30
Ning Stasiun Balapan... kutho Solo sing dadi kenangan... Kowe karo aku...
— Lord Didi
***
Begitu Sashi meninggalkan pelataran depan rumah bersama Dery, secara otomatis Jef ditinggalkan hanya berdua saja dengan Jennie. Tadinya, Jef berharap Jennie bakal salah tingkah. Jika begitu, akan gampang buatnya mencoba menggoda Jennie atau bikin Jennie kesal seperti biasa. Sepengalaman Jef menjadi sahabat Jennie selama belasan tahun, Jennie bukan orang yang bisa marah padanya berlama-lama.
Tapi lagi-lagi Jef kecewa. Jennie bahkan tidak menatapnya. Perempuan itu hanya mendengus, lantas berbalik dan melangkah masuk ke dalam.
"Lo mau kemana?!"
Jennie bungkam, terus saja berjalan.
"Jen!"
Jennie masih menolak berhenti melangkah.
"He, pekok, kowe ngrungu ora?!" (He, tuolol, lo denger nggak?!).
Jennie kontan berhenti bergerak tepat ketika dia dan Jef sudah memasuki dapur luas yang berada di lantai bawah. Dia menoleh pada Jef dengan dramatis, membuat Jef refleks menelan ludah. "Lo ngomong apa tadi?"
"Gue ngomong sama lo!"
"Gue mau bikin minum."
"Gue nggak harus."
"Ge-er banget. Orang gue bikin minum buat Jo dan orang-orang lainnya kecuali lo!" Jennie menukas sinis sembari membuka kulkas yang masih bau toko—Jef sengaja membeli kulkas empat pintu sehari sebelum mereka pindah dan mengisinya dengan beragam bahan makanan basic—buat ukuran chef, tapi buat orang biasa, isi kulkas Jef bisa dibilang dapat bersaing dengan kulkas Kim Kardashian.
"Oh."
"Sana pergi!"
"Nyolot banget sih?"
"Gue nggak suka digangguin!"
"Gue nggak ngapa-ngapain!" Jef membela diri.
"Muka lo ganggu!"
"Ganteng gini, kok!"
Jennie mendelik, hampir murka. Ibarat kata naga, Jennie sudah siap menyembur Jef dengan bola api. Namun tidak jadi. Selain karena Jennie bukan naga, juga karena ponselnya yang tiba-tiba berdering dalam saku celana. Perempuan itu mengeluarkannya, menjawab telepon yang masuk dengan nada manis.
"Iya, Theo? Ah, nggak kok! Gue nggak lagi sibuk. Kenapa?"
Jef langsung panas kayak penggorengan lupa dikasih minyak yang ditinggalkan di atas kompor yang berkobar.
"Jen, I think we should talk." Jef sengaja ngomong dengan suara sok gentleman, ogah kalah dari laki-laki berwajah ala tokoh anime yang dilihatnya di Jepang tempo hari. Dia sudah tahu siapa lelaki itu—terimakasih kepada anak semata wayangnya yang walau kadang bisa sangat kurang ajar, tapi mampu jadi mata-mata gratisan yang berguna. Namanya Theonald Tedjanegara. Masih satu keluarga dengan Agung Tedjanegara yang barusan bercerai dengan istri sosialitanya.
Dia tampan, kaya raya dan belum menikah hingga pertengahan usia tiga puluhan. Ada desas-desus menyebar jika sebenarnya Theonald Tedjanegara itu tidak tertarik pada lawan jenis. Namun dari caranya menatap Jennie kemarin-kemarin, Jef tahu penyebabnya.
Sama seperti perasaannya yang masih ngilu setiap mendengar kata 'Patricia', Theo pasti belum move on dari Jennie!
Dasar bucin!
(ya, Jef juga sama sih).
"Jen," Jef memanggil lagi, sengaja lebih keras.
Jennie melotot, membisikkan kata. "Shut up." tanpa bersuara.
"Jen, I am talking to you."
"Theo, can you wait for half a minute?" Jennie berujar ramah pada Theo sebelum menjauhkan teleponnya dan ganti memekik pada Jef dengan penuh nada antagonis layaknya emak tiri. "MENENG NDISIK ISO ORA, JINGAN?!" (DIEM BENTAR BISA GA, JINGAN?!).
"Ora iso!" Jef tidak kalah nge-gas. Lantas tanpa Jennie tebak, laki-laki itu merebut ponselnya dan mematikan telepon dari Theo begitu saja. "Now let's talk."
"WAH, KURANG AJAR TENAN IKI JANCOK SIJI! Maksudmu opo, Su?! Kowe arep ngajak aku ribut tenanan, ha?!"
"Kalau iya, emang kenapa?!"
"OALAH, PEKOK, MARI NGONO NGKO SEK AKU SIAP-SIAP!" Jennie berteriak kesal pada Jef sambil tangannya melepaskan cepolan rambutnya, bikin rambut itu tergerai sampai ke punggungnya. Dia berniat mencepol kembali rambutnya agar lebih kencang dan anti-lepas—terutama saat dia baku hantam dengan Jef nantinya—namun Jef sudah terlanjur meraih tangannya. (OALAH, GEBLEK, KALO GITU BENTAR GUA SIAP-SIAP!).
"Stop it, Jen."
"Let go of my hand, you titisan wedhus gembel!"
"I won't unless you calm the fuck down and listen to me—listen, we need to talk!"
"Talking-talking opo meneh! Kabeh urusan diantara kita wes jelas! Now, let go of my hand!"
"Let's talk about us."
"I don't want to."
Jef jadi gusar, nyaris saja memaki sekaligus memisuhi Jennie dengan semua kata-kata paling berseni yang ada dalam kamusnya ketika sudut matanya menyaksikan gerakan seonggok makhluk hitam berbulu yang menyelip diantara kaki meja.
"CURUT!"
"ASU!" Jennie tidak mau kalah.
"Gue bukannya ngatain lo tadi, pekok!" Jef jadi kesal lagi pada Jennie.
"TERUS APA, MONYET?!"
"Itu curut."
"Hah?"
"Ada curut!"
"Curut as in sejenis tikus-tikusan?!"
"BUKAN, SEJENIS PISTACHIO-PISTACHIO-AN!" Jef berseru, jadi gregetan sendiri. "OH MY GOD, THERE IT IS!" Jef menunjuk ke arah belakang Jennie.
"WHAT THE HELL?!" Jennie melotot ngeri, refleks melompat dan melingkarkan kedua kakinya ke pinggang Jef. Dia memegangi bagian dada kaus Jef erat-erat seraya melihat ke bawah kulkas dengan khawatir. "MANA CURUTNYA?! MANA?!"
"Jen—damn, I don't know that you're this heavy—oh, shit!" Jef tidak siap dengan serbuan Jennie yang tiba-tiba. Dia bergerak mundur beberapa langkah sebelum akhirnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai dengan punggung menyentuh lantai lebih dulu. Suaranya jatuhnya keras. Jef meringis, menahan sakit dan menarik napas panjang demi memuntahkan satu makian dengan sepenuh jiwa.
"BAJINGAN—now you better get off of my—"
Kata-kata Jef tidak terteruskan ketika dia tersadar Jennie telah berada di atasnya. Perempuan itu menunduk. Rambutnya tergerai membingkai wajahnya, sebagian menyentuh pipi Jef. Mata mereka bertemu dan dari jarak sedekat ini, Jef bisa membaui wangi parfum yang Jennie pakai.
Pipi Jennie bersemu sementara dia mencoba bangkit, tapi dengan cepat, Jef menempatkan salah satu tangannya di punggung Jennie, memaksa perempuan itu tetap dekat dengannya. Lantas tangannya yang lain berpindah ke pipi Jennie, menariknya lebih dekat. Hanya begitu saja, Jef menjemput bibir perempuan itu dengan bibirnya.
Sejenak, keduanya larut dalam lautan perasaan masing-masing hingga seruan panik Felix terdengar.
"PAKLIK, KALAU MAU SKIDIPAPAP BUKAN DI SINI TEMPATNYA!"
Jennie tersentak, menoleh dan wajahnya langsung merah padam tatkala dia menyadari telah banyak orang berkumpul di pintu dapur—termasuk Jo yang hanya mampu tercengang menyaksikan pemandangan yang ada di depannya.
Tamara yang kedua matanya masih ditutupi telapak tangan Ojun langsung menanggapi. "Skidipapap itu apa?"
"Anak kecil tidak boleh tahu." Felix—yang matanya juga ditutupi tangan Jansen—menyahut dengan penuh percaya diri.
"Mas Felix,"
"Iya?"
"Kalau aku bisa lihat Mas Felix, pasti Mas Felix sudah aku gampar." Sahutan Tamara bikin Ojun tercengang. "UMUR KITA TUH CUMA BEDA BEBERAPA MENIT, MAS FELIX!"
Felix nyengir. "Skidipapap itu—"
"FELIX!" Jansen memperingatkan.
"—proses pembuatan bayi."
"Jadi... Paklik mau membuat bayi baru?"
Jika mereka tokoh komik, pasti sudah ada keringat menetes di kepala Jennie, Jef dan Jo sekarang.
"Sudah minta izin Mbakyu Sashi belum?"
Jo diserang kelelahan luar biasa yang tidak berasal dari kerja fisik, melainkan kerja mental.
Kini, dua tersangka yang tertangkap basah nyaris berbuat asusila di siang bolong telah beranjak dari lantai. Jef nyengir, sedangkan Jennie sibuk meminta maaf pada Jo dengan wajah panas. Jo hanya menghela napas, kemudian berbalik pergi tanpa bilang apa-apa.
"Jen," Jef sengaja cari mati dengan menyikut Jennie. "Lo wangi juga ya."
Tanpa ba-bi-bu lagi, Jennie meninju Jef tepat di pipi.
*
Sashi tercengang begitu dia pulang dan mendapati Jef sedang duduk di tangga depan teras rumah sembari menempelkan kantung kain berisi es batu ke pipinya. Lelaki itu manyun, berlagak memandangi pucuk rumput yang bergoyang ditiup angin. Dia tidak menjawab ketika Sashi bertanya, hanya diam saja dan terus cemberut. Dery berpikir sebentar, lalu memutuskan duduk di sebelah Jef tanpa bilang apa-apa.
Hari sudah menjelang sore. Acara beres-beres dan menata barang telah usai. Jo sedang duduk di halaman belakang bersama Ojun, Jansen dan Tamara. Secara mengejutkan, Jo bisa menghandle bocah-bocah itu dengan baik. Tidak ada kecanggungan yang terasa seperti ketika Jo menghadapi Sashi. Bisa jadi karena ada Ojun dan Jansen di sana.
Katanya, seorang ayah lebih mudah dekat dengan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Di ruang makan, Sashi disambut oleh Felix yang sedang nonton Youtube bertemankan sebungkus kerupuk jablay, satu pak biskuit regal dan segelas susu kotak dingin.
"Oy!"
"Loh, sudah pulang? Kukira Mbakyu Sashi akan lanjut bertamasya ke Binaria bersama Mas Mandala."
"Binaria?"
"Seperti lirik lagu itu loh," Felix menyedot susunya, lalu berdeham dan mulai bernyanyi. "Waktu tamasya ke Binaria... pulang-pulang ku berbadan dua... walau tanpa restu orang tua, Sayang—"
"Berhenti! Geli gue dengar suara lo nyanyi! Siapa yang ngajarin lo lagu itu?!"
"Mas Jansen. Katanya dengan lagu itu, bahasa Indonesiaku bisa tambah lancar." Felix mengerjap polos. "Bagian chorusnya terbaik. Dengarkan Felix! La lai la lai la lai... panggil aku si jablai—"
"BODO!" Sashi mengingatkan dirinya untuk menjotos Jansen jika dia ada kesempatan. "Bokap gue kenapa?"
"Papa seng ndi?"
"Paklikmu."
"Woh, iku wong guendheng. Habis dihajar oleh Tante Jennie."
Sashi melotot kaget. "KOK BISA?!"
"Paklik kissed her."
"WHAT?!"
"He kissed her."
"WHAT?!?!"
Felix memutar bola mata dan mulai memeragakan adegan ciuman menggunakan dua tangannya. Dia membentuk kedua tangannya hingga mirip paruh burung dan saling menyatukan kedua ujung paruh. "Koyok ngene loh, Mbak."
"I KNOW WHAT A KISS LOOKS LIKE!" Sashi sewot.
"Nek wes reti, why you takon-takon Felix berkali-kali?" (Kalau sudah tahu, kenapa tanya-tanya Felix berkali-kali?!).
Sashi berdecak. "Tante Jennie di mana sekarang?"
"Mboh." (Meneketehe).
Sashi memutar bola matanya, merasa sia-sia bertanya lebih lanjut pada Felix. Dia memilih mengikuti instingnya untuk naik lantai dua. Benar saja, Jennie tengah berada di balkon. Perempuan itu sedang bicara dengan seseorang lewat telepon. Sesekali dia tertawa. Sashi sengaja memperhatikannya beberapa lama dan langsung tahu, siapa yang sedang bicara pada Jennie di seberang sana.
Itu Theonald Tedjanegara.
Sashi sengaja menunggu telepon tersudahi sebelum dia mengejutkan Jennie dengan tanya. "Ayahku udah nggak punya harapan lagi sama Tante Jennie ya?"
Jennie tersentak, begitu terkejut hingga dia nyaris terlompat. Namun kerut di keningnya berganti jadi senyum lembut waktu matanya menemukan Sashi. "Maksud kamu apa, Acacia?"
"Tante mau balikan sama mantan Tante itu ya? Sama Om Theo."
Jennie tertawa. "Nggak."
"Nggak apa-apa, sih kalau mau balikan juga. Cuma kasihan aja sama Dad. Brengsek-brengsek gitu, Dad orangnya gampang ambyar kayaknya."
"Tante Jennie nggak ada rencana balikan sama Om Theo."
"Kalau nggak terencana berarti bakal balikan?"
Jennie mengedikkan bahu. "Untuk saat ini, Tante Jennie nggak ada pikiran ke sana."
"Tapi lagi pedekate?" Sashi terus mendesak dan jujur saja, meski gadis itu terkesan seperti sedang mengorek informasi yang kelewat pribadi, Jennie tidak bisa kesal apalagi marah. Ada sesuatu dalam nada suara Sashi yang terkesan innocent, bikin Jennie serasa berhadapan dengan anak perempuannya yang tengah merajuk.
"Nggak." Jennie menggeleng lagi. "Tante Jennie dan Om Theo mau bikin join business. Kamu tahu kan Tante Jennie udah resign dari restoran tempat Tante Jennie kerja sebelumnya. Jadi youtuber kayaknya nggak cocok buat Tante Jennie. Tante Jennie nggak suka dilihat banyak orang, nggak kayak daddy kamu."
"Oh."
"Tapi jangan bilang-bilang ke daddy kamu ya."
"Iya."
Pastinya, Sashi berbohong.
*
Dery baru membuka pintu mobil yang disupiri Om Kun saat sekelompok pemain barongsai keluar dari pintu depan rumahnya diiringi tabuhan tambur. Om Kun dan Dery melongo. Tidak lama, sebab sesaat kemudian, Dery bisa menerka apa yang tengah terjadi; Tedra pasti berulah lagi.
Dugaan Dery terkonfirmasi 80% benar sewaktu beberapa orang dengan kamera di tangan ikut merekam. Mereka adalah kru Tedra untuk filming video youtube. Setelah kehabisan ide untuk vlog yang katanya harus diposting rutin demi menjadi ayah kekinian yang tidak ketinggalan jaman, kelihatannya Tedra berhasil menemukan sumber inspirasi baru.
Dery turun dari mobil, terpaku di tempatnya berdiri sementara para pemain barongsai fokus melakukan atraksi. Di penghujung penampilan mereka, barulah Tedra menampakkan batang hidungnya. Lelaki itu mengenakan cheongsam merah lengan panjang yang membuatnya bukan hanya terlihat berwibawa, tapi juga mirip murid seperguruan Jet Li.
Dery ternganga, kemudian mengerjap beberapa kali karena silau oleh flash kamera-kamera yang digunakan untuk memotretnya.
"Papa ngapain lagi? Mama mana?"
"Mama wes mangkat ndhek tempat spa bareng konco-koncone." Tedra berujar. (Mama udah berangkat ke tempat spa bareng teman-temannya).
Pantesan liar, pawangnya lagi meninggalkan pos, Dery membatin sebelum mengulang pertanyaannya. "Papa ngapain?"
"Sewa barongsai."
"Sekarang kan bukan Imlek, Pa."
"Ini untuk menyambut anak Papa yang baru pulang dari medan perang." Tedra terkekeh. "Piye?"
"Opone seng piye?" (Apanya yang gimana?).
"Kowe karo Sashi lah, mosok kowe karo aku!" (Kamu sama Sashi lah, masa kamu sama aku).
"Nggak penting."
Tedra memandang Dery sejenak sebelum berpaling ke belakang dan memberi kode berupa anggukan kepada salah satu krunya. Kru itu langsung paham dan menghilang sebentar ke dalam rumah.
"Mainkan!" Tedra berseru, serupa komando yang bikin para pemain barongsai minggir untuk memberi jalan. Tak lama, suara lagu familiar terdengar, disusul kehadiran sesosok om-om yang bikin Dery nyaris lupa bernapas.
"Ning Stasiun Balapan... kutho Solo sing dadi kenangan... kowe karo aku..."
Didi Kempot beneran yang datang.
"PAPA!"
"Terimakasihe ngko sek, sekarang wes nikmati wae keambyaranmu karo Lord Didi! Sengaja loh beliau Papa jemput dari Solo pake jet pribadi buat kamu seorang!"
Dery kepingin sign out dari kehidupan sebagai anak seorang Tedra Sunggana.
*
Kejahilan Tedra kepada anak semata wayangnya tidak berhenti sampai di sana. Malam harinya, selepas makan malam, dia sengaja menyambangi Dery di kamarnya. Tedra mengira, Dery akan menghabiskan waktu dengan duduk di tepi jendela dan meratapi nasib sebab cinta yang tak berbalas. Namun ternyata tebakannya salah. Dery justru sedang sibuk chatting-an.
"Lagi ngapain, Le?"
"Chatting."
"SMS penipuan ojo dibalesi, Le. Ndak baik ngerjain wong miskin. Uripe wes susah, ojo kowe bikin tambah mumet." (Hidupnya udah susah, jangan dibikin tambah mumet).
"Apa sih, orang lagi chatting sama Sashi."
"O-ow!" Tedra langsung semangat, diam-diam senyam-senyum melihat Dery aktif membalas. Senyumnya baru lenyap saat Dery tiba-tiba berhenti mengetik. "Kenapa?" Tedra langsung memburu dengan tanya.
"Pa, nek cewek nge-chat 'wes disik yo, aku arep turu', aku mesti jawab apa?" (Kalau cewek nge-chat 'udah dulu ya, aku mau tidur', aku harus jawab apa?).
"Kowe mesti nangis."
Dery melotot heran. "LHA KOK NANGIS?"
"Sebenere de'e ora pamit turu, tapi pamit nge-chat wong liyo seng lebih seru." (Sebenarnya dia nggak pamit tidur, tapi pamit ngechat orang lain yang lebih seru).
"PAPA!"
"Sek, Papa golekno tisu disik." Tedra berpura-pura hendak meninggalkan kamar Dery. (Bentar, Papa cariin tisu dulu_.
"PAPA!"
Laki-laki itu ganti tertawa jahat. "Cuma guyon, Sheyeng. Yah... mungkin dia mau tidur. Atau mana coba Papa lihat ketikannya?"
"Ketikannya?"
"Papa jago membaca hati wanita, tahu! Jangankan lewat ketikan, dulu aja Papa bisa tahu Mama lagi badmood apa nggak lewat helaan napasnya pas Papa telepon! Makanya si Agung kui kalah saing sama Papa!"
"Oh..." Percaya nggak percaya sih. Akhirnya Dery kasih ponselnya pada Tedra.
Tedra meraih ponsel itu, pura-pura mengamati layarnya dengan serius sebelum dengan liciknya, beranjak dari kasur Dery dan berlari ke kamar mandi dalam ruangan yang sama. Dia buru-buru mengunci pintu dari dalam, bikin Dery menggedor-gedor pintu. Dari wajahnya, kentara sekali Dery hampir menangis.
Dia tidak sanggup membayangkan tindakan gila apa yang bakal dilakukan Tedra dengan ponselnya yang jelas-jelas tidak sedang terkunci—ditambah lagi, ada chat dari Sashi.
"PA, PLIS JANGAN KAYAK GINI MAINNYA! PAPA! AKU SAMA SASHI BARU BAIKAN! MASA NANTI MARAHAN LAGI?! PAPA! PAPA MINTA APA AJA AKU KASIH KOK! JANJI!"
Pintu akhirnya terbuka, menampilkan seraut wajah milik Tedra yang sedang menyerigai. Tanpa bilang apa-apa, Tedra mengembalikan ponsel Dery, membuat perasaan cowok itu kian tidak enak. Usai Tedra melangkah keluar dari kamarnya, barulah Dery memberanikan diri mengecek chatnya bersama Sashi.
Betul dugaannya, Tedra mengirim chat pada Sashi menggunakan ponselnya.
To: Acacia
Sas, kowe reti ora bedane kowe karo rumah hantu?
(Sas, kamu tau nggak bedanya kamu sama rumah hantu?)
From: Acacia
Drol, sehat?
To: Acacia
Jawab o.
From: Acacia
Ora.
To: Acacia
Nek rumah hantu kui sarang hantu.
(Kalau rumah hantu itu sarang hantu).
From: Acacia
Terus?
To: Acacia
Nek kowe... sarangheyo.
(Kalau kamu... sarangeyo).
From: Acacia
Sakjane meh tak jotosi, tapi aku jek mesakne, Drol.
(Sebenarnya pengen jotos, tapi gue kasian, Drol).
Dery lemas sejenak sebelum buru-buru mengetik klarifikasi tidak santai pada Sashi.
To: Acacia
DIBAJAK PAPA. SUMPAH, NGGA BOONG!
*
Sashi mengembuskan napas setelah membaca chat yang Dery kirimkan. Sebenarnya, dia sudah menerka itu pasti dari Tedra. Tapi dia sengaja tidak membalas. Biarin, biar Dery deg-deg-ser semalaman. Haha nggak, deng, canda. Sashi tidak balas soalnya dia bingung mau membalas apa. Ditambah lagi, dia sedang galau memikirkan hubungan daddy tercinta dengan konco-tapi-sayang orang yang bersangkutan.
Lamunannya terpecah saat pintu kamarnya dibuka tiba-tiba. Jo muncul di sana. Lelaki itu mengangkat alis kala menyaksikan Sashi belum tidur.
"Belum tidur, Sayang?"
"Nggak bisa tidur."
"Mau Papi temenin?" Jo bertanya sambil mendekati ranjang Sashi dan duduk di tepinya, tepat di dekat Sashi.
"Pi, aku mau nanya deh."
"Hm, tanya apa?"
"Papi naksir Tante Jennie nggak?"
"Kenapa?"
"Jawab aja."
Jo tersenyum tipis. "Memangnya kenapa?"
"Kayaknya Om—Dad Jeffrey naksir sama Tante Jennie. Aku nggak mau papa-papaku rebutan orang yang sama."
Jawaban Sashi justru membuat Jo tertawa.
"Kok Papi malah ketawa sih?" Sashi cemberut, menggembungkan kedua pipinya dan mengerucutkan bibir.
"Papi nggak naksir Tante Jennie, Acacia. Setidaknya, untuk sekarang."
"Kok gitu jawabnya?"
Jo mengulurkan tangan, mengelus helai rambut Sashi yang membingkai tepi wajahnya dengan jari. "Kita kan nggak pernah tahu atau bisa memastikan perasaan kita bakal berujung kemana. Hari ini, kamu bisa aja nggak kenal sama seseorang. Besok-besok, kamu menemukan seseorang yang tiba-tiba aja jadi pusat dunia kamu yang begitu penting."
"Iya juga, sih. Tapi... Papi ada rencana punya pacar nggak dalam waktu dekat ini?"
"Kenapa?"
"Jawab aja!"
"Kenapa dulu?"
Sashi tersenyum sedih. "Nggak apa-apa."
"Kamu nggak suka ya?"
"Nggak gitu." Jujur saja, akhir-akhir ini Sashi jadi banyak berpikir tentang masa depan. Kurang dari setahun lagi, dia akan lulus sekolah. Bisa jadi, dia akan kuliah ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Dia akan tinggal jauh dari Jo. Jo mungkin bakal lebih banyak sendirian dan Sashi tidak ingin itu terjadi. Dia sadar, dia tidak boleh egois. Tris sudah tidak lagi bersama mereka.
Jef masih punya Jennie, tapi Jo tidak punya siapa-siapa selain dirinya.
"Terus gimana?"
"Kalau Papi punya pacar, pokoknya harus kasih tahu ke aku! Harus aku ospek dulu!"
"Ospek?"
"Biar aku yakin kalau dia bisa bikin Papi aku bahagia."
"Sekarang pun dengan kamu aja, udah cukup bikin Papi bahagia."
"Tapi nanti kalau aku kuliah, Papi bakal sendirian."
"You worry about me too much. Just like your mother." Jo menarik Sashi mendekat dan mencium puncak kepalanya. "Hush, now sleep. Okay?"
"Okay."
"Sleep tight, sweetheart."
"Papi juga."
Jo beranjak dari tepi ranjang Sashi dan berjalan menuju pintu. Dia tersenyum sekali lagi sebelum meraih kenop pintu, namun pintu itu belum lagi tertutup sempurna waktu gerakannya mendadak terhenti oleh sakit yang menusuk mendadak di bagian atas punggungnya. Sashi menyadari itu, kontan tak bisa menahan tanyanya.
"Pi... kenapa?"
Jo berusaha menenangkan, diikuti senyum lebar. "Nggak apa-apa."
Bonus
"Iki jaman memang jaman edan." Felix geleng-geleng kepala saat membaca curhatan panjang lebar yang dikirimkan James dan Jansen padanya. James sedang saling diam dengan Egi, sedangkan Jansen tengah dibuat risau oleh urusan rumah tangga kedua orang tuanya. Jansen bilang, lama-lama dia jadi tidak betah berada di Jakarta dan terpikir mau membujuk Jessica agar dia bisa pindah kuliah ke Seoul.
"Kenapa, Mas Felix?" Tamara membalas.
"Paklik galau. Mas Jansen arep pindah kuliah." Felix berdecak. "Tapi aku jadi terpikir sesuatu. Jika aku minta Mama menguliahkanku di Shanghai, kira-kira Mama keberatan tidak ya?"
"Kenapa Shanghai?"
"Hehe."
"Oh, pasti karena Shuhua tinggal di sana."
"Akhirnya kamu pintar juga, Tamara."
"Nek arep kuliah, ojo adoh-adoh toh ya!" Erina protes. "Kalau Mbak Erin kangen sama adik-adik Mbak Erin piye?"
"Yo mabur wae ndhek Shanghai. Ojo koyok wong susah!" Felix menanggapi, tapi kemudian dia menyadari sesuatu. "Itu es krim Mbak Erina tidak dihabiskan?"
"Buat Tamara saja ya?"
"Ambil aja kalau mau."
Felix langsung peka, bertanya seraya menatap Erina dengan tatapan hati-hati. "Mbak Erin lagi gelisah ya? Tidak biasanya Mbak Erin menyisakan es krim."
Memang, Felix adalah adik terpeka sedunia.
"Kowe eroh pacar Mbak Erin seng anyar, kan?"
"Mas Kingkong kui?"
"KOK MAS KINGKONG?!"
"Awakke mirip Kingkong."
"Ngawur!" Erina cemberut. "Jenenge Mas Lucas, dudu Mas Kingkong. Mbak Erina tuh lagi sedih dan bingung."
"Kenapa?"
"Mas Lucas nggak ke gereja."
"Oh, tidak apa-apa, Mbak Erina."
"Rapopo piye, maksudmu?"
"Felix juga sering tidak ke gereja kalau sedang malas. Tidak apa-apa. Itu lumrah. Tuhan tidak akan marah, pasti nanti dimaafkan."
"DUDU NGONO MAKSUDKU, LIX."
"Terus maksud Mbak Erina apa?"
"Lucas nggak ke gereja... soalnya dia... ke masjid..."
Felix:
"BAGAIMANA BISA MBAK ERINA JATUH CINTA PADA DOMBA YANG TERSESAT?!"
to be continued.
***
Catatan dari Renita:
yak malem banget nggak nih postingnya. nggak lah ya.
btw sori banget nih telat updatenya bikos tiga hari ini aku gaenak badan abis coy kayaknya kecapean wkwkw tapi sekarang sudah membaik hamdallah.
apakah semua perdramaan ini sudah membosankan hhh padahal aku belom bunuh orang ((ea terus panik))
dah lah gitu aja ya.
sampai ketemu di chapter berikutnya.
ciao.
bonus anak mama ital
Nang Omah, February 6th 2020
22.00
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro