driver ojek terkesan berlebihan karena jaraknya tergolong dekat jika menggunakan kendaraan bermotor.

"Tunggu di sini ya, Om?"

"Oke sip." Kun mengacungkan jempolnya.

Sashi beruntung, hari telah menjelang sore, jadi matahari tidak lagi bersinar terik seperti ketika siang. Seandainya saja cuaca masih panas, rasa-rasanya Sashi bakal memilih untuk pingsan saja, sih. Dia melangkah dengan cepat, langsung membuka pintu pagar belakang yang telah berkarat dan masuk. Lagi-lagi dia merutuk dalam hati sebab jarak dari pintu pagar menuju pintu bagian belakang rumahnya masih cukup jauh. Ibarat kata nih ya, bisa aja Jef sekalian menyediakan mobil golf di belakang rumah.

Sungguh sebuah prestasi ketika akhirnya Sashi berhasil tiba di rumah dengan selamat berikut bonus wajah yang berkeringat hasil jogging dadakan.

Dia sempat menebak Jef belum sampai di rumah, hingga dia berjalan menuju ruang tengah dan dibuat nyaris terpeleset ketika kakinya tidak sengaja menginjak kulit pisang yanng tergeletak di lantai. Gerak refleks Sashi yang langsung berpegangan pada tepi meja terdekat menyelamatkannya hingga bokongnya tidak perlu beradu dengan lantai.

"Siapa orang tuolol yang dengan bodohnya menjatuhkan kulit pisang di sembarang tempat? Oh sudah barang tentu Jeffrey Gouw orangnya." Sashi bergumam kesal seraya terus melangkah. Niatnya memaki begitu untuk meredakan emosi, tapi dia justru dibikin kian geram saat disambut oleh meja makan yang kotor penuh sampah pembungkus makanan McDonald's. Tak jauh dari sana, Jef sedang duduk di sofa, mengetik cepat di ponselnya.

"Baru bikin masalah apa lagi nih?" Sashi bertanya dengan nada masam yang terkesan menohok, berhasil membuat Jef tersentak dan menoleh padanya.

"Dari mana aja lo?" Jef bertanya, agak tajam. Dia beranjak dari sofa sambil menunjukkan ponselnya. "Gue ngechat lo dari tadi. Nggak dibalas. Nelpon juga. Nggak aktif. Gue tanya Jansen, katanya lo udah pulang. Bocah ambyar ditelepon juga nggak ada kabar. Juanda ditanyain katanya nggak tahu lo ada di mana."

"Aku—"

"Di luar rame. Kalau sampai ada wartawan yang lihat lo, mau gimana?"

Sashi capek, niatnnya mau buru-buru ke kamar Jo untuk mengambil apa-apa yang dia perlu bawa ke rumah sakit, tapi dari ekspresi wajah yang ditunjukkan Jef, dia tahu kalau dia melenggang menuju kamar Jo tanpa bilang apa-apa, maka konflik ala Jalur Gaza akan pecah.

"Nggak ada wartawan yang lihat aku. Aku masuk lewat belakang." Sashi berdecak. "Aku nggak tahu ada masalah apa lagi yang Dad bikin sampai banyak orang pada ngumpul di depan rumah kita, tapi aku nggak ada kaitannya dengan itu jadi kalau ada yang boleh marah di sini, harusnya itu aku. Aku capek mesti masuk lewat belakang."

"Suruh siapa nggak ngehubungin gue?"

"Bisa ditunda sampai nanti nggak berantemnya?"

Jef melotot. "Kenapa lo bersikap seakan-akan gue yang salah di sini?!"

"Jelas Dad yang salah. Pertama, Dad terlalu egois sampai-sampai masih harus nanya aku dari mana. Kedua, tadi aku hampir kepeleset karena nggak sengaja nginjak kulit pisang di lantai dan kita tahu siapa tersangka di balik kulit pisang itu. Terus juga, bisa nggak ya kalau habis makan tuh sampahnya dirapihin? Aku pusing lihatnya. Udah pusing mikirin yang lain, masih mesti ditambah lihatin rumah yang berantakan banget. Sekarang aku buru-buru, udah ada yang nungguin di luar."

Jef meraih tangan Sashi ketika gadis itu berjalan melewatinya, otomatis membuat Sashi menghentikan langkahnya. Dia meringis kesakitan, berusaha menarik lepas tangannya namun genggaman tangan Jef terlampau kuat.

"Lepasin tanganku."

Logikanya, Jef tidak seharusnya semarah itu. Tapi akumulasi dari seluruh peristiwa yang terjadi hari ini membuatnya tak lagi berpikir jernih. Bukan hanya dari kerumitan akibat kesalahpahaman yang melibatkan ibunya dan ibunya Leni—turned out, ternyata yang mengirim foto mereka berdua untuk diposting oleh minceulamtur adalah Eyang Putri Gouw Nomor Dua sendiri, sebab tidak ada satupun dari Jef dan Leni yang mengambil foto saat pertemuan mereka tempo hari—belum lagi kemarahan Jennie serta bagaimana perempuan itu menolak menjawab pesan teks dan telepon dari Jef... sikap Sashi kali ini benar-benar menjelma jadi trigger yang membuat emosi Jef nnaik dengan cepat.

"Apa lo bilang? Coba bilang sekali lagi!"

Sashi berusaha menyentakkan tangannya. "Aku bilang, lepasin tanganku!"

"Jawab dulu pertanyaan gue tadi, lo kemana aja dan kenapa bisa sampai sesusah itu dihubungi?!"

Sashi menghela napas. "Aku capek. Beneran capek. Lepasin tanganku!"

"Lo kira gue nggak capek?!" Nada suara Jef meninggi.

Sashi menelan saliva. Wajahnya sudah memerah. Perasaannya berantakan. Dia tidak bilang apa-apa sebab kalau dia nekat membuka mulut buat bicara, maka yang pertama kali bakal terlontar adalah tangisan.

Sebagai gantinya, dia malah menggunakan tangannya yang lain untuk melepaskan cengkeraman tangan Jef pada lengannya. Tetapi Jef tidak mau mengalah. Selama sesaat, mereka saling ngotot tanpa bicara, hingga akhirnya Sashi menunduk dan isaknya pecah begitu saja.

"Aku tuh nggak tahu Dad ada masalah apa hari ini! Juga nggak tahu kenapa banyak orang ngumpul di dekat rumah dan segala macamnya! Tapi kalau Dad mau marah, Dad nggak berhak marah sama aku karena aku nggak tahu apa-apa!"

Jef membeku di tempat, ada yang bergetar dalam dadanya melihat anak perempuannya tiba-tiba menangis. Perlahan, dia melepaskan genggaman tangannya pada lengan Sashi, merasa bersalah saat dilihatnya jarinya meninggalkan bekas merah di kulit gadis itu. "Jangan nangis. Gue cuma tanya, lo abis dari mana!"

"Dad masih nanya aku abis dari mana? Seegois itu ya."

"Nggak usah ngajak berantem—"

"AKU ABIS DARI RUMAH SAKIT!" Sashi berseru, separuh membentak dan air mata kembali menetes deras di pipinya tanpa bisa dia hentikan. "Papi sakit. Mungkin besok atau lusa atau besoknya lagi bakal menjalani operasi! Operasi itu pun belum tentu menjamin sakitnya bakal pulih sepenuhnya karena ada banyak risiko lain yang bisa aja terjadi! Dan mau tahu kenapa Papi sakit? Papi sakit gara-gara aku!"

Jef tersekat, merutuki dirinya sendiri karena dia sampai melupakan soal Jo.

"Aku dua kali dibentak hari ini. Pertama sama Papi. Kedua sekarang. Can't you all see that I'm trying to do my best here?" Sashi terisak makin keras, suaranya mulai goyah karena tangis yang terus berlanjut. Dia menyeka air matanya dengan punggung tangan, namun air matanya masih tidak mau berhenti menetes. "Sekarang terserah mau bilang apa! Pokoknya aku capek!"

Habis berkata begitu, Sashi bergerak cepat menuju kamar Jo. Jef berupaya menyusul, tapi sebelum dia sempat masuk, Sashi telah lebih dulu membanting pintu tepat di depan hidungnya.



 

Bonus -1-

"Ma, isih ngambek tah?"

"Ora." Joice membalas judes dalam perjalanan pulang mereka dari sekolah Dery.

"Nek ora yo coba smile gitu loh, ojo manyun lima senti koyok ngono..."

"Bodo."

"Ma, aku karo Dek Raisa iku guyon tok loh... kok malah kowe ngambek ngene..."

"Guyon tok karena selerane de'e dudu kowe. Nek de'e gelem karo kowe yo wis kowe hap hap ora pake mikir. Iyo opo iyo?"

"Iyo, sih."

"TUH KAN!"

"Guyon, Maaaaaa."

"Terserah."

"Ma..."

"Opo aku coba calling-calling-an sama Mas Agung yo?"

"MA!"

"Aku ki isih ayu, servisne isih puol-puol-an, Mas Agung baru jadi duda. Mesti de'e lagi butuh belaian. Hm..."

"MAMA!"

"Terus Mas Agung tinggi-rupawan... ora konted koyok someone..."

"Yaudah, Mama mau apa deh dari Papa." Tedra menghela napas. "Tak tumbasno Gunung Tangkuban Perahu sekalian kawah-kawahe. Piye?"

"Ora gelem."

"Terus kowe gelem'e opo?"

"Tumbasno salon Johnny Andrean."

"Hah, biar apa?"

"Kemaren istrinya Johnny Andrean rada songong sama Mama. Pengen Mama beli semua salonnya terus tak ganti nama."

"Ganti nama?"

"Jadi Joice Andrean."

Tedra hanya bisa menghela napas panjang, baru tersadar kalau ternyata di keluarga mereka, yang sinting bukan hanya dia seorang.



Bonus -2-

seravinasutanto

felixgouw, sashasolihun and 10,654 others

the last pic of us that will be posted here in my feeds. thanks for all the butterflies, but it seems like we don't mean to be together in the end.

load more comments

j_somi omg baby what happened? :( sini curhat sama akuuuu

seravinasutanto check your whatsapp, bby @j_somi

cgofficial kowe pegat a? @Jansengouw

felixgouw MAS JANSEN PUTUS? WADOH, MARI KITA NGOMBE SAMPAI MABUK!

erinap minum kratingdaeng aja puyeng, bocah sok-sok an mau ngombe @felixgouw

jansengouw paklik, can we have a boy's night out tonight?

felixgouw FELIX MAU IKUT @cgofficial @jansengouw

jansengouw ora ah wedi aku karo mbokmu @felixgouw

stevia_ivanesca sorry @jansengouw. this is thea from snu. you didn't read my dm nor reply my email. tolong balas email saya, ini soal koper kita yang ketuker di incheon dua minggu lalu @jansengouw

Jansen baca komentar salah satu Instagram user yang namanya Stevia itu dan kemudian dia baru ingat kalau dia memang sempat ngambil koper yang salah sewaktu main ke Korea dua minggu lalu. Habis dari Jepang, Jansen pergi lagi ke Korea. Niatnya mau cari suasana baru aja sih nongkrong dan sepedaan dekat Sungai Han. Kopernya Jansen yang ketuker sama orang lain ini isinya cuma iPad, sepasang airpod sama laptop yang baru Jansen beli sebab lagi kepengen, jadi belum dipake dan belum ada datanya.

Dia santai aja, tidak terpikirkan terus merasanya ya isi koper orang yang dia ambil juga kebanyakan barang nggak penting, jadi nggak bikin pengaduan apa-apa ke maskapai.

Sekarang tahu-tahu ada yang mention.

Penasaran, akhirnya Jansen klik profilnya Stevia ini.

Namanya Stevia Ivanesca. Biasa dipanggil Thea. Dia lebih tua satu tahun dari Jansen dan sekarang lagi kuliah S2 di Seoul National University.

Mangsa baru yang sangat menarik, gitu pikir Jansen.

Untung baru putus dari Seravina, ternyata emang nasib mau ketemu yang bening-bening.



Bonus -3-

felixgouw

cgofficial, rendyjunaedi and 4,512 others

wajahku saat tau kakakku jatuh cinta pada domba dan adikku jatuh cinta pada rakyat jelata.

load more comments

erinap kowe arep mbak erin smack down ya?

tamarap aku tidak suka pada mas juanda!!!

jswidara :) @tamarap

amarap aku tidak naksir, maksudnya. jika suka, ya aku... suka @jswidara

felixgouw mba erina mending kembali saja dengan mas sony

sony_ong felix, kamu mau mas sony kirimkan lamborghini terbaru tidak? @felixgouw

erinap ngga usah ngadi-ngadi lo, dia belum punya SIM @sony_ong

lsmatondang maksudnya domba tuh apa ya? mmianhae, taunya bodat @erinap

erinap kamu nggak usah tau gpp @lsmatondang

sony_ong jadi kamu ninggalin aku demi domba? @erinap

erinap biarin, anunya lebih gede dari km @sony_ong 




to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

heiho, lama tidak bersua akhirnya kita bersua kembali. 

mohon maap kemarenan abis the dream show aku sibuk mengurusi beberapa hal terus perlu waktu untuk bisa mengontrol emosi karena buset, belom 24 jam konser kelar aku udah rindu gimana dong :( 

btw maap ya part ini penuh dengan adegan merong-merong hehehe mari kita mulai penyiksaan batin muehehe 

terus apalagi udah kali ya itu aja 

kalian pada khawatir sama jo 

ternyata yang mati jef 

lhoooooooo wkwkwkw 

liat aja ntar deh, sampai ketemu lagi di chapters berikutnya.

biar pd semangat aku kasih target aja nih 2,2K vote dan comments untuk next chapter ok ok 

sekian dan terimakasih 

ciao 


aku  gamau mati sendiri 

Di Atas Perut Silverqueen, March 10th 2020 

00.00


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro